Indonesia, dengan segala
kemegahan alam yang dimilikinya ternyata belum mampu untuk menjadi Negara yang
memiliki budaya baca-tulis yang baik. Dalam chapter review kali ini akan
dikupas data yang menunjukkan bahwa betul literasi di Indonesia masih buruk dan
mengapa ihwal ini dapat terjadi. Juga, bagaimana kondisi pengajaran bahasa dan
sastra di Indonesia. Apakah sudah mengajarkan ihwal literasi? Dan apa itu
definisi literasi? Yang semakin hari definisi literasi terus berevolusi dan kini
maknanya semakin meluas dan kompleks. Jadi, bagaimanakah pendekatan yang tepat
untuk mengajarkan ihwal pengajaran bahasa asing khususnya. Para ahli bahasa
lazim mengelompokkan periodisasi penggunaan metode dan pendekatan terhadap
pengajaran bahasa asing ke dalam lima kelompok besar, yaitu sebagai berikut:
a. Pendekatan struktural dengan grammar translation methods (popular sampai
dengan Perang Dunia ke-2) yang meletakkan fokus pembelajarannya pada penggunaan
bahasa tulis dan penggunaan tata bahasa. Pengajaran bahasa Inggris di tahun
1950-an dan 1960-an mulai mengembangkan adanya metode. Pendekatan ini memiliki
ciri-ciri yaitu titik pembelajarannya pada struktur kata dan kalimat.
b. Pendekatan audiolingual, yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan
mendengarkan dan berbicara. Secara bertahap keterampilan membaca diberikan
berdasarkan apa yang telah dibicarakan dan dibaca.
c. Pendekatan kognitif dan transformative dengan fokus pengajarannya
terletak pada pembangkitan (generating) potensi berbahasa pada siswa sesuai
dengan potensi dan kebutuhan lingkungannya. Yang mana ini tidak menjamin,
karena secara sosiolinguistik tidak fungsional.
d. Pendekatan communicative competence, pendekatan ini sangatlah
erat kaitannya dengan pengajaran bahasa
Inggris untuk tujuan khusus (English for Specific Purposes, atau disingkat
ESP), ditemukan pula bahwa pengajaran bahasa Inggris di akademi sekertaris itu
termasuk dalam kategori ESP atau lebih khusus yaitu EOP (English for
Occupational Purposes). Namun, pendekatan komunikatif juga dianggap kurang
eksplisit dalam upaya untuk menjelaskan bentuk dan fungsi, sehingga lahir tata
bahasa fungsional atau Systemic
Functional Grammar (SFG) yang dikembangkan Halliday (1985); Martin
(2000), dan lain-lain.
e. Pendekatan Literasi atau pendekatan genre-based sebagai implikasi dari
studi wacana. Pendekatan ini sesungguhnya amat berpotensi dalam pemberdayaan
peserta didik dalam hal literasi. Dimana literasi merupakan kemampuan
komunikatif tertinggi yang didukung oleh keempat keterampilan bahasa (benar,
tepat, runtut, runut).
f.
Definisi
literasi mengalami revolusi, definisi (lama) literasi adalah kemampuan membaca
dan menulis. Meskipun di Indonesia istilah literasi jarang dipakai, istilah
yang sering dipakai yaitu pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa. Sekarang
ini literasi memiliki arti yang luas. Oleh karenanya, ada bermacam-macam
literasi, misalnya literasi computer (computer literacy), literasi media (media
literacy), literasi teknologi (technology literacy), ekonomi literacy (economy
literacy), literasi informasi (information literacy), dan bahkan ada literasi
moral (moral literacy).
Literasi merupakan kompetensi mutlak
yang harus dimiliki setiap anggota masyarakat di era informasi ini. Literasi
menuntut kemampuan berpikir kritis masyarakat dan kemauan untuk terus menjadi
pelajar seumur hidup. Proses ini tidak pernah berhenti pada satu titik.
Penerapan budaya literasi di sekolah perlu dikembangkan, yang mana banyak
dikalangan akademisi mengutamakan linguistic features dan mengabaikan aspek
pemahaman. Pendekatan literasi menuntutu seorang guru tidak hanya terampil
memilih, menganalisis, dan memahami isi teks, tetapi juga bagaimana menilai
teks yang dihasilkan siswa. Teks tidak cukup dinilai berdasarkan panjang pendek
atau banyak kalimatnya saja, melainkan juga berdasarkan isinya.
In the 21st century, world
class standards will demand that everyone is highly literate, highly numerate,
well informed, capable of learning constantly, and confident and able to play
their part as a citizen of a democratic society... (Barber, dikutip Hayat dan
Yusuf, 2010:23)
Manusia di abad ke 21 dituntut untuk
menjadi orang-orang yang multiliterasi. Meskipun literasi tetap berurusan
dengan penggunaan bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang
memiliki tujuh dimensi yang saling terkait.
1. Dimensi geografis (lokal, nasional,
regional, dan internasional) berkaitan dengan tingkat literasi seseorang
2. Dimensi bidang (pendidikan, komunikasi,
administrasi, hiburan, militer, dan sebagainya)
3. Dimensi keterampilan (membaca, menulis,
menghitung, berbicara)
4. Dimensi fungsi (memecahkan persoalan,
mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan ,
mengembangkan potensi diri)
5. Dimensi media (teks, cetak, visual,
digital)
6. Dimensi jumlah (satu,dua,beberapa)
7. Dimensi bahasa (etnis, lokal, nasional,
regional, international)
Sebagai mahasiswa bahasa Inggris,
juga sebagai masyarakat daerah Jawa Barat yang menguasaii bahasa Sunda.
Sebenarnya kita adalah warga masyarakat yang multilaterat. Dibawah ini ada 10
gagasan kunci ihwal literasi yang menunjukkan perubahan paradigm literasi
sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini.
a. Ketertiban lembaga-lembaga sosial
b. Lembaga-lembaga sosial, misalnya RT, RW, kelurahan sampai dengan DPR dan
presiden menjalankan mesin birokrasi sekaligus menjalankan perannya dengan
fasilitas bahasa.
c. Tingkat kefasihan relative
d. Kefasihan berbahasa tidak hanya diukur dengan skor TOEFL atau apapun
itu, karena kefasihan literasi sangat relatif.
e. Pengembangan potensi diri dan pengetahuan
f.
Pada
tahap paling tinggi literasi membekali orang (baca: mahasiswa) kemampuan
memproduksi dan mereproduksi ilmu pengetahuan
g. Standar dunia
h. Mutu yang dikembangkan saat ini adalah mutu Internasional
i.
Warga
masyarakat demokratis
j.
Pendidikan
literasi harus mendukung terciptanya demokratisasi bangsa.
k. Keragaman local
l.
Manusia
literat sadar mengenai keragaman bahasa dan budaya lokal
m. Hubungan global
n. Kini, semua orang adalah warga dunia, semua orang harus memiliki
literasi tingkat dunia.
o. Kewarganegaraan yang efektif
p. Literasi membekali manusia kemampuan menjadi warga Negara yang mampu
mengubah diri, menggali potensi diri, serta berkontribusi.
q. Bahasa Inggris ragam dunia
r. Kini, setiap bangsa membangun literasi dalam bahasa etnis dan budaya
lokalnya, bahasa Inggris mereka kental dengan kelokalan sehingga muncul sebagai
ragam bahasa Inggris atau multiple Englishes.
s. Kemampuan berpikir kritis
t.
Masyarakat
semiotic
Kita semua adalah
praktisi semiotik. Setiap hari kita membaca dan bernegosiasi ihwal dunia
simbol, dan mengostruksi diri kita sendiri secara semiotic, dari cara kita
berkomunikasi non-verbal sampai cara kita berpakaian (Luke, 2003). Pendidikan
bahasa berbasis literasi seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip
sebagai berikut:
1.
Literasi
adalah kecakapan hidup (life skill) yang memungkinkan manusia berfungsi
maksimal sebagai anggota masyarakat. Melatih dan memberdayakan siswa
memfungsikan bahasa sesuai dengan konvensinya dalam kehidupan nyata seperti
cara membuat cv, surat lamaran kerja, membaca menu dan lain-lain.
2.
Literasi
mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis
maupun lisan.
3.
Literasi
adalah kemampuan memecahkan masalah. Mengajar bahasa seyogianya melatih siswa
menggunakan bahasa dan nalar.
4.
Literasi
adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
5.
Literasi
adalah kegiatan refleksi (diri). Seyogianya pendidikan bahasa menanamkan pada
diri (maha)siswa kebiasaan melakukan refleksi atas bahasa sendiri maupun bahasa
orang lain.
6.
Literasi
adalah hasil kolaborasi. Artinya penulis (tidak) menuliskan sesuatu berdasarkan
pemahamannya ihwal calon pembaca. Pembaca pun harus mengerahkan segala
pengetahuan dan pengalamannya untuk memaknai tulisan itu.
7.
Literasi
adalah kegiatan melakukan interpretasi. Pendidikan bahasa sejak dini seyogianya
melatih (maha)siswa melakukan interpretasi (mencari, menebak, dan membangun
makana), atas berbagai jenis teks dalam wacana tekstual, visual, dan digital
diberbagai ranah kehidupan dan bidang ilmu.
Sub-bab (Rapor Merah Literasi Anak Negeri) dalam buku pak Chaedar telah
menginspirasi saya untuk member judul Malapraktik Literasi di Chapter Review
kali ini. Dimana dijelaskannya rapor literasi anak-anak bangsa ini. Yang mana
hasilnya sangat memprihatinkan. Sejak 1999 Indonesia ikut dalam proyek
penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS (Progress in International Reading
Literacy Study), PISA (Program for International Student Assesment), dan TIMSS
(the Third International Mathematics and Science Study) untuk mengukur literasi
membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Temuan-temuan terpenting dari
PIRLS 2006 yang relevan dengan perbincangan tentang literasi membaca, yakni
prestasi membaca siswa kelas IV Indonesia serta posisinya dibandingkan dengan
siswa Negara lainnya.
Dalam
penelitian itu tujuan membaca meliputi literacy purposes dan informational
purposes, sedangkan proses membaca meliputi interpreting, integrating dan
evaluating. Saya akan mengambil satu contoh temuan saja yaitu di Indonesia
tercatat 2% siswa yang presatasi membacanya masuk ke dalam kategori rendah.
Dari sinilah, kita menarik pelajaran bahwa tingkat literasi siswa Indonesia
masih tertinggal jauh dengan siswa Negara-negara lain. Artinya, pendidikan
nasional kita belum berhasil menciptakan warga Negara yang literat yang siap
bersaing dengan sejawatnya dari Negara lain.
Sekolah,
sebagai lembaga pendidikan formal adalah situs pertama untuk membangun literasi
yang pada umumnya disokong oleh pemerintah dengan menggunakan dana public, dan
dengan demikian mudah di intervensi oleh berbagai kebijakan, inovasi, dan
program uji coba pemerintah. Karena itu, wajar jika proses dan hasil
pembelajaran bahasa di sekolah sering dijadikan rujukan dalam upaya mengukur
tingkat literasi. Perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat
dimensi: (1) linguistic atau fokus teks, (2) kognitif atau fokus minda, (3)
sosiokultural atau fokus kelompok, dan (4) perkembangan atau fokus pertumbuhan.
Mengajarkan
literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu berbaca
tulis, terdidik, cerdas, dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra. Dalam garis
besarnya ada tiga paradigm pembelajaran literasi yaitu decoding, skills, dan
whole language (Kucer:2000).
a.
Decoding,
dalam paradigma ini berlaku rumus: perkembangan literasi= belajar ihwal
literasi -> belajar literasi -> belajar melalui literasi.
b.
Keterampilan,
berlaku rumus perkembangan literasi = belajar ihwal literasi. Belajar literasi->
belajar melalui literasi
c.
Bahasa
secara utuh. Paradigm ini menolak urutan: belajar ihwal literasi -> belajar
literasi -> belajar melalui literasi. Paradigm ini mengajukan rumus berikut
ini: Perkembangan literasi adalah belajar melalui literasi -> belajar
literasi -> belajar ihwal literasi.
Dapat disimpulkan, perubahan sudut pandang membawa sejumlah konsekuensi
sampai ke metode dan teknik pengajaran yang kasat mata dan hasilnya dapat
diukur. Bila lapor literasi anak bangsa ini merah seperti yang diungkap
dibagian awal, saya merasa ada malapraktik linguistic, dalam pengajaran ataupun
dalam pembelajaran bahasa. Namun, jangan juga kita sontak menyalahkan guru
bahasa, karena pendidikan literasi memiliki banyak dimensi, antara lain dimensi
sosial politik. Oleh karenanya, celah malapraktik masuk ke dalam literasi
bangsa ini semakin besar, yang menyebabkan tidak kondusifnya peningkatan
literasi di Indonesia. Perubahan paradigm salah satunya akan mengobati bangsa
ini dari malapraktik literasi.
0 comments:
Post a Comment