Monday, February 17, 2014

10:22 PM
Penulis Berani Mati atas Pemaknaan Pembaca


         Pertemuan pada tanggal 10-Februari-2014 merupakan pertemuan kedua mata kuliah Akademik Writing empat. Sekarang kegiatan tulis-menulis dan baca-membaca selalu saya jalani bersama secangkir susu dan cemilan-cemilan ringan supaya rasa kantuk dan capek pun hilang. Di saat membaca mata selalu terasa sakit apalagi menulis yang membuat jari-jari saya kaku plus keram, bahkan kaki terasa sesemutan dan pinggang pun boyokan. Sudah barang tentu matakuliah Writing pada pertemuan kali ini mebuat badan semakin terasa capeknya.
            Diawalai dengan wacana tentang “Belajar Membaca”, bahwa sekarang kita leluasa berselancar di jagat virtual yang menyediakan jejaring tak berujung. Seringkali kegiatan seperti ini memanggil sensasi seperti perawi hadis yang sedang mengembara mencari informasi atas keterangan mengenai tutur kata atau tindak-tanduk sang Nabi.
            Jadi yang dimaksud dengan belajar membaca adalah kesanggupan untuk sabar membaca pikiran sesame manusia, secara tenang dan anteng, menyerap dan mengolah informasi menjadi pengetahuan, untuk menopang rangkaian kerja budaya yang tak akan berkesudahan, demi perbaikan kondisi kemanusiaan.
            Di dalam kelas dosen saya menjelaskan mengenai tulisan, dosen menanyakan kepada kita pengalaman kalian menulis itu sebetulnya untuk apa? Di antara jawaban-jawaban mahasiswa adalah pertama, menulis ya berdasarkan ilmu pengetahuan yang merusjuk pada akademik. Kedua, menulis itu ya berfikir secara kritis. Ketiga, mahasiswa yang hanya bisanya membohongi diri saja. Dan keempat, menulis adalah sebagai pengikat yang mana writing itu sangatlah kompleks. Writing yang kompleks maksudnya adalah: pertama, cara untuk mengetahui sesuatu, kedua, cara untuk mempresentasikan sesuatu yang mana seorang penulis menyuguhkan sesuatu pada tempatnya, dan terakhir, kegiatan menulis adalah cara untuk memproduksi lagi sesuatu yaitu pengetahuan (knowledge). Selain kegiatan tulis-menulis ada pula kegiatan membaca, hal ini akan mendapatkan suatu informasi yang mana akan menjadi suatu pengetahuan, kemudian pada akhirnya menjadi sebuah pengalaman Si pembaca.
            Melanjut pada power point, seperti halnya pertemuan sebelumnya dosen saya menanyakan lagi tentang kesungguhan mahasiswa untuk belajar Writing empat. Sang dosen memiliki beberapa pernyataan terkait dengan kesungguhan itu, di antaranya adalah apakah mahasiswa hanya mendaftarkan dirinya ikut serta matakuliah writing tanpa tujuan? Apakah mahasiswa hanya menyelesaikan tugasnya tanpa adanya ketulusan hati? Apakah mahasiswa hanya mendapatkan sebuah tingkatan yang pantas? Apakah mahasiswa menulis tanpa disertai dengan jiwanya? Apakah mahasiswa cuman melunasi kontrak belajarnya saja ketika ikut serta matakuliah Writing empat? Semua pertanyaan inilah yang selalu membuat telinga panas yang mana menjelmakan diri saya menjadi lebih berada dalam kegiatan baca-tulis dalam matakuliah Writing empat ini.
            Dosen saya pun tiba-tiba membuka slide berikutnya dan tertulis jelas bahwa dalam pandangan beliau pribadi, kami (mahasiswa) adalah seorang penulis dengan benyak bahasa yang mana menulis secara aktif dalam bahasa pertama (L1) dan bahasa kedua (L2). Kami adalah pembaca yang kritis dalam bahasa pertama (L1) dan bahasa  kedua (L2). Bahakan kami pun adalah mahasiswa yang mentransformasikan diri kami yang tadinya sebagai mahasiswa bahasa sekarang menjadi mahasiswa penulis. begitu pun kami adalah mahasiswa yang mampu memilah-milah informasi dalam kehidupan dan kami pun adalah mahasiswa yang mampu merubah dunia. Amin. Kata inilah yang mampu menenagkan suasana hati saya, mungkin juga teman-teman saya. Diakhir kalimta pada slide ini, beliau menuliskan bahwa semua ini adalah apa-apa yang kalian miliki.
            Tulisan saya merumitkan, menurut Hyland mengatakan “menulis adalah praktek berdasarkan keinginan: kesempatan-kesempatan pembaca untuk memaknai tujuan penulis menambah jika si penulis mengambil suatu kesalahan untuk mengatisipasi apa yang pembaca harapkan berdasarkan teks-teks sebelumnya yang  mana telah dibaca”.
            Penulis dan pembaca samadengan seorang pendansa. Hoey yang dikutip dalam Hyland mengibaratkan pembaca dan penulis sebagai pendansa yang selalu mengikuti langkah pendansa lainnya, setiap makna yang terhimpun dari sebuah teks dengan mengantisipasi apa yang lainnya seolah-olah dilakukan dengan membuat hubungan pada teks sebelumnya. Dengan kata lain, bahwa menulis dan membaca membuat sebuah hubungan itu disebut dengan art (kesenian).
            Lehtonen (2000: 74) pada Barthes menyatakan bahasa menurut Saussure adalah sebuah system di mana mendefinisikan maknanya sendiri, Barthes melihat peranan masyarakat yang mana mempraktekan aktivitas kebahasaan sebagai pusat dalam suatu makna informasi. Penulis adalah bukan penulis sebelumnya yang beraksi untuk menulis, tapi membentuk satu bentuk ketika menulis. Barthes sungguh mendeklarasikan kematian seorang penulis, secara serempak berarti lahirlah para pembaca. Lehtonen berargumen lebih lanjut bahwa seorang penulis dinaiki pada inti dalam pembentukan makna, dan membaca adalah tempat di mana makna-makna itu dimiliki. Teks dan pembaca tidak akan berdiri sendiri, namun kenyataannya satu sama lainnya memproduksikan sesuatu. Selanjutnya membaca pun memilih apa yang yang akan dibaca, menyusun dan menyambungkannya supaya membentuk suatu makna, serta membawa pengetahuan pembaca ke dalam teks.
            Selanjutnya akan membahas tentang hubungan yang jelas antara teks, konteks, pembaca, penulis, dan makna. Menurut Lehtonen jika salah satunya tidak ada maka tidak bisa menghasilkan suatu makna. Konteks ada di kita sebagai pembaca, reader ada di kita sebagai pembaca, teks menempel di writer. Meaningnya dimana? Konteks dan meaning beda, bedanya apa? Ketika writer dan reader ditengahnya ada meaning. Meaning ini seharusnya searah, tetapi kadang tidak sama karena sesuai dengan experiences masing-masing. Kalau kita harus mengkritisi kita harus tahu background dari keduanya, writer-reader. Yang menyesuaikan itu adalah pembaca. Semua negosiasi makan ada pada reader, jadi terserah kita mengambil atau mengamati maknanya. Jika kita sedang membaca secara otomatis kita sedang bernegosiasi dengan mencari makna yang terkandung dalam tulisan. Yang mengartikan buku bagus itu tergantung dari reader.  Lehtonen, itu tidak cukup dalam mempelajari pembaca untuk memaksa atau menekankan bahwa mereka jadi partisipan aktif dalam formasi meaning. Jadi memang dalam pembentukan suatu meaning diharuskan menghadirkan teks, konteks, reader, dan juga writer.
Menurut pendapat lain teks itu multitafsir. Hammal al-wujuh, kata Imam Ali. Namun, tentu saja kebebasan menafsir dan memahami teks tidak berarti kebebasan untuk membenci atau menodai kebebasan menulis. Di sinilah kelapangan hati untuk menerima perbedaan pendapat harus dimunculkan dan dimatangkan.
Seorang penulis adalah kreator tulisan dan perangkum makna. Sedangkan pembaca adalah penafsir makna dari tulisan tersebut. Meski demikian, tak selamanya makna yang tertulis selaras dengan makna yang terpahami pembaca. Hal itu disebabkan banyak hal: latar belakang pengetahuan, perbedaan orientasi, alur pendidikan, ketajaman analisis, bahkan status sosial.
Sedikitnya, ada tiga tipologi pembaca buku. Pertama, pembaca buku knowledgable. Yang masuk dalam kelompok tersebut adalah para pembaca yang menelaah isi buku berdasar keinginan murni untuk mendalami isi dan muatan buku, tanpa tendensi side-effect apa pun. Kedua, kelompok pembaca buku karena dorongan keingintahuan (curiosity). Kelompok ketiga adalah pembaca buku yang tendensius. Mereka membaca buku bukan untuk menimba pengetahuan, tapi untuk mencari kesalahan dan keteledoran di dalamnya. Setidaknya, mereka membaca hanya untuk memperkuat diri sendiri bahwa buku tersebut tidak bagus, tidak bermutu, atau salah. Bukan pengetahuan atau keingintahuan yang mendasari pembacaan mereka, tapi ketidaksukaan (dislikeness) dan kebencian (hatred).
Contohnya, kelompok kanan Ikhwanul Muslimin di Mesir akan cenderung membaca buku-buku tentang Islam kiri seperti buku-buku Hassan Hanafi, Arkoun, dan Mahmoud Ismail. Tapi, bukan untuk mengetahui dan mengapresiasi buku tersebut, melainkan untuk mencari kelemahan dan melihat celah untuk menyerang balik pemahaman yang mereka anggap salah.
Jadi dapat saya simpulkan bahwa teks, konteks, reader, writer, dan makna itu saling berkaitan satu dengan lainnya. Pembaca adalah pemenang dibandingkan dengan penulis, karena semua penyerapan makna dikuasi si pembaca bukan penulis. sebab seorang penulis dikatakan author jika dia menulis, namun setelah dia selesai menulis dia sudah tidak lagi menjadi author. Berbeda dengan pembaca, ia selamanya akan menjadi pembaca. Dan disimpulkan pula bahwa dalam menulis seorang pengarang harus berani untuk menghadapi kematian atas pemaknaan si pembaca. Thank you.



0 comments:

Post a Comment