3 Ways of Writing’
Aplications
By MAJID
Menindak
lanjuti pembahasan pada pertemuan sebelumnya, pada pertemuan yang kedua ini Mr
Lala Bumela, M.Pd mengulas ihwal standar pembelajaran writing, berbasis apa sajakah pembelajaran writing di
semster 4 ini dan seperti apa klasifikasi strukturalnya.
Bangunan
materi yang baik itu bukan berasal dari teks, melainkan lahir dari dimensi
kontekstual yang kritis. Ya, hal itu yang biasa dilakukan Mr Lala. Dalam
membangun materi,beliau tidak pernah terpaku dan tersekat dengan teks. Beliau
mereproduksi, mengolahnya serta mengkonsep ulang materi yang akan
disampaikannya sebanding dengan pergulatan pemikiran, pelapukan nalar yang
terjadi dalam situasi kelas. Tehniknya pun sangat unik. Dalam memproduksi materi, secara tidak
langsung beliau bernegosiasi atau saling bertransaksi dengan mahasiswanya. Beliau
mencari poin yang paling penting atau yang paling ter-update untuk dibahas.
Setelah mendapatkan poin-poin tersebut, lalu beliau mengaktualisasikannya
secara lebih spesifik. Poin pentingnnya yaitu bahwa standar pembelajaran pada
writing 4 ini berbasiskan akademik writing
Akademik
writing merupakan tehnik atau cara pengekspresian tulisan-tulisan secara ilmiah,
akademisi, dan pengeksresian tulisan yang bergerak ke area critial thingking, pengeksresian
teks-teks yang tidak langsung kita lahap mentah-mentah, dan tidak pula langsung
dibenarkan kecam seluruhnya. Dengan kata lain, perlu adanya kritikalisasi dan
pengkonsepan ulang jika ternyata dalam teks tersebut terdapat
kejanggalan-kejanggalan opini atau bahkan teori. Seperti itu lah yang disebut
critical thingking, teks yang mengkaji wilayah-wilayah akademik atau keilmuan
seperti Critical Review Esay, Argumentative Essay, Paper, Journal dan lain-lain.
Ketika kita hendak mengkaji
beberapa tulisan yang dihasilkan oleh pikiran-pikiran seseorang, maka hal yang kita tanyakan adalah mengapa
kita harus menulis ?, seberapa pentingkah menulis itu ?. kemudian untuk apa
kita menulis?
. Semua pertanyaan tadi mungkin bisa kita jawab dengan beberapa alasan logis yang
di antaranya berasal dari kata bijak yang mengatakan bahwa "Bangsa yang besar adalah bangsa penulis”. Mengingat dengan
menulis kita dapat mengeluarkan gagasan maupun ide-ide tentang banyak hal.
Dengan menulis seseorang takan pernah mati karena tulisannya adalah cerminan
dari dirinya. Pola pikir yang dirangkai kedalam barisan kata, dikonstruksi
kedalam susunan kalimat-kalimat yang rapi sehingga terangkai membentuk suatu
gagasan. Kerangka berpikir inilah yang membuatnya hidup walaupun jasadnya telah
mati.
Dikatakan pula bahwa العلم صيد والكتابة قيده. قيد صيودك
باالحبال الواثقة."”
“Ilmu
itu seperti hewan buruan, dan tulisan merupakan pengikatnya. Maka ikatlah hewan
buruanmu dengan tali yang kuat”. Ya essensi dari kalimat tersebut memberikan
arti bahwa ilmu yang kita dapat
syogyanya harus dituangkan dalam suatu tulisan supaya ia akan tetap lestari,
tidak akan hilang meskipun ditelan zaman.
Menulis
dapat diartikan dengan mengikat. Mengikat disini menginterpretasikan 3 cara yang
satu sama lain saling berkaitan. 3 cara tersebut adalah ways of knowing, ways
of representation, dan reproducing experience.
Ways of knowing. Menulis
menginterpretasikan cara atau pendekatan yang kita gunakan. ketika kita menulis
kita dituntut untuk mengetahui terlebih dahulu background atau latar belakang
masalah yang sedang terjadi, karena dengan begitu kita akan bijak dalam
merespon masalah sehingga apa yang kita tulis tersebut sesuai dengan keadaan
dan selaras dengan ekspektasi situasi yang terjadi. Sebagai perbandingan kita
bisa ambil contoh antara imam syafii dengan imam hanafi. Mereka berdua adalah
imam besar di zamannya, alim ulama, waliyullah, dan ahli intelektualis islam
yang sangat kental dengan bangunan keilmuannya. Berkat kuatnya bangunan keilmuan
tersebut, karya monumentalnya mampu bertahan sampai sekarang.
Imam
syafii memiliki tulisan-tulisan yang termaktub dalam kitabnya yaitu Kitab Majmu’. Kitab Majmu’ ini merupakan kumpulan kitab hadist yang didalamnya mengemas
2 subjek teori keilmuan. Pertama bernama Al
‘um yaitu kitab yang mengkaji tentang fiqih (produk hukum / hukum jadi),
kedua Ar-Risalah yaitu kitab yang
mengkaji tentang metodologi fiqih ( cara memproduksi hukum ). Sedangkan imam
abu hanifah memiliki kitab Musnad yang
didalamnya mengkaji teori dan praktek fiqih berdasarkan rasio atau nalar. Jika
Imam syafii dalam mengeluarkan fatwanya
lebih banyak menggunakan hadist, maka imam abu hanifah lebih banyak
menggunakan rasio atau kekuatan nalarnya. Sehingga satu sama lain saling serang–tangkis
pendapat dalam menghasilkan suatu produk fiqih. Mengapa seperti itu ? ya
perbedaan krusial tersebut terletak pada background dari keduanya yang memiliki
latar belakang atau situasi-kondisi, tempat-ruang yang berbeda. Imam syafi’I
hidup di Madinah, daerah yang sangat kental dan lekat sekali dengan hadist,
sedangkan imam hanafi hidup di daerah yang sangat kental dengan pergulatan
pemikiran, pertarungan nalar yakni di irak ( Persia ). Di madinah jika terdapat
suatu permasalahan yang berhubungan dengan fiqih maka harus diselesaikan dengan
hadist. Penduduk di sana tidak mungkin bisa menerima jika rasio atau akal
pikiran dijadikan sebagai pegangan hukum. Sementara di irak ( Persia ) kasus
seperti itu diselesaikannya dengan kekuatan nalar karena mayoritas penduduk perisa
tidak terlalu mengenal hadist. Paling hanya beberapa gelintir orang saja yang hafal
hadist, yaitu orang yang islamnya sudah kukuh dan kuat karena mayoritas
penduduk di sana pada saat itu masih menganut faham Zoroaster ( Majusi ).
Kemudian setelah islam datang barulah peradaban berganti, akan tetapi doktrin
ajaran islam tidak sepenuhnya bisa masuk begitu saja.
Jadi, karena
sebab perbedaan background itulah yang membuat mereka berbeda dalam melahirkan
suatu produk hukum. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lainnya.
Ways of representation.
Menulis merupakan salah satu cara untuk mewakilkan, mencurahkan apa yang kita
rasakan. Apa yang kita suguhkan dalam tulisan tersebut apakah valid atau tidak.
Misalnya penulis memaknai alam semesta dan pengalaman subjektifnya lewat
kata-kata, kemudian pembaca memaknai interpretasi penulis tersebut dengan cara
yang dilakukan oleh pembaca itu sendiri. Dengan begitu berarti menulis
merupakan suatu cara untuk melakukan interpretasi ( mencari, menebak, dan
membangun makna ) atas berbagai jenis teks baik tekstual, visual maupun digital
(virtual).
Reproducing
Experience. Pada dasarnya Menulis itu mereproduksi pengetahuan. Namun di sini
sebenarnya yang direproduksi itu bukan pengetahuannya melainkan pengalaman yang
kita peroleh dalam proses mencari pengetahuan itu. Membaca merupakan upaya
untuk mendapatkan pengetahuan atau informasi dan menulis merupakan cara untuk
mengikat pengetahuan atau informasi itu. Dan di antara kedua cara tersebut di
dalamnya terdapat proses experience atau pengalaman.
Menurut
lehtonen ( 2000 : 74 ), Pembaca naik ke inti
pembentukan atau penysusunan suatu makna, dan membaca menjadi tempat di mana makna
itu dimiliki. Teks dan pembaca tidak pernah berada secara bebas. tetapi
sesungguhnya mereka ( teks dan pembaca ) satu sama lain saling menghasilkan (
makna ). Membaca termasuk memilih apa yang harus dibaca, menggabungkan dan
mentautkan mereka bersama supaya membentuk makna, juga membawa pengetahuan
pembaca tersebut ke dalam teks.
Jika pembaca ( reader ) sedang mengkaji tulisan atau teks, pada
saat itu juga dia sedang bernegosiasi dengan makna teks tersebut. Karena
pembaca yang menginterpreatsi maksud si penulis, maka pembaca lah yang berhak
dengan makna tersebut. Akan tetapi di sini pembaca dituntut untuk mengetahui
background si penulis itu seperti yang saya singgung sebelumnya. Saya bisa
mengatakan bahwa imam Syafii lebih menggunakan hadist dalam mengeluarkan
fatwanya karena beliau hidup di Madinah. Begitupun sebaliknya, seperti apa yang
Mr Lala sampaikan bahwa penulis harus mengetahui background si pembaca. Siapa
orang yang akan membaca tulisan kita, kemudian sudah membaca buku apa sajakah
pembaca tersebut.
Antara pembaca dan penulis terdapat suatu keterkaitan. Mereka diibaratkan seperti dancer yang harus mampu
menyesuaikan step per step setiap iramanya.
Reader-writer harus saling melengkapi satu sama lain, saling membantu, karena dari situlah meaning
terbentuk. Lebih jelasnya kita bisa buat barisan struktur teks seperti ini
TEXT-KONTEKS-WRITER-READER
Jadi,
meaning akan terbentuk jika ke empat komponen tersebut ada. Seseorang disebut
sebagai pembaca hanya ketika dia sedang dihadakan dengan teks. Sementara penulis
akan mati karyanya jika tidak ada pembaca. Tidak adanya pembaca, maka tulisan
atau karya penulis tidak berarti apa-apa karena meaning akan terbangun jika ada
kolaboraasi antara writer – reader.
0 comments:
Post a Comment