Tuesday, February 18, 2014



Hijrahnya Paradigma Literasi
Dapat dipahami jika literate kadang diartikan sebagai landasan suatu bangsa, karena di era modern ini pendidikan dasar  tidak cukup hanya mengandalkan baca tulis saja. Namun literasi juga adalah praktek cultural yang berkaitan dengan praktek social dan politik. Hakikat dalam literasi secara kritis dalam masyarakat demokrasi memiliki empat komponen yakni memahami, menggunakan, menganalisis, dan mentrasformasi teks. Sehingga dalam penerapan literasi akan selalu berevolusi untuk meningkatkan kreadibilitas.
Kajian literasi sendiri sangat luas dan berhubungan dalam berbagai aspek seperti geografis, dimensi bidang,fungsi,media,jumlah dan bahasa.  Dalam berinteraksi memerlukan kelancaran dalam berbahasa dan literasi yang berbeda, karena literasi dapat memberikan kemampuan mengembangkan segala potensi dirinya. Contoh kecilnya adalah keluarga dimana penguasaan bahasa ibu adalah alat berekspresi dan mengapresiasi, dan psikologisnya yang terdekat sedangkan contoh luasnya adalah literasi membekali setiap orang kemampuan dan mereproduksi ilmu pengetahuanMenulis akademik juga termasuk kedalam literasi yang harus dikuasai  oleh para calon sarjana. Itulah yang disebut literasi akademik. Pendidikan disini semestinya dapat menghasilkan masyarakat masyarakatnya literat yang notabene sebagian warga negaranya menjunjung tinggi budaya demokrasi. Sehingga pendidikan literasi harus dapat mendukung terciptanya demokratisasi bangsa. Literasi memberikan manusia kemampuan menjadi warga Negara yang aktif dan efektif, sebab warga negara yang mampu mengubah diri, menggali potensi diri, serta berkonstribusi bagi lingkungan ,keluarga, maupun negarannya.
Dalam Ruang lingkup suatu literasi tidak cukup hanya sekedar mampu membaca dan menulis, melainkan juga menggunakan bahasa itu secara fasih,efektif,dan tentunya kritis dalam berfikir. Berbicara dan menulis merupakan tindakan literasi dan merupakan keputusan politik. Pengajaran bahasa dengan demikian harus mengajarkan keterampilan berfikir kritis.  Dalam mengkaji sebuah budaya atau kebudayaan, para pakar menggunakan istilah sintaksis, sematik, dan pragmatic. Dimana sintaksis ini mengkaji dalam hal aspek budaya yang saling terkait dalam system budaya.  Sematik budaya mengkaji hubungan tanda tanda dengan rujukan. Pragmatik sendiri lebih kepada mengkaji hubungan antara tanda pengirim dan penerima. Sehingga kita semua bias disebut dengan praktisi semiotic.
Literasi terdiri dari tujuh prinsip dalam pelaksanaannya antara lain literasi adalah kecakapan hidup,kemampuan reseptif dan produktif,kemampuan memecahkan masalah, refleksi penguasaan dan apresiasi budaya,kegiatan melakukan interaksi. Pendidikan membaca sejak dini dapat melatih dan memberdayakan masyarakat memaksimalkan fungsi bahasa sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Pendidikan bahasa sejak tingkat dasarjuga membiasakan untuk mengekspresikan baik secara lisan maupun tulisan. Dalam konteks yang lebih mendalam mahasiswa dituntut untuk mampu memproduksi ilmu pengetahuan berupa karya ilmiah,fiksi,dan lainnya.
Baca tulis merupakan kegiatan untuk mengetahui hubungan antarkata dan antarunit dalam bahasa.serta antarteks dan dunia tanpa batas. Pendidikan bahasa juga dapat melatih untuk berfikir kritis. Baca tulis selalu ada dalam system budaya. Pendidikan bahasa seharusnya mengajarkan juga tentang pengetahuan budaya. Terkadang penulis dan pembaca selalu berfikir tentang bahasa dan menghubungkannya dengan pengalaman subjektif dan duniannya. Dalam pendidikan bahasa semestinya dapat menanamkan pada diri mahasiswa kebiasaan melakukan refleksi atas bahasa sendiri maupun orang lain. Pendidikan bahasa juga mengajarkan kesadaran atas perbedaan aspek pengetahuan bahasa dan penggunaan bahasa dalam situasi komunikasi yang sebenarnya. Dalam kegiatan baca tulis selalu melibatkan kolaborasi antar dua pihak yang berkomunikasi.
Penulis tidak menuliskan sesuatu berdasarkan pemahamannya tentang calon pembaca. Pembaca disini harus dituntut untuk mengerahkan segala kemampuannya untuk mencerna tulisan tersebut. Adakalanya penulis memakai alam dimensi melalui kata-katanya  dan pembaca memakainya dalam interpretasi penulis.
Dalam pembahasan ini,kita tahu bahwa masyarakat Indonesia  masih dikenal sebagai masyarakat yang memiliki budaya baca tulis yang rendah.Misalnya, Indonesi menempati urutan ke 5 dari bawah yakni lebih tinggi sedikirt dari Qatar,kuwait,dan afrika utara dalam hal skor prestasi membaca di tingkat dunia. Dan dalam studi PIRLS 2006 indonesia memiliki HDI 0,711 dari GNI/kapita 810 US $, yang mayoritas Negara lain HDInya diatas 0,9. Negara yang skor prestasi membacanya di atas 500 di tandai oleh HDInya yang tinggi.
Miris, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi saat ini. Budaya baca tulis di kalangan masyarakat Indonesia masih kalah saing dengan budaya menonton televisi.  Kita dapat melihat dari keseharian masyarakat yang lebih banyak dihiasi oleh tayangan TV,game online, dan teknologi sebagainya. Alhasil tidak heran jika pada akhirnya masyarakat lebih hafal nama-nama tayangan televise di bandingkan judul judul buku.Pada dasarnya,kemampuan membaca tidak hanya dipahami sebagai kemmpuan dalam mengeja atau merangkain huruf menjadi sebuah kata,melainkan sebuah kemampuan dalam melakukan proses memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas hidup dengan cara membaca. Sama halnya dengan kemampuan menulis juga tidak dipahami sebagai kemampuan dalam menyampaikan ide dan gagasan melalui tuisan yang kemudian menjadi sebuah bacaan bagi pembaca.
Ironisnya lagi pemahaman ini masih sangat minim dikalangan masyarakat Indonesia. Terbukti di Indonesia tercatat 2 % siswa yang prestasi membacanya masuk kedalam kategori sangat baik,19% kategori menengah, dad 55% kategori rendah. Artinya 45% siswa Indonesia tidak mencapai skor 400. Dilain sisi keluarga terutama orang tua memiliki metode dalam mendidik anak-anaknya. Masing-masing keluarga memiliki kekhasan tersendiri,berdasarkan latarbelakang pedidikan,ekonomi,dan pengalaman yang dialaminya. Berdasarkan keluarga yang ekonominya cenderung tinggi memiliki fasilitas dan ekonomi yang menunjang dalam mendidik anak-anaknya. Sedangkan keluarga yang ekonominya cenderung rendah memiliki fasilitas dan ekonomi terbatas dalam mendidik anak-anaknya, bahkan tidak bias leluasa mendidik anaknya.
Perbedaan ekonomi ini secara otomatis akan membuat perbedaan dalam pengetahuan dan media literasi yang dimiliki . Tingkat literasi siswa di Indonesia masih sangat jauh tertinggal dari Negara-negara lain. Alhasil dalam skala internasional literasi siswa kita masih belum memenuhi standar. Terlihat dari berbagai aspek yang berhubungan dengan berbagai  pendidikan literasi yakni pendapatan perkapita dalam skala nasional,pendidikan orang tua, fasilitas belajar,waktu belajar disekolah, HDI dan lainnya. Sebenarnya masyarakat yang literat adalah salah satu SDM yang dapat membangun suatu bangsa. Pendidikan literasi merupakan investasi jangka panjang, yang pastinya dapat mengubah pendapatan. Disini kita dapat melihat bahwa prestasi menulis sangat bergantung pada kemampuan membaca. Tanpa adanya kegiatan mebaca,pasti orang akan sulit menjadi penulis. Namun,adakalanya banyak membaca juga tidak menjamin orang akan rajin menulis. Tercatat tahun 2003, Indonesia adalan Negara yang paling sedikit memproduksi buku setelah Malaysia,korea,jepang,amerika,dan india.
Dalam konteks pembelajaran disekolah,misalnya kita harus melihat pemahaman guru  tentang literasi itu sendiri dan kemampuan penguasaan teknik pengajaran siswa. Yang dimaksudkan penguasaan tentang literasi dan pedagogi pengajaran  literasi mesti dikuasai oleh guru,namun tidak boleh juga melupakan konteks social pepbelajaran siswa. Mnurut setiadi(2010) menyatakan bahwa dalam pembelajaran literasi para guru sangat mengandalkan kurikulum  nasional dan buku paket saja untuk materi dalam mengajar. Pemodelan dalam pembelajaran litersasi tidak lazim dilakukan oleh para guru.Meskipun kualifikasi akademik para guru disekolah memadai, mereka tidak mendapatkan pelatihan yang memadai dalam rangka mengelola kegiatan kelas. Mereka memerlukan latihan tambahan untuk meningkatkan kinerja mereka.Faktor utama yang menunjukan literasi pendidikan adalah guru-guru professional yang memiliki 6 kriteria dasar yaitu komitmen profesinal, komitmen etis, srategi analisis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi dan keterampilan numerisasi. Oleh sebab itu, membangun literasi suatu bangsa harus diawali dengan membangun guru yang profesinal, dan guru profesioanl hanya di hasilkan oleh pendidikan guru yang profesional juga.
Selayang pandang dari penjelasan di atas  bahwa orang literat adalh orang yang terdidik dan berbudaya. Kemudian ada istilah lain yaitu rekayasa literasi. Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya melalui penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa disini memiliki arti jalur masuk menuju pendidikan dan pembudayaan. Sekolah merupakan salah satu lembaga formal yang dimana dapat menjadi pintu pertama untuk membangun literasi yang pada umumnya disokong oleh pemerintah dengan menggunakan dana pemerintah. Perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat aspek yakni linguistic atau fokus teks, kognitif atau focus minda, sosiokultural atau focus kelompok, dan perkembangan atau focus pertumbuhan. Jadi rekayasa literasi adalah merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat aspek di atas.  Pengajaran bhasa yang baik menghasilkan orang literat yang mampu menggunakan empat dimensi itu secara bersamaan,aktif, dan terintegrasi .
Bagaimana literasi dapat diapliksikan bergantung pada paradigma literasi itu sendiri. Sementara kurikilum pembelajaran bahasa asing pada tingkat dasar cenderung bersifat teks-centri,bukan reader centric ataupun writer centric.Dan cenderung terfokus pada ketepan dan konvensi bahasa dalam bentuk tata bahasa, ejaan,mekanik,pemakaian bahas,dan tulisan yang diperkenalkan lazimnya berupa essai singkat. Bagaimanapun pendekatan literasi terhadapan pengajaran bahasa asing melihat bahasa secara fungsional dan membangun kita membangun kurikulum pada setiap tahapan pembelajaran secara komprehensip dan integral. Bahkan ketika tujuan pengajaran  adalah penguasaan komunikasi lisan, bahasa lisan yang efektif tetap harus memenuhi pendapat pendapat cultural yang terberi (given) dalam bahasa yang dipelajari.
Mengajar literasi pada hakekatnya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu membaca dan menulis,terdidik,cerdas,dan menunjukan apresiasi terhadap sastra.Kenyatannya pendidikan di Indonesia sudah cukup berhasil memproduksi manusia terdidik. Akan tetapi, faktanya kurang memiliki apresiasi terhadap sastra khusunya. Meluruskan rekayasa literasi seharusnya berawal dari pemahaman atas berbagai paradigma pembelajaran literasi. Tolak ukrnya dad tiga paradigm pembelajaran literasi yakni decoding,skill,dan whole(language). Decoding menyatakan bahwa grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi,dan belajr bahasa dimulai dengan menguasai bagian-bagian bahas. Keterampilan menyatakan bahwa penguasaan morfem dan kosakata adalah dasar untuk membaca.Sedangkan bahasa seutuhnya mesti berfokus pada bagian atau serpihan bahasa pada pembelajaran makna. Pengajaran bahas asing selalu hiruk pikuk dengan dilalog dan debat tiada henti antara pendukung aradigma tentang dimensi literasi dan metode mengajar literasi sebagai konsekuensi logis dai paradigm. Paradigma sendiri mempunyai arti cara pandang dan pemaknaan dalam suatu objek pandang. Perubahan sudut pandang membawa sejumlah konsekuensi sampai metode dan teknik pengajaran yang kasat mata dan hasilnya dapat diukur. Perubahan paradigm adalah hijrah intelektual,hijrahnya bernalar karena tantangan zaman.
Dari seluruh Penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa salah astu persoalan besar yang mengancam hilangnya literasi  dan literature bangsa adalah ketika minat baca bangsa Indonesia terhadap literature semakin rendah. Pengaruh kemajuan alat komunikasi dan informasi yang cepat pun dapat mengancam literasi namun di satu sisi dapat memperkuat dan merawat literasi dan ini semua bergantung pada bagaimana cara kita memanfaatkannya. Informasi merupakan identitas yang berpotensi ntu menjdi sebuah kekuatan sekaligus sumber kebigungan kita. Sulitnya membendung arus informasi membuat kita harus meningkatkan cara mendidik dan merfikir terhadap informasi yang diterima. Marilah kita rawat literasi dan kultur dengan giat membaca dan menulis agar dapat melahirkan karya-karya literasi yang berkualitas.


0 comments:

Post a Comment