Bengkel “Linguistik” yang Terampil
Dalam buku “Pokoknya Rekayasa Literasi”
BAB enam yang membahas ihwal Rekayasa Literasi, ada tiga poin
besar yang disampaikan oleh Bapak A. Chaedar Alwasilah yaitu definisi literasi,
rapor merah literasi anak negeri, dan implementasi literasi dalam rekayasa
literasi yang mana terdapat empat dimensi literasi membaca dan menulis.
Bila saya
amat-amti, pada BAB enam ini yang berjudul “Rekayasa Literasi”.
Ada suatu isyarat yang menunjukkan kepada suatu hal yang sangat kompleks bahwa
rekayasa literasi membawa pembaca berselancar mengarungi pemahaman masalah
perencanaan dan politik bahasa yang begitu sangat kompleks. Perencanaan bahasa
adalah studi antardisiplin yang melibatkan linguistic, literasi, pendidikan,
politik, ekonomi, psikologi, dan sosial. Memang bila dirasakan pada diskusi ini
menyajikan beberapa masalah hal ihwal politik. Apalagi bila melihat pada
temuan-temuan yang telah diteliti oleh PIRLS 2006 yang relevan dengan
perbincangan tentang literasi membaca, yakni prestasi membaca siswa kelas IV
Indonesia serta posisinya dibandingkan dengan siswa dari negara peserta
lainnya. Yang mana temuan-temuan itu meliputi banyak perbincangan mengenai
politik, bila melihat kasus yang ada seperti hanya skor prestasi membaca di
Indonesia, di Indonesia hanya tercatat 2% siswa yang prestasi membacanya masuk
ke dalam kategori sangat tinggi, 19% masuk ke dalam kategori menengah, dan 55%
masuk ke dalam kategori rendah, tercatat pula Indonesia masuk ke dalam kategori
posisi yang paling bawah, yaitu hanya sekitar 1% dalam kategori high,
62% dalam kategori medium, dan 37% dalam kategori low, hal ini
berkaitan erat pada index of home educational resources (HER).
Kemudian hal yang lain adalah bahwa orang tua siswa negara peserta PIRLS yang
memiliki pendidikan sangat rendah adalah
(lebih dari 25% orang tua siswa tidak lulus SD) adalah Indonesia (46%),
Iran (35%), Maroko (59%), dan Afrika Utara (26%). Dalam lingkup PIRLS diketahui
bahwa rerata skor capaian prestasi membaca 544 didapatkan oleh kelompok siswa
yang orang tuanya lulusan universitas, dan rerata skor 425 didapatkan oleh
sekelompok siswa yang siswa orang tuanya tidak tamat SD. (Hayat dan Yusuf,
2010: 73-81)
Mungkin sebagian
orang bingung atau sebagian besar orang menemui kebingungan dalam memahami
makna dari literasi itu sendiri. Dari awal hingga sekarang belum saya jelaskan
pengertian dari literasi itu sendiri apa, apa sih yang dimaskud dengan literasi
wahai saudara-saudara ku sekalian. Literasi memiliki banyak definisinya mengikuti
aliran zaman yang selalu berinovasi dalam pembaharuan pikiran dan lain
sebagainya. Definisi (lama) literasi adalah kemampuan membaca
dan menulis (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary,
2005: 898). Namun sangat disayangkan sekali istilah literasi tidak digunakan di
sekolah, yang digunakannya adalah pengajaran bahasa atau pembelajaran
bahasa (Setiadi: 2010). Literasi pun adalah praktik cultural yang berkaitan
dengan persoalan social dan politik. Freebody dan Luke menawarkan model
literasi atas tantangan zaman yaitu para pakar pendidikan dunia berpaling ke
definisi baru yang menunjukkan paradigm baru dalam upaya memaknai literasi dan
pembelajarannya. Jadi dapat disebutkan model literasi sebagai berikut: 1)
memahami kode dalam teks 2) terlibat dalam memaknai teks 3) menggunakan teks
secarafungsional dan 4) melakukan analisis dan mentranformasi teks secara
kritis. Keempat peran literasi ini dapat diringkas ke dalam lima kata: memahami,
melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentranformasi teks. Itulah
sebenarnya hakikat dari ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis.
Literasi tetap
selalu berurusan dengan penggunaan bahsa, dan kini menjadi kajian antar lintas
disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait. Ke-tujuh dimensi
tersebut yaitu: a) dimensi geografis, literasi seseorang dapat dikatakan
berdimensi local, nasional, regional, atau internasional bergantung pada
tingkat pendidikan dan jejaring social dan vokasionalnya. b) dimensi bidang,
literasi bangsa tampak di bidang pendidikan, komunikasi, administrasi, militer,
dan sebagainya. Pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. Pasti! Sebelum
melanjut pada dimensi berikutnya saya sedikti menmbahkan mengenai kualita
membaca yang ada di Indonesia menurut buku “Jangan Caci-Maki Kegelapan
Nyalakanlah Sebatang Lilin” yang dikarang oleh bapak Agus Hermawan
sebagai seorang penulis lepas, motovator bidang pendidikan, dan fasilitator
nasional di Direktorat Pembinaan SMA Depdiknas untuk sosialisai kurikulum dan
penilaian. Dikatakan dalam bukunya mengenai “bangsa kita sedang mengalami apa
yang disebuut low quality.” Namun sebelumnya tertera pernyataan dari Barbara
Tuchman bahwa “buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah
menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan
spekulasi mandek.” Saya lenjut bahwa low quality ini ternyata telah
menerpa hamper seluruh aspek kehidupan di negeri ini, sehingga seringkali kita
mendengar, melihat, merasakan, bahkan mengalami kejadian yang menjengkelkan dan
melelahkan. Apa yang kita lihat dan dengar? Melalui beragam tayangan di
televise, lelahlah mata dan telinga menyaksikan fenomena-fenomena yang terjadi.
Ada dua aspek yang mempu memperbaiki bahkan meningkatkan keadaan low quality
yaitu dengan, pertama memperbaiki seluruh aspek pendidikan, kedua guru
harus menulis. Bila keduanya telah menjadi kebiasaan (habitual) maka akan
terciptanya reading society dan learning society. Nah kedua
budaya ini akan menjelma bila keberadaan buku mudah didapat oleh penulis.
Yang menyebabkan budaya baca secara umum menurun
adalah mayoritas sekolah di Indonesia memiliki buku dan judul yang sangat
minim, bahkan buku-buku yang tersedia tidak pernah diperbaharui. Padahal
membaca dan menulis (mengarang) menurut Taufiq Ismail bagaikan
kakak-adik kandung yang tidak bisa dipisahkan. Artinya, dengan minim jumlah
buku di perpustakaan berdampak pada kurangnya kemampuan guru dalam menulis.
Lagi-lagi seorang pendidik yang harus memulai untuk menulis, agar nantinya pun
terciptanya dorongan yang kuat untuk para pejabat dalam kebijakan untuk para siswa
membiasakan menulis dengan menirukan kebiasaan baiknya Sang guru. Nah, jika
kakak-adik ini menjadi kebiasaan guru, otomatis akan menjalar pada peserta
didik. “ruh”nya memperbaiki pendidikan, dan sejalan dengan waktu akan mengubah
kualitas bangsa.
Dengan kesaktian
isi yang terkandung dalam buku, bisa jadi untaian kata pembuka dari Barbara
Tuchman berubah menjadi, “Buku akan membuat manusia lebih beradab,
sejarah menjadi riuh, sastra bertutur, ilmu pengetahuan menggeliat, dan
kehidupan penuh warna dan sarat kualitas.”
Dengan tertanam
budaya reading society dan learning society yang sejalan dengan
budaya menulis. Maka tidak akan ditemukan lagi istilah low quality yang
menjiwai bangsa, yang ada justru masyarakat high quality. Semoga.
Melanjut pada poin
berikutnya mengenai tujuh dimensi adalah: c) dimensi keterampilan, literasi
seseorang tampak dalam kegiatan membaca, menulis, menghitung, dan berbicara.
Setiap sarjana pasti mampu membaca, tapi tidak
semuanya mampu menulis. Untuk menjadi sarjana yang baik tidak cukup
mengandalkan literasi saja namun juga keterampilan menghitung. Dalam tradisi
barat, 3 keterampilan tersebut lazim disebut 3R, yaitu reading, writing,
arithmetic. d) dimensi fungsi, yaitu orang yang literat mampu memecahkan
masalah, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan,
mengembangkan potensi diri. e) dimensi media, untuk menjadi literat pada zaman
kini, orang mesti mengandalakan pula kemampuan membaca dan menulis teks cetak,
visual, dan digital. f) dimensi jumlah, jumlah dapat merujuk pada banyak hal
misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media, dan
sebagainya. g) dimensi bahasa, hal ini berhubungan dengan bahasa etnis, local,
nasional, regional, internasional. Dikatakan bahwa Anda mungkin literat dengan
basis bahasa Indonesia dan Inggris, tetapi Anda tidak hirau terhadap bahasa dan
budaya Sunda, maka literasi kesundaan Anda payah! Ya begitupun dengan orang
Jawa, bila tingkat literasinya rendah dalam bahasa Jawa berarti sama-sama
payahnya seperti tadi literasi kesundaan.
Ada sepuluh
gagasan kunci tentang literasi yang menunujukkan perubahan pardigma literasi
sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini
yaitu, ketertiban lembaga-lembaga social, tingkat kefasihan relative,
pengembangan potensi diri dan pengetahuan, standar dunia, warga masyarakat
demokratis, keragaman local, hubungan global, kewarganegaraan yang efektif,
bahasa inggris ragam dunia (multiple Englishes), kemampuan berfikir
kritis, dan masyarakat semiotic. Semiotic adalah ilmu tentang tanda, kode,
struktur, dan komunikasi. Jadi dengan ke-sepuluh kata kunci ini hal ihwal
literasi, seseorang dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas membaca dan
menulisnya dan mampu menemukan suatu makna dalam teks yang disaring melalui
sebuah konteks.
Dalam pendidikan
bahasa yang baik seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip sebgai
berikut: 1) literasi adalah kecakapan hidup yang memungkinkan manusia berfungsi
maksimal sebagai anggota masyarakat. 2) literasi mencakup kemampuan reseptif
dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun lisan. 3) literasi
adalah kemampuan memecahkan masalah. 4) literasi adalah refleksi penguasaan dan
apresiasi budaya. 5) literasi adalah kegiatan refleksi (diri). 6) literasi
adalah hasil kolaborasi. Berbaca-tulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua
pihak yang berkomunikasi, sudah dijelaskan pula bahwa berbaca-tulis bak
kakak-adik kandung yang tak terpisahkan. 7) literasi adalah kegiatan untuk
melakukan interpretasi atau penafsiran. Seperti halnya para penafsir Al-Qur’an
yang begitu beragam latarbelakangnya, baik dari tafsir Maroghi, tafsir
Jalalain, tafsir Munir, dan lain sebagainya. kesemua para masyayikh ini
melakukan penginterpretasian secara khusus merujuk pada latar belakang
pendidikannya, kalo imam Maroghi dalam menafsirkan Al-qur’an dengan bahasa yang
terkini dan modern sehingga kadang membuat para pembaca kitabnya sedikit rumit
dengan bahasa yang digunakan oleh beliau dan contoh-contoh lainnya.
Kenapa literasi
anak negeri selalu meraih rapor merah? Apa sih yang salah
sebetulnya? Ternyata ada beberapa hal yang menjanjikan hasil rapor yang merah
ini diantaranya adalah tingkat literasi siswa Indonesia masih jauh tertinggal
oleh siswa negara-negara lain, dan kurangnya dorongan yang bermutu untuk
bersaing dalam dunia literat. Kemudian dilihat dari statistik rekor penerbitan
mahakarya buku di Indonesia masih sangat minim sekali, oleh karenanya
diharuskan atau diwajibkan bagi para dosen untuk menulis satu buku per-tiga
tahunnya, dan akan terbit sekitar 77.000 buah, belum dari buku-buku yang
ditulis oleh kalangan non-dosen. Dengan cara inilah memungkinkan Indonesia akan
mampu menyamai India. Sungguh tantangan yang tidak mudah dipecahkan masalahnya.
Penelitian Setiadi
(2010) menyatakan tentang kenyataannya dalam pengajaran guru kepada siswanya
diantaranya adalah: pertama, dalam pembelajaran membaca dan menulis,
para guru sangat mengandalkan kurikulum nasional dan buku paket untuk materi
ajar dan metedologi mengajarnya. Kedua, pemodelan dalam kegiatan membaca
dan menulis tidak lazim dilakukan oleh para guru. Ketiga, walaupun
kualifikasi akademik guru memadai, mereka tidak mendapatkan pelatihan yang
memadai dalam kegiatan mengelola kelas. Mereka memerlukan pelatihan tambahan
untuk meningkatkan unjuk kerja mereka. Ketiga hal ini pulalah yang menyebabkan
anak bangsa mendapatkan rapor literasi yang merah-merah.
Ujung tombak
pendidikan literasi adalah guru dengan langkah-langkah profesionalnya yang
terlihat dalm enam hal: 1) komitmen profesionalnya, 2) komitmen etis, 3)
strategi analitis dan reflektif, 4) efikasi diri, 5) pengetahuan bidang studi,
dan 6) keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan, 1994 dikutip oleh
Setiadi, 2010). Arti ringkasnya adalah bahwa membangun literasi anak bangsa
harus diawali dengan membangun guru yang professional, dan guru professional
itu hanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru yang professional juga. Jadi
singkatnya pengajar adalah suri tauladan anak didiknya, dengan kata lain
perkataan seorang guru bisa digugu (ditiru) dan perilakunya bisa ditiru.
Bagian terakhir
yang penting dari rekayasa literasi adalah implementasi dari literasi. Rekayasa
literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia
terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Untuk
peningkatan literasi siswa dapat dilaksanakan di lembaga pendidikan formal,
keluarga, dan lingkungan masyarakat. Dalam perbaikan rekayasa literasi
senantiasa melibatkan empat dimensi yaitu: 1) linguistic atau focus teks, 2)
kognitif atau focus minda, 3) sosiokultural atau focus kelompok, 4)
perkembangan atau focus pertumbuhan. Dengan demikian, rekayasa literasi berarti
merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi di atas.
Pengajaran membaca dan menulis harus ditempatkan dalam keemppat dimensi yang
saling berkaitan. Pengajaran bahasa yang baik menghasilkan orang literat yang
mampu menggunakan keempat dimensi ini secara serempak, aktif, dan terintegrasi.
Dia menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Jadi memang buah itu tidak
akan jauh dari pohonnya, kualitas rasa buah itu tergantung pada perawatannya.
Begitupun dengan perawatan baca-tulis.
Tingkat pendidikan
sangat mempengaruhi tingkat literasi seseorang. Bila pendidikan seseorang
relative tinggi tetapi tingkat literasinya relative rendah, bisa jadi karena
pendidikan literasinya kurang maksimal, atau karena sudut pandang yang berbeda
mengenai literasi. Ditekankan lagi bahwa
literasi adaah kemampuan baca-tulis daseorang literat itu tidak sekedar
berbaca-tulis, tetapi juga terdidik dan mengenal sastra.
Tahukah Anda bahwa
pengenalan terhadapa berbagai teks adalah bagian dari pengenalan terhadap
pusparagam literasi, seperti iklan, ramalan cuaca, jadwal keberangkatan kereta
api, rambu-rambu lalu-lintas, resep dokter, menu makanan, surat lamaran,
editorial Koran, puisi, cerita pendek,
dan sebagainya.
Meluruskan
rekayasa literasi sebaiknya diawali dengan pemahaman atas berbagai paradigm
pengajaran literasi. Dalam garis besarnya, ada tiga paradigma pembelajaran
literasi, yaitu decoding, skills, dan whole language. Paradigm
pertama, decoding adalah menyatakan bahwa grafofonem
berfungsi sebagai pintu masuk literasi, dan belajar bahasa dimulai dangan
menguasai bagian-bagian bahasa. Paradigm kedua, keterampilan
adalah bahwa penguasaan morfem dan kosakata adalah dasar untuk membaca. Dan
paradigma terakhir, bahasa secara utuh adalah paradigm ini
menolak pembelajaran yang meletakkan focus pada bagian atau serpihan bahasa.
Paradigma adalah
cara pandang dan pemaknaan terhadap objek pandang. Perubahan sudut pandang
membawa konsekuensi sampai ke metode dan teknik pengajaran yang kasat mata dan
hasilnya dapat diukur. Misalnya, dengan perubahan orientasi dari hasil ke
proses, guru bahasa akan melakukan hal sebagai berikut: 1) bagi dia isunya
bukan berapa banyak tulisan yang dihasilkan oleh siswa, tapi bagaimana tulisan
diproses dari A sampai Z, 2) tidak menentukan target yang sama bagi semua
siswa, karena dalam proses menulis setiap siswa memiliki hobi dan gaya yang
berbeda. Yang penting berekspresi tulis. Kesalahan ejaan, tata bahasa, dan kosa
kata akan dapat dibenahi sambil jalan (proses).
Jadi dapat saya simpulkan
bahwa pertama, rekayasa literasi adalah suatu jalan menuju pada suatu perubahan
dan peningkatan literasi anak bangsa dengan metode dan teknik pengajaran
literasi yang mencerdaskan. Kedua, menurut saya pribadi dalam kesimpulan
saya ini bahwa bapa Lala Bumela pun sebetulnya meniru apa yang rekayasa
literasi tuliskan yang mana perubahan paradigm dari hasil ke proses. Ketiga disimpulkan
pula bahwa membaca dan menulis bagaikan Kakak-adik kandung yang tidak bisa
dipisahkan menurut Taufiq Ismail. Dan terakhir, bahwa dalam pembengkelan
bahasa (baca-tulis) dibutuhkan yang namanya keterampilan dimulai dari bahasa
ibu, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Thank you.
0 comments:
Post a Comment