Potret Buram Literasi di Indonesia
Dalam
perbincangan metodologi pengajaran di kalangan guru bahasa saat ini, yang
menjadi buah bibir adalah genre, wacana, literasi, teks, dan konteks. Secara
sederhana, literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara.
Dalam konteks saat ini, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa
berarti melek tekhnologi, politik, berpikir kritis, dan peka terhadap
lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America’s
Young Adult medefinisikan litersi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam
menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan
sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh lagi, seseorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa
memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman
bacaannya.
Pada
masa lalu pembaca dan penulis dianggap “cukup” sebagai pendidikan dasar
(pendidikan umum) untuk membekali manusia dalam kemampuan menghadapi tantangan
zamannya. Dapat dipahami jika literate kadang diartikan sebagai educated. Kini adalah
zaman “edan”, dan pendidikan dasar tidak cukup mengandalkan kemampuan membaca
dan menulis. Literasi selama bertahun-tahun dianggap sekedar persoalan
psikologis, yang berkaitan dengan kemampuan mental dan keterampila baca-tulis,
padahal literasi adalah praktek cultural yang berkaitan dengan persoalan sosial
dan politik. Karena itu, para pakar pendidikan dunia berpaling ke definisi baru
yang menunjukkan paradigm baru dalam upaya memaknai literasi dan
pembelajarannya. Kini ada berbagai macam literasi, misalnya literasi computer (computer
literacy), literasi media (media literacy), literasi tekhnologi (technology
literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi (information
literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy).
Atas
tantangan zaman seperti yang digambarkan di atas, Freebody
dan Luke, menawarkan model literasi sebagai berikut:
1. Memahami
kode dalam teks (breaking the codes of
texts)
2. Terlibat
dalam memaknai teks (participating in the
meaning of texts)
3. Menggunakan
teks secara fungsional (using texts functionally)
4. Melakukan
analisis dan mentransformasi teks secara kritis (critically analyzing and transforming texts).
Keempat peran literasi ini dapat diringkas ke dalam lima verba:
memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasi texts.
Sekarang
ini generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bangkit dari
keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain. Wagner (2000) menegaskan bahwa tingkat literasi yang
rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan,
dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adfalah sebagian dari indikator rendahnya
indeks pembanguna manusia. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan
menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala
informasi yang diterima sehingga tidak beraksi secara emosional dan peduli
terhadap lingkungan sekitar.
Lingkungan
literasi yang kondusif akan menciptakan generasi yang literat. Lingkungan yang
ideal bagi perkembangan literasi anak harus menyinergikan keluarga, sekolah,
dan masyarakat. Keluarga sangat dominan dalam perkembangan literasi anak. Hasil
riset manunjukkan bahwa umumnya anak mulai belajar membaca jika melihat orang
tua atau anggota keluarga lain di rumah sering membaca buku, Koran, atau
majalah. Anak sebenarnya sudah bisa dirangsang untuk gemar membaca bahkan
ketika masih dalam kandungan ibunya. Wanita hamil yang sering membacakan buku
bagi janin yang sedang dikandungnya cenderung akan melahirkan anak yang gemar
membaca.
Pendidikan
anak usia dinik yang semakin mendapat perhatian masyarakat hendaknya mampu
meningkatkan minat baca anak. Kegiatan reading aloud atau membaca nyaring untu
anak hendaknya dilakukan sedini mungkin. Hal ini bisa menggan ti kegiatan
mendongeng sebelum tidur yang sudah menjadi tradisi orang tua di masyarakat
kita sejak dulu. Seorang ibu juga bisa menumbuhkan kegemaran membaca anaknya
dengan mengajak anak melakukan kegiatan yang melibatkan aktivitas membaca
seperti membaca resep masakan, sering menulis untuk anak dan meminta balasan
tertulis, serta meminta anak meminjam buku dari perpustakaan sekolah. Kegiatan ini
adalah langkah awal peralihan dari budaya orasi melalui dongeng ke budaya
membaca.
Pembelajaran
membaca dan menulis erat kaitannya dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa
diarahkan dalam upaya mambangun budaya literasi terutama pmbelajaran yang dapat
meningkatkan aktivitas peserta didik menggunakan bahan ajar dalam kehidupan. Peserta
didik belajar bahasa atau bersastra untuk dunia nyata, bukan dunia sekolah. Di Yanni
(1950: 40) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis literasi dilakukan dengan
mengembangkan gagasan atau ide melalui pengembangan pernyataan-pernyataan pada
waktu menulis, kemudian mengembangkannya melalui keterhubungan antar idedan
kotroversi dari setiap ide. Pembelajaran berbasis
budaya literasi dalam dunia pendidikan memiliki keunggulan karena model
literasi bukan hanya dimaksudkan agar siswa memiliki kapasitas mengerti makna
konseptual dari wacana melainkan kemampuan berpartisipasi aktif secara penuh
dalam menerapkan pemahaman sosial dan intelektual (White, 1985: 56).
Pembelajaran
budaya berbasis literasi akan mengondisikan peserta didik untuk menjadi seoarang
literat. Peningkatan kemampuan litersi dalam belajar sejalan dengan tujuan
pendidikan, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan
bertanggung jawab (Depdiknas, 2003). Pemerolehan tujuan ini dapat dilakukan
siswa juka mereka telah menjadi sosok literat. Para siswa memiliki bekal
literasi dalam dirinya sehingga mampu melengkapi diri dengan kemampuan yang di
harapkan.
Proses
pengembangan kemampuan berbahasa dan bersastra dilakukan dengan cara
mengembangkan kemampuan kognitif, analisis, evaluasi dan kreasi melalui suatu
kajian langsung terhadap kondisi social dengan menggunakan kemampuan berfikir
cermat dan kritis. Proses pemahaman peserta didik terhadap fenomena social dengan
pengenalan secara langsung akan lebih memudahkan bagi pelajar dalam
mengembangkan kompetensinya. Peserta didik harus terbiasa membaca berbagai
informasi dan mengakses informasi dari media elektronik maupun media tertulis. Selain
itu, ia perlu mengikuti perkembangan peradaban yang sedang terjadi secara factual.
Oleh karena itu, dalam mengembangkan potensi berbahasa dan bersastra berbasis
literasi perlu didukung oleh ketersediaan fasilitas dalam membangun insan literat.
Kemampuan
literasi tidak serta merta hadir begitu saja dan tidak semua orang memiliki
kemampuan ini. Keterampilan bahasa
mencakup empat hal yaitu:
·
Keterampilan menyimak (listening skills)
·
Keterampilan berbicara (speaking skills)
·
Keterampilan membaca (reading skills)
·
Keterampilan menulis (writing skills)
Setiap keterampialan
itu erat sekali hubungannya dengan keterampilan lainnya dengan cara yang
beraneka ragam. Dalam memperoleh keterampilan berbahasa kita mulai dari
menyimak, kemudian berbicara, pertama itu belajar membaca dan menulis. Keempat keterampilan
tersebut pada dasarnya merupakan suatu kesatuan atau disebut catur tunggal. Selanjutnya
setiap keterampilan itu errata berhubungan dengan proses-proses yang mendasari
bahasa. Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang
dalam berbahasa, semakin cerah dan jelas pula pemikirannya. Keterampilan hanya
dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktek dan latihan. Melatih keterampilan
bahasa berarti melatih keterampilan berpikir.
Menulis
sebagai suatu keterampilan berbahasa. Menulis merupakan suatu kegiatan yang
produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis haruslah terampil dalam
memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosa kata. Keterampilan menulis
tidak akan dating secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktek
yang sering dan teratur. Dalam kehidupan yang modern, jelas bahwa menulis
sangat dibutuhkan tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa keterampila menulis
merupakan sutu cirri-ciri orang terpeljar atau bangs ayang terpelajar.
Untuk
itulah tuntutan pemerintah terhadap guru tidaklah salah apabila di setiap
kenaikan pangkat seorang guru harus menulis karya ilmiah atau tulisan baik
berupa artikel, opini, gagasan, ide, reportase, dan yang lain yang dimulai dari
media massa. Dengan munculnya Koran-koran lokal sangat membantu para guru untuk
mengasah keterampilan dalam menulis. Walaupun di lapangan masih banyak guru
yang alergi tulis-menulis.
Salah
satu faktor pokok agar seseorang memiliki kemampuan membaca dan menulis yang
baik adalah kecintaan terhadap ilmu.inilah salah satu sifat kecendikiaan
seseorang. Kecakapan membaca dan menulis bukanlah monopoli definisi literasi. Literasi
merupakan integrasi keterampilan menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan
berpikir kritis.
Dalam
banyak hal objek studi budaya, yang berfokus pada hubungan-hubungan antara variable
sosial dan maknanya atau lebih tepatnya bagaimana divisi-divisi social dibermaknakan
(O’suliva, 1994: 71). Literasi tetap berurusan dengan penggunaan bahasa, dan
kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling
terkait. Berikut adalah tujuh dimensi
literasi:
a)
Dimensi geografis (local, nasional,
regional, dan internasional)
b)
Dimensi bidang (pendidikan, komunikasi,
administrasi, hiburan, militer)
c)
Dimensi keterampilan (membaca, menulis,
berhitung, berbicara)
d)
Dimensi fungsi (memecahkan persoalan,
mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan,
mengembangkan potensi diri)
e)
Dimensi media (teks, cetak, visual,
digital)
f)
Dimensi jumlah (satu, dua, beberapa)
g)
Dimensi bahasa (etnis, local, nasional,
regional, internasional).
Dalam
beberapa definisi literasi di atas, ada 10 gagasan kunci ihwal literasi yang
menunjukkan perubahan paradigm literasi sesuai dengan tantangan zaman dan
perkembanganilmu pengetahuan sekarang. Berikut adalah 10 gagasan kunci literasi:
Ø
Ketertiban lembaga-lembaga sosial
Ø
Tingkat kefasihan relatif
Ø
Pengembangan potensi diri dan
pengetahuan
Ø
Standar dunia
Ø
Warga masyarakat demokratis
Ø
Keragaman lokal dan hubungan global
Ø
Kewarganegaraan yang efektif
Ø
Bahasa Inggris ragam dunia
Ø
Keampuan berpikir kritis
Ø
Masyarakat semiotik
Pertama
mengkaji tujuh ranah literasi dan sepuluh frase kunci literasi seperti yang
dipaparkan di atas, pendidikan bahasa berbasis literasi seyogianya dilaksanakan
dengan mengikuti tujuh prinsip
sebagai berikut:
1.
Literasi adalah kecakapan hidup (life
skills) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota
masyarakat.
2.
Literasi mencakup kemampuan reseptif dan
produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
3.
Literasi adalah kemampuan memecahkan
masalah.
4.
Literasi adalah kemampuan penguasaan dan
apresiai budaya.
5.
Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
6.
Literasi adalah hasil kolaborasi.
7.
Literasi adalah kegiatan melakukan
interpretasi.
Sejak
1999 Indonesia ikut dalam proyek penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS (
Progress in International Reading Literacy Study), PISA (Program for International
Student Assessment), dan TIMSS (the Third International Mathematics and Science
Study) untuk mengukur literasi membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan
alam.pada sub-sub ini akan dikutip temuan-temuan terpenting dari PIRLS 2006
yang relevan dengan perbincangan tentang literasi membaca, yakni prestasi
membaca kelas IV Indonesia serta posisinya dibandingkan dengan siswa dari negara
peserta lainnya. Dalam penelitan itu tujuan membaca meliputi literacy purposes
dan international purposes, sedangkan proses membaca meliputi interpreting, integrating,
dan evaluating. Berikut adalah temuannya:
1)
Skor prestasi membaca di Indonesia
adalah 407 (untuk semua siswa), 417 untuk perempuan dan 398 untuk laki-laki. Indonesia
menempati urutan ke-5 dari bawah, yakni sedikitt lebih tinggi daripada Qatar
(356), Kuwait (333), dan Afrika Utara (304).
2)
Negara yang skor prestasi membacanya di
atas rata-rata 500 ditandai oleh pendapatan kapita dan indeks pembanginan
manusia (HDI) yang lebih tinggi daripada negara yang prestasi membacanya di
bawah 500. Mayoritas Negara dengan HDI-nya di atas 0,9 memcapai prestasi
membaca di atas 500. Dalam studi PIRLS 2006 , Indonesia memiliki HDI 0,711 dan
GNI/ kapita 810 US dolar.
3)
Di Indonesia hanya tercatat 2% siswa
yang prestasi membacanya masuk ke dalam kategori sangat tinggi, 19% masuk ke
dalam kategori menengah, dan 55% masuk ke dalam kategori rendah artinya 45%
siswa Indonesia tidak dapat mencapai skor 400.
Temuan
PIRLS ihwal Indonesia adalah potret besar literasi Indonesia dalam skala
Internasional. Dalam laporan seperti ini tidak akan ditemukan potret yang
spesifik dan detail ihwal penyebab dan realisasi pengajaran literasi di sekolah-sekolah
potret buram literasi di atas adalah hilir persoalan, dan untuk memahaminya
kita harus mengerti huluannya. Dalam konteks pembelajaran literasi di sekolah,
misalnya kita harus melihat pemahaman guru ihwal literasi dan penguasaan
tekhnik pengajaran siswa. Artinya penguasaan tentang literasi dan pedagogi
pengajaran literasi mesti dikuasai oleh guru. Namun, tidak boleh dilupakan konteks
social pembelajaran siswa seperti suasana rumah, sekolah, dan masyarakat secara
keseluruhan.
Penelitian
Setiadi (2010), menemukan kenyataan sebagai berikut:
Ø Dalam
pembelajaran membaca dan menulis, para guru sangat mengandalkan kurikulum
nasional dan buku paket untuk materi ajar dan metodologi mengajarnya.
Ø Pemodelan
dalam kegiatan membaca dan menulis tidak lazim dilakukan oleh para guru.
Ø Walaupun
kualifikasi akademik para guru sekolah memadai, mereka tidak mendapatkan
pelatihan yang memadai dalam kegiatan mengelola kelas. Mereka memerlukan
pelatihan tambahan untuk meningkatkan unjuk kerja mereka.
Ujung
tombak literasi adalah guru, membangun literasi bangsa harus membangun guru
yang professional, dan guru professional hanya dihasilkan oleh lembaga
pendidikan guru yang professional juga. Dari perbincangan di atas tampak bahwa orang
literat adalah orang terdidik dan berbudaya. Rekayasa literasi adalah upaya
yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat
penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju
ke pendidikan pembudayaan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal merupakan situs pertama
untuk membangun literasi yang pada umumnya di sokong oleh pemerintah dengan menggunakan dana
publik, dan dengan demikian mudah diintervensi oleh berbagai kebijakan,
inovasi, dan program uji coba pemerintah. Karena itu, wajar jika proses hasil
pembelajaran bahasa di sekolah sering dijadikan rujukan dalam upaya mengukur
tinggat literasi. Kegiatan literasi dalam keluarga dan dalam masyarakat
berkontribusi pada tingkat literasi. Hanya, dua situs ini jauh lebuh sulit
untuk diintervensi oleh pemerintah, dan lebih cenderung menjadi ranah inisiatif
individu dan masyarakat.
Perbaikan
rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat dimensi:
1)
Linguistik atau fokus teks
2)
Kognitif atau fokus minda
3)
Sosiokultural atau fokus kelompok
4)
Perkembangan atau fokus pertumbuhan
Seperti
yang dibahas pada bab ini, literasi meliputi keterampialan membaca dan menulis.
Dengan demikian, rekayasa literasi berarti merekayasa pengajaran membaca dan menulis
dalam empat dimensi di atas. Pengajaran membaca dan menulis harus ditempatkan
dalam keempat dimensi yang saling terkait. Pengajaran bahasa (language arts)
yang baik menghasilkan orang literat yang mampu menggunakan keempat dimensi ini
secara serempak, aktif, dan terintegrasi. Dia menggunakan bahasa secara efektif
dan efisien.
0 comments:
Post a Comment