Tuesday, February 18, 2014

Writing “Mode On”
Lagi lagi literasi dan memang harus literasi. Sedikit membuka class review kali ini dengan menyadarkan bangsa kita agar meningkatkan praktek literasi. Muak dengan berbagai komenan dan cacian mereka yang menyalahkan bangsa sendiri ketimbang bahu membahu membangun bangsa dengan menumbuhkan benih-benih praktek literasi saat ini juga. Ya, salah satunya adalah menulis. Saya tidak akan berkoar-koar menyuluhkan untuk membaca atau menulis. Saya akan mencoba lewat dunia saya ini, membantu MENULIS, menanamkan benih kecil praktek literasi.
Sebelum kita menyantap main course, kita santap appetizernya dulu. Mengulas sedikit highlight besar materi minggu lalu diantaranya;  pertama,  kiblat writing 4 adalah academic writing yang otomatis akan belajar menulis ilmiah (scientific writing). Kedua, critical thinking. It means that you will take a text for granted. Ketika critical reader dihadapkan dengan sebuah teks atau informasi, ia tidak akan menelan mentah-mentah semua teks itu. Perlu diingat semua teks dibuat untuk suatu tujuan. Tidak jarang apabila sebuah teks diragukan kebenarannya karena salahnya informasi yang dibawanya. Critical thinking membuat pembaca berhat-hati dalam mengambil keputusan.
Ketiga, how students of language become students of writing. Seseorang belajar bahasa, otomatis ia akan belajar semua aspek kebahasaan termasuk writing, namun kenyataannya tidak semua yang pandai berbahasa juga pandai dalam menulis. Keberadaan writing sebagai salah salah bentuk literasi tertinggi –lingkup baca tulis- menjadikannya tolak ukur seseorang menguasai bahasa. Oleh sebab itu jelas apabila menulis itu tidak boleh sembarangan. Diperlukan pembelajaran yang khusus dan latihan yang intens untuk  menguasainnya.
Lezatnya appetizer telah kita rasakan, selanjutnya giliran main course kita hari ini. Main course kita masih seputar writing namun dengan cita rasa yang berbeda. Menulis sebagai salah satu bentuk meditasi dimana ketika seseorang menulis, bukan hanya tangan atau jari-jari yang bekerja tapi semua anggota tubuh ikut berpartisipasi.  Ketika menulis otak berfikir menemukan ide dan merangkainya menjadi kata, kemudian mulut turut merespon dengan melafalkannya. Hatipun berperan dalam mengkorelasikan kata dengan makna, setelah itu giliran tangan yang mengukir hasil proses tadi menjadi sebuah karya indah bernama tulisan. Jadi, pantas apabila menulis dikatakan literasi tingkat tertinggi.
Selain writing itu tidak mudah, writing juga kompleks karena ia terikat dengan hal lainnya, antara lain:
1.      Writing is the way of knowing something
2.      Writing is the way of representing something
3.      Writing is the way of reproduce something.
Writing is the way of knowing something. Ketika hendak menulis, penulis biasanya akan mencari beberapa data seperti materi yang berkaitan dengan tulisannya dan pendekatan apa saja yang akan digunakan. Pencarian itu dilakukan dengan membaca, lewat itulah seorang penulis memperoleh informasi sehingga membuat mereka mengetahui banyak hal. Seperti contoh, me as an author and Mr.Lala as a reader. Jadi sebelum saya menulis saya harus mengetahui terlebih dahulu buku apa saja yang beliau sudah baca, pengetahuan apa saja yang sudah beliau miliki, bagaimana cara berfikir beliau. Dengan begitu saya bisa memaksimalkan tulisan saya sesuai selera beliau.
Selanjutnya writing is the way of representing something. Kegiatan menulis berarti pasti menghadirkan atau menyuguhkan sesuatu. Dengan menulis, penulis menyampaikan informasi yang didapatnya dari proses membaca ataupun pengalaman. Sebuah tulisan pasti mewakili keadaan penulisnya, hal ini dapat dilihat dari segi isinya, penggunaan kosakata dan bahasa serta sudut pandang (voice) sang penulis.
Kemudian, writing is the way of reproduce something. Jangan kira kegiatan menulis hanya sebatas menuangkan ide, lebih dari itu seseorang menghasilkan banyak hal dengan menulis. Dari lingkup terkecil seperti memproduksi kata dan seni hingga lingkup paling luasnya seperti memproduksi pengetahuan, pengalaman bahkan penghasilan. Mengapa? because you can make anything by writing (C.S Lewis).
Jadi dapat disimpulkan bahwa
Information (input) à Knowledge (proses)  à Experience (output).
Menulis berarti mengimput informasi terutama bagi penulis itu sendiri, kemudian informasi itu diproses bersama pengetahuan lainnya dan menghasilkan output berupa experience yang tidak mungkin didapat tanpa mengalaminya sendiri. Pada kegiatan ini, yang ditekankan adalah experiencenya karena experience ini adalah saat dimana seseorang menikmati sebuah informasi. Apabila kualitas rekamannya (proses) baik  maka kualitas ingatannya pun akan baik.
Sebagai mahasiswa yang belajar bahasa asing, secara jelas Mr. Lala said that when we write in more than one language, it means that we are exclusive because multilingual writer is exclusive. In his own perspective we are A MULTILINGUAL WRITER, who writes effectively in L1 and L2; who serves as a critical reader both in L1 and L2; who transforms ourself from a student of language into a student of writing; who can make informed choices in life; who can change the world. So, it is depend on how we use our coil of energy – L1 and L2 - maximally.
Kembali ke pokok pembahasan, dalam bukunya Hyland berkata bahwa menulis merupakan suatu praktek yang didasarkan pada keinginan pembaca. Kemungkinan pembaca akan dengan mudah menafsirkan maksud penulis, ketika penulis dapat mengantisipasi apa yang mungkin pembaca harapkan. Biasanya pembaca mengharapkan bahwa tulisan tersebut tidak berbeda jauh dengan apa yang telah dibaca sebelumnya. Oleh karena itu penting bagi penulis mengetahui backround pembaca guna memaksimalkan keinginannya.
Kaitannya dengan writing, seorang penulis tidak bisa dikatakan penulis ketika tidak ada pembaca. Oleh karenanya Hoey mendeskripsikan keduanya seperti hubungan seni. Layaknya sebuah tarian, writer dan reader berpasangan saling melengkapi satu sama lain, menyamakan langkah agar seirama dan bekerja sama membangun makna. Jadi writer dan reader membangun koneksi lewat pemaknaan text (meaning formation), karena sejatinya makna tidak terjadi atas teks melainkan berdasar sudut pandang seorang reader.
Memang sulit untuk menjadi seorang writer, namun akan jauh lebih sulit menjadi seorang reader. Mengapa demikian? Mr.Lala berkata bahwa writer itu kerjanya hanya menulis, setelah itu tidak ada lagi yang iakerjakan. Nasib tulisan writer pun bergantung pada reader karena reader yang menentukan apa yang ia akan baca. Namun tidak dengan Gay Cook, ia mengatakan bahwa “ahli bahasa mengkarakteristikan situasi bahasa dalam konteks. Kamu sebagai pembaca tidak melihat aku sebagai penulis, apa yang aku lakukan ketika menulis, kamu sebagai pembaca hanya bisa menikmati hasil dari informasi-informasi yang saya tulis. Kamu sebagai pembaca Hanya tahu apa yang diinformasikan apa yang dikoneksikan, sebagai individu yang mempresentasikan sendiri hasil tulisan dari penulis.” Jadi menurut beliau apa yang dilakukan oleh penulis, itu pembaca tidak akan tahu.
Menengahi keduanya bahwa baik posisi writter ataupun reader sama-sama pentingnya, karena reader juga berperan penting, ia yang menghidupkan ruh-ruh tulisan serta mengawinkan makna yang dimaksud penulis dan makna yang ia bentuk sendiri. Oleh karena itu negosiasi makna akan terus terjadi di posisi reader. Reader berhak sepenuhnya atas teks yang ia baca, jika readernya kritis teks akan bertahan lama karena informasi itu terus berlanjut, tapi apabila readernya biasa-biasa saja maka teks tersebut mati sampai diasana karena konteks sebagai benda yang mati. Maka dari itu Barthes mengatakan bahwa kehadiran pembaca menandakan kematian penulis.
Dalam menulis kita dihadapkan dengan teks, context, reader, writer dan meaning. Di sini akan dibahas kembali mengenai hubungan antara text, context, reader, writer dan meaning. Berdasarkan buku “The Cultural Analysis of Text” oleh Mikko Lehtonen menjelaskan bahwa dimensi teks itu dibagi dua.
1.       Text as pysical being
Dimana teks merupakan bentuk fisik sebuah informasi atau artefak komunikasi. Teks yang dimaksud tidak hanya hasil tulisan tangan semata tetapi juga yang diproduksi oleh teknologi.
2.      Text as semiotic being
Dimana teks melambangkan suatu simbol dan didalamnya memiliki karakteristik materiality, formal relations and meaningfulness.
Text dan reader menghasilkan satu sama lain dalam arti masing-masing tidak bisa berdiri sendiri. Keduanya dihubungkan dengan kegiatan membaca (reading) dan bersama-sama membentuk makna serta membawa pengetahuan pembaca ke dalam teks. Dengan kata lain teks disuguhkan dan dibawa oleh writer sedangkan conteks ada pada  reader  dan diantara keduanya terdapat meaning, itulah koneksinya.
Meaning antara reader dan writer tidak selalu berjalan searah,  tidak jarang meaning gagal terbangun dan terjadi missunderstanding. Mengapa demikian? Experience. Keduanya kadang kala mempunyai experience yang berbeda atau tidak sesuai satu sama lain. Bila disuruh mengkritisi keduanya harus mengetahui background masing-masing.
Sedikit berbicara dari kubu yang berbeda dengan bapak Chaedar, disana ada bapak Hawe Setiawan yang mengungkapkan argumennya melalui artikel berjudul Belajar Membaca. Menurutnya masyarakat Indonesia sudah sangat kritis karena mampu ambil bagian dalam kemajuan informasi komunikasi secara langsung lewat internet. Hawe berargumen bahwa menulis kritis tidak hanya terjadi saat kita menulis formal, di dunia mayapun kita bisa menulis kritis seperti menulis status atau berkomentar, berawal dari situ sedikit demi sedikit akan terbiasa untuk menulis. Hal ini bertolak belakang dengan argumen bapak Chaedar yang notabene mengatakan bahwa masyarakat Indonesia tidak kritis dan juga statis. Dalam bukunya yang berjudul Pokoknya RekayasaLiterasi ia hanya menyoroti menulis dalam konteks formal saja.
Ya, akhirnya lengkap sudah jamuan kita hari ini, menu lengkap tersedia dari appetizer, main course hingga desert. Jadi yang bisa saya simpulkan adalah writing sebagai praktek literasi sejatinya memang harus dibiasakan. Pendidikan literasi (baca-tulis) bangsa kita masih terpuruk, oleh karenanya kunci kesuksesan negara lain tidak ada salahnya kita contoh. Banyak negara yang besar karena praktek literasinya, katakanlah Korea Selatan, Jepang, Prancis, Australia, dan lainnya.
Sebagai contoh Korea Selatan. Mengapa saya mengambil korea selatan sebagai contoh? Karena Sejatinya, Korea Selatan dan Indonesia sama-sama terbebas dari penjajahan Jepang pada tahun 1945. Ya, hanya selisih beberapa hari saja. Tepatnya, dua hari setelah Korea Selatan merdeka, Indonesia pun memproklamirkan diri sebagai republik. Kondisi perekonomian yang morat marit, manajemen pemerintahan yang rawan konflik, kualitas sumberdaya manusia yang rendah hingga munculnya konflik kepentingan mewarnai perjalanan kedua republic pasca kemerdekaan.
Namun, negeri Korea yang minim sumberdaya alam mampu meninggalkan jauh Indonesia. Setidaknya, kemajuan yang ditunjukkan Korea Selatan pada dunia selama ini dapat diambil pelajaran. Diantaranya; pertama karena Bangsa Korea Selatan berjuang mati-matian untuk memajukan bangsanya agar dapat menyalip negara  yang pernah menjajahnya yakni Jepang atau Negara-negara yang pernah melecehkannya seperti Amerika. Kedua karena besarnya peran pemerintah dalam pendidikan, pengembangan sumber daya serta investasi yang besar dalam industri teknologi. Ketiga karena rasa nasionalisme masyarakat Korea Selatan yang begitu tinggi ditunjukkan dengan mencintai dan menggunakan produk (lokal) bangsa sendiri. Keempat karena keberpihakan pemerintah pada dunia usaha/industri dalam mengembangkan industri baik untuk pasar dalam maupun luar negeri. Sehingga kedua pihak ini bersinergi menjadikan produk-produknya mampu menguasai pasar dunia, dan yang terpenting adalah minat baca-tulis mereka tidak diragukan lagi, sebagian besar dari mereka masih menjunjung erat bahasa dan budaya mereka.

Dari contoh diatas bangsa kita patut berkaca, bangsa yang besar adalah bangsa yang berliterasi. Inilah saatnya semua elemen bangsa ikut berkontribusi. Pejabat publik harus punya jiwa melayani, bukan justru korupsi. Rakyat pun demikian, harus nyata beraksi bukan hanya minta dilayani. Begitu pula mahasiswa, kita bergerak lewat writing. Sama seperti reader dan writer yang bekerja sama membentuk meaning, rakyat dan pemerintahpun harus bekerjasama meliterasikan bangsa ini. Khususnya bagi saya dan kalian semua generasi muda Indonesia let’s say WRITING “Mode  On”.

0 comments:

Post a Comment