Era
Reformasi Yang Tidak Cukup Berhasil
By
Majid
Menindak
lanjuti hasil tulisan yang sebelumnya saya sudah singgung yaitu mengenai
lemahnya serangan intelektualitas mahasiswa dalam bidang menulis, sekarang saya
kembali akan mengkaji, memperdalam serta memperluas pembahasan di wilayah yang
sama yaitu ihwal budaya tulis-menulis. Selain itu tulisan ini akan dikoneksikan
dengan pembahasan yang berkutat pada area “literasi bangsa indonesia jika
dikaji secara realitas”, dan pengaruh budaya virtual yang menstagnasikan
kebudayaan luhur bangsa.
Seperti
yang telah dijelaskan oleh Prof Chaedar Alwasilah bahwa manusia literat merupakan
manusia yang memiliki kecakapan hidup yang memungkinkan mereka berfungsi
maksimal sebagai anggota masyarakat. Manusia yang memiliki tingkat literasi
yang tinggi akan mampu menyelesaikan atau memecahkan masalah, baik masalah
internal maupun eksternal, dalam koridor lokal maupun inter-lokal. Literasi
mensyaratkan bangsanya berbudaya baca-tulis. Literasi juga merupakan suatu apresiasi
budaya. Pendidikan bahasa seharusnya mengajarkan pengetahuan budaya. Abai
terhadap budaya menyebabkan dekontekstualisasi bahasa dari budayanya. Dari
semua itu, artinya eksistensi bahasa sangat berpengaruh sekali. Pendidikan
bahasa melatih siswa untuk mampu mengekspresiakn diri, berinteraksi dan
berintegrasi dengan teman, belajar membangun pola pikir kritis dan lain-lain. Di
tingkat mahasiswa pendidikan bahasa melatih mahasiswa untuk mampu memproduksi
ilmu pengetahuan baik yang berupa ilmiah maupun non-ilmiah.
Pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan
literasi yang berkualitas tinggi pula. Literasi seseorang akan tampak dalam
kegiatan membaca, menulis, menghitung dan berbicaranya. Setiap sarjana pasti
mampu membaca, tapi tidak semua sarjana mampu untuk menulis.Kualitas tulisan
itu tergantung pada gizi bacaan yang disantapnya. “Gizi” seseorang itu akan tampak
ketika dia berbicara dan terbukti ketika dia menulis.
Sayangnya,
Bangsa kita bukanlah bangsa penulis. Dalam
laporan PIRLS[1]
tidak ditemukan skor menulis. Namun dapat diprediksi bahwa prestasi menulis
sangat bergantung pada kemamuan membaca. Tanpa kegiatan membaca (banyak), orang sulit menjadi penulis. Namun
banyak membaca tidak menjamin orang rajin menulis. Jauh lebih banyak ilmuan
dari pada penulis. Sampai dengan 2003, Indonesia setiap tahun memproduksi buku
6.000 buku ( termasuk terjemahan ), Malaysia 8.500, Korea 45.000, Jepang
60.000, Amerika 90.000 dan India 70.000 judul. Sampai dengan 2006, India menempati
posisi ke-3 terbesar setelah Amerika dan Inggris ( Komunikasi dengan Pusat
Perbukuan, 2011 ).
Sementara
itu diketahui bahwa sampai dengan 2007 tercatat 231.786 orang dosen di
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dengan sebaran sebagai berikut :12.231
orang berpendidikan S-3, 74.845 orang berpendidikan S-2, 135.340 orang
berpendidikan S-1,2.667 orang berendidikan Sp-1, 420 orang Sp-2, 2.052 orang
D-4, 2.705 orang D-3, 55 orang D-2, 28 orang D-1, 1.316 orang Profesi, dan 127
orang non-akademik ( Depdiknas 2008 )[2].
Dari
data tersebut Prof Chaedar menyoroti bangsa Indonesia dari sektor dosennya yang
cukup banyak tetapi tidak diimbangi dengan ketrampilan menulisnya, sehingga
indonesia tidak mampu menyamai rekor menulis Malaysia. Menurutnya, bila setiap
dosen menjalankan kewajibannya menulis sebuah buku dalam setiap tiga tahun,
setiap tahun akan terbit sekitar 77.000 buah; belum termasuk buku-buku yang
ditulis oleh kalangan non-dosen. Dengan cara ini Indonesia akan mampu melampaui
Malaysia bahkan akan menyamai rekor menulis India yang sekarang menempati
peringkat 3 dunia.
Bagaimanapun
juga hal itu sangat sulit untuk dilakukan, artinya untuk melakukan hal yang
demikian tidak semudah seperti kita membalikkan tangan. Terlebih dengan kondisi
kemanusiaannya yang sangat krisis kesadaran. Hampir semuanya hanya berbasiskan
kepentingan. Untuk melakukan sesuatu saja harus ada timbal baliknya. Masalah
klasik seperti ini nyatanya disebabkan oleh derasnya arus polemik di Indonesia yang
tak pernah berujung.
Di
era globalisasi ini polemik yang terjadi di Indonesia hampir menguasai semua
sektor seperti pendidikan, hukum, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain. Dari sektor Pendidikan misalnya, seharusnya pendidikan di Indonesia menjadi aset besar di era globalisasi
ini. Sayangnya, kualitas pendidikan kita sangat memprihatinkan. Daya saingnya
sangat rendah. Rendahnya kualitas dan daya saing ini bisa dilihat dari data Balitbang tahun 2003. Dikatakan, dari 146.052 SD
di Indonesia, ternyata hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP, hanya ada
delapan sekolah yang diakui dunia sebagai The Middle Years Program (MYP), dan dari
8.036 SMU di Indonesia hanya tujuh sekolah yang masuk kategori The Diploma
Program (DP).
Beberapa masalah utama dari pendidikan kita yaitu
sistem pendidikannya yang masih trial and error.
Sistem pendidikan di kita belum terarah. Masih dalam tahap uji coba yang
berkepanjangan. Terbukti dengan sering dilakukannya embaharuan kurikulum. Ditambah
lagi dengan minimnya profesionalisme guru. Ini dapat dilihat salah satunya dari
kualifikasi akademik. Data Ditjen PMPTK Depdiknas RI tahun 2009 menunjukkan,
guru yang mengajar TK-SMU/SMK lulusan SMU berjumlah 535.601 orang, lulusan D1
49.763 orang, lulusan D2 790.327 orang, lulusan D3 121.327 orang, lulusan S1
1.092.913 orang, S2 17.619 orang, dan S3 59 orang. Dari 2.607.311 total guru
tersebut, 1.043.000 (40%) tamat D-IV/S1 dan memiliki kualifikasi akademik,
sedangkan sekitar 1.564.311 guru (60%) tidak memiliki kualifikasi akademik.
Masih ada masalah-masalah lain terkait kualitas pendidikan, seperti
kurangnya kesejahteraan guru, fasilitas, pemerataan kesempatan pendidikan,
relevansi pendidikan dengan kebutuhan, mahalnya biaya pendidikan, dan alokasi
APBN yang rendah (pemerintah merencanakan 20% APBN untuk pendidikan, tetapi
realisasinya sering di bawah 10%, tidak pernah 20%).
Dari sektor hukum, Supremasi hukum di negara kita
belum sepenuhnya ditegakkan. Alasannya, faktor politik lebih dominan. Terjadi
politisasi atas proses peradilan yang mestinya berjalan objektif. Angkat saja kasus
Century yang menelan uang negara Rp 6,7 triliun. Kasus tersebut hingga sekarang
belum ada titik terangnya. Bahkan yang lebih parahnya lagi kasus tersebut diangga
selesai tanpa adanya tindak lanjut hukum yang jelas.
Dari sektor kehiduan sosial, meskipun pembelengguan dan
kekerasan ala Orde Baru sudah dihilangkan, namun sistem birokrasi kita lamban
dan kurang responsif terhadap persoalan bangsa. Imbasnya, tatanan kehidupan pun
kian melemah.
Sikap individualis masyarakat Indonesia terlebih
kaum materialis nampaknya juga mengindikasikan kelemahan dari sektor yang lain.
kebanyakan dari mereka hanya ingin memperkaya diri. Ingin sejahtera sendiri dan
tidak mau berbagi dengan yang lain. Hadirnya sistem kasta antara kalangan atas
dengan kalangan bawah nampaknya menjadi sekat bagi mereka untuk saling
berinteraksi dan berintegrasi sebagai warga negara. Hal itu disebabkan kalangan
atas gengsi untuk berbaur dengan kalangan bawah, kalangan bawah pun memandang
kalangan atas acuh terhadap kalangan bawah sehingga mereka tidak berani untuk
bergaul, saling berintegrasi. Pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan yang ada
di kota metropolitan kebanyakan hanya menerapkan sistem kerja-gaji. Artinya, mereka
hanya memanfaatkan tenaga kerja karyawannya saja, begitupun karyawannya hanya
melirik besarnya gaji tanpa ada singkronisasi sosial lebih lanjut.
Melihat semua realita itu, jelas mengindikasikan
bahwa tingkat literasi pelajar Indonesia
masih jauh tertinggal oleh pelajar dari negara-negara lain atau bisa juga
dikatakan belum mampu mencapai tingkat masyarakat madani. Dengan kata lain, pendidikan
nasional di kita belum berhasil menciptakan warga negara literat yang siap
bersaing dengan sejawatnya dari negara lain. Ringkasnya, dalam skala
internasional, literasi siswa kita belum mampu kompetitif. Terlihat berbagai
variabel yang terkait dengan pendidikan literasi, yakni pendapatan nasional per
kapita, pendidikan orang tua, fasilitas belajar, lama belajar di sekolah dan
sebagainya. Manusia literat merupakan SDM yang memilik potensi untuk membangun
bangsa.
Kemudian hal yang perlu disoroti kembali adalah
dari sektor membaca pelajar. Di era yang serba virtual ( digital ) ini, di
tengah kian terbukanya semua akses informasi, di tengah kian derasnya aliran
arus komunikasi, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi kita. Era ini menyebabkan
kita menyerap informasi sepotong-sepotong, tahu banyak tapi tidak paham, luas
tapi dangkal dan kian jauh dari pergulatan pemikiran. Nampaknya hal ini akan menyebabkan
daya kritis para pelajar menjadi kurang, daya saing lemah atau bahkan hilang,
sehingga yang terjadi adalah stagnasi ( kekakuan ) pemikiran. Dari fenomena
tersebut, wajar saja jika dikatakan bahwa mayoritas para pelajar tidak bisa
menulis. Mengingat alat utama dalam perburuan informasi atau pengetahuan adalah
bagaimana pelajar tersebut mampu untuk membaca situasi secara
kritis-kontekstual, dan kreatif-radikal. Bukan hanya sekedar banyaknya buku
bacaan tetapi kita tidak mengerti apa yang kita baca, atau banyak membaca tapi
tetap dangkal.
Aktivitas membaca sangat berkorelasi dengan aktivitas menulis.
Interpretasinya bahwa orang yang suka menulis tentunya suka membaca, karena dia
membutuhkan sumber referensi, bahan pembanding, dan inspirasi-inspirasi dari
tulisan yang lainnya tetapi orang yang suka membaca belum tentu suka menulis.
Membaca
dan menulis memang mempunyai korelasi, tetapi tidak selalu berkorelasi positif.
Sedikitnya jumlah buku yang terbit di negara ini bisa jadi karena rendahnya
minat membaca masyarakatnya. Padahal, salah satu penyebab orang berkeinginan
menulis adalah karena senang membaca.
Jika
dipandang-pandang kekacauan ini terletak pada dua sektor yaitu sistem peraturan
dan juga manusianya. Antara sistem dan manusia tersebut tidak bisa saling
singkron. Di samping manusianya yang tidak mau tunduk terhadap peraturan, abai
atau acuh terhadap sistem, sistemnya pun tidak terlalu tegas dalam mengorganisir
manusianya.
Harusnya di peradaban digital ini kita mampu
untuk memanfaatkan keadaan, akan tetapi, malah justru sebaliknya, keadaanlah
yang memperbudak kita sekarang.
Dulu ketika zaman tabi’in hingga tabi’tabi’in
untuk mencari 1 informasi hadist saja seorang perawi harus berkelana
mengendarai kudanya hingga beribu-ribu kilo meter, berhari-hari bahkan
berbulan-bulan lamanya. Menyebrangi berbagai daerah bahkan negara untuk
menemukan seorang sanad ( orang yang menjadi perantara ) hadist. Meneliti
sifatnya, pergaulannya bahkan tindak-tanduk sehari-harinya. Hal itu
dilakukannya semata untuk mencari jejak kepastian, jejak kevalidan bahwa hadist
tersebut berasal dari nabi.
Sedangakn di era sekarang yang serba virtual dan
modern ini, dengan sekejap kita bisa mencari apa saja yang kita inginkan.
Sesuatu yang bentuknya sangat kecil, tempatnya sangat jauh pun kita bisa
melacaknya melalui internet. Bahkan untuk mencari hadist yang sifatnya
mutawatir pun kita tidak harus seperti apa yang dilakukan perawi. Cukup
menyajikan beberapa kitab klasik tentang hadist kemudian kita takhrij, dengan
membandingkannya dengan referensi-referensi yang lain. Dan dalam beberapa waktu
itu kita mungkin bisa mendapatkannya. Intinya, Orang zaman dulu selalu
meninggalkan karya monumental untuk kaumnya bahkan bisa dirasakan, dilihat
bahkan dibaca oleh orang-orang zaman sekarang, sedangkan di zaman yang sangat
modern ini, untuk membuat suatu karya bagi kemaslahatan kaumnya saja kita enggan.
Kita tidak mau menciptakan hal yang besar yang mungkin kelak bisa
dibangga-banggakan oleh anak cucu kita. Jika kita ingin agar hal itu dilakukan,
mestinya kita harus melestarikan kebiasan-kebiasaan yang sudah berlangsung
ratusan bahkan ribuan tahun itu.
Intinya, Pengaruh di era virtual yang serba
canggih ini menyebabkan terjadinya dualisme paradoks,
banyak pro-kontra didalamnya. Di satu sisi disanjung-sanjung,
dibangga-banggakan namun disisi lain dikeluhkan, dicibir bahkan dibenci. Terlalu
banyaknya kelebihan dengan fasilitas yang nyaman dan serba instan rupanya menjadikan
manusia menjadi semakin tidak sadar akan perannya. Kondisi kemanusiaan seperti
itulah yang seharusnya dibenahi mulai dari sekarang.
0 comments:
Post a Comment