Monday, February 17, 2014

11:15 PM

(Chapter Review)

“Tak-Tik Literasi”

Literasi. Sejauh mana kita mengenal literasi? Dan sejauh mana kita “tercebur” dalam dunia literasi? Seperti dalam buku Prof Chaedar tentang Rekayasa Literasi, definisi “kuno” tentang literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Sedangkan saat ini banyak macam-macam dari literasi. Ada literasi komputer, literasi IPA, matematika, dan sebagainya. Bagaimana tentang budaya literasi di Indonesia?
Budaya literasi di Indonesia sangatlah “carut-marut.” Bagaimana tidak suatu bangsa dengan begitu banyak pulau dan berjuta-juta penduduk memiliki tingkat literasi yang sangat rendah. Seperti yang Prof. Chaedar paparkan, bahwa Indonesia meraih angka dibawah rata-rata negara peserta, yakin Indonesia meraih skor 407 sedangkan Rusia memperoleh skor 565. Sungguh sangat memprihatinkan.
Indonesia adalah negara yang memiliki begitu banyak sejarah tentang baca-tulis. Kehidupan masyarakat indonesia sebelum mengenal tulisan atau aksara disebut kehidupan pra-sejarah. Memang, tiap-tiap bangsa mengalami masa pra-sejarah berbeda-beda. Bangsa china sudah mengenal sistem aksara (baca-tulis) jauh sebelum periode masehi. Sedangkan, rakyat nusantara baru mengenal sistem tulisan setelah masa masehi. Selain itu, aksara yang dipakai oleh kedua bangsa ini berbeda, China memakai aksara China dan Indonesia memakai aksara pallawa. Aksara pallawa ini pun hasil pengaruh dari orang-orang India Selatan.
Penguasaan literasi yang tinggi tentunya tidak mengabaikan aspek sosiokultural. Karena literasi adalah bagian dari kultur atau budaya manusia. Dengan penguasaan literasi yang baik, manusia dapat berkomunikasi dengan baik pula. Agar literasi dapat digunakan dengan maksimal. Sehingga mambantu manusia mencapai tujuan-tujuan mereka melalui komunikasi yang baik. Maka, budaya (pendidikan) literasi sangat penting bagi kita semua.
Tak-tik (strategi) dalam “merekayasa” literatasi di negri kita yaitu dengan cara membimbing guru agar menghasilkan bibit-bibit guru yang berkualitas supaya guru tersebut dapat membagi ilmunya kepada para siswa untuk menghasilkan siswa-siswa yang berkualitas dan literate pula. Tapi, itu bukanlah hal yang mudah dalam menjalankan strategi tersebut. Karena seperti kita ketahui, di negeri kita masih banyak sekali oknum guru yang sebenarnya tidak layak disebut sebagai guru. Oleh karena itu, dalam menjalankan strategi tersebut butuh waktu yang cukup lama dan butuh pehatian lebih ekstra. Agar strategi tersebut dapat terlaksana sebagaimana mestinya.
Seperti kita ketahui, kemajuan suatu bangsa tidak bisa dibangun hanya dengan bermodalkan kekayaan alam yang melimpah, maupun pengelolaan tata negara yang mapan. Melainkan berawal dari peradaban buku atau penguasaan literasi yang berkelanjutan dari satu generasi kegenerasi berikutnya.
Bangsa Indonesia sudah melekat dengan budaya oral (lisan) seperti budaya mendongeng. Budaya ini semakin melekat dengan bertebarannya media informasiseperti radio dan televisi. Jika itu semua tidak diselingi dengan budaya literasi (membaca) maka akan melompat menjadi budaya menonton.
Bangsa ber-literasi bisa terlihat dari kemajuan negara tersebut. Karena negara yang maju adalah negara yang mayoritas penduduknya gemar membaca dan menulis. Karena bagaimana suatu bangsa bisa maju jika bangsa tersebut tidak belajar dari tulisan dan bacaan. Juga bagaimana suatu negara bisa mereproduksi ilmu pengetahuan agar dapat abadi dan tidak hilang termakan oleh zaman.
Seperti sama halnya dengan negara yang memiliki ilmu tekhnolgi yang super canggih. Itu semua buah dari  sepenggal kata yaitu “literasi.” Mungkin berbicara seperti itu sangat mudah, tapi sangat sulit untu menerapkannya. Maka dari itu agar kita tidak merasa terbebani dengan kata “literate” yang konon katanya sangat sulit untuk diterapkan, mulai dari sekarang kita harus memulai hidup sebagai masyarakat ber-literasi agar menjadi motivator untuk orang lain.
Pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas pula. Sebab, jika kita mengerjakan sesuatu dengan segenap hati guna menghasilkan pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan sesuatu yang maksimal pula. Tapi, jika kita mengerjakannya dengan tidak sepenuh hati, maka akan menghasilkan sesuatu yang bersifat pas-pasan.
Seperti kita ketahui, banyak lulusan sarjana atau mahasiswa mampu membaca, tapi tidak semua bisa menulis. Karena mahasiswa tersebut menjalani proses pembelajaran dengan separuh hati. Sehingga berimbas kepada psikologipemikiran mereka bahwa menulis itu sesuatu yang sangat membosankan atau sangat “kuno.” Tapi, pada dasarya itu hanyalah alasan yang menutupi rs\asa kemalasan mereka untuk menulis.
Kita tidak akan menjadi bangsa yang besar jika kita hanya terpacu pada alasan klasik kita. Mulailah untuk merubah pola pikir dalam otak kita bahwa menulis itu sesuatu hal yang menarik dan perlu dilestarikan guna menjadi negara literate. Pendidikan yang berkualitas semestinya menghasilkan manusia literate. Yaitu manusia yang memiliki literasi memadai sebagai warga negara yang antusias dan kritikal.
Literasi bukanlah sesuatu yang tabu bagi negara kita. Karena sejak balitapun kita sudah dikenalkan bagaimana berliterasi. Literasi bukan hanya sekedar mampu membaca dan menulis, melainkan juga menggunakan bahasa itu secara fasih, efektif dan kritis.
Seperti yang Prof. Chaedar paparkan dalam bukunya,”ujung tombak pendidikan literasi adalah guru.” Dengan demikian, membangun literasi bangsa harus diawali dengan membangun/membina guru yang potensial dan berkualitas, dan guru profesional hanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru yang potensial pula. Maka dari itu, kita sebagai bangsa yang tentunya ingin maju, harus menanamkan jiwa literasi kepada anak-anak didik kita.
Masyarakat ber-literasi adalah masyarakat terdidik dan berbudaya yang mampu mereproduksi ilmu pengetahuan yang ia dapatkan guna memelihara dan melestarikan ilmu pengetahuan yang sudah kita peroleh.
Kemampuan untuk mengerti, memahami, dan mereproduksi suatu ilmu pengetahuan bukanlah hal yang mudah. Karena untuk mendapatkan kembali budaya literasi bangsa kita, kita harus merubah pola fikir kita yang kerap kali malas untuk membangun diri kita untuk menjadi bangsa yang literate.
Literasi adalah kemampuan untu mengetahui kapan ada kebutuhan untuk informasi, mengidentifikasi, mengevaluasi, dan untuk secara efektif menggunakan informasi tersebut untuk isu atau masalah yang dihadapi. Karena itu, wajar jika proses dan hasil pembelajaran bahasa disekolah sering dijadikan rujukan dalam upaya mengukur tingkat literasi. Karena membaca dimasa kecil menjadikan pemikir yang dewasa. Juga kegiatan literasi dalam keluarga dan dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tingkat literasi. Contoh bangsa be-literasi adalah bangsa yang tidak mudak terprofokasi oleh bangsa lain. Seperti halnya dengan negara yang tidak pernah dijajah oleh negara lain. Yaitu Thailand, dan Nepal.
Jadi, kesimpulan dari pembahasan kita kali ini adalah jika kita menginginkan negara kita maju, mulailah membuat tak-tik (strategi) untuk merekayasa literasi di negri kita. Karena, kemajuan suatu bangsa dapat terlihat dari tingkat tinggi-rendahnya budaya literasi di negri tersebut. Oleh sebab itu, jadilah tenaga pendidik yang berkualitas dan layak mendidik siswa-siswanya agar menghasilkan generasi-generasi yang ber-literasi. 

0 comments:

Post a Comment