Writing “Mode On”
Lagi lagi literasi dan memang harus
literasi. Sedikit membuka class review kali ini dengan menyadarkan bangsa kita
agar meningkatkan praktek literasi. Muak dengan berbagai komenan dan cacian
mereka yang menyalahkan bangsa sendiri ketimbang bahu membahu membangun bangsa
dengan menumbuhkan benih-benih praktek literasi saat ini juga. Ya, salah
satunya adalah menulis. Saya tidak akan berkoar-koar menyuluhkan untuk membaca
atau menulis. Saya akan mencoba lewat dunia saya ini, membantu MENULIS,
menanamkan benih kecil praktek literasi.
Sebelum kita menyantap main
course, kita santap appetizernya dulu. Mengulas sedikit highlight
besar materi minggu lalu diantaranya; pertama, kiblat writing 4 adalah academic writing yang
otomatis akan belajar menulis ilmiah (scientific writing). Kedua,
critical thinking. It means that you will take a text for granted. Ketika
critical reader dihadapkan dengan sebuah teks atau informasi, ia tidak akan menelan
mentah-mentah semua teks itu. Perlu diingat semua teks dibuat untuk suatu
tujuan. Tidak jarang apabila sebuah teks diragukan kebenarannya karena salahnya
informasi yang dibawanya. Critical thinking membuat pembaca berhat-hati dalam mengambil
keputusan.
Ketiga, how students of language become students of writing. Seseorang
belajar bahasa, otomatis ia akan belajar semua aspek kebahasaan termasuk
writing, namun kenyataannya tidak semua yang pandai berbahasa juga pandai dalam
menulis. Keberadaan writing sebagai salah salah bentuk literasi tertinggi –lingkup
baca tulis- menjadikannya tolak ukur seseorang menguasai bahasa. Oleh sebab itu
jelas apabila menulis itu tidak boleh sembarangan. Diperlukan pembelajaran yang
khusus dan latihan yang intens untuk
menguasainnya.
Lezatnya appetizer telah kita
rasakan, selanjutnya giliran main course kita hari ini. Main course
kita masih seputar writing namun dengan cita rasa yang berbeda. Menulis sebagai
salah satu bentuk meditasi dimana ketika seseorang menulis, bukan hanya tangan
atau jari-jari yang bekerja tapi semua anggota tubuh ikut berpartisipasi. Ketika menulis otak berfikir menemukan ide dan
merangkainya menjadi kata, kemudian mulut turut merespon dengan melafalkannya.
Hatipun berperan dalam mengkorelasikan kata dengan makna, setelah itu giliran
tangan yang mengukir hasil proses tadi menjadi sebuah karya indah bernama
tulisan. Jadi, pantas apabila menulis dikatakan literasi tingkat tertinggi.
Selain writing itu tidak mudah,
writing juga kompleks karena ia terikat dengan hal lainnya, antara lain:
1.
Writing
is the way of knowing something
2.
Writing
is the way of representing something
3.
Writing
is the way of reproduce something.
Writing is the way of knowing
something. Ketika hendak menulis, penulis biasanya akan mencari beberapa
data seperti materi yang berkaitan dengan tulisannya dan pendekatan apa saja
yang akan digunakan. Pencarian itu dilakukan dengan membaca, lewat itulah
seorang penulis memperoleh informasi sehingga membuat mereka mengetahui banyak
hal. Seperti contoh, me as an author and Mr.Lala as a reader. Jadi sebelum saya
menulis saya harus mengetahui terlebih dahulu buku apa saja yang beliau sudah
baca, pengetahuan apa saja yang sudah beliau miliki, bagaimana cara berfikir
beliau. Dengan begitu saya bisa memaksimalkan tulisan saya sesuai selera beliau.
Selanjutnya writing is the way of representing
something. Kegiatan menulis berarti pasti menghadirkan atau menyuguhkan sesuatu.
Dengan menulis, penulis menyampaikan informasi yang didapatnya dari proses
membaca ataupun pengalaman. Sebuah tulisan pasti mewakili keadaan penulisnya,
hal ini dapat dilihat dari segi isinya, penggunaan kosakata dan bahasa serta
sudut pandang (voice) sang penulis.
Kemudian, writing is the way of reproduce
something. Jangan kira kegiatan menulis hanya sebatas menuangkan ide, lebih
dari itu seseorang menghasilkan banyak hal dengan menulis. Dari lingkup
terkecil seperti memproduksi kata dan seni hingga lingkup paling luasnya
seperti memproduksi pengetahuan, pengalaman bahkan penghasilan. Mengapa? because you can make anything by writing
(C.S Lewis).
Jadi dapat disimpulkan bahwa
Information (input) à Knowledge (proses) à Experience (output).
Menulis berarti mengimput informasi
terutama bagi penulis itu sendiri, kemudian informasi itu diproses bersama
pengetahuan lainnya dan menghasilkan output berupa experience yang tidak
mungkin didapat tanpa mengalaminya sendiri. Pada kegiatan ini, yang ditekankan
adalah experiencenya karena experience ini adalah saat dimana seseorang
menikmati sebuah informasi. Apabila kualitas rekamannya (proses) baik maka kualitas ingatannya pun akan baik.
Sebagai mahasiswa yang belajar
bahasa asing, secara jelas Mr. Lala said that when we
write in more than one language, it means that we are
exclusive because multilingual writer is exclusive. In his own perspective we are A
MULTILINGUAL WRITER, who writes effectively in L1 and L2; who
serves as a critical reader both in L1 and L2; who transforms ourself from a
student of language into a student of writing; who can make informed choices in
life; who can change the world. So, it is depend on how we use our coil of energy
– L1 and L2 - maximally.
Kembali ke pokok pembahasan, dalam
bukunya Hyland berkata bahwa menulis merupakan suatu praktek yang
didasarkan pada keinginan pembaca. Kemungkinan pembaca akan dengan mudah menafsirkan
maksud penulis, ketika penulis dapat mengantisipasi apa yang mungkin pembaca
harapkan. Biasanya pembaca mengharapkan bahwa tulisan tersebut tidak berbeda
jauh dengan apa yang telah dibaca sebelumnya. Oleh karena itu penting bagi
penulis mengetahui backround pembaca guna memaksimalkan keinginannya.
Kaitannya dengan writing, seorang
penulis tidak bisa dikatakan penulis ketika tidak ada pembaca. Oleh karenanya Hoey
mendeskripsikan keduanya seperti hubungan seni. Layaknya sebuah tarian, writer
dan reader berpasangan saling melengkapi satu sama lain, menyamakan langkah
agar seirama dan bekerja sama membangun makna. Jadi writer dan reader membangun
koneksi lewat pemaknaan text (meaning formation), karena sejatinya makna tidak
terjadi atas teks melainkan berdasar sudut pandang seorang reader.
Memang sulit untuk menjadi seorang
writer, namun akan jauh lebih sulit menjadi seorang reader. Mengapa demikian? Mr.Lala
berkata bahwa writer itu kerjanya hanya menulis, setelah itu tidak ada lagi
yang iakerjakan. Nasib tulisan writer pun bergantung pada reader karena reader
yang menentukan apa yang ia akan baca. Namun tidak dengan Gay Cook, ia
mengatakan bahwa “ahli bahasa mengkarakteristikan situasi bahasa dalam konteks.
Kamu sebagai pembaca tidak melihat aku sebagai penulis, apa yang aku lakukan
ketika menulis, kamu sebagai pembaca hanya bisa menikmati hasil dari
informasi-informasi yang saya tulis. Kamu sebagai pembaca Hanya tahu apa yang
diinformasikan apa yang dikoneksikan, sebagai individu yang mempresentasikan
sendiri hasil tulisan dari penulis.” Jadi menurut beliau apa yang dilakukan oleh
penulis, itu pembaca tidak akan tahu.
Menengahi keduanya bahwa baik posisi
writter ataupun reader sama-sama pentingnya, karena reader juga berperan
penting, ia yang menghidupkan ruh-ruh tulisan serta mengawinkan makna yang
dimaksud penulis dan makna yang ia bentuk sendiri. Oleh karena itu negosiasi
makna akan terus terjadi di posisi reader. Reader berhak sepenuhnya atas teks
yang ia baca, jika readernya kritis teks akan bertahan lama karena informasi
itu terus berlanjut, tapi apabila readernya biasa-biasa saja maka teks tersebut
mati sampai diasana karena konteks sebagai benda yang mati. Maka dari itu Barthes
mengatakan bahwa kehadiran pembaca menandakan kematian penulis.
Dalam menulis kita dihadapkan dengan
teks, context, reader, writer dan meaning. Di sini akan dibahas kembali mengenai hubungan antara text,
context, reader, writer dan meaning. Berdasarkan buku “The Cultural Analysis of
Text” oleh Mikko Lehtonen menjelaskan bahwa dimensi teks itu
dibagi dua.
1.
Text as pysical being
Dimana
teks merupakan bentuk fisik sebuah informasi atau artefak komunikasi. Teks yang
dimaksud tidak hanya hasil tulisan tangan semata tetapi juga yang diproduksi
oleh teknologi.
2.
Text
as semiotic being
Dimana
teks melambangkan suatu simbol dan didalamnya memiliki karakteristik materiality,
formal relations and meaningfulness.
Text dan reader menghasilkan satu
sama lain dalam arti masing-masing tidak bisa berdiri sendiri. Keduanya
dihubungkan dengan kegiatan membaca (reading) dan bersama-sama membentuk makna
serta membawa pengetahuan pembaca ke dalam teks. Dengan kata lain teks
disuguhkan dan dibawa oleh writer sedangkan conteks ada pada reader
dan diantara keduanya terdapat meaning, itulah koneksinya.
Meaning antara reader dan writer
tidak selalu berjalan searah, tidak
jarang meaning gagal terbangun dan terjadi missunderstanding. Mengapa demikian?
Experience. Keduanya kadang kala mempunyai experience yang berbeda atau tidak
sesuai satu sama lain. Bila disuruh mengkritisi keduanya harus mengetahui
background masing-masing.
Sedikit berbicara dari kubu yang
berbeda dengan bapak Chaedar, disana ada bapak Hawe Setiawan yang mengungkapkan
argumennya melalui artikel berjudul Belajar Membaca. Menurutnya masyarakat
Indonesia sudah sangat kritis karena mampu ambil bagian dalam kemajuan informasi
komunikasi secara langsung lewat internet. Hawe berargumen bahwa menulis kritis
tidak hanya terjadi saat kita menulis formal, di dunia mayapun kita bisa
menulis kritis seperti menulis status atau berkomentar, berawal dari situ
sedikit demi sedikit akan terbiasa untuk menulis. Hal ini bertolak belakang
dengan argumen bapak Chaedar yang notabene mengatakan bahwa masyarakat
Indonesia tidak kritis dan juga statis. Dalam bukunya yang berjudul Pokoknya
RekayasaLiterasi ia hanya menyoroti menulis dalam konteks formal saja.
Ya, akhirnya lengkap sudah jamuan
kita hari ini, menu lengkap tersedia dari appetizer, main course hingga desert.
Jadi yang bisa saya simpulkan adalah writing sebagai praktek literasi sejatinya
memang harus dibiasakan. Pendidikan literasi (baca-tulis) bangsa kita masih
terpuruk, oleh karenanya kunci kesuksesan negara lain tidak ada salahnya kita
contoh. Banyak negara yang besar karena praktek literasinya, katakanlah Korea
Selatan, Jepang, Prancis, Australia, dan lainnya.
Sebagai contoh Korea Selatan.
Mengapa saya mengambil korea selatan sebagai contoh? Karena Sejatinya, Korea Selatan dan Indonesia sama-sama
terbebas dari penjajahan Jepang pada tahun 1945. Ya, hanya selisih beberapa
hari saja. Tepatnya, dua hari setelah Korea Selatan merdeka, Indonesia pun
memproklamirkan diri sebagai republik. Kondisi perekonomian yang morat marit,
manajemen pemerintahan yang rawan konflik, kualitas sumberdaya manusia yang
rendah hingga munculnya konflik kepentingan mewarnai perjalanan kedua republic
pasca kemerdekaan.
Namun, negeri
Korea yang minim sumberdaya alam mampu meninggalkan jauh Indonesia. Setidaknya,
kemajuan yang ditunjukkan Korea Selatan pada dunia selama ini dapat diambil
pelajaran. Diantaranya; pertama karena Bangsa Korea Selatan berjuang mati-matian untuk memajukan bangsanya agar
dapat menyalip negara yang
pernah menjajahnya yakni Jepang atau Negara-negara yang pernah melecehkannya
seperti Amerika. Kedua karena besarnya peran pemerintah dalam pendidikan, pengembangan
sumber daya serta investasi yang besar dalam industri teknologi. Ketiga
karena rasa nasionalisme masyarakat Korea
Selatan yang begitu tinggi ditunjukkan dengan mencintai dan menggunakan produk
(lokal) bangsa sendiri. Keempat karena keberpihakan pemerintah pada dunia usaha/industri dalam mengembangkan
industri baik untuk pasar dalam maupun luar negeri. Sehingga kedua pihak ini
bersinergi menjadikan produk-produknya mampu menguasai pasar dunia, dan yang
terpenting adalah minat baca-tulis mereka tidak diragukan lagi, sebagian
besar dari mereka masih menjunjung erat bahasa dan budaya mereka.
Dari contoh diatas bangsa kita patut
berkaca, bangsa yang besar adalah bangsa yang berliterasi. Inilah saatnya semua elemen bangsa ikut
berkontribusi. Pejabat publik harus punya jiwa melayani, bukan justru korupsi.
Rakyat pun demikian, harus nyata beraksi bukan hanya minta dilayani. Begitu
pula mahasiswa, kita bergerak lewat writing. Sama seperti reader dan writer
yang bekerja sama membentuk meaning, rakyat dan pemerintahpun harus bekerjasama
meliterasikan bangsa ini. Khususnya bagi saya dan kalian semua generasi muda
Indonesia let’s say WRITING “Mode On”.
0 comments:
Post a Comment