Pada chapter pertama ini, pembahasan
diambil dari buku “Pokoknya Rekayasa Literasi” pada bab 6 yang berjudul
“Rekayasa Literasi”.
Terdapat
lima pendekatan terdapat pengajaran bahasa asing, yaitu sebagai berikut:
1. Pendekatan structural dengan grammar
translation methods, yang meletakkan focus pembelajarannya pada penggunaan bahasa
tulis dan penguasaan tata bahasa. Pendekatan ini tidak menjamin siswa mampu menganalisis
persoalan social seperti pejabat yang munafik, bahasa yang bias gender, dan bahasa
iklan yang terkadang sesat dan menyesatkan.
2. Pendekatan audiolingual atau dengar-ucap
(1940-1960) yang meletakkan focusnya pada latihan dialog-dialog pendek untuk dikuasai
siswa. Pendekatan ini kurang member ruang terhadap variasi ujaran terhadap berbagai
fungsi. Selain itu, penguasaan bahasa tulis menjadi terabaikan.
3. Pendekatan kognitif transformative
sebagai implikasi dari teori-teori syntactic Structure (Chomsky, 1957). Materi
yang diajarkan kepada siswa berorientasi kepada sintaktis. Sehingga secara sosiolinguistik
tidak fungsional.
4. Pendekatan communicative competence yang
tokoh-tokohnya antara lain Hymes (1976) dan Widdowson (1978). Pendekatan ini menjadi
trend pengajaran bahasa antara 1980-1990). Pendekatan komunikatif juga dianggap
kurang eksflisit dalam upaya menjelaskan fungsi dan bentuk sehingga lahir tata bahasa
fungsional yang dikembangkan oleh Halliday (1985); Martin (2000), dan
lain-lain.
5. Pendekatan literasi sebagai implikasi dari
studi wacana. Pendekatan ini lebih ke pengenalan genre wacana tulisan maupun lisan
untuk dikuasai siswa. Terdapat 4 tahapan pembelajaran, yaitu membangun pengetahuan,
menyusun model-model text, menyusun text bersama-sama dan menciptakan text
sendiri.
Definisi
(lama) literasi adalah kemampuan membaca dan menulis (7th Edition
Oxpord Advanced Learner’s Dictionary, 2005:898). Pada masa silam membaca dan menulis
dianggap cukup sebagai pendidikan dasar untuk menghadapi tantangan zamannya. Kini,
pendidikan dasar tidak cukup mengandalkan kemampuan membaca dan menulis saja.
Para pakar dunia berpaling ke definisi baru yang menunjukkan paradigm baru dalam
upaya memaknai literasi dan pembelajarannya.
Freebody
dan Luke menawarkan model literasi sebagai berikut:
1. Memahami kode dalam text.
2. Terlibat dalam memaknai text.
3. Menggunakan text secara fungsional.
4. Melakukan analisis dan mentransformasi
text secara kritis.
Keempat
peran literasi tersebut dapat diringkas menjadi 5 verba: memahami, melibati,
menggunakan, menganalisis dan mentransformasi text. Itulah hakikat berliterasi secara
kritis dalam masyarakat demokratis.
Makna dan rujukan literasi terus berevolusi
dan kini maknanya semakin luas dan kompleks. Literasi tetap berurusan dengan penggunaan
bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki 7 dimensi yang
saling terkait.
1. Dimensi geografis (local, nasional,
regional dan internasional). Bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring
social dan vokasionalnya,
2. Dimensi bidang (pendidikan, komunikasi,
administrasi, hiburan, militer, dsb). pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan
literasi yang tinggi pula.
3. Dimensi keterampilan (membaca, menulis,
menghitung dan berbicara). Dalam tradisi Barat, ketiga keterampilan ini lazim disebut
3R, yaitu reading, writing, dan arithmetic.
4. Dimensi fungsi (memecahkan persoalan,
mendapatkan pekerjaan mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembagkan serta
memproduksi ilmu pengetahuan (kepakaran).
5. Dimensi media (text, cetak, visual, digital) penguasaan IT sangat penting,
sehingga kini kehebatan universitas antara lain diukur lewat webometrics, yakni
sejauh mana universitas itu diperbincangkan dalam dunia maya.
6. Dimensi jumlah (satu, dua, beberapa).
Jumlah merujuk pada banyak hal, misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur,
bidang ilmu, media, dan sebagainya.
7. Dimensi bahasa (etnis, local, nasional,
regional, internasional). Ada literasi yang singular, ada literasi yang plural.
Hal ini beranalogi ke dimensi monolingual, bilingual, dan multilingual. Bila kita
orang Sunda dan mahasiswa jurusan bahasinggris, kita adalah orang multilingual
dalam bahasa Sunda, Indonesia, dan Inggris. Artinya kita
multiliterat.
Terdapat
10 gagasan kunci ihwal literasi yang menunjukkan perubahan paradigma literasi
sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini.
1. Ketertiban lembaga-lembaga social
RT, RW, kelurahan sampai DPR dan
presiden, sebagai mesin birokrasi untuk menjamin ketertiban social. Mereka
menjalankan perannya dengan fasilitas bahasa, sehingga muncul bahasa politik
yang menunjukkan kekuasaan birokrat terhadap rakyat.
2. Tingkat kefasihan relative
Yang perlu dikuasai adalah
kefasihan (literasi) minimal atau literasi yang diperlukan untuk memainkan
peran fungsional dalam setiap interaksi.
3. Pengembangan potensi diri dan pengetahuan
Pada tahap tinggi, literasi
membekali orang (baca:mahasiswa) kemampuan memproduksi ilmu pengetahuan.
4. Standar dunia
Dalam persaingan global sekarang
ini rujuk mutu dikembangkan ke tingkat internasional, sehingga tingkat literasi
suatu bangsa mudah dibandingkan dengan bangsa lain.
5. Warga masyarakat demokratis
Perdidikan literasi harus mendukung
terciptanya demokratisasi bangsa.
6. Keragaman local
Manusia literat sadar mengenai
keragaman bahasa dan budaya local atau cerlang budaya (Ayat Rohaedi: 1986).
Dengan demikian, semakin berwawasan global, semakin sensitive dan antipatif dia
terhadap keragaman local.
7. Hubungan global
Literasi tingkat ini bergantung
pada dua hal, yaitu penguasaan tekhnologi informasi dan penguasaan konsep atau
pengetahuan yang tinggi.
8. Kewarganegaraan yang efektif
Literasi membekali manusia
kemampuan menjadi warga Negara yang efektif, yakni warga Negara yang mampu
mengubah diri, menggali potensi diri, serta berkonstribusi bagi keluarga,
lingkungan, dan negaranya.
9. Bahasa Inggris ragam dunia
Bahasa Inggris kini dipelajari oleh
bangsa diseluruh dunia. Muncul berbagai ragam bahasa Inggris. Pemahaman dan antisipasi
atas ragam-ragam bahasa Inggris merupakan bagian dari literasi global.
10. Kemampuan berpikir kritis
Literasi bukan sekedar mampu membaca dan
menulis, melainkan juga menggunakan bahasa itu secara fasih, efektif, dan
kritis. Dengan demikian, pengajar bahasa harus mengajarkan keterampilan
berpikir krisis.
Terdapat
7 prinsip pendidikan bahasa berbasis literasi, yaitu:
1. Literasi adalah kecakapan hidup yang
memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
2. Literasi mencakup kemampuan reseptif dan
produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
3. Literasi adalah kemampuan memecahkan
masalah.
4. Literasi adalah refleksi penguasaan dan
apresiasi budaya.
5. Literasi adalah kegiatan refleksi diri.
6. Literasi adalah hasil kolaborasi.
7. Literasi adalah kegiatan melakukan
interpretasi.
Tingkat
literasi siswa Indonesia masih jauh tertinggal oleh siswa di Negara-negara
lain. Sehingga, pendidikan nasional kita belum kompetitif. Manusia literat
merupakan SDM yang memiliki potensi untuk membangun bangsa. Pendidikan literasi
berfungsi untuk meningkatkan HID dan menjamin kehidupan social ekonomi yang
lebih baik (Wagner, 1999 dan Barton, 2001 dalam Setiadi, 2010). Dengan kata
lain, pendidikan literasi pasti mengubah pendapat dan pendapatan.
Sampai
dengan 2003, Indonesia setiap tahun memproduksi buku 6.000 buku (termasuk
terjemahan), Malaysia 8.500, Korea 45.000, Jepang 60.000, Amerika 90.000, dan
India 70.000 judul. Sampai dengan 2006 India menempati posisi ketiga terbesar
setelah Amerika dan Inggris. Tingkat produksi buku di Indonesia terlihat paling
terendah dibanding Negara yang lainnya. Adapun cara untuk menyamai dengan
India, yaitu dengan cara setiap dosen menjalankan kewajibannya menulis sebuah
buku dalam setiap 3 tahun, setiap tahun akan terbit sekitar 77.000 buah. Belum
termasuk buku-buku yang ditulis oleh kalangan non dosen.
Penguasaan
tentang literasi dan pedagogi pengajaran literasi mesti dikuasai oleh guru.
Namun, tidak boleh dilupakan konteks social pembelajaran siswa, seperti suasana
rumah, sekolah, dan masyarakat secara keseluruhan. Membangun literasi bangsa
harus diawali dengan membangun guru yang professional, dan guru professional
hanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru yang professional juga.
Orang
yang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya. Rekayasa literasi adalah
upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan
berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa adalah
pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan sekolah, sebagai lembaga
pendidikan formal, adalah situs pertama untuk membangun literasi. Dimensi
literasi membaca dan menulis yaitu, linguistic (text), kognitif (mind),
perkembangan (growth) dan sosiokultural (group).
·
Dimension
pengetahuan kebahasaan (focus pada text). Membaca dan menulis memerlukan
pengetahuan system bahasa untuk membangun makna (morfologi, sintaksis,
semantic, dan lain-lain), persamaan dan perbedaan bahasa tulis dan lisan dan
ragam bahasa.
·
Dimensi
pengetahuan kognitif. Aktif, selektif, konstruktif saat membaca dan menulis,
memanfaatkan pengetahuan yang ada untuk membangun makna, menggunakan proses
mental dan strategi untuk menghasilkan makna.
·
Pengetahuan
perkembangan (focus pada pertumbuhan). Pembelajaran yang aktif yang konstruktif
dalam perkembanagan literasinya, pemakai berbagai strategi dan proses
merekonstruksi berbagai dimensi literasi, pemanfaatan pengetahuan.
·
Pengetahuan
sosiokultural ( focus pada kelompok). Tujuan dan pola literasi yang beragam,
aturan dan norma dalam melakukan transaksi dengan bahasa tulis, fitur-fitur
linguistik dari berbagai text, kemampuan melakukan kritik text dari berbagai
kelompok social dan lembaga.
Mengajarkan
literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu
berbaca-tulis, terdidik, cerdas, dan menunjukan apresiasi terhadap sastra.
Terdapat perubahan paradigma
pengajaran literasi, yang mana dapat dilihat sebagai berikut:
Ø Tadinya
·
Bahasa
adalah system struktur yang mandiri
·
Focus
pengajaran pada kalimat-kalimat yang terisolasi
·
Berorientasi
ke hasil
·
Focus
pada text sebagai display kosakata dan struktur tata bahasa
·
Mengajarkan
norma-norma preskriptif dalam berbahasa.
·
Focus
pada penguasaan keterampilan secara terpisah
·
Menekankan
makna denotative dalam konteksnya
Ø Kini
·
Bahasa
adalah fenomena social
·
Focus
pada serpihan-serpihan kalimat yang saling terhubung
·
Berorientasi
ke proses
·
Focus
pada text sebagai realisasi tindakan komunikasi
·
Perhatian
pada variasi register dan gaya ujaran
·
Focus
pada ekspresi dini
·
Menekankan
nilai komunikasi
Jadi,
dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang berliterasi merupakan orang yang
terdidik dan berbudaya. Untuk membangun literasi bangsa harus diawali dengan
membangun guru yang professional dan lembaga pendidikan guru yang professional
juga. Sekolah dijadikan situs pertama untuk membangun literasi. Tingkat
literasi siswa di Indonesia masih tertinggal jauh oleh siswa dari Negara lain.
Oleh karena itu, kita harus meningkatkan literasi dibangsa kita dengan
meningkatkan budaya menulis dan membaca. Pengajaran bahasa yang baik akan
menghasilkan orang yang literat yang mana mampu menggunakan dimensi linguistic,
kognitif, perkembangan dan sosiokultural secara serempak, aktif dan
terintegrasi.
0 comments:
Post a Comment