Tuesday, February 18, 2014




Perbincangan literasi memang sedang hangat-hangatnya dikalangan guru bahasa. Merujuk pada definisi lama literasi itu sendiri adalah kemampuan membaca dan menulis (7 th Edition Oxford Advanced Learning is Dictionary 2005:898). Nah di sekolah-sekolah di Indonesia istilah literasi jarang sekali digunakan, mereka banyak mengenalnya dengan istilah baca-tulis.
Di sekolah-sekolah baca tulis hanya dijadikan sebagai kemampuan dasar saja untuk para siswanya. Tetapi coba lihat faktanya sekarang, kita sedang digempur oleh kemajuan-kemajuan teknologi yang dari tahun ke tahun sangat cepat berevolusi dan pertanyaanya apakah baca tulis cukup hanya dijadikan kemampuan dasar untuk menghadapi zaman edan ini?
Maka dari itu, menurut pakar pendidikan dunia berpaling ke definisi baru yang menunjukkan sudut pandang baru dalam upaya memaknai literasi dan pembelajaranya. Kini ada beberapa ungkapan seperti literasi komputer, litersi matematika, litersi IPA da sebagainya. Itu semua untuk persiapan menghadiri tantangan zaman yang semakin edan.
Freebody dan Lucke menawarkan model litersi sebagai berikut :
1)      Memahami kode dalam teks (breaking the code of text) yaitu kita harus memahami dalam artian mengerti akan sebuah tanda yang ada dalam sebuah teks. Bisa saja didalam kode tersebut ada makna yang disajikan penulis dengan cara tersirat.
2)      Terlibat dalam memahami teks (participacing in the meaning of tex) yaitu kita sebagai pembaca adalah persiapan untuk menemukan apa isi teks tersebut.
3)      Menggunakan teks secara fungsional (using text fungsionally) yaitu kita sebagai pembaca harus mengfungsikan dengan benar dari meaning yang sudah dibangun oleh kita.
4)      Melakukan analisis dan mentrasformasi teks secara kritis (critically analyzing and transforming tex). Setelah kita memahami simbol-simbol, lalu berpartisipasi dalam membangun meaning, mengfungsikanya, yang terakhir adalah melakukan analisis dan mentransformasikanya yaitu kita sebagai pembaca harusnya memberikan timbal balik kepada penulis, dengan adanya mengkritisi sebuah teks maka si pembaca boleh memberikan masukanya baik berupa kritikan, pujian, ataupun masukan-masukan yang positif lainya. Itu semua berguna untuk meningkatkan kualitas si penulis, tetapi bukan hanya itu, denagn menjadi pembaca aktif maka kita sedang berkontribusi untuk membangun sebuah kebudayaan baru yang lebih maju lagi. Menurut Freebody and like itulah hakikat dari berliterasi secara kritis dalam masyarakat Demokratis.
Pada saat ini literasi terus berevolusi. Sementara itu, rujukan linguistik dan sastra relatif konstan, literasi tetap berhubungan dengan bacaan, karena bagaimanapun merujuk pada pengertianya sendiri yaitu kegiatan baca-tulis yang secara otomatis berhubungan dengan bacaan.
Disini ada beberapa kajian yang melintasi disiplin. Yang memiliki 7 dimensi yang saling terkait.
Dimensi geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional). Di wacana ini contohnya adalah seorang bupati dan advokat dimana seseorang dikatakan berdimensi lokal, nasioanal, internasioanal, itu tergantung pada tingkat pendidikanya. Di mana seorang advokat lebih dituntut untuk memiliki tingkat litersi internasioanal lebih tinggi dari pada bupati. Kenapa? Karena seorang advokat lebih banyak memiliki korelasi dari orang-orang yang literasinya tinggi pula.
 Dimensi bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dsb)Balik lagi pondasi dasar yaitu baca tulis (litersi). Adanya persenjataan di bidang militer tidak terlepas dari yang namanya baca tulis. Baca-tulis adalah cikal bakal yang membentuk kebudayaan yang lebih baik lagi dan kalau semua warga negara Indonesia sadr akan pentingnya berliterasi, maka bisa dipastikan semua aspek politik, sosila, budaya akan lebih maju. Begitupun dengan aspek pendidikan. Pendidikan ada untuk mencetak generasi-generasi muda cemerlang yang mau baca-tulis. Tentunya pendidikan yang berkualitas tinggi atau baik akan menghasilkan suatu literasi yang berkualitas tinggi pula.
Dimensi fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, menegembangkan potensi diri). Dari sub judul di atas  dapat diketahui bahwa dengan literasi yang tinggi, maka pekerjaan pun bisa dengan mudah didapat tanpa harus kita melamar ke berbagai agen, atau perusahaan laiinya. Karena pada dasarnya ilmu itu akan terus bermanfaat selagi kita ikhlas untuk mengamalkanya dan dengan ilmu pun derajat kita akan diangkat. Maka jangan aneh literate sangat mudah mendapatkan pekerjaan.
Dimensi media (teks, cetak, visual, digital). Jaman sudah semakin maju dan modern, perkembangan IT (Information technology) sangat cepat, oleh karena itu. Perkembangan terjadi di dunia informasi dengan adanya visual, digital, dan perangkat teknologi canggih lainya, maka dari itu kemampuan membaca dan menulis kita tidak hanya bisa paham baca tulis saja. Melainkan kita juga harus menegmbangkan dengan berdekatan lewat alat-alat elektronik, seperti kita membaca pelajaran lewat media internet dan lain sebagainya.
Dimensi jumlah (satu, dua,beberapa) orang literat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi. Tentu saja hal iini benar adanya kenapa orang-orang yang berliterasi itu pandai berinteraksi? Karena mereka tahu bagaimana membuat orang nyaman untuk berbincang- bincang dengan kita, disamping itu juga, karena orang-orang yang literate lebih sering membaca-baca buku dari kegiatan mereka itulah banyak menyerap informasi.
Dimensi bahasa. (etnis, lokal, nasioanal, regional, internasional) sebagai contoh mahasiswa yang bersal dai jawa, dan sedang di jurusan bahasa inggris, maka apabila dia tidak literate terhadap bahasa jawanya maka literasi bahasa ibunya payah. Oleh karena itu, ketiganya harus seimbang.
Dalam lima definisi diatas, ada 10 gagasan kunci bahwa literasi yang menunjukkan perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini.
Bahasa inggris ragam dunia. Berbicara mengenai hal ini maka seluruh duniapun tahu bahwasanya bahasa inggris adalah bahasa internasional, yang mana penggunaanya adalah untuk meragam kan bahasa yang dipakai ketika kita akan berkunjung ke suatu negara tertentu. Karena bahasa inggris digunakan sebagai bahas internasioanl. Maka secara tidak langsung seolah-olah kita dipaksakan untuk mempelajarinya sejak masih di SD bahkan hingga sekarang. Sebagai bahasa kedua di negara-negara yang notabenya bukan menggunakan bahasa inggris di negaranya, maka tidak mudah untuk mengaplikasikanya di lidah orang yang sudah terlanjur fasih berbicara bahasa ibu sejak mereka dilahirkan.
Tetapi bukan hal yang tidak mungkin juga untuk mengaplikasikanya. Walaupun tidak sesempurna pengucapan bahasa aslinya seperti di Indonesia yang terdiri dari berbgai suku, budaya, bahkan bahasa yang berbeda-beda disetiap daerahnya.
Apabila bahasa inggris diaplikasikan, maka bukan tidak mungkin dialek-dialek kedaerahanya masih terbawa seperti dialek batak, sunda, jawa, minang, dsb. Itu semua adalah fenomena yang banyak terjadi ketika mempelajari bahasa kedua.
Di Bangkok (Thailand) negara yang tidak pernah di jajah, mereka sangat minim sekali yang bisa berbahasa inggris, mereka hanya bisa berbahasa ibu. Kenapa demikian? Karena peradaban kebudayaan mereka tidak dipengaruhi oleh budaya luar, akan tetapi mereka sangat kental sekali dengan budaya mereka dan keseharian mereka pun masih men ggunakan bahasa Thai sebagai bahasa komunikasi mereka. Jarang sekali ada orang thailand yang bisa berkomunikasi menggunakan bahasa inggris karena dipengaruhi oleh faktor kebudayaan yang tidak tersentuh oleh peradaban luar.
Ada tujuh prinsip pendidikan bahasa yang berbasis literasi. Literasi adalah kecakapan hidup yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat. Kenapa disebut kecakapan hidup? Karena literasi mengajarkan kita baca tulis. Dan kembali lagi di awal itu semua sebagai modal dasar.
Litersi mencakup kemampuan resektif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan. Pendidkan tingkat dini mengajarkan atau membiasakan siswa berekspresi, baik secara lisan maupun secara tulisan. Di tingkat tinggi mahasiswa mampu memproduksi teks.
Literasi adalah kegiatan refleksi diri , karena dengan berliterasi maka kita selalu berintrospeksi atas apa yang sudah kita lakukan.
Litersi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya karena abai terhadap budaya menyebabkan dekonterstualisasi bahasa. Dari budayanya itulah salah satu prinsip pendidikan bahasa yang berbasis literasi.
Rapot merah literasi anak negri. Melihat sub judul ini sangat menarik untuk dibahas, ternyata setelah dibaca isinya memang benar-benar (rapor) merah bagi indonesia. Faktor-faktor yang mengejutkan pun terkuak disini, yaitu sejak 1999 indonesia ikut dalam proyek penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS (progress for international reading literaty study), PISA (program for international student Assesment), dan TIMMS (the third international mathematic and screnay study). Dan terkuak beberapa fakta yaitu :
1)      Indonesia menempati urutan ke-5 dari bawah, dengan skor prestasi membaca di Indonesia adalah 407 (untuk semua siswa).
2)      Indonesia memiliki HDI 0,711dan DNI kapita 810 US $
3)      Di temukan tiga kategori Negara berdasarkan perbandingan skor membaca LP dan IP. Indonesia adalah masuk ke dalam Negara uang LP nya lebih rendah dari pada IP nya.
4)      Di Indonesia hanya tercatat 2% siswa yang prestasi membacanya masuk kategori sangat tinggi 19% masuk kategori tengah, 55% masuk ke dalam kategori rendah. Artinya 45% siswa Indonesia tidak dapat mencapai skor 400%
Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan tingkat literasi siswa Indonesia masih sangat tertinggal jauh dengan Negara-negara lainya. Bahkan yang masih serumpun seperti Malaysia, Singapore, dsb.
Dari perbincangan di atas tampak bahwa orang literat adalah orang yang terdidik dab berbudaya. Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.
Mengajarkan literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsioanal mampu berbahasa, terdidik, cerdas, dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra, memang di Indonesia banyak yang menghasilkan manusia yang terdidik, namun jarang sekali yang bisa mengapresiasi karya sastra.
Jadi literasi di Indonesia memang masih sangat kurang. Oleh karena itu, pendidikan baca tulis hendaknya diterapkan sejak dini sebagai pondasi untuk menghadapi tantangan zaman yang semakin cepat berevolusi. Jangan sampai kita menjadi manusia yang terombang-ambing dalam zaman edan ini.















0 comments:

Post a Comment