Perbincangan literasi memang sedang hangat-hangatnya dikalangan
guru bahasa. Merujuk pada definisi lama literasi itu sendiri adalah kemampuan
membaca dan menulis (7 th Edition
Oxford Advanced Learning
is Dictionary 2005:898). Nah di sekolah-sekolah di Indonesia istilah
literasi jarang sekali digunakan, mereka banyak mengenalnya dengan istilah
baca-tulis.
Di sekolah-sekolah baca tulis hanya dijadikan sebagai kemampuan
dasar saja untuk para siswanya. Tetapi coba lihat faktanya sekarang, kita
sedang digempur oleh kemajuan-kemajuan teknologi yang dari tahun ke tahun
sangat cepat berevolusi dan pertanyaanya apakah baca tulis cukup hanya
dijadikan kemampuan dasar untuk menghadapi zaman edan ini?
Maka dari itu, menurut pakar pendidikan dunia berpaling ke definisi
baru yang menunjukkan sudut pandang baru dalam upaya memaknai literasi dan
pembelajaranya. Kini ada beberapa ungkapan seperti literasi komputer, litersi
matematika, litersi IPA da sebagainya. Itu semua untuk persiapan menghadiri
tantangan zaman yang semakin edan.
Freebody dan Lucke menawarkan model litersi sebagai berikut :
1)
Memahami kode dalam teks (breaking the code of text) yaitu kita
harus memahami dalam artian mengerti akan sebuah tanda yang ada dalam sebuah
teks. Bisa saja didalam kode tersebut ada makna yang disajikan penulis dengan
cara tersirat.
2)
Terlibat dalam memahami teks (participacing in the meaning of tex)
yaitu kita sebagai pembaca adalah persiapan untuk menemukan apa isi teks
tersebut.
3)
Menggunakan teks secara fungsional (using text fungsionally) yaitu
kita sebagai pembaca harus mengfungsikan dengan benar dari meaning yang sudah
dibangun oleh kita.
4)
Melakukan analisis dan mentrasformasi teks secara kritis
(critically analyzing and transforming tex). Setelah kita memahami
simbol-simbol, lalu berpartisipasi dalam membangun meaning, mengfungsikanya,
yang terakhir adalah melakukan analisis dan mentransformasikanya yaitu kita
sebagai pembaca harusnya memberikan timbal balik kepada penulis, dengan adanya
mengkritisi sebuah teks maka si pembaca boleh memberikan masukanya baik berupa
kritikan, pujian, ataupun masukan-masukan yang positif lainya. Itu semua
berguna untuk meningkatkan kualitas si penulis, tetapi bukan hanya itu, denagn
menjadi pembaca aktif maka kita sedang berkontribusi untuk membangun sebuah
kebudayaan baru yang lebih maju lagi. Menurut Freebody and like itulah hakikat
dari berliterasi secara kritis dalam masyarakat Demokratis.
Pada saat ini
literasi terus berevolusi. Sementara itu, rujukan linguistik dan sastra relatif
konstan, literasi tetap berhubungan dengan bacaan, karena bagaimanapun merujuk
pada pengertianya sendiri yaitu kegiatan baca-tulis yang secara otomatis
berhubungan dengan bacaan.
Disini ada
beberapa kajian yang melintasi disiplin. Yang memiliki 7 dimensi yang saling
terkait.
Dimensi
geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional). Di wacana ini
contohnya adalah seorang bupati dan advokat dimana seseorang dikatakan berdimensi
lokal, nasioanal, internasioanal, itu tergantung pada tingkat pendidikanya. Di
mana seorang advokat lebih dituntut untuk memiliki tingkat litersi
internasioanal lebih tinggi dari pada bupati. Kenapa? Karena seorang advokat
lebih banyak memiliki korelasi dari orang-orang yang literasinya tinggi pula.
Dimensi bidang (pendidikan, komunikasi,
administrasi, hiburan, militer, dsb)Balik lagi pondasi dasar yaitu baca tulis
(litersi). Adanya persenjataan di bidang militer tidak terlepas dari yang
namanya baca tulis. Baca-tulis adalah cikal bakal yang membentuk kebudayaan
yang lebih baik lagi dan kalau semua warga negara Indonesia sadr akan
pentingnya berliterasi, maka bisa dipastikan semua aspek politik, sosila,
budaya akan lebih maju. Begitupun dengan aspek pendidikan. Pendidikan ada untuk
mencetak generasi-generasi muda cemerlang yang mau baca-tulis. Tentunya
pendidikan yang berkualitas tinggi atau baik akan menghasilkan suatu literasi
yang berkualitas tinggi pula.
Dimensi fungsi
(memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan
pengetahuan, menegembangkan potensi diri). Dari sub judul di atas dapat diketahui bahwa dengan literasi yang
tinggi, maka pekerjaan pun bisa dengan mudah didapat tanpa harus kita melamar
ke berbagai agen, atau perusahaan laiinya. Karena pada dasarnya ilmu itu akan
terus bermanfaat selagi kita ikhlas untuk mengamalkanya dan dengan ilmu pun
derajat kita akan diangkat. Maka jangan aneh literate sangat mudah mendapatkan
pekerjaan.
Dimensi media
(teks, cetak, visual, digital). Jaman sudah semakin maju dan modern,
perkembangan IT (Information technology) sangat cepat, oleh karena itu.
Perkembangan terjadi di dunia informasi dengan adanya visual, digital, dan
perangkat teknologi canggih lainya, maka dari itu kemampuan membaca dan menulis
kita tidak hanya bisa paham baca tulis saja. Melainkan kita juga harus
menegmbangkan dengan berdekatan lewat alat-alat elektronik, seperti kita
membaca pelajaran lewat media internet dan lain sebagainya.
Dimensi jumlah
(satu, dua,beberapa) orang literat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi.
Tentu saja hal iini benar adanya kenapa orang-orang yang berliterasi itu pandai
berinteraksi? Karena mereka tahu bagaimana membuat orang nyaman untuk
berbincang- bincang dengan kita, disamping itu juga, karena orang-orang yang
literate lebih sering membaca-baca buku dari kegiatan mereka itulah banyak
menyerap informasi.
Dimensi bahasa.
(etnis, lokal, nasioanal, regional, internasional) sebagai contoh mahasiswa yang
bersal dai jawa, dan sedang di jurusan bahasa inggris, maka apabila dia tidak
literate terhadap bahasa jawanya maka literasi bahasa ibunya payah. Oleh karena
itu, ketiganya harus seimbang.
Dalam lima
definisi diatas, ada 10 gagasan kunci bahwa literasi yang menunjukkan perubahan
paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini.
Bahasa inggris
ragam dunia. Berbicara mengenai hal ini maka seluruh duniapun tahu bahwasanya
bahasa inggris adalah bahasa internasional, yang mana penggunaanya adalah untuk
meragam kan bahasa yang dipakai ketika kita akan berkunjung ke suatu negara
tertentu. Karena bahasa inggris digunakan sebagai bahas internasioanl. Maka
secara tidak langsung seolah-olah kita dipaksakan untuk mempelajarinya sejak
masih di SD bahkan hingga sekarang. Sebagai bahasa kedua di negara-negara yang
notabenya bukan menggunakan bahasa inggris di negaranya, maka tidak mudah untuk
mengaplikasikanya di lidah orang yang sudah terlanjur fasih berbicara bahasa
ibu sejak mereka dilahirkan.
Tetapi bukan
hal yang tidak mungkin juga untuk mengaplikasikanya. Walaupun tidak sesempurna
pengucapan bahasa aslinya seperti di Indonesia yang terdiri dari berbgai suku,
budaya, bahkan bahasa yang berbeda-beda disetiap daerahnya.
Apabila bahasa
inggris diaplikasikan, maka bukan tidak mungkin dialek-dialek kedaerahanya
masih terbawa seperti dialek batak, sunda, jawa, minang, dsb. Itu semua adalah
fenomena yang banyak terjadi ketika mempelajari bahasa kedua.
Di Bangkok
(Thailand) negara yang
tidak pernah di jajah, mereka sangat minim sekali yang bisa berbahasa inggris,
mereka hanya bisa berbahasa ibu. Kenapa demikian? Karena peradaban kebudayaan
mereka tidak dipengaruhi oleh budaya luar, akan tetapi mereka sangat kental
sekali dengan budaya mereka dan keseharian mereka pun masih men ggunakan bahasa
Thai sebagai bahasa komunikasi mereka. Jarang sekali ada orang thailand yang
bisa berkomunikasi menggunakan bahasa inggris karena dipengaruhi oleh faktor
kebudayaan yang tidak tersentuh oleh peradaban luar.
Ada tujuh
prinsip pendidikan bahasa yang berbasis literasi. Literasi adalah kecakapan
hidup yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
Kenapa disebut kecakapan hidup? Karena literasi mengajarkan kita baca tulis.
Dan kembali lagi di awal itu semua sebagai modal dasar.
Litersi
mencakup kemampuan resektif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis
maupun secara lisan. Pendidkan tingkat dini mengajarkan atau membiasakan siswa
berekspresi, baik secara lisan maupun secara tulisan. Di tingkat tinggi
mahasiswa mampu memproduksi teks.
Literasi
adalah kegiatan refleksi diri , karena dengan berliterasi maka kita selalu
berintrospeksi atas apa yang sudah kita lakukan.
Litersi adalah
refleksi penguasaan dan apresiasi budaya karena abai terhadap budaya
menyebabkan dekonterstualisasi bahasa. Dari budayanya itulah salah satu prinsip
pendidikan bahasa yang berbasis literasi.
Rapot merah
literasi anak negri. Melihat sub judul ini sangat menarik untuk dibahas,
ternyata setelah dibaca isinya memang benar-benar (rapor) merah bagi indonesia.
Faktor-faktor yang mengejutkan pun terkuak disini, yaitu sejak 1999 indonesia
ikut dalam proyek penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS (progress for
international reading literaty study), PISA (program for international student
Assesment), dan TIMMS (the third international mathematic and screnay study).
Dan terkuak beberapa fakta yaitu :
1)
Indonesia menempati urutan ke-5 dari bawah, dengan skor prestasi membaca di Indonesia adalah 407
(untuk semua siswa).
2)
Indonesia memiliki HDI 0,711dan DNI kapita
810 US $
3)
Di temukan tiga kategori Negara berdasarkan
perbandingan skor membaca LP dan IP. Indonesia adalah masuk ke dalam Negara
uang LP nya lebih rendah dari pada IP nya.
4)
Di Indonesia hanya tercatat 2% siswa yang
prestasi membacanya masuk kategori sangat tinggi 19% masuk kategori tengah, 55%
masuk ke dalam kategori rendah. Artinya 45% siswa Indonesia tidak dapat
mencapai skor 400%
Oleh karena
itu, dapat diambil kesimpulan tingkat literasi siswa Indonesia masih sangat
tertinggal jauh dengan Negara-negara lainya. Bahkan yang masih serumpun seperti
Malaysia, Singapore, dsb.
Dari
perbincangan di atas tampak bahwa orang literat adalah orang yang terdidik dab
berbudaya. Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk
menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara
optimal.
Mengajarkan
literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsioanal mampu
berbahasa, terdidik, cerdas, dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra, memang
di Indonesia banyak yang menghasilkan manusia yang terdidik, namun jarang
sekali yang bisa mengapresiasi karya sastra.
Jadi
literasi di Indonesia memang masih sangat kurang. Oleh karena itu, pendidikan
baca tulis hendaknya diterapkan sejak dini sebagai pondasi untuk menghadapi
tantangan zaman yang semakin cepat berevolusi. Jangan sampai kita menjadi
manusia yang terombang-ambing dalam zaman edan ini.
0 comments:
Post a Comment