Hijrahnya Paradigma Literasi
Dapat
dipahami jika literate kadang diartikan sebagai landasan suatu bangsa, karena di era
modern ini pendidikan dasar tidak cukup
hanya mengandalkan baca tulis saja. Namun literasi juga adalah praktek cultural
yang berkaitan dengan praktek social dan politik. Hakikat dalam literasi secara
kritis dalam masyarakat demokrasi memiliki empat komponen yakni memahami,
menggunakan, menganalisis, dan mentrasformasi teks. Sehingga dalam penerapan
literasi akan selalu berevolusi untuk meningkatkan kreadibilitas.
Kajian
literasi sendiri sangat luas dan berhubungan dalam berbagai aspek seperti
geografis, dimensi bidang,fungsi,media,jumlah dan bahasa. Dalam berinteraksi memerlukan kelancaran
dalam berbahasa dan literasi yang berbeda, karena literasi dapat memberikan
kemampuan mengembangkan segala potensi dirinya. Contoh kecilnya adalah keluarga
dimana penguasaan bahasa ibu adalah alat berekspresi dan mengapresiasi, dan
psikologisnya yang terdekat sedangkan contoh luasnya adalah literasi membekali
setiap orang kemampuan dan mereproduksi ilmu pengetahuanMenulis akademik juga
termasuk kedalam literasi yang harus dikuasai
oleh para calon sarjana. Itulah yang disebut literasi akademik. Pendidikan
disini semestinya dapat menghasilkan masyarakat masyarakatnya literat yang
notabene sebagian warga negaranya menjunjung tinggi budaya demokrasi. Sehingga
pendidikan literasi harus dapat mendukung terciptanya demokratisasi bangsa.
Literasi memberikan manusia kemampuan menjadi warga Negara yang aktif dan
efektif, sebab warga negara yang mampu mengubah diri, menggali potensi diri,
serta berkonstribusi bagi lingkungan ,keluarga, maupun negarannya.
Dalam
Ruang lingkup suatu literasi tidak cukup hanya sekedar mampu membaca dan
menulis, melainkan juga menggunakan bahasa itu secara fasih,efektif,dan
tentunya kritis dalam berfikir. Berbicara dan menulis merupakan tindakan
literasi dan merupakan keputusan politik. Pengajaran bahasa dengan demikian
harus mengajarkan keterampilan berfikir kritis.
Dalam mengkaji sebuah budaya atau kebudayaan, para pakar menggunakan
istilah sintaksis, sematik, dan pragmatic. Dimana sintaksis ini mengkaji dalam
hal aspek budaya yang saling terkait dalam system budaya. Sematik budaya mengkaji hubungan tanda tanda
dengan rujukan. Pragmatik sendiri lebih kepada mengkaji hubungan antara tanda
pengirim dan penerima. Sehingga kita semua bias disebut dengan praktisi
semiotic.
Literasi
terdiri dari tujuh prinsip dalam pelaksanaannya antara lain literasi adalah
kecakapan hidup,kemampuan reseptif dan produktif,kemampuan memecahkan masalah,
refleksi penguasaan dan apresiasi budaya,kegiatan melakukan interaksi.
Pendidikan membaca sejak dini dapat melatih dan memberdayakan masyarakat
memaksimalkan fungsi bahasa sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Pendidikan bahasa
sejak tingkat dasarjuga membiasakan untuk mengekspresikan baik secara lisan
maupun tulisan. Dalam konteks yang lebih mendalam mahasiswa dituntut untuk
mampu memproduksi ilmu pengetahuan berupa karya ilmiah,fiksi,dan lainnya.
Baca
tulis merupakan kegiatan untuk mengetahui hubungan antarkata dan antarunit
dalam bahasa.serta antarteks dan dunia tanpa batas. Pendidikan bahasa juga
dapat melatih untuk berfikir kritis. Baca tulis selalu ada dalam system budaya.
Pendidikan bahasa seharusnya mengajarkan juga tentang pengetahuan budaya.
Terkadang penulis dan pembaca selalu berfikir tentang bahasa dan
menghubungkannya dengan pengalaman subjektif dan duniannya. Dalam pendidikan
bahasa semestinya dapat menanamkan pada diri mahasiswa kebiasaan melakukan
refleksi atas bahasa sendiri maupun orang lain. Pendidikan bahasa juga
mengajarkan kesadaran atas perbedaan aspek pengetahuan bahasa dan penggunaan
bahasa dalam situasi komunikasi yang sebenarnya. Dalam kegiatan baca tulis
selalu melibatkan kolaborasi antar dua pihak yang berkomunikasi.
Penulis
tidak menuliskan sesuatu berdasarkan pemahamannya tentang calon pembaca.
Pembaca disini harus dituntut untuk mengerahkan segala kemampuannya untuk
mencerna tulisan tersebut. Adakalanya penulis memakai alam dimensi melalui
kata-katanya dan pembaca memakainya
dalam interpretasi penulis.
Dalam
pembahasan ini,kita tahu bahwa masyarakat Indonesia masih dikenal sebagai masyarakat yang
memiliki budaya baca tulis yang rendah.Misalnya, Indonesi menempati urutan ke 5
dari bawah yakni lebih tinggi sedikirt dari Qatar,kuwait,dan afrika utara dalam
hal skor prestasi membaca di tingkat dunia. Dan dalam studi PIRLS 2006
indonesia memiliki HDI 0,711 dari GNI/kapita 810 US $, yang mayoritas Negara
lain HDInya diatas 0,9. Negara yang skor prestasi membacanya di atas 500 di
tandai oleh HDInya yang tinggi.
Miris,
itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi saat ini. Budaya baca tulis
di kalangan masyarakat Indonesia masih kalah saing dengan budaya menonton
televisi. Kita dapat melihat dari
keseharian masyarakat yang lebih banyak dihiasi oleh tayangan TV,game online,
dan teknologi sebagainya. Alhasil tidak heran jika pada akhirnya masyarakat
lebih hafal nama-nama tayangan televise di bandingkan judul judul buku.Pada
dasarnya,kemampuan membaca tidak hanya dipahami sebagai kemmpuan dalam mengeja
atau merangkain huruf menjadi sebuah kata,melainkan sebuah kemampuan dalam
melakukan proses memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk memperbaiki
kualitas hidup dengan cara membaca. Sama halnya dengan kemampuan menulis juga
tidak dipahami sebagai kemampuan dalam menyampaikan ide dan gagasan melalui
tuisan yang kemudian menjadi sebuah bacaan bagi pembaca.
Ironisnya
lagi pemahaman ini masih sangat minim dikalangan masyarakat Indonesia. Terbukti
di Indonesia tercatat 2 % siswa yang prestasi membacanya masuk kedalam kategori
sangat baik,19% kategori menengah, dad 55% kategori rendah. Artinya 45% siswa
Indonesia tidak mencapai skor 400. Dilain sisi keluarga terutama orang tua
memiliki metode dalam mendidik anak-anaknya. Masing-masing keluarga memiliki
kekhasan tersendiri,berdasarkan latarbelakang pedidikan,ekonomi,dan pengalaman
yang dialaminya. Berdasarkan keluarga yang ekonominya cenderung tinggi memiliki
fasilitas dan ekonomi yang menunjang dalam mendidik anak-anaknya. Sedangkan
keluarga yang ekonominya cenderung rendah memiliki fasilitas dan ekonomi
terbatas dalam mendidik anak-anaknya, bahkan tidak bias leluasa mendidik
anaknya.
Perbedaan
ekonomi ini secara otomatis akan membuat perbedaan dalam pengetahuan dan media
literasi yang dimiliki . Tingkat literasi siswa di Indonesia masih sangat jauh
tertinggal dari Negara-negara lain. Alhasil dalam skala internasional literasi
siswa kita masih belum memenuhi standar. Terlihat dari berbagai aspek yang
berhubungan dengan berbagai pendidikan
literasi yakni pendapatan perkapita dalam skala nasional,pendidikan orang tua,
fasilitas belajar,waktu belajar disekolah, HDI dan lainnya. Sebenarnya
masyarakat yang literat adalah salah satu SDM yang dapat membangun suatu
bangsa. Pendidikan literasi merupakan investasi jangka panjang, yang pastinya
dapat mengubah pendapatan. Disini kita dapat melihat bahwa prestasi menulis sangat
bergantung pada kemampuan membaca. Tanpa adanya kegiatan mebaca,pasti orang
akan sulit menjadi penulis. Namun,adakalanya banyak membaca juga tidak menjamin
orang akan rajin menulis. Tercatat tahun 2003, Indonesia adalan Negara yang
paling sedikit memproduksi buku setelah Malaysia,korea,jepang,amerika,dan
india.
Dalam
konteks pembelajaran disekolah,misalnya kita harus melihat pemahaman guru tentang literasi itu sendiri dan kemampuan
penguasaan teknik pengajaran siswa. Yang dimaksudkan penguasaan tentang
literasi dan pedagogi pengajaran literasi
mesti dikuasai oleh guru,namun tidak boleh juga melupakan konteks social
pepbelajaran siswa. Mnurut setiadi(2010) menyatakan bahwa dalam pembelajaran
literasi para guru sangat mengandalkan kurikulum nasional dan buku paket saja untuk materi
dalam mengajar. Pemodelan dalam pembelajaran litersasi tidak lazim dilakukan
oleh para guru.Meskipun kualifikasi akademik para guru disekolah memadai,
mereka tidak mendapatkan pelatihan yang memadai dalam rangka mengelola kegiatan
kelas. Mereka memerlukan latihan tambahan untuk meningkatkan kinerja
mereka.Faktor utama yang menunjukan literasi pendidikan adalah guru-guru professional
yang memiliki 6 kriteria dasar yaitu komitmen profesinal, komitmen etis,
srategi analisis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi dan
keterampilan numerisasi. Oleh sebab itu, membangun literasi suatu bangsa harus
diawali dengan membangun guru yang profesinal, dan guru profesioanl hanya di
hasilkan oleh pendidikan guru yang profesional juga.
Selayang
pandang dari penjelasan di atas bahwa
orang literat adalh orang yang terdidik dan berbudaya. Kemudian ada istilah
lain yaitu rekayasa literasi. Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan
sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya melalui penguasaan
bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa disini memiliki arti jalur masuk
menuju pendidikan dan pembudayaan. Sekolah merupakan salah satu lembaga formal
yang dimana dapat menjadi pintu pertama untuk membangun literasi yang pada
umumnya disokong oleh pemerintah dengan menggunakan dana pemerintah. Perbaikan
rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat aspek yakni linguistic atau fokus
teks, kognitif atau focus minda, sosiokultural atau focus kelompok, dan
perkembangan atau focus pertumbuhan. Jadi rekayasa literasi adalah merekayasa
pengajaran membaca dan menulis dalam empat aspek di atas. Pengajaran bhasa yang baik menghasilkan orang
literat yang mampu menggunakan empat dimensi itu secara bersamaan,aktif, dan
terintegrasi .
Bagaimana
literasi dapat diapliksikan bergantung pada paradigma literasi itu sendiri.
Sementara kurikilum pembelajaran bahasa asing pada tingkat dasar cenderung
bersifat teks-centri,bukan reader centric ataupun writer centric.Dan cenderung
terfokus pada ketepan dan konvensi bahasa dalam bentuk tata bahasa,
ejaan,mekanik,pemakaian bahas,dan tulisan yang diperkenalkan lazimnya berupa
essai singkat. Bagaimanapun pendekatan literasi terhadapan pengajaran bahasa
asing melihat bahasa secara fungsional dan membangun kita membangun kurikulum
pada setiap tahapan pembelajaran secara komprehensip dan integral. Bahkan
ketika tujuan pengajaran adalah
penguasaan komunikasi lisan, bahasa lisan yang efektif tetap harus memenuhi
pendapat pendapat cultural yang terberi (given) dalam bahasa yang dipelajari.
Mengajar
literasi pada hakekatnya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu
membaca dan menulis,terdidik,cerdas,dan menunjukan apresiasi terhadap
sastra.Kenyatannya pendidikan di Indonesia sudah cukup berhasil memproduksi
manusia terdidik. Akan tetapi, faktanya kurang memiliki apresiasi terhadap
sastra khusunya. Meluruskan rekayasa literasi seharusnya berawal dari pemahaman
atas berbagai paradigma pembelajaran literasi. Tolak ukrnya dad tiga paradigm
pembelajaran literasi yakni decoding,skill,dan whole(language). Decoding
menyatakan bahwa grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi,dan belajr
bahasa dimulai dengan menguasai bagian-bagian bahas. Keterampilan menyatakan
bahwa penguasaan morfem dan kosakata adalah dasar untuk membaca.Sedangkan
bahasa seutuhnya mesti berfokus pada bagian atau serpihan bahasa pada
pembelajaran makna. Pengajaran bahas asing selalu hiruk pikuk dengan dilalog
dan debat tiada henti antara pendukung aradigma tentang dimensi literasi dan
metode mengajar literasi sebagai konsekuensi logis dai paradigm. Paradigma
sendiri mempunyai arti cara pandang dan pemaknaan dalam suatu objek pandang.
Perubahan sudut pandang membawa sejumlah konsekuensi sampai metode dan teknik
pengajaran yang kasat mata dan hasilnya dapat diukur. Perubahan paradigm adalah
hijrah intelektual,hijrahnya bernalar karena tantangan zaman.
Dari
seluruh Penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa salah astu
persoalan besar yang mengancam hilangnya literasi dan literature bangsa adalah ketika minat baca
bangsa Indonesia terhadap literature semakin rendah. Pengaruh kemajuan alat
komunikasi dan informasi yang cepat pun dapat mengancam literasi namun di satu
sisi dapat memperkuat dan merawat literasi dan ini semua bergantung pada
bagaimana cara kita memanfaatkannya. Informasi merupakan identitas yang
berpotensi ntu menjdi sebuah kekuatan sekaligus sumber kebigungan kita.
Sulitnya membendung arus informasi membuat kita harus meningkatkan cara
mendidik dan merfikir terhadap informasi yang diterima. Marilah kita rawat
literasi dan kultur dengan giat membaca dan menulis agar dapat melahirkan
karya-karya literasi yang berkualitas.
0 comments:
Post a Comment