Apa yang ada dalam benak anda saat mendengar kata
menulis? Apakah seperti sebuah black hole, tebing yang terjal, atau bahkan lembah
hitam. Terlalu naif seorang mahasiswa jika paradigma tentang menulis seperti
itu. Buang dan Gantilah!
Artikel
yang saya ambil dari media cetak Pikiran Rakyat yang terbit pada hari Kamis
tanggal 14 Februari 2014 setidaknya menyadarkan umat manusia. Peneliti mengungkapkan
menulis di atas kertas ternyata bisa memperkuat daya ingat dan kemampuan
memahami konsep. Penelitian tersebut dilakukan oleh psikolog dari Princeton dan
Universitas California, Los Angeles, Pam Mueller dan Daniel Oppenheimer.
Mencatat dengan pulpen dan kertas lebih meningkatkan kualitas belajar dibandingkan
dengan menggunakan laptop. Penelitian mengambil dua orang mahasiswa, mahasiswa
pertama memperhatikan dan mencatat dengan media pulpen dan kertas, sedangkan
mahasiswa yang kedua mencatat materi yang disampaikan oleh dosennya dengan
menggunakan media laptop. Bagaimanakah hasilnya? Ternyata mahasiswa yang
menggunakan laptop itu “miskin” soal ide, cenderung lebih banyak menghasilkan
catatan tapi lebih berupa menyalin persis kata demi kata (verbatim). Mahasiswa
yang menggunakan pulpen jauh lebih baik dalam kualitas belajar, ide dalam otak
kita tersimpan dalam kurun waktu yang lama dibandingkan dengan mengetik.
Berubahlah wahai kaum literat (dalam impian).
Pertemuan
kedua kemarin kita masih dibekali teori-teori agar bisa survive dalam Writing
4. Menurut beberapa pendapat mahasiswa dan dibenarkan oleh Mr.Lala menulis itu
mempunyai empat rumus besar yang sangat penting, adapun rumus-rumus tersebut
ialah scientific writing, critical thinking, student of language, dan
writing itu bersifat mengikat. Keempat hal tersebut jika kita
representasikan dalam menulis maka akan berawal dari sebuah informasi yang
didapat, kemudian dari informasi tersebut menjadi sebuah pengetahuan dan akan
menjadi pengalaman seseorang dalam kehidupan yang terabadikan.
Rumus
yang pertama dari menulis ialah Scientific
Writing. Dunia akademik memang menargetkan hal ini, realitasnya
pengetahuan menulis dalam kaum akademisi itu bersifat scientific. Kemudian yang
kedua ialah critical thinking, dalam membaca suatu bacaan reader itu diwajibkan
untuk berfikir kritis. Menanggapi suatu masalah tidaklah mudah, kita tidak bisa
mengambil suatu kesimpulan dari suatu bacaan begitu saja. Tidak menutup
kemungkinan adanya distorsi dalam bacaan tersebut jika kita tidak berfikir
kritis.
Rumus
yang ketiga ialah student of language. Dunia penulis dan seluk-beluknya itu
pasti melihat konteks, seperti rumus yang ketiga ini konteksnya mahasiswa atau
pelajar. Pelajar mempunyai retorika sendiri dalam merepresentasikan ide-ide
mereka yang dituangkan dalam tulisan. Gaya bahasa pelajar tidak bisa kita
gunakan dengan sekelompok yang lain karena akan timbul kesalah pahaman karena
tidak mengerti.
Yang
terakhir ialah menulis itu bersifat mengikat. Saya teringat dengan sebuah
tulisan kecil saat searching di internet pada situs ilmukomputer.com, “ikatlah
ilmu dengan menuliskannya”. Memang benar menulis itu proses mengikat ilmu,
ketika ilmu sudah ditulis maka akan semakin dalam diakses oleh semua orang dan
karenanya akan semakin bermanfaat untuk orang banyak.
Mengikat
dalam fenomena Writing ini kita kembangkan, maka akan muncul hal utama dalam
proses menulis. Kita kroscek hal tersebut ialah writing is the ways of
knowing something. Begitu banyak media informasi yang ada pada saat ini,
jika kita tidak bisa memfilternya maka
informasitersebut bisa berdampak negatif juga. Maksud dari knowing
something tersebut ialah setiap orang bisa mengetahui sesuatu hal lewat
menulis, itu merupakan kebenaran yang mutlak dan tidak bisa kita pungkiri.
Contohnya itu kita bisa mengetahui sejarah bangsa ini dari mana? Tentulah dari
peninggalan-peninggalan tulisan yang ada di batu, gua, tembok dan yang lainnya.
Tulisan tersebut memberi isyarat kepada kita tentang periodesasi dalam
perkembangan zaman.
Writing
is the Ways of Representing Something. Setiap orang mempunyai pengalaman-pengalaman yang berbeda,
walaupun kita mendapati hal yang sama juga tetapi dalam menginterpretasikannya
itu berbeda. Pengalaman dan ide tersebut mereka tuangkan dalam bentuk tulisan,
menulis memang merupakan sebuah media untuk merepresentasikan sesuatu.
Pemikiran-pemikiran cemerlang lahir dari tulisan yang dihasilkannya, seperti
Kuntowijoyo dan Nurcholis Majid. Meskipun beliau sudah tiada tapi karena
tulisannya menjadi dikenang. Jika kita search di google nama kuduanya maka akan
muncuk 97.000 dan 86.000 entri.
Terakhir
dari menulis ialah The Ways of Reproducing Something. Reader yang baik
adalah mereka yang memilah dan memilih informasi, merek tidak bisa mengandalkan
suatu sumber saja. Sumber bacaan lain harus mereka dapatkan untuk mendapatkan pemahaman
yang jelas, dari hal itulah kita bisa mereproduksi bacaan–bacaan tersebut
menggunakan bahasa kita sendiri dengan menarik kesimpulan dari pendapat yang
ada. Hal tersebut merupakan reproduksi sesuatu dalam pengertian writing.
Pendidikan
bahasa kita saat ini beragam ada Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa
Jerman, Bahasa Jepang, Bahasa Cina, Bahasa Korea, dan Bahasa Perancis. Semua
pendidikan bahasa di atas merupakan sebuah pendidikan literasi yang ada di
Negara kita. Pendidikan literasi tersebut bertujuan agar kita bisa mengetahui
bahasa-bahasa Negara lain yang digunakan sehari-hari. Pendidikan literasi tersebut
tidak akan lepas dari proses reading dan writing. Dua hal yang tidak bisa
terpisahkan dalam perkembangan suatu Negara. Kita pasti akan menjadi sebuah
Negara yang kaya jika bangsanya mempunyai budaya membaca dan menulis, karena
literasi sekarang ruang lingkupnya bukan hanya membaca dan menulis saja.
Menyinggung
pernyataan dari Hyland bahwa menulis itu sesuai dengan dugaan kita. Pembaca
mempunyai kesempatan untuk menginterpretasikan kembali maksud dari penulis,
dugaan tersebut muncul karena teks yang sebelumnya reader sudah membaca dengan
judul yang sama. Jadi, menurut Hyland itu kita sudah membaca sumber lain yang
sama pembahasannya. Menurut Hoey (2001), penulis dan pembaca itu bagaikan
tarian. Mengapa? Karena keduanya ini tidak bisa terpisahkan, seperti dansa yang
dilakukan oleh dua orang. Pembaca dan penulis itu menari dan mengikuti berbagai
cara yang lain, oleh karena itu hubungan dari keduanya mempunyai istilah yang
disebut dengan art.
Menurut
Lehtonen ada hubungan yang tidak terpisahkan dan tidak bisa berdiri sendiri
antara texts, contexts, reader, writing, and meaning. Menurutnya texts
dan pembaca itu tidak ada dengan sendirinya, mereka memproduksi dari jalan yang
lainnya yang membutuhkan feedback dari pembaca tentang bacaannya. Pembaca itu
sebagai nucleus dari pembentukan sebuah meanings, dan membaca sendiri merupakan
tempat di mana meanings itu berada. Proses membaca itu tergantung apa yang
dibaca, mengatur dan memberi tanda dalam meanings.
Seorang
reader mempunyai tujuan yang sama dengan writernya. Hal ini karena teks yang
dibuat oleh penulis itu satu pemikiran dengan apa yang ingin dibaca oleh
reader. Diibaratkan seperti ini, penulis menuliskan tentang literasi, kemudian
pembaca mencari bahan bacaan tentang literasi juga, dengan sendirinya mereka
akan bertemu pada satu pemikiran. Menanggapi artikel yang diberikan oleh
Mr.Lala tentang Belajar Membacayang diposkan oleh Hawe Setiawan yang
mengajar di Universitas Pasundan, nampaknya satu kubu dengan Pak Chaedar.
Pergeseran teknologi memang tidak bisa kita hindarkan pada saat ini, mereka
bisa menulis dengan leluasa hanya membawa seperangkat piranti kecil. Dulu saat
mesin pencetak dari Guttenburg ditemukan kita repot membaca informasi lewat
Koran yang ada di rumah kita, namun kini hanya bermodalkan mesin kecil kita
bisa berselancar dengan bebas dan tanpa batas mencari apa saja. Namun jangan
salah, dibalik semua itu ada dampak negatif yang muncul.
Seperti
yang dituliskan dalam buku The Shallows karya Nicolas Carr yang dipengantari
olrh Dr. Ninok Leksono, M.A Rektor Universitas Multimedia dan Redaktur senior
Kompas. Dalam buku tersebut diungkapkan seseorang yang rajin menulis dan ahli
dalam literasi, karena sering bergelut dengan dunia cyberspace kini menjadi
berubah cara berfikirnya. Dia menjadi hilang konsentrasi, mulai gelisah,
kehilangan fokus, dan mencari aktifitas lain. Dulu lembaran kertas ia baca kini
slide yang ada di komputer menjadi favoritnya.
Memang
benar, sekarang internet secara tidak langsung mendangkalkan cara berfikir.
Hanya dengan mengetik kata kunci maka akan muncul apa yang kita inginkan yang
prosesnya sangat instan, saya sependapat dengan apa yang ditulis oleh Hawe
Setiawan pada paragraph terakhir, maksud dari belajar membaca tersebut ialah
kesanggupan kita untuk sabar membaca pikiran sesama manusia, secara anteng,
menyerap dan mengolah informasi menjadi pengetahuan, untuk menopang rangkaian
kerja budaya yang tak akan berkeudahan. Kita harus meneruskan kebiasaan manusia
ribuan tahun jika ingin bangsa kita menjadi republik literasi, perpustakaan
adalah benteng terakhir kemanusiaan.
Jadi,
dapat disumpulkan bawa dari class review yang kedua ini banyak sekali
pengetahuan yang didapatkan dan menambah khazanah writing. Kita tidak bisa
belajar writing tanpa tidak mengetahui empat konsep yang sudah dijelaskan itu.
Kita juga harus mengetahui Writing is the Ways of Knowing Something, Ways of
Representing Something, dan Ways of Reproducing Something sebagai tiga hal
utama dalam menulis. Kita harus ingat bahwa texts, contexts, reader, writer,
dan meanings itu mempunya hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga dari
hal tersebut kita bisa lebih menghargai kembali penemuan dari Mc.Luhan tentang
mesin cetak, kita kembali kepada budaya baca-tulis meskipun modernisasi kian
merangkak menghabisi kita sebagai seorang yang literat. Ingat! Dari hubungan
diatas kitaakan mempunyai rasa pengertian untuk sabar membaca pikiran manusia.
0 comments:
Post a Comment