Tuesday, February 18, 2014

            Apa yang ada dalam benak anda saat mendengar kata menulis? Apakah seperti sebuah black hole, tebing yang terjal, atau bahkan lembah hitam. Terlalu naif seorang mahasiswa jika paradigma tentang menulis seperti itu. Buang dan Gantilah!
Artikel yang saya ambil dari media cetak Pikiran Rakyat yang terbit pada hari Kamis tanggal 14 Februari 2014 setidaknya menyadarkan umat manusia. Peneliti mengungkapkan menulis di atas kertas ternyata bisa memperkuat daya ingat dan kemampuan memahami konsep. Penelitian tersebut dilakukan oleh psikolog dari Princeton dan Universitas California, Los Angeles, Pam Mueller dan Daniel Oppenheimer. Mencatat dengan pulpen dan kertas lebih meningkatkan kualitas belajar dibandingkan dengan menggunakan laptop. Penelitian mengambil dua orang mahasiswa, mahasiswa pertama memperhatikan dan mencatat dengan media pulpen dan kertas, sedangkan mahasiswa yang kedua mencatat materi yang disampaikan oleh dosennya dengan menggunakan media laptop. Bagaimanakah hasilnya? Ternyata mahasiswa yang menggunakan laptop itu “miskin” soal ide, cenderung lebih banyak menghasilkan catatan tapi lebih berupa menyalin persis kata demi kata (verbatim). Mahasiswa yang menggunakan pulpen jauh lebih baik dalam kualitas belajar, ide dalam otak kita tersimpan dalam kurun waktu yang lama dibandingkan dengan mengetik. Berubahlah wahai kaum literat (dalam impian).

Pertemuan kedua kemarin kita masih dibekali teori-teori agar bisa survive dalam Writing 4. Menurut beberapa pendapat mahasiswa dan dibenarkan oleh Mr.Lala menulis itu mempunyai empat rumus besar yang sangat penting, adapun rumus-rumus tersebut ialah scientific writing, critical thinking, student of language, dan writing itu bersifat mengikat. Keempat hal tersebut jika kita representasikan dalam menulis maka akan berawal dari sebuah informasi yang didapat, kemudian dari informasi tersebut menjadi sebuah pengetahuan dan akan menjadi pengalaman seseorang dalam kehidupan yang terabadikan.
Rumus yang pertama dari menulis ialah Scientific  Writing. Dunia akademik memang menargetkan hal ini, realitasnya pengetahuan menulis dalam kaum akademisi itu bersifat scientific. Kemudian yang kedua ialah critical thinking, dalam membaca suatu bacaan reader itu diwajibkan untuk berfikir kritis. Menanggapi suatu masalah tidaklah mudah, kita tidak bisa mengambil suatu kesimpulan dari suatu bacaan begitu saja. Tidak menutup kemungkinan adanya distorsi dalam bacaan tersebut jika kita tidak berfikir kritis.
Rumus yang ketiga ialah student of language. Dunia penulis dan seluk-beluknya itu pasti melihat konteks, seperti rumus yang ketiga ini konteksnya mahasiswa atau pelajar. Pelajar mempunyai retorika sendiri dalam merepresentasikan ide-ide mereka yang dituangkan dalam tulisan. Gaya bahasa pelajar tidak bisa kita gunakan dengan sekelompok yang lain karena akan timbul kesalah pahaman karena tidak mengerti.
Yang terakhir ialah menulis itu bersifat mengikat. Saya teringat dengan sebuah tulisan kecil saat searching di internet pada situs ilmukomputer.com, “ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Memang benar menulis itu proses mengikat ilmu, ketika ilmu sudah ditulis maka akan semakin dalam diakses oleh semua orang dan karenanya akan semakin bermanfaat untuk orang banyak.
Mengikat dalam fenomena Writing ini kita kembangkan, maka akan muncul hal utama dalam proses menulis. Kita kroscek hal tersebut ialah writing is the ways of knowing something. Begitu banyak media informasi yang ada pada saat ini, jika kita tidak bisa memfilternya maka  informasitersebut bisa berdampak negatif juga. Maksud dari knowing something tersebut ialah setiap orang bisa mengetahui sesuatu hal lewat menulis, itu merupakan kebenaran yang mutlak dan tidak bisa kita pungkiri. Contohnya itu kita bisa mengetahui sejarah bangsa ini dari mana? Tentulah dari peninggalan-peninggalan tulisan yang ada di batu, gua, tembok dan yang lainnya. Tulisan tersebut memberi isyarat kepada kita tentang periodesasi dalam perkembangan zaman.
Writing is the Ways of Representing Something. Setiap orang mempunyai pengalaman-pengalaman yang berbeda, walaupun kita mendapati hal yang sama juga tetapi dalam menginterpretasikannya itu berbeda. Pengalaman dan ide tersebut mereka tuangkan dalam bentuk tulisan, menulis memang merupakan sebuah media untuk merepresentasikan sesuatu. Pemikiran-pemikiran cemerlang lahir dari tulisan yang dihasilkannya, seperti Kuntowijoyo dan Nurcholis Majid. Meskipun beliau sudah tiada tapi karena tulisannya menjadi dikenang. Jika kita search di google nama kuduanya maka akan muncuk 97.000 dan 86.000 entri.
Terakhir dari menulis ialah The Ways of Reproducing Something. Reader yang baik adalah mereka yang memilah dan memilih informasi, merek tidak bisa mengandalkan suatu sumber saja. Sumber bacaan lain harus mereka dapatkan untuk mendapatkan pemahaman yang jelas, dari hal itulah kita bisa mereproduksi bacaan–bacaan tersebut menggunakan bahasa kita sendiri dengan menarik kesimpulan dari pendapat yang ada. Hal tersebut merupakan reproduksi sesuatu dalam pengertian writing.
Pendidikan bahasa kita saat ini beragam ada Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jerman, Bahasa Jepang, Bahasa Cina, Bahasa Korea, dan Bahasa Perancis. Semua pendidikan bahasa di atas merupakan sebuah pendidikan literasi yang ada di Negara kita. Pendidikan literasi tersebut bertujuan agar kita bisa mengetahui bahasa-bahasa Negara lain yang digunakan sehari-hari. Pendidikan literasi tersebut tidak akan lepas dari proses reading dan writing. Dua hal yang tidak bisa terpisahkan dalam perkembangan suatu Negara. Kita pasti akan menjadi sebuah Negara yang kaya jika bangsanya mempunyai budaya membaca dan menulis, karena literasi sekarang ruang lingkupnya bukan hanya membaca dan menulis saja.
Menyinggung pernyataan dari Hyland bahwa menulis itu sesuai dengan dugaan kita. Pembaca mempunyai kesempatan untuk menginterpretasikan kembali maksud dari penulis, dugaan tersebut muncul karena teks yang sebelumnya reader sudah membaca dengan judul yang sama. Jadi, menurut Hyland itu kita sudah membaca sumber lain yang sama pembahasannya. Menurut Hoey (2001), penulis dan pembaca itu bagaikan tarian. Mengapa? Karena keduanya ini tidak bisa terpisahkan, seperti dansa yang dilakukan oleh dua orang. Pembaca dan penulis itu menari dan mengikuti berbagai cara yang lain, oleh karena itu hubungan dari keduanya mempunyai istilah yang disebut dengan art.
Menurut Lehtonen ada hubungan yang tidak terpisahkan dan tidak bisa berdiri sendiri antara texts, contexts, reader, writing, and meaning. Menurutnya texts dan pembaca itu tidak ada dengan sendirinya, mereka memproduksi dari jalan yang lainnya yang membutuhkan feedback dari pembaca tentang bacaannya. Pembaca itu sebagai nucleus dari pembentukan sebuah meanings, dan membaca sendiri merupakan tempat di mana meanings itu berada. Proses membaca itu tergantung apa yang dibaca, mengatur dan memberi tanda dalam meanings.
Seorang reader mempunyai tujuan yang sama dengan writernya. Hal ini karena teks yang dibuat oleh penulis itu satu pemikiran dengan apa yang ingin dibaca oleh reader. Diibaratkan seperti ini, penulis menuliskan tentang literasi, kemudian pembaca mencari bahan bacaan tentang literasi juga, dengan sendirinya mereka akan bertemu pada satu pemikiran. Menanggapi artikel yang diberikan oleh Mr.Lala tentang Belajar Membacayang diposkan oleh Hawe Setiawan yang mengajar di Universitas Pasundan, nampaknya satu kubu dengan Pak Chaedar. Pergeseran teknologi memang tidak bisa kita hindarkan pada saat ini, mereka bisa menulis dengan leluasa hanya membawa seperangkat piranti kecil. Dulu saat mesin pencetak dari Guttenburg ditemukan kita repot membaca informasi lewat Koran yang ada di rumah kita, namun kini hanya bermodalkan mesin kecil kita bisa berselancar dengan bebas dan tanpa batas mencari apa saja. Namun jangan salah, dibalik semua itu ada dampak negatif yang muncul.
Seperti yang dituliskan dalam buku The Shallows karya Nicolas Carr yang dipengantari olrh Dr. Ninok Leksono, M.A Rektor Universitas Multimedia dan Redaktur senior Kompas. Dalam buku tersebut diungkapkan seseorang yang rajin menulis dan ahli dalam literasi, karena sering bergelut dengan dunia cyberspace kini menjadi berubah cara berfikirnya. Dia menjadi hilang konsentrasi, mulai gelisah, kehilangan fokus, dan mencari aktifitas lain. Dulu lembaran kertas ia baca kini slide yang ada di komputer menjadi favoritnya.
Memang benar, sekarang internet secara tidak langsung mendangkalkan cara berfikir. Hanya dengan mengetik kata kunci maka akan muncul apa yang kita inginkan yang prosesnya sangat instan, saya sependapat dengan apa yang ditulis oleh Hawe Setiawan pada paragraph terakhir, maksud dari belajar membaca tersebut ialah kesanggupan kita untuk sabar membaca pikiran sesama manusia, secara anteng, menyerap dan mengolah informasi menjadi pengetahuan, untuk menopang rangkaian kerja budaya yang tak akan berkeudahan. Kita harus meneruskan kebiasaan manusia ribuan tahun jika ingin bangsa kita menjadi republik literasi, perpustakaan adalah benteng terakhir kemanusiaan.

Jadi, dapat disumpulkan bawa dari class review yang kedua ini banyak sekali pengetahuan yang didapatkan dan menambah khazanah writing. Kita tidak bisa belajar writing tanpa tidak mengetahui empat konsep yang sudah dijelaskan itu. Kita juga harus mengetahui Writing is the Ways of Knowing Something, Ways of Representing Something, dan Ways of Reproducing Something sebagai tiga hal utama dalam menulis. Kita harus ingat bahwa texts, contexts, reader, writer, dan meanings itu mempunya hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga dari hal tersebut kita bisa lebih menghargai kembali penemuan dari Mc.Luhan tentang mesin cetak, kita kembali kepada budaya baca-tulis meskipun modernisasi kian merangkak menghabisi kita sebagai seorang yang literat. Ingat! Dari hubungan diatas kitaakan mempunyai rasa pengertian untuk sabar membaca pikiran manusia.

0 comments:

Post a Comment