Komposisi
Literasi
Melihat sejarah
peradaban umat manusia, bahwa bangsa yang maju tidak bisa dibangun dengan hanya
mengandalkan kekayaan alam yang melimpah ataupun pengelolaan sebuah negara yang
baik, tetapi didapat dari peradaban tulisan atau penguasaan literasi yang dapat
menjembatani peradaban dari generasi ke genarasi barunya.
Dalam sejarah
dunia Islam, salah satu khulafaur rasyidin Ali bin Abi Thalib bahwa sebuah ilmu
lama-kelamaan akan berangsung menghilang, karena itu beliau menganjurkan untuk
mengikat ilmu dengan tulisan. Hal ini mengingatkan kembali bahwa Islam telah
dari awal sangat menjunjung tinggi tradisi literasi. Menurut Martha C. Pennington
(1996:186) mengatakan bahwa secara fakta dokumen tertulis dapat survive
lebih lama dibandingkan manusia itu sendiri karena bahasa tulisan mudah dipelihara
dari generasi ke generasi berikutnya.
Periodisasi penggunaan metode dan pendekatan,
khususnya untuk pengajaran bahasa asing. Menurut para ahli membaginya ke dalam
lima kelompok besar, yaitu sebagai berikut:
·
Pendekatan struktural dengan grammart translation methods
(populer sampai perang dunia ke-2) yang meletakkan fokus pembelajarannya pada
penggunaan bahasa tulis dan penguasaan bahasa. Pendekatan ini tidak menjamin
siswa mampu menganalisis persoalan seperti bahsa pejabat yang munafik, bahasa
yang bias gender.
·
Pendekatan audiolingual atau dengar ucap (1940-1960)
fokusnya pada latihan dialog-dialog pendek untuk dikuasai siswa. Kekurangan
penguasaan bahasa tulis terabaikan.
·
Pendekatan kognitif dan transformatif fokus pengajarannya
terletak pada pembangkitan potensi berbahasa siswa sesuai dengan potensi dan
kebutuhan lingkungannya.
·
Pendekatan communicative competence menjadi tren
pengajaran bahasa antara 1980-1990. Tujuan pengajaran bahasa adalah menjadikan
siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa target, mulai dari komunikasi terbatas
sampai dengan komunikasi spontan dan alami.
·
Pendekatan literasi sebagai implikasi dari studi wacana.
Sesuai dengan kurikulum 2004 di indonesia tujuan pemeblajarannya ada;ah menjadikan
siswa mampu menghasilkan wacana yang sesuai dengan tuntutan konteks komunikasi.
Yang sangat menonjol pada pendekatan ini adalah pengenalan berbagai genre
wacana lisan maupun tulisan untuk dikuasai oleh siswa.
Metodologi pengajaran di kalangan guru bahasa
saat ini, yang menjadi buah bibir adalah genre, wacana, literasi, teks dan
konteks. Literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Pengertian literasi
berdasarkan konteks penggunaanya dinyatakan Baynham (1995:9) bahwa literasi
merupakan integrasi keterampilan menyimak, berbicara, menulis, membaca, dan
berpikir kritis. James Gee (1990) mengartikan literasi dari sudut pandang
ideologis kewacanaan yang menyatakan bahwa literasi adalah “mastery of, or
fluent control over, a secondary discourse.” Dalam memberikan pengertian
demikian Gee menggunakan dasar pemikiran bahwa literasi merupakan suatu
keterampilan yang dimiliki seseorang dari kegiatan berpikir, berbicara,
membaca, dan menulis.
Freebody dan Lukke model literasi adalah
sebagai berikut:
§
Memahami kode dalam teks
§
Terlibat dalam memaknai teks
§
Menggunakan teks secara fungsional
§
Melakukan analisis
§
Mentransformasikan teks secara kritis
Diringkas menjadi 4 verba yaitu memahami,
melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan teks. Itulah hakikat
berliterasi secara kritis dalam masyarakat demokratis.
Literasi tetap berurusan pada penggunaan bahasa. Terdapat tujuh dimensi
bahasa yaitu:
ª Dimensi geografis (lokal, nasional, regional,
internasional)
Literasi seseorang dapat dikatakan berdimensi
lokal, nasional, regional, internasional bergantung pada tingkat pendidikan dan
jejaring sosial. Contohnya diplomat lebih sering di tantang untuk memiliki
literasi internasional dari pada bupati.
ª Dimensi bidang (pendidikan, komunikasi,
administrasi, hiburan, militer)
Literasi bangsa nampak pada 5 elemen tersebut.
Tingkat dan efisisen layanan publik dan militer bergantung pada kecanggihan
teknologi komunikasi dan persenjataan yang di gunakan. Pendidikan yang tinggi
menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula.
ª Dimensi keterampilan ( membaca, menulis,
menghitung, berbicara)
Literasi seseorang nampak dalam kegiatan
membaca, menulis, menghitung. Sarjana yang berkualitas harus mampu menguasai ke
empat tersebut. Dalam dunia barat, ketiga keterampilan tersebut disebut
reading, writing, arithmetic.
ª Dimensi fungsi (memecahkan persoalan,
mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan,
mengembangkan potensi diri).
Orang yang literat karena pendidikannya akan
mampu mengatasi dimensi fungsi.
ª Dimensi media (teks, cetak, visual, digital)
Untuk menjadi literat pada jaman sekarang
orang tidak cukup mengandalkan keahlian membaca dan menulis teks, melainkan
juga harus mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks cetak, visual,
digital. Penguasaan Informasi Teknologi sangat penting, sehingga kini kehebatan
universitas lain di ukur lewat webometrics, yakni sejauh mana universitas
tersebut diperbincangkan dalam dunia maya.
ª Dimensi Jumlah (satu, dua, tiga)
Jumlah dapat merujuk banyak hal, misalnya
bahasa, variasi bahasa, bahasa tutur, bidang ilmu, media, dan sebagainnya.
Orang multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi. Kemampuan ini
tumbuh karena proses pendidikan yang berkualitas tinggi. Literasi seperti
halnya komunikasi bersifat relatif. Anda mungkin komunikatif dalam bahasa
indonesia, tetapi anda kurang komunikatif dalam bahasa ibu. Sama halnya dengan
literasi.
ª Dimensi bahasa (etbis, lokal, regional,
internasional)
Bila anda orang sunda dan mahasiswa jurusan
bahasa inggris. Anda adalah orang multilingual dalam bahasa Sunda, Indonesia,
Inggris. Artinya anda multiliterat.
11gagasan kunci ikwal literasi yang
menunjukkan perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan
perkembangan ilmu pengetahuan sekarang yaitu ketertiban lembaga-lembaga sosial,
tingkat kefasihan relatif, pengembangan potensi diri dan pengetahuan, standar
dunia, warga masyarakat demokratis, keragaman lokal, hubungan global,
kewarganegaraan yang efektif, bahasa inggris ragam dunia, kemampuan berfikir
kritis, masyarakat semiotik.
Pendidikan bahasa berbasis literasi seyogyanya
dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip berikut:
R Literasi adalah kecakapan hidup yang
memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
R Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif
dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
R Literasi adalah kemauan memecahkan masalah.
R Literasi adalah refleksi penguasaan dan
apresiasi budaya
R Literasi adalah kegiatan refleksi (diri)
R Literasi adalah hasil kolaborasi
R Literasi adalah kegiatan interpretasi
Menurut buku Pokoknya Rekayasa Literasi. Indonesia sejak 1999 ikut dalam proyek
penelitian dunia yang dikenal dengan (PIRLS) Progress In International Reading
Literacy Study dan PISA (Program for International Student Assesment) dan TIMS
(the Third International Mathematics and Science Study) untuk mengukur literasi
membaca , matematika dan ilmu pengetahuan alam. Akan dikutip temuan-temuan
terpenting dari PIRLS 2006 yang relevan dengan perbincangan tentang literasi
membaca, yakni prestasi membaca siswa kelas VI indonesia serta posisinya di
bandingkan negara peserta lainnya.
Tingkat literasi siswa Indonesia masih jauh tertinggal oleh siswa
negara-negara lain. Artinya pendidikan nasional kita belum berhasil menciptakan
warga negara yang literat yang siap bersaing dengan negara lain. Dalam skala
internasional literasi siswa kita belum kompetetif. Terlihat berbagai variabel
yang terkait dengan pendidikan literasi, yakni pendidikan orang tua, pendapatan
nasional perkapita, fasilitas belajar, lama belajar, human development index
(HDI).
Dalam laporan PIRLS tidak ditemukan skor prestasi menulis, sehingga kita
tidak mengetahui bukti korelasi antara skor prestasi membaca dan menulis. Namun
dapat di prediksi bahwa prestasi menulis sangat bergantung pada kemampuan
membaca. Tanpa kegiatan membaca (banyak) orang sulit menjadi penulis. Namun,
banyak membaca tidak menjamin orang rajin menulis.
Ujung tombak pendidikan literasi adalah guru dengan langkah-langkah
profesionalnya yaitu:
Komitmen profesional
Komitmen etis
Strategi analisi dan reflektif
Efikasi diri
Pengetahuan bidang stuudi
Keterampilan literasi dan numerisasi. (Cole
dan Chan, 1994 dikutip oleh Setiadi,2010)
Dengan kata lain, membangun literasi bangsa
harus diawali dengan membangun guru yang profesional dan guru profesional hanya di hasilkan oleh lembaga pendidikan
guru yang profesional juga.
Implementasinya adalah orang literat orang
yang terdidik dan berbudaya. Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan
sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa
secara optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan
pembudayaan. Perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat dimensi
yaitu:
Linguistik atau fokus teks
Kognitif atau fokus mind
Sosiokultural atau fokus kelompok
Perkembangan atau fokus pertumbuhan
Dengan demikian rekayasa literasi berarti
merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam 4 dimensi diatas. Pengajaran
bahasa (language arts) yang baik, menghasilkan orang literat yang mampu
menggunakan keempat dimensi ini secara serempak, aktif, dan terintegrasi.
Dimensi Literasi Membaca dan Menulis
Mengajarkan literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional
mampu berbaca tulis, terdidik, cerdas, dan menunjukkan apresiasi terhadap
sastra. Ada tiga tiga paradigma pembelajaran literasi yaitu decoding, skills,
whole language.
Æ Decoding
Siswa membangun literasi dengan di ajar
terlebih dahulu tentang literasi, yakni bagaimana memaknai kode bahasa.
Pembelajar diharapkan mampu berliterasi secara mandiri.
Æ Skills
Penguasaan morferm dan kosakata adalah dasar
untuk membaca. Fokus pembelajarannya pada penguasaan sistem morfemik bahasa.
Siswa diajarkan mengenal formula bahasa untuk di terapkan pada berbagai data
atau peristiwa literasi dalam berbagai konteks.
Æ Whole Language (bahasa secara utuh)
Fokusnya terdapat pada pembelajaran makna,
yaitu kegiatan mengajarkan makna secara utuh, tidak parsial. Siswa mesti di
dihadapkan pada teks otentik yang
kontekstual untuk mendapatkan makna baru.
Jadi kesimpulannya adalah sejak jaman dahulu,
sebenarnya literasi itu sudah ada sejak jaman rosulullah. Seharusnya kita bisa
menghargai dan menerapkan literasi pada jaman sekarang khusunya di negeri kita
sendiri. Agar indonesia lebih baik lagi dari segi literasinya. Jangan sontak
salahkan siapa-siapa jika bangsa ini belum bisa menjadi bangsa penulis. Mulai
dari diri sendiri, perbanyak membaca, tuangkan ide-ide dalam bentuk tulisan.
0 comments:
Post a Comment