(Chapter Review)
“Tak-Tik
Literasi”
Literasi.
Sejauh mana kita mengenal literasi? Dan sejauh mana kita “tercebur” dalam dunia
literasi? Seperti dalam buku Prof Chaedar tentang Rekayasa Literasi, definisi
“kuno” tentang literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Sedangkan saat
ini banyak macam-macam dari literasi. Ada literasi komputer, literasi IPA,
matematika, dan sebagainya. Bagaimana tentang budaya literasi di Indonesia?
Budaya
literasi di Indonesia sangatlah “carut-marut.” Bagaimana tidak suatu bangsa
dengan begitu banyak pulau dan berjuta-juta penduduk memiliki tingkat literasi
yang sangat rendah. Seperti yang Prof. Chaedar paparkan, bahwa Indonesia meraih
angka dibawah rata-rata negara peserta, yakin Indonesia meraih skor 407
sedangkan Rusia memperoleh skor 565. Sungguh sangat memprihatinkan.
Indonesia
adalah negara yang memiliki begitu banyak sejarah tentang baca-tulis. Kehidupan
masyarakat indonesia sebelum mengenal tulisan atau aksara disebut kehidupan
pra-sejarah. Memang, tiap-tiap bangsa mengalami masa pra-sejarah berbeda-beda.
Bangsa china sudah mengenal sistem aksara (baca-tulis) jauh sebelum periode
masehi. Sedangkan, rakyat nusantara baru mengenal sistem tulisan setelah masa
masehi. Selain itu, aksara yang dipakai oleh kedua bangsa ini berbeda, China
memakai aksara China dan Indonesia memakai aksara pallawa. Aksara pallawa ini
pun hasil pengaruh dari orang-orang India Selatan.
Penguasaan
literasi yang tinggi tentunya tidak mengabaikan aspek sosiokultural. Karena
literasi adalah bagian dari kultur atau budaya manusia. Dengan penguasaan
literasi yang baik, manusia dapat berkomunikasi dengan baik pula. Agar literasi
dapat digunakan dengan maksimal. Sehingga mambantu manusia mencapai
tujuan-tujuan mereka melalui komunikasi yang baik. Maka, budaya (pendidikan)
literasi sangat penting bagi kita semua.
Tak-tik
(strategi) dalam “merekayasa” literatasi di negri kita yaitu dengan cara
membimbing guru agar menghasilkan bibit-bibit guru yang berkualitas supaya guru
tersebut dapat membagi ilmunya kepada para siswa untuk menghasilkan siswa-siswa
yang berkualitas dan literate pula. Tapi, itu bukanlah hal yang mudah dalam
menjalankan strategi tersebut. Karena seperti kita ketahui, di negeri kita
masih banyak sekali oknum guru yang sebenarnya tidak layak disebut sebagai
guru. Oleh karena itu, dalam menjalankan strategi tersebut butuh waktu yang
cukup lama dan butuh pehatian lebih ekstra. Agar strategi tersebut dapat
terlaksana sebagaimana mestinya.
Seperti
kita ketahui, kemajuan suatu bangsa tidak bisa dibangun hanya dengan bermodalkan
kekayaan alam yang melimpah, maupun pengelolaan tata negara yang mapan.
Melainkan berawal dari peradaban buku atau penguasaan literasi yang
berkelanjutan dari satu generasi kegenerasi berikutnya.
Bangsa
Indonesia sudah melekat dengan budaya oral (lisan) seperti budaya mendongeng.
Budaya ini semakin melekat dengan bertebarannya media informasiseperti radio
dan televisi. Jika itu semua tidak diselingi dengan budaya literasi (membaca)
maka akan melompat menjadi budaya menonton.
Bangsa
ber-literasi bisa terlihat dari kemajuan negara tersebut. Karena negara yang
maju adalah negara yang mayoritas penduduknya gemar membaca dan menulis. Karena
bagaimana suatu bangsa bisa maju jika bangsa tersebut tidak belajar dari
tulisan dan bacaan. Juga bagaimana suatu negara bisa mereproduksi ilmu
pengetahuan agar dapat abadi dan tidak hilang termakan oleh zaman.
Seperti
sama halnya dengan negara yang memiliki ilmu tekhnolgi yang super canggih. Itu
semua buah dari sepenggal kata yaitu
“literasi.” Mungkin berbicara seperti itu sangat mudah, tapi sangat sulit untu
menerapkannya. Maka dari itu agar kita tidak merasa terbebani dengan kata
“literate” yang konon katanya sangat sulit untuk diterapkan, mulai dari
sekarang kita harus memulai hidup sebagai masyarakat ber-literasi agar menjadi
motivator untuk orang lain.
Pendidikan
yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas pula. Sebab,
jika kita mengerjakan sesuatu dengan segenap hati guna menghasilkan pendidikan
yang berkualitas akan menghasilkan sesuatu yang maksimal pula. Tapi, jika kita
mengerjakannya dengan tidak sepenuh hati, maka akan menghasilkan sesuatu yang
bersifat pas-pasan.
Seperti
kita ketahui, banyak lulusan sarjana atau mahasiswa mampu membaca, tapi tidak
semua bisa menulis. Karena mahasiswa tersebut menjalani proses pembelajaran
dengan separuh hati. Sehingga berimbas kepada psikologipemikiran mereka bahwa
menulis itu sesuatu yang sangat membosankan atau sangat “kuno.” Tapi, pada
dasarya itu hanyalah alasan yang menutupi rs\asa kemalasan mereka untuk menulis.
Kita
tidak akan menjadi bangsa yang besar jika kita hanya terpacu pada alasan klasik
kita. Mulailah untuk merubah pola pikir dalam otak kita bahwa menulis itu
sesuatu hal yang menarik dan perlu dilestarikan guna menjadi negara literate.
Pendidikan yang berkualitas semestinya menghasilkan manusia literate. Yaitu
manusia yang memiliki literasi memadai sebagai warga negara yang antusias dan
kritikal.
Literasi
bukanlah sesuatu yang tabu bagi negara kita. Karena sejak balitapun kita sudah
dikenalkan bagaimana berliterasi. Literasi bukan hanya sekedar mampu membaca
dan menulis, melainkan juga menggunakan bahasa itu secara fasih, efektif dan
kritis.
Seperti
yang Prof. Chaedar paparkan dalam bukunya,”ujung tombak pendidikan literasi
adalah guru.” Dengan demikian, membangun literasi bangsa harus diawali dengan
membangun/membina guru yang potensial dan berkualitas, dan guru profesional
hanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru yang potensial pula. Maka dari
itu, kita sebagai bangsa yang tentunya ingin maju, harus menanamkan jiwa
literasi kepada anak-anak didik kita.
Masyarakat
ber-literasi adalah masyarakat terdidik dan berbudaya yang mampu mereproduksi
ilmu pengetahuan yang ia dapatkan guna memelihara dan melestarikan ilmu
pengetahuan yang sudah kita peroleh.
Kemampuan
untuk mengerti, memahami, dan mereproduksi suatu ilmu pengetahuan bukanlah hal
yang mudah. Karena untuk mendapatkan kembali budaya literasi bangsa kita, kita
harus merubah pola fikir kita yang kerap kali malas untuk membangun diri kita untuk
menjadi bangsa yang literate.
Literasi
adalah kemampuan untu mengetahui kapan ada kebutuhan untuk informasi,
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan untuk secara efektif menggunakan informasi
tersebut untuk isu atau masalah yang dihadapi. Karena itu, wajar jika proses
dan hasil pembelajaran bahasa disekolah sering dijadikan rujukan dalam upaya
mengukur tingkat literasi. Karena membaca dimasa kecil menjadikan pemikir yang
dewasa. Juga kegiatan literasi dalam keluarga dan dalam masyarakat sangat
berpengaruh dalam tingkat literasi. Contoh bangsa be-literasi adalah bangsa
yang tidak mudak terprofokasi oleh bangsa lain. Seperti halnya dengan negara
yang tidak pernah dijajah oleh negara lain. Yaitu Thailand, dan Nepal.
Jadi,
kesimpulan dari pembahasan kita kali ini adalah jika kita menginginkan negara
kita maju, mulailah membuat tak-tik (strategi) untuk merekayasa literasi di
negri kita. Karena, kemajuan suatu bangsa dapat terlihat dari tingkat
tinggi-rendahnya budaya literasi di negri tersebut. Oleh sebab itu, jadilah
tenaga pendidik yang berkualitas dan layak mendidik siswa-siswanya agar
menghasilkan generasi-generasi yang ber-literasi.
0 comments:
Post a Comment