Writer by Muhammad Saefullah
Sebuah ritual yang tak bermuara. Eksistensinya menimbulkan polemik
berkepanjangan dalam kisah perjalanan panjang bangsa. Jalan yang ditempuh oleh
para “sufi” lintas agama begitu beragam, para pengikut yang fanatisme salah
menafsirkan paradigma dari hakikat keberagaman bangsa. Inilah sebuah realitas
sosial yang akan menghancurkan sosok insal kamil, berbagai kelompok, etnis,
suku, agama, yang ingin bercinta dengan Tuhannya akan terusik. Pendidikan yang
seharusnya menjadi prestise sebuah keberagaman, kini berperan sebagai laga adu
ketangkasan.
Kerukunan antar umat beragama kini
tidak sejalan dengan apa yang ada di dalam kitab suci bangsa yang merdeka
hampir enam dasawarsa lebih. Petikan wasilah yang tercantum pada pasal 32 ayat
1 berbunyi “Negara memajukan kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia untuk mejamin kebebasan masyrakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budaya”. Keragaman budaya nampaknya masih menjadi dosa sosial
sampai sekarang, hujjah yang dimiliki nampak berbeda dengan ‘aliran’ lain.
Bermacam-macam jihad seperti yang dilakukan oleh cikal bakal bangsa yaitu
tawuran pelajar, bentrok pemuda, dan bentuk lain dari radikalisme menambah
daftar panjang kisah pengikut “sufi” lintas agama.
Konsep yang ada di dalam pendidikan
berperan penting dalam menentukan insan yang bertoleran. Pembangunan sosial
dari berbeda agama, etnis, suku, harus dikemas dengan ketulusan sentuhan sosok
guru di tingkat sekolah dasar. Penerus bangsa pada tingkat dasar sangatlah
kompleks, mereka perlu diajarkan moralitas bagaimana untuk menghargai sesama,
berinteraksi dengan satu sama lain dan menghormati perbedaan pendapat yang
notabene mereka berbeda budaya. Jangan sampai perilaku yang tidak pantas
dilakukan oleh anggota parlemen di tahun 2010 lalu terus membayangi (muka
polos) anak-anak.
Sebaiknya bangsa Indonesia yang masyarkatnya sangat majemuk atau pluralis
harus menentukan sistem pendidikan yang baik. Pemerintah harus bisa merekayasa
agar keberagaman yang ada kembali kepada hakikatnya, yaitu sebagai rahmat bagi
semesta alam. Betapa pentingnya pendidikan yang multikultural untuk bangsa
Indonesia dalam memanusiakan manusia, pendidikan tersebut harus mencakup
pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Dengan begitu,
pemahaman bangsa kita akan terbentuk dalam menghadapi kehidupan sosial yang beragam.
Jalan yang ditempuh oleh “sufi”
lintas agama beserta pengikutnya ini harus berkesinambungan dengan realitas
sosial. Mereka boleh fanatik terhadap budaya dan keyakinannya masing-masing,
tapi harus ingat bahwa mereka hidup dalam naungan Bhineka Tunggal Ika. Dengan
begitu tidak ada lagi konflik yang berkelanjutan sampai anak cucu kita nanti.
Pendidikan dasar pada generasi muda amat penting, jangan sampai ketika
dihadapkan dalam satu ruang yang sama kepolosan anak-anak akan menjadi masalah
besar. “culture shock” terjadi ketika pengetahuan agamanya dihadapkan dengan
sosial yang tidak satu pemikiran. Konflik yang terjadi di kalangan pelajar
menjadi buktinya, mereka berani berjihad membela identitas dirinya masing-masing
untuk mempertahankan sebuah hujjah. Di lain hal, konflik sejenis ini sebenarnya
berasal dari induk kelompok yaitu para penggede-penggede (istilah pesantren
atau pembesar) yang kurang mengajarkan toleransi. Masih melekat dalam memori
kita kejadian pada tanggal 19 Januari 1999 di Ambon, hanya karena hal yang
sepeleh pertumpahan darah dari aksi heroik antara umat islam dengan umat
Kristen bergejolak sangat dahsyat. Bahkan konflik antar agama ini pecah dan
mempengaruhi wilayah-wilayah yang ada disekitarnya untuk berjihad. Sangat
ironis sekali melihat bukti kacau-balaunya Bhineka Tunggal Ika.
Dulu pejuang berebut senjata, sekarang pelajar berebut pena. Peribahasa
itu sudah tidak ajeg lagi dengan pendidikan kita sekarang. Dalam kitabnya Pak
Chaedar yang berjudul “Pokoknya Rekayasa Literasi” sub ayatnya menampilkan
wacana tenetang Classroom Discourse to Foster Religius Harmony. Artikel
ini menarik untuk dikritisi secara komprehensif. Pelajar nampaknya harus mawas
diri dengan salah satu peribahasa tersebut, jika ditafsirkan mempunyai makna
yang sangat mendalam. Para pejuang rela mengorbankan nyawanya demi keutuhan
Negara Indonesia, sekarang bukan eranya lagi generasi muda untuk pertumpahan
darah apalagi satu bangsa. Arwah para pahlawan berharap generasi muda berebut
pena dalam arti bertarung hal belajar, jangan sampai perbedaan-perbedaan yang
ada menjadi salah satu unsur pecahnya merah putih.
Satu dasawarsa terakhir pemerintah sibuk membolak-balik kurikulum dalam
pembelajaran. Study badingnya ke berbagai Negara berkembang berharap mendapat
pencerahan dari hasil study teresebut. Dimulai dari kurikulum 2000, kurikulum
2004, 2006 dan yang paling terbaru ialah kurikulum 2013. Perubahan itu bukan
hanya intuisi belaka namun berharap dapat merubah bangsa kita menjadi lebih
baik karena kultur yang beragam. Dengan kata lain, para wakil rakyat dipaksa
untuk memutar otaknya agar terciptanya angan-angan selama ini.
Masih melekat dalam otak kita tentang bentrokan yang terjadi di kalangan
pelajar dan mahasiswa. Rasa toleran dari berbagai kelompok ini kurang tertanam
dengan benar, sehingga mereka tidak menghargai. Berawal dari dendam lama yang
sudah tertanam oleh penggedenya, bentrok yang terjadi antar pelajar ini
seakan-akan menjadi agenda tahunan yang wajib dipersiapkan matang-matang. Entah
mengapa dosa sosial sudah mendarah daging, seharusnya sebagai seorang pelajar
bersaing dalam prestasi bukan adu ketangkasan seperti dunia jawara.
Konflik yang terjadi di kalangan pelajar ini tidak bisa dipandang sebelah
mata oleh para wakil rakyat. Pertanyaan yang mendasar adanya tawuran tersebut
yaitu apakah ada yang salah dalam sistem pendidikan di Negara pluralis ini
sehingga pelajarnya brutal? Aliran yang puritan tidak diharapkan di sini. Perlu
study kasus yang mendalam untuk mengungkap fenomena sosial bangsa. Qoul dari
Soejono Soekanto berdalil bahwa penyebab adanya konflik itu karena empat hal.
Pertama ialah perbedaan antar individu. Merupakan perbedaan yang
menyangkut perasaan, pendirian, atau ide yang berkaitan dengan harga diri,
kebanggaan, dan identitas seseorang. Sebagai contohnya terdapat siswa yang
ingin suasana belajar tenang tetapi siswa lain ingin belajar sambil diiringi
dengan menyanyi karena sangat mendukung. Kemudian timbul amarah dalam siswa yang
lain sehingga terjadi konflik.
Kedua ialah perbedaan kebudayaan, kepribadian seseorang dibentuk oleh
keluarga dan masyarakat. Tidak semua masyarakat memiliki Norma dan nilai-nilai
yang sama, apa yang dianggap oleh satu masyarakat itu baik belum tentu baik
oleh masyarakat lainnya. Interaksi sosial antar indivudu atau kelompok dengan
pola kebudayaan yang berlawanan dapat menimbulkan rasa amarah dan benci
sehingga berakibat konflik.
Faktor yang ketiga ialah perbedaan kepentingan. Setiap kelompok maupun
indivudu memiliki kepentingan yang berbeda pula. Sesuatu yang mereka anggap
penting dan sakral yang harus dilakukan oleh anggotanya belum tentu penting
bagi kelompok lain. Dari hal seperti ini dapat menimbulkan konflik diantara
kedua kelompok tersebut.
Faktor keempat yaitu perubahan sosial. Perubahan yang terlalu cepat
terjadi pada suatu masyarakat dapat mengganggu keseimbangan nilai dan norma
yang berlaku, akibatnya konflik dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian
antara harapan individu dengan masyarakat. Sebagai contoh kaum muda ingin
merombak perilaku tradisi masyarakatnya, sedangkan kaum tua ingin
mempertahankan tradisi dari nenek moyangnya, maka akan timbulah konfik.
Berbagai faktor di atas tidak menutup kemungkinan bahwa pelajar yang ada pada
saat sekarang terjadi karena hal tersebut. Semua orang pasti mempunyai ekspektasi
yang berbeda menanggapi polemik yang
kompleks dalam keberagaman bangsa.
Sebagai warga yang demokratis dengan karakter yang baik, seperti diatur
dalam UU Sisdiknas. Pendidik ditantang untuk melakukan yang terbaik untuk
mempersiapkan generasi muda. Seperti yang dikutip dalam tujuan pendidikan di
dalam UUD 1945 ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerdas mempunyai
makna yang luas, bukan hanya cerdas secara intelektual saja tetapi kaya akan
kecerdasan dalam emosional dan spiritual juga, bagaimana mereka belajar tentang
toleransi, rasa saling menghormati antar umat beragama, menjunjung tinggi
perbedaan diantara mereka.
Salah satu bahan renungan mengapa pendidikan Indonesia semakin bobrok
kita bisa melihat satu dasawarsa lalu. Aksi heroik yang terjadi pada tanggal 17
Januari 1999 terjadi konflik etnis antara Melayu Sambas dengan Madura.
Situasi Perang Sambas |
Ironis sekali keadaan yang pelik ini, pemerintah perlu melakukan tinjauan
khusus yaitu study lebih lanjut mengenai perang Negara melalui aparat dalam
kerusuhan Sambas di tahun 1999. Konflik Sambas ini menyebabkan 401 yang tak berdosa
meninggal dunia dengan sia-sia dan pengungsian 58.544 orang Madura dari
kabupaten Sambas. Sampai saat ini konflik diselesaikan pemerintah dengan cara
memindahkan etnis Madura dari wilayah kabupaten Sambas ke kotamadya Pontianak
dan Kota Singkawang.
Berbeda dengan konflik yang ada di Sambas, hanya berselang dua hari yaitu
tepatnya pada tanggal 19 Januari 1999 perang yang disebut perang antar
Islam-Kristen bergejolak di Ambon (Maluku).
Kondisi Perang Ambon |
Beberapa saat berselang sekitar lima menit setelah peristiwa saling jekar
mengejar antar pemuda muslim dengan pemuda Kristen asal Ambon, seperti ada
komando kerusuhan akhirnya pecah di mana-mana dalam kota Ambon. Akhirnya
kerusuhan ini melebar keluar kota Ambon pada tanggal 20 Januari 1999.
Dari konflik tersebut terjadi karena fanatisme yang kuat dari para
pengikut “sufi” lintas agama. Kerusuhan demi kerusuhan di pulau Ambon pada
akhirnya bersangkut paut dengan sikap toleransi warga yang berdomisili di pulau
Ambon. Sementara isu pertikaian yang bernuansa SARA semakin dipertajam sehingga
menimbulkan fanatisme antara masing-masing umat beragama. Berbagai peristiwa
yang ada di Ambon berlangsung lama, alasan lain mengapa terjadi peperangan juga
diakibatkan oleh dendam lama yaitu peristiwa kerusuhan yang terjadi pada bulan
Nopember 1998.
Tidak dapat dipungkiri lagi qoul dari Soerjono Soekanto tentang faktor
yang menyebabkan terkadinya konflik. Menurut Lewis A Coser konflik yang terjadi
di Sambas dan Ambon itu merupakan konflik Out-group, yaitu konflik yang
terjadi antara suatu kelompok dengan kelompok lain. Nampaknya bentrok antar
agama bukan hanya terjadi di tahun 1999, hal tersebut tidak menutup kemungkinan
terjadi di masa yang akan datang karena banyak faktor. Oleh karena itu, hal ini
menjadi Pekerjaan Rumah para wakil rakyat untuk mencari solusi yang tepat dan
mengakhiri konflik berkepanjangan.
Melihat dari banyaknya peperangan dan konflik yang terjadi antar umat
beragama, antar etnis, suku, dan budaya seperti di Ambon dan Sambas dan yang
lainnya. Pantas saja banyak konflik yang terjadi di kalangan akademisi yaitu para
mahasiswa bahkan pelajarpun ikut mewarnainya. Di samping karena agama yang
berbeda-beda juga disebabkan rasa dendam lama yang masih membekas dalam hati.
Konflik tidak terlepas dengan kekerasan, bahkan nyawapun menjadi
taruhannya. Menurut qoul dari Jonathan Turner, beliau memandang konflik itu
sebagai suatu proses dari peristiwa-peristiwa yang mengarah kepada interaksi
yang disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih. Mereka saling menyalahan
agama-agama lain yang menurutnya tidak benar, dan hanya agama dialah yang
paling benar. Karena adanya pelabelan yang tidak sepantasnya maka timbul
konflik.
Dalam teori keagamaan khususnya Islam, ada 3 teori yang bisa menjadi
acuan pada konflik antar agama. Teori yang pertama ialah eklusif, teori ini
berdalil bahwa islamlah yang paling benar, dan agama lain salah. Jelaslah kalau
konflik antar agama ini pecah, pemeluk agama selain agama islam merasa
tersinggung jikalau agamanya dianggap kurang benar. Teori ini ‘mungkin’ dipakai
oleh segenap kaum fanatisme pada agama Islam yang salah, tidak menghargai
kebebasan beragama dan tidak menjunjung tinggi kandungan Pancasila. Teori yang
kedua ialah teori inklusif, teori ini pada dasarnya menganggap semua agama yang
ada di Indonesia benar, tapi ada yang paling benar lagi yaitu Islam. Teori ini
terlihat sedikit lebih baik daripada teori yang pertama dengan jelas-jelas
menyalahkan agama lain, teori inklusif ini setidaknya sudah meredam amarah dari
pemeluk agama selain Islam. Dari kedua teori tersebut kemudian disempurnakanlah
oleh teori agama pluralis. Pluralis menganggap semua agama itu benar, alasannya
yaitu karena titik tuju mereka itu sama yaitu Tuhan.
Menengok beberapa kurun tahun yang lalu, teori pluralis sudah dijunjung
oleh sosok Gus Dur. Namun, karena terlalu tingginya pemikiran beliau,
masyarakat awam tidak bisa mencerna pemikiran Gus Dur. Publik mengecam bahwa Gus
Dur sudah melenceng dari pemikiran yang sewajarnya dan masyarakat menuntutnya
untuk dilengserkan. Akhirnya Gus Dur harus
dilengserkan sebelum pandangan pluralisnya itu berada pada tingkat yang
makrifat, yaitu pemahaman kepada seluruh masyarakat. Sekarang, teori pluralis
terbukti kebenarannya. Keberagaman itu harus menjadi kekayaan bangsa bukanlah
sebuah masalah bagi bangsa. Teori ini sangat tepat dengan sila pertama yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, berbeda aliran tapi tetap yang dituju ialah Tuhan. Andai
saja Gus Dur tidak dilengserkan mungkin Indonesia mempunyai cerita lain yang
lebih baik.
Menurut qoulnya ahli tafsir misbah yaitu Qurasy Syihab, aliran agama ini
dibedakan menjadi dua yaitu Absolute dan Relatif. Teori absolut mengartikan
bahwa agama Islam itu paling benar. Teori ini digunakan oleh para kaum yang fanatik
dalam suatu agama, mereka lupa bahwa Tuhan mereka saja memberikan rahmat-Nya
bagi seluruh umat manusia tidak melihat apa agamanya. Teori yang kedua ialah
relatif, hal ini sama dengan pandangan pluralis yaitu semua agama benar, karena
titik tujunya sama.
Sudah selayaknya sistem pendidikan bangsa ini bisa membentuk karakter dan
kepribadian generasi muda. Sekolah merupakan salah satu media untuk
merestorisasi kepribadian anak-anak bangsa, dalam konteks lingkungan mereka
belajar untuk menghormati rekan, saling membantu, dan menghormati antar umat
beragama. Dengan begitu pelajar tidak sekedar pintar dalam hal intelektual
saja, tetapi mencakup emosional dan spiritual.
Study kasus menjelaskan bahwa pendidikan yang ada di pesantren mendukung
dalam perkembangan individu. Di pesantren, mereka bisa belajar untuk hidup
bermasyarakat dengan baik, bertoleran, gotong-royong, dan menghargai sesama
umat. Dengan begitu tidak akan terjadi lagi konflik diantara mereka, cara
berfikir kritislah yang dikedepankan dengan ilmu-ilmu agamanya sebagai fondasi,
sehingga akan tercipta masyarakat yang madani.
Melihat sistem pendidikan luar negeri, di Amerika juga terdapat
pendidikan seperti pesantren yang merealisasikannya itu dalam bentuk asrama.
Tujuan dari asrama ini sama halnya dengan pesantren yaitu untuk membentuk
karakter dan kepribadian yang baik agar mereka bisa hidup berdampingan dengan masyarakat
lintas agama.
Tenaga pendidik juga wajib untuk membenahi diri bagaimana merekayasa cara
mengajar yang prestise. Di Negara Finlandia, profesi guru sangatlah digandrungi
oleh rakyatnya. Butuh tiket S2 untuk melamar menjadi seorang guru, di samping
itu guru juga diseleksi dengan ketat sehingga menghasilkan siswa yang
bekualitas pula. Sedangkan tenaga pengajar di Negara kita sangatlah berbanding
terbalik dengan Finlandia.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa pluralis. Dalam perspektif horizontal,
kemajuan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa, daerah,
dan budaya. Dalam perspektif vertikal, bisa dilihat dari perbedaan tingkat
pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan tingkat sosial budaya. Pedidikan moral
bangsa dirasa sangat dibutuhkan untuk menanamkan moralitas berbangsa, termasuk
moralitas mulikultural yang beragam.
Beberapa solusi untuk mengatasi pendidikan bangsa yang ditawarkan yaitu
pertama lewat pendidikan yang beracuan dengan multikultural. Pendidikan
semacam ini diarahkan untuk meredam konflik sosial dengan cara mengembangkan
sikap menghargai perbedaan budaya. Pendidikan multikultural juga diharapkan dapat
menciptakan struktur dan culture setiap kelompok untuk bisa melakukan ekspresi
budaya secara nyaman, harmonis tanpa implikasi koflik. Keragaman budaya bangsa Indonesia
adalah sebuah kenyataan yang harus diterima tanpa ruang tawar-menawar. Karena
kenyataan tak tertolak, maka harus diterima, dijaga, dipelihara, dan dikelola
agar mendatangkan kebaikan dan keuntungan. Lingkungan pendidikan harus
dirancang untuk menciptakan suatu kehidupan yang menerima perbedaan, bisa hidup
bersama secara harmonis, saling menghormati dan menghargai perbedaan. Ini adalah
tujuan ideal pendidikan multikultural.
Pendidikan multikultural diposisikan sebagai therapi (solusi),
sedangkan konflik sebagai gejala. Konflik yang terjadi antara pelajar dan
konflik antar agama mempunyai faktor esensial yaitu lemahnya moralitas
berbangsa dalam segala bidang, bidang politik, hukum, ekonomi, budaya, olahraga,
bahkan prilaku beragama. Tak
pelak lagi, konflik disebabkan oleh lemahnya moralitas bangsa. Hal ini tidak
cukup diselesaikan hanya dengan pendidikan multikultural, nama yang lebih
substansial adalah pendidikan moral bangsa. Peraturan pemerintah
Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan
dan penyelenggaraan pendidikan sebenarnya sudah berdasarkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, sistem pendidikannya juga dibangun di atas landasa
idil pancasila dan landasan konstitusional UUD 1945.
Solusi kedua yang ditawarkan ialah pendidikan moral secara
integral dalam sistem pendidikan nasional. Tuntutan sifat integralistik
pendidikan moral didasarkan alasan bahwa prinsip dan norma multikultural dalam
sistem pendidikan nasional harus diletakkan dalam satu tarikan nafas dengan
norma dan prinsip meningkatkan keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan moral berbangsa, termasuk moral
bermultikultural, harus hidup dalam proses pembelajaran semua mata pelajaran,
serta keseluruhan kehidupan pendidikan. Prinsip dan pendidikan multikultural
harus berada pada seluruh komponen khususnya proses pembelajaran yakni komponen
kompetensi lulusan, kompetensi guru, materi, metoda dan pendekatan, suasana
proses pembelajaran, suasana lingkungan pendidikan.
Solusi yang ditawarkan kepada Indonesia yang terakhir ialah Dialog
agama. Qoulnya Pak Chaedar pada kitab Politik Bahasa dan Pendidikan
mengatakan bahwa Tuhan pun meladeni para Rasul-Nya untuk berdialog, sehingga
terjalinlah saling perhatian antara Tuhan dan Rasul-Nya. Dialog diskusi teologi
merupakan tugas para ahli, pemikir, dan birokrat yang mengatur kehidupan
beragama. Jumlah mereka relatif sedikit, namun wejangan, fatwa, dan khotbah
mereka akan di dengar para pengikutnya. Dialog antar-umat beragama diangkat
dari tema-tema sosial nampaknya akan memfungsikan agama sebagai perekat sosial
(meminjam istilah Durkheim “societal glue”) untuk membangun solidaritas
dan kepaduan masyarakat.
Indonesia
nampaknya harus mempersiapkan pendidikan
karakter yang visioner, sistematik, sistemik dan bersinambung. Hal ini penting
mengingat bangsa Indonesia harus mampu membangun bangsa yang berkarakter. Jauh
dari konflik-konflik sosial. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua
komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan
aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Begitu pula,
pendidikan karakter harus mencerminkan suatu perilaku warga sekolah harus
berkarakter. Selain di sekolah maka pendidikan karakter di dalam keluarga
memegang peranan pokok bagi semua anggota keluarga. Disini peran keteladan dari
orang tua sangat strategis.
Dari pembahasan di atas yang sudah dikupas
habis, dapat disimpulkan bahwa satu dasawarsa yang lalu Indonesia bergejolak
dengan sekelumit masalah sosial sampai sekarang, mulai dari konflik antar suku,
agama, etnis, kelompok dan konflik yang terjadi antar pelajar. Inilah Indonesia
yang harus segera membenahi diri jika ingin bersaing di kancah dunia, berawal
dari pendidikan yang mendasar generasi muda diajarkan bukan hanya tentang
intelektual semata, tetapi juga moral yang perlu dipelajari. Penelitian di
Harvard University Amerika Serikat mengungkap, ternyata kesuksesan seseorang
tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan
kognisinya (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan
orang lain (soft skill). Dengan pendidikan moral yang dimulai di tingkat dasar,
individu akan saling menghargai dan menghormati perbedaan yang beragam. Kini
Indonesia harus (mengeker) lebih jelih dari solusi yang ditawarkan oleh para
ahli, mana yang tepat untuk kemaslahatan umat di Negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah,
A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung. PT Kiblat Buku Utama
Alwasilah,
A. Chaedar. 2004. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya
http://penakalbar.blogspot.com/2008/06/konflik-etnis-sambas-1999-pelanggaran.html diakses pada
tanggal 20 Februari Pukul 16.30 WIB
http://www.fica.org/hr/ambon/idKronologisKerusuhanAmbonSept1999.html diakses pada
tanggal 20 Februari Pukul 16.30 WIB
http://edukasi.kompasiana.com/2012/11/02/pendidikan-multikultural-sebagai-solusi-konflik-505329.html diakses pada
tanggal 20 Februari Pukul 16.30 WIB
http://www.pendidikankarakter.com/wajah-sistem-pendidikan-di-indonesia/ diakses pada
tanggal 20 Februari Pukul 16.30 WIB
Citarasa 'masakan' kamu mulai menguat nih. Ini terlihat dari judul, tesis yang dibangun, contoh, dan konklusi yang terlihat berkelindan. Tapi, esensi dari 'classroom discourse' sendiri nampaknya belum tergali baik di sini
ReplyDelete