Monday, February 17, 2014

10:27 PM
Bengkel “Linguistik” yang Terampil


            Dalam buku “Pokoknya Rekayasa Literasi” BAB enam yang membahas ihwal Rekayasa Literasi, ada tiga poin besar yang disampaikan oleh Bapak A. Chaedar Alwasilah yaitu definisi literasi, rapor merah literasi anak negeri, dan implementasi literasi dalam rekayasa literasi yang mana terdapat empat dimensi literasi membaca dan menulis.
            Bila saya amat-amti, pada BAB enam ini yang berjudul “Rekayasa Literasi”. Ada suatu isyarat yang menunjukkan kepada suatu hal yang sangat kompleks bahwa rekayasa literasi membawa pembaca berselancar mengarungi pemahaman masalah perencanaan dan politik bahasa yang begitu sangat kompleks. Perencanaan bahasa adalah studi antardisiplin yang melibatkan linguistic, literasi, pendidikan, politik, ekonomi, psikologi, dan sosial. Memang bila dirasakan pada diskusi ini menyajikan beberapa masalah hal ihwal politik. Apalagi bila melihat pada temuan-temuan yang telah diteliti oleh PIRLS 2006 yang relevan dengan perbincangan tentang literasi membaca, yakni prestasi membaca siswa kelas IV Indonesia serta posisinya dibandingkan dengan siswa dari negara peserta lainnya. Yang mana temuan-temuan itu meliputi banyak perbincangan mengenai politik, bila melihat kasus yang ada seperti hanya skor prestasi membaca di Indonesia, di Indonesia hanya tercatat 2% siswa yang prestasi membacanya masuk ke dalam kategori sangat tinggi, 19% masuk ke dalam kategori menengah, dan 55% masuk ke dalam kategori rendah, tercatat pula Indonesia masuk ke dalam kategori posisi yang paling bawah, yaitu hanya sekitar 1% dalam kategori high, 62% dalam kategori medium, dan 37% dalam kategori low, hal ini berkaitan erat pada index of home educational resources (HER). Kemudian hal yang lain adalah bahwa orang tua siswa negara peserta PIRLS yang memiliki pendidikan sangat rendah adalah  (lebih dari 25% orang tua siswa tidak lulus SD) adalah Indonesia (46%), Iran (35%), Maroko (59%), dan Afrika Utara (26%). Dalam lingkup PIRLS diketahui bahwa rerata skor capaian prestasi membaca 544 didapatkan oleh kelompok siswa yang orang tuanya lulusan universitas, dan rerata skor 425 didapatkan oleh sekelompok siswa yang siswa orang tuanya tidak tamat SD. (Hayat dan Yusuf, 2010: 73-81)
            Mungkin sebagian orang bingung atau sebagian besar orang menemui kebingungan dalam memahami makna dari literasi itu sendiri. Dari awal hingga sekarang belum saya jelaskan pengertian dari literasi itu sendiri apa, apa sih yang dimaskud dengan literasi wahai saudara-saudara ku sekalian. Literasi memiliki banyak definisinya mengikuti aliran zaman yang selalu berinovasi dalam pembaharuan pikiran dan lain sebagainya. Definisi (lama) literasi adalah kemampuan membaca dan menulis (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005: 898). Namun sangat disayangkan sekali istilah literasi tidak digunakan di sekolah, yang digunakannya adalah pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa (Setiadi: 2010). Literasi pun adalah praktik cultural yang berkaitan dengan persoalan social dan politik. Freebody dan Luke menawarkan model literasi atas tantangan zaman yaitu para pakar pendidikan dunia berpaling ke definisi baru yang menunjukkan paradigm baru dalam upaya memaknai literasi dan pembelajarannya. Jadi dapat disebutkan model literasi sebagai berikut: 1) memahami kode dalam teks 2) terlibat dalam memaknai teks 3) menggunakan teks secarafungsional dan 4) melakukan analisis dan mentranformasi teks secara kritis. Keempat peran literasi ini dapat diringkas ke dalam lima kata: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentranformasi teks. Itulah sebenarnya hakikat dari ber-literasi  secara kritis dalam masyarakat demokratis.
            Literasi tetap selalu berurusan dengan penggunaan bahsa, dan kini menjadi kajian antar lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait. Ke-tujuh dimensi tersebut yaitu: a) dimensi geografis, literasi seseorang dapat dikatakan berdimensi local, nasional, regional, atau internasional bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring social dan vokasionalnya. b) dimensi bidang, literasi bangsa tampak di bidang pendidikan, komunikasi, administrasi, militer, dan sebagainya. Pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi  yang berkualitas tinggi pula. Pasti! Sebelum melanjut pada dimensi berikutnya saya sedikti menmbahkan mengenai kualita membaca yang ada di Indonesia menurut buku “Jangan Caci-Maki Kegelapan Nyalakanlah Sebatang Lilin” yang dikarang oleh bapak Agus Hermawan sebagai seorang penulis lepas, motovator bidang pendidikan, dan fasilitator nasional di Direktorat Pembinaan SMA Depdiknas untuk sosialisai kurikulum dan penilaian. Dikatakan dalam bukunya mengenai “bangsa kita sedang mengalami apa yang disebuut low quality.” Namun sebelumnya tertera pernyataan dari Barbara Tuchman bahwa “buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan spekulasi mandek.” Saya lenjut bahwa low quality ini ternyata telah menerpa hamper seluruh aspek kehidupan di negeri ini, sehingga seringkali kita mendengar, melihat, merasakan, bahkan mengalami kejadian yang menjengkelkan dan melelahkan. Apa yang kita lihat dan dengar? Melalui beragam tayangan di televise, lelahlah mata dan telinga menyaksikan fenomena-fenomena yang terjadi. Ada dua aspek yang mempu memperbaiki bahkan meningkatkan keadaan low quality yaitu dengan, pertama memperbaiki seluruh aspek pendidikan, kedua guru harus menulis. Bila keduanya telah menjadi kebiasaan (habitual) maka akan terciptanya reading society dan learning society. Nah kedua budaya ini akan menjelma bila keberadaan buku mudah didapat oleh penulis.
Yang menyebabkan budaya baca secara umum menurun adalah mayoritas sekolah di Indonesia memiliki buku dan judul yang sangat minim, bahkan buku-buku yang tersedia tidak pernah diperbaharui. Padahal membaca dan menulis (mengarang) menurut Taufiq Ismail bagaikan kakak-adik kandung yang tidak bisa dipisahkan. Artinya, dengan minim jumlah buku di perpustakaan berdampak pada kurangnya kemampuan guru dalam menulis. Lagi-lagi seorang pendidik yang harus memulai untuk menulis, agar nantinya pun terciptanya dorongan yang kuat untuk para pejabat dalam kebijakan untuk para siswa membiasakan menulis dengan menirukan kebiasaan baiknya Sang guru. Nah, jika kakak-adik ini menjadi kebiasaan guru, otomatis akan menjalar pada peserta didik. “ruh”nya memperbaiki pendidikan, dan sejalan dengan waktu akan mengubah kualitas bangsa.
            Dengan kesaktian isi yang terkandung dalam buku, bisa jadi untaian kata pembuka dari Barbara Tuchman berubah menjadi, “Buku akan membuat manusia lebih beradab, sejarah menjadi riuh, sastra bertutur, ilmu pengetahuan menggeliat, dan kehidupan penuh warna dan sarat kualitas.”
            Dengan tertanam budaya reading society dan learning society yang sejalan dengan budaya menulis. Maka tidak akan ditemukan lagi istilah low quality yang menjiwai bangsa, yang ada justru masyarakat high quality. Semoga.
            Melanjut pada poin berikutnya mengenai tujuh dimensi adalah: c) dimensi keterampilan, literasi seseorang tampak dalam kegiatan membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Setiap sarjana pasti mampu membaca, tapi tidak  semuanya mampu menulis. Untuk menjadi sarjana yang baik tidak cukup mengandalkan literasi saja namun juga keterampilan menghitung. Dalam tradisi barat, 3 keterampilan tersebut lazim disebut 3R, yaitu reading, writing, arithmetic. d) dimensi fungsi, yaitu orang yang literat mampu memecahkan masalah, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri. e) dimensi media, untuk menjadi literat pada zaman kini, orang mesti mengandalakan pula kemampuan membaca dan menulis teks cetak, visual, dan digital. f) dimensi jumlah, jumlah dapat merujuk pada banyak hal misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media, dan sebagainya. g) dimensi bahasa, hal ini berhubungan dengan bahasa etnis, local, nasional, regional, internasional. Dikatakan bahwa Anda mungkin literat dengan basis bahasa Indonesia dan Inggris, tetapi Anda tidak hirau terhadap bahasa dan budaya Sunda, maka literasi kesundaan Anda payah! Ya begitupun dengan orang Jawa, bila tingkat literasinya rendah dalam bahasa Jawa berarti sama-sama payahnya seperti tadi literasi kesundaan.
            Ada sepuluh gagasan kunci tentang literasi yang menunujukkan perubahan pardigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini yaitu, ketertiban lembaga-lembaga social, tingkat kefasihan relative, pengembangan potensi diri dan pengetahuan, standar dunia, warga masyarakat demokratis, keragaman local, hubungan global, kewarganegaraan yang efektif, bahasa inggris ragam dunia (multiple Englishes), kemampuan berfikir kritis, dan masyarakat semiotic. Semiotic adalah ilmu tentang tanda, kode, struktur, dan komunikasi. Jadi dengan ke-sepuluh kata kunci ini hal ihwal literasi, seseorang dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas membaca dan menulisnya dan mampu menemukan suatu makna dalam teks yang disaring melalui sebuah konteks.
            Dalam pendidikan bahasa yang baik seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip sebgai berikut: 1) literasi adalah kecakapan hidup yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat. 2) literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun lisan. 3) literasi adalah kemampuan memecahkan masalah. 4) literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya. 5) literasi adalah kegiatan refleksi (diri). 6) literasi adalah hasil kolaborasi. Berbaca-tulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua pihak yang berkomunikasi, sudah dijelaskan pula bahwa berbaca-tulis bak kakak-adik kandung yang tak terpisahkan. 7) literasi adalah kegiatan untuk melakukan interpretasi atau penafsiran. Seperti halnya para penafsir Al-Qur’an yang begitu beragam latarbelakangnya, baik dari tafsir Maroghi, tafsir Jalalain, tafsir Munir, dan lain sebagainya. kesemua para masyayikh ini melakukan penginterpretasian secara khusus merujuk pada latar belakang pendidikannya, kalo imam Maroghi dalam menafsirkan Al-qur’an dengan bahasa yang terkini dan modern sehingga kadang membuat para pembaca kitabnya sedikit rumit dengan bahasa yang digunakan oleh beliau dan contoh-contoh lainnya.
            Kenapa literasi anak negeri selalu meraih rapor merah? Apa sih yang salah sebetulnya? Ternyata ada beberapa hal yang menjanjikan hasil rapor yang merah ini diantaranya adalah tingkat literasi siswa Indonesia masih jauh tertinggal oleh siswa negara-negara lain, dan kurangnya dorongan yang bermutu untuk bersaing dalam dunia literat. Kemudian dilihat dari statistik rekor penerbitan mahakarya buku di Indonesia masih sangat minim sekali, oleh karenanya diharuskan atau diwajibkan bagi para dosen untuk menulis satu buku per-tiga tahunnya, dan akan terbit sekitar 77.000 buah, belum dari buku-buku yang ditulis oleh kalangan non-dosen. Dengan cara inilah memungkinkan Indonesia akan mampu menyamai India. Sungguh tantangan yang tidak mudah dipecahkan masalahnya.
            Penelitian Setiadi (2010) menyatakan tentang kenyataannya dalam pengajaran guru kepada siswanya diantaranya adalah: pertama, dalam pembelajaran membaca dan menulis, para guru sangat mengandalkan kurikulum nasional dan buku paket untuk materi ajar dan metedologi mengajarnya. Kedua, pemodelan dalam kegiatan membaca dan menulis tidak lazim dilakukan oleh para guru. Ketiga, walaupun kualifikasi akademik guru memadai, mereka tidak mendapatkan pelatihan yang memadai dalam kegiatan mengelola kelas. Mereka memerlukan pelatihan tambahan untuk meningkatkan unjuk kerja mereka. Ketiga hal ini pulalah yang menyebabkan anak bangsa mendapatkan rapor literasi yang merah-merah.
            Ujung tombak pendidikan literasi adalah guru dengan langkah-langkah profesionalnya yang terlihat dalm enam hal: 1) komitmen profesionalnya, 2) komitmen etis, 3) strategi analitis dan reflektif, 4) efikasi diri, 5) pengetahuan bidang studi, dan 6) keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan, 1994 dikutip oleh Setiadi, 2010). Arti ringkasnya adalah bahwa membangun literasi anak bangsa harus diawali dengan membangun guru yang professional, dan guru professional itu hanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru yang professional juga. Jadi singkatnya pengajar adalah suri tauladan anak didiknya, dengan kata lain perkataan seorang guru bisa digugu (ditiru) dan perilakunya bisa ditiru.
            Bagian terakhir yang penting dari rekayasa literasi adalah implementasi dari literasi. Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Untuk peningkatan literasi siswa dapat dilaksanakan di lembaga pendidikan formal, keluarga, dan lingkungan masyarakat. Dalam perbaikan rekayasa literasi senantiasa melibatkan empat dimensi yaitu: 1) linguistic atau focus teks, 2) kognitif atau focus minda, 3) sosiokultural atau focus kelompok, 4) perkembangan atau focus pertumbuhan. Dengan demikian, rekayasa literasi berarti merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi di atas. Pengajaran membaca dan menulis harus ditempatkan dalam keemppat dimensi yang saling berkaitan. Pengajaran bahasa yang baik menghasilkan orang literat yang mampu menggunakan keempat dimensi ini secara serempak, aktif, dan terintegrasi. Dia menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Jadi memang buah itu tidak akan jauh dari pohonnya, kualitas rasa buah itu tergantung pada perawatannya. Begitupun dengan perawatan baca-tulis.
            Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi tingkat literasi seseorang. Bila pendidikan seseorang relative tinggi tetapi tingkat literasinya relative rendah, bisa jadi karena pendidikan literasinya kurang maksimal, atau karena sudut pandang yang berbeda mengenai  literasi. Ditekankan lagi bahwa literasi adaah kemampuan baca-tulis daseorang literat itu tidak sekedar berbaca-tulis, tetapi juga terdidik dan mengenal sastra.
            Tahukah Anda bahwa pengenalan terhadapa berbagai teks adalah bagian dari pengenalan terhadap pusparagam literasi, seperti iklan, ramalan cuaca, jadwal keberangkatan kereta api, rambu-rambu lalu-lintas, resep dokter, menu makanan, surat lamaran, editorial  Koran, puisi, cerita pendek, dan sebagainya.
            Meluruskan rekayasa literasi sebaiknya diawali dengan pemahaman atas berbagai paradigm pengajaran literasi. Dalam garis besarnya, ada tiga paradigma pembelajaran literasi, yaitu decoding, skills, dan whole language. Paradigm pertama, decoding adalah menyatakan bahwa grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi, dan belajar bahasa dimulai dangan menguasai bagian-bagian bahasa. Paradigm kedua, keterampilan adalah bahwa penguasaan morfem dan kosakata adalah dasar untuk membaca. Dan paradigma terakhir, bahasa secara utuh adalah paradigm ini menolak pembelajaran yang meletakkan focus pada bagian atau serpihan bahasa.
            Paradigma adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap objek pandang. Perubahan sudut pandang membawa konsekuensi sampai ke metode dan teknik pengajaran yang kasat mata dan hasilnya dapat diukur. Misalnya, dengan perubahan orientasi dari hasil ke proses, guru bahasa akan melakukan hal sebagai berikut: 1) bagi dia isunya bukan berapa banyak tulisan yang dihasilkan oleh siswa, tapi bagaimana tulisan diproses dari A sampai Z, 2) tidak menentukan target yang sama bagi semua siswa, karena dalam proses menulis setiap siswa memiliki hobi dan gaya yang berbeda. Yang penting berekspresi tulis. Kesalahan ejaan, tata bahasa, dan kosa kata akan dapat dibenahi sambil jalan (proses).
            Jadi dapat saya simpulkan bahwa pertama, rekayasa literasi adalah suatu jalan menuju pada suatu perubahan dan peningkatan literasi anak bangsa dengan metode dan teknik pengajaran literasi yang mencerdaskan. Kedua, menurut saya pribadi dalam kesimpulan saya ini bahwa bapa Lala Bumela pun sebetulnya meniru apa yang rekayasa literasi tuliskan yang mana perubahan paradigm dari hasil ke proses. Ketiga disimpulkan pula bahwa membaca dan menulis bagaikan Kakak-adik kandung yang tidak bisa dipisahkan menurut Taufiq Ismail. Dan terakhir, bahwa dalam pembengkelan bahasa (baca-tulis) dibutuhkan yang namanya keterampilan dimulai dari bahasa ibu, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Thank you.








0 comments:

Post a Comment