Tuesday, February 18, 2014




   Indonesia, dengan segala kemegahan alam yang dimilikinya ternyata belum mampu untuk menjadi Negara yang memiliki budaya baca-tulis yang baik. Dalam chapter review kali ini akan dikupas data yang menunjukkan bahwa betul literasi di Indonesia masih buruk dan mengapa ihwal ini dapat terjadi. Juga, bagaimana kondisi pengajaran bahasa dan sastra di Indonesia. Apakah sudah mengajarkan ihwal literasi? Dan apa itu definisi literasi? Yang semakin hari definisi literasi terus berevolusi dan kini maknanya semakin meluas dan kompleks. Jadi, bagaimanakah pendekatan yang tepat untuk mengajarkan ihwal pengajaran bahasa asing khususnya. Para ahli bahasa lazim mengelompokkan periodisasi penggunaan metode dan pendekatan terhadap pengajaran bahasa asing ke dalam lima kelompok besar, yaitu sebagai berikut:
a.       Pendekatan struktural dengan grammar translation methods (popular sampai dengan Perang Dunia ke-2) yang meletakkan fokus pembelajarannya pada penggunaan bahasa tulis dan penggunaan tata bahasa. Pengajaran bahasa Inggris di tahun 1950-an dan 1960-an mulai mengembangkan adanya metode. Pendekatan ini memiliki ciri-ciri yaitu titik pembelajarannya pada struktur kata dan kalimat.
b.      Pendekatan audiolingual, yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan mendengarkan dan berbicara. Secara bertahap keterampilan membaca diberikan berdasarkan apa yang telah dibicarakan dan dibaca.
c.       Pendekatan kognitif dan transformative dengan fokus pengajarannya terletak pada pembangkitan (generating) potensi berbahasa pada siswa sesuai dengan potensi dan kebutuhan lingkungannya. Yang mana ini tidak menjamin, karena secara sosiolinguistik tidak fungsional.
d.      Pendekatan communicative competence, pendekatan ini sangatlah erat kaitannya dengan pengajaran  bahasa Inggris untuk tujuan khusus (English for Specific Purposes, atau disingkat ESP), ditemukan pula bahwa pengajaran bahasa Inggris di akademi sekertaris itu termasuk dalam kategori ESP atau lebih khusus yaitu EOP (English for Occupational Purposes). Namun, pendekatan komunikatif juga dianggap kurang eksplisit dalam upaya untuk menjelaskan bentuk dan fungsi, sehingga lahir tata bahasa fungsional atau Systemic  Functional Grammar (SFG) yang dikembangkan Halliday (1985); Martin (2000), dan lain-lain.
e.       Pendekatan Literasi atau pendekatan genre-based sebagai implikasi dari studi wacana. Pendekatan ini sesungguhnya amat berpotensi dalam pemberdayaan peserta didik dalam hal literasi. Dimana literasi merupakan kemampuan komunikatif tertinggi yang didukung oleh keempat keterampilan bahasa (benar, tepat, runtut, runut).
f.        Definisi literasi mengalami revolusi, definisi (lama) literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Meskipun di Indonesia istilah literasi jarang dipakai, istilah yang sering dipakai yaitu pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa. Sekarang ini literasi memiliki arti yang luas. Oleh karenanya, ada bermacam-macam literasi, misalnya literasi computer (computer literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), ekonomi literacy (economy literacy), literasi informasi (information literacy), dan bahkan ada literasi moral (moral literacy).
               Literasi merupakan kompetensi mutlak yang harus dimiliki setiap anggota masyarakat di era informasi ini. Literasi menuntut kemampuan berpikir kritis masyarakat dan kemauan untuk terus menjadi pelajar seumur hidup. Proses ini tidak pernah berhenti pada satu titik. Penerapan budaya literasi di sekolah perlu dikembangkan, yang mana banyak dikalangan akademisi mengutamakan linguistic features dan mengabaikan aspek pemahaman. Pendekatan literasi menuntutu seorang guru tidak hanya terampil memilih, menganalisis, dan memahami isi teks, tetapi juga bagaimana menilai teks yang dihasilkan siswa. Teks tidak cukup dinilai berdasarkan panjang pendek atau banyak kalimatnya saja, melainkan juga berdasarkan isinya.

In the 21st century, world class standards will demand that everyone is highly literate, highly numerate, well informed, capable of learning constantly, and confident and able to play their part as a citizen of a democratic society... (Barber, dikutip Hayat dan Yusuf, 2010:23)


               Manusia di abad ke 21 dituntut untuk menjadi orang-orang yang multiliterasi. Meskipun literasi tetap berurusan dengan penggunaan bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait.

1. Dimensi geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional) berkaitan dengan tingkat literasi seseorang
2. Dimensi bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dan sebagainya)
3. Dimensi keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara)
4. Dimensi fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan , mengembangkan potensi diri)
5. Dimensi media (teks, cetak, visual, digital)
6. Dimensi jumlah (satu,dua,beberapa)
7. Dimensi bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, international)

               Sebagai mahasiswa bahasa Inggris, juga sebagai masyarakat daerah Jawa Barat yang menguasaii bahasa Sunda. Sebenarnya kita adalah warga masyarakat yang multilaterat. Dibawah ini ada 10 gagasan kunci ihwal literasi yang menunjukkan perubahan paradigm literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini.
a.       Ketertiban lembaga-lembaga sosial
b.      Lembaga-lembaga sosial, misalnya RT, RW, kelurahan sampai dengan DPR dan presiden menjalankan mesin birokrasi sekaligus menjalankan perannya dengan fasilitas bahasa.
c.       Tingkat kefasihan relative
d.      Kefasihan berbahasa tidak hanya diukur dengan skor TOEFL atau apapun itu, karena kefasihan literasi sangat relatif.
e.       Pengembangan potensi diri dan pengetahuan
f.        Pada tahap paling tinggi literasi membekali orang (baca: mahasiswa) kemampuan memproduksi dan mereproduksi ilmu pengetahuan
g.       Standar dunia
h.      Mutu yang dikembangkan saat ini adalah mutu Internasional
i.         Warga masyarakat demokratis
j.         Pendidikan literasi harus mendukung terciptanya demokratisasi bangsa.
k.       Keragaman local
l.         Manusia literat sadar mengenai keragaman bahasa dan budaya lokal
m.    Hubungan global
n.      Kini, semua orang adalah warga dunia, semua orang harus memiliki literasi tingkat dunia.
o.      Kewarganegaraan yang efektif
p.      Literasi membekali manusia kemampuan menjadi warga Negara yang mampu mengubah diri, menggali potensi diri, serta berkontribusi.
q.      Bahasa Inggris ragam dunia
r.       Kini, setiap bangsa membangun literasi dalam bahasa etnis dan budaya lokalnya, bahasa Inggris mereka kental dengan kelokalan sehingga muncul sebagai ragam bahasa Inggris atau multiple Englishes.
s.       Kemampuan berpikir kritis
t.        Masyarakat semiotic
Kita semua adalah praktisi semiotik. Setiap hari kita membaca dan bernegosiasi ihwal dunia simbol, dan mengostruksi diri kita sendiri secara semiotic, dari cara kita berkomunikasi non-verbal sampai cara kita berpakaian (Luke, 2003). Pendidikan bahasa berbasis literasi seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut:
1.      Literasi adalah kecakapan hidup (life skill) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat. Melatih dan memberdayakan siswa memfungsikan bahasa sesuai dengan konvensinya dalam kehidupan nyata seperti cara membuat cv, surat lamaran kerja, membaca menu dan lain-lain.
2.      Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun lisan.
3.      Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah. Mengajar bahasa seyogianya melatih siswa menggunakan bahasa dan nalar.
4.      Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
5.      Literasi adalah kegiatan refleksi (diri). Seyogianya pendidikan bahasa menanamkan pada diri (maha)siswa kebiasaan melakukan refleksi atas bahasa sendiri maupun bahasa orang lain.
6.      Literasi adalah hasil kolaborasi. Artinya penulis (tidak) menuliskan sesuatu berdasarkan pemahamannya ihwal calon pembaca. Pembaca pun harus mengerahkan segala pengetahuan dan pengalamannya untuk memaknai tulisan itu.
7.      Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi. Pendidikan bahasa sejak dini seyogianya melatih (maha)siswa melakukan interpretasi (mencari, menebak, dan membangun makana), atas berbagai jenis teks dalam wacana tekstual, visual, dan digital diberbagai ranah kehidupan dan bidang ilmu.
Sub-bab (Rapor Merah Literasi Anak Negeri) dalam buku pak Chaedar telah menginspirasi saya untuk member judul Malapraktik Literasi di Chapter Review kali ini. Dimana dijelaskannya rapor literasi anak-anak bangsa ini. Yang mana hasilnya sangat memprihatinkan. Sejak 1999 Indonesia ikut dalam proyek penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), PISA (Program for International Student Assesment), dan TIMSS (the Third International Mathematics and Science Study) untuk mengukur literasi membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Temuan-temuan terpenting dari PIRLS 2006 yang relevan dengan perbincangan tentang literasi membaca, yakni prestasi membaca siswa kelas IV Indonesia serta posisinya dibandingkan dengan siswa Negara lainnya.
               Dalam penelitian itu tujuan membaca meliputi literacy purposes dan informational purposes, sedangkan proses membaca meliputi interpreting, integrating dan evaluating. Saya akan mengambil satu contoh temuan saja yaitu di Indonesia tercatat 2% siswa yang presatasi membacanya masuk ke dalam kategori rendah. Dari sinilah, kita menarik pelajaran bahwa tingkat literasi siswa Indonesia masih tertinggal jauh dengan siswa Negara-negara lain. Artinya, pendidikan nasional kita belum berhasil menciptakan warga Negara yang literat yang siap bersaing dengan sejawatnya dari Negara lain.
               Sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal adalah situs pertama untuk membangun literasi yang pada umumnya disokong oleh pemerintah dengan menggunakan dana public, dan dengan demikian mudah di intervensi oleh berbagai kebijakan, inovasi, dan program uji coba pemerintah. Karena itu, wajar jika proses dan hasil pembelajaran bahasa di sekolah sering dijadikan rujukan dalam upaya mengukur tingkat literasi. Perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat dimensi: (1) linguistic atau fokus teks, (2) kognitif atau fokus minda, (3) sosiokultural atau fokus kelompok, dan (4) perkembangan atau fokus pertumbuhan.
               Mengajarkan literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu berbaca tulis, terdidik, cerdas, dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra. Dalam garis besarnya ada tiga paradigm pembelajaran literasi yaitu decoding, skills, dan whole language (Kucer:2000).
a.       Decoding, dalam paradigma ini berlaku rumus: perkembangan literasi= belajar ihwal literasi -> belajar literasi -> belajar melalui literasi.
b.      Keterampilan, berlaku rumus perkembangan literasi = belajar ihwal literasi. Belajar literasi-> belajar melalui literasi
c.       Bahasa secara utuh. Paradigm ini menolak urutan: belajar ihwal literasi -> belajar literasi -> belajar melalui literasi. Paradigm ini mengajukan rumus berikut ini: Perkembangan literasi adalah belajar melalui literasi -> belajar literasi -> belajar ihwal literasi.
Dapat disimpulkan, perubahan sudut pandang membawa sejumlah konsekuensi sampai ke metode dan teknik pengajaran yang kasat mata dan hasilnya dapat diukur. Bila lapor literasi anak bangsa ini merah seperti yang diungkap dibagian awal, saya merasa ada malapraktik linguistic, dalam pengajaran ataupun dalam pembelajaran bahasa. Namun, jangan juga kita sontak menyalahkan guru bahasa, karena pendidikan literasi memiliki banyak dimensi, antara lain dimensi sosial politik. Oleh karenanya, celah malapraktik masuk ke dalam literasi bangsa ini semakin besar, yang menyebabkan tidak kondusifnya peningkatan literasi di Indonesia. Perubahan paradigm salah satunya akan mengobati bangsa ini dari malapraktik literasi.




0 comments:

Post a Comment