Penulis Berani Mati atas Pemaknaan
Pembaca
Pertemuan pada
tanggal 10-Februari-2014 merupakan pertemuan kedua mata kuliah Akademik Writing
empat. Sekarang kegiatan tulis-menulis dan baca-membaca selalu saya jalani
bersama secangkir susu dan cemilan-cemilan ringan supaya rasa kantuk dan capek
pun hilang. Di saat membaca mata selalu terasa sakit apalagi menulis yang
membuat jari-jari saya kaku plus keram, bahkan kaki terasa sesemutan dan
pinggang pun boyokan. Sudah barang tentu matakuliah Writing pada pertemuan kali
ini mebuat badan semakin terasa capeknya.
Diawalai dengan
wacana tentang “Belajar Membaca”, bahwa sekarang kita leluasa
berselancar di jagat virtual yang menyediakan jejaring tak berujung. Seringkali
kegiatan seperti ini memanggil sensasi seperti perawi hadis yang sedang
mengembara mencari informasi atas keterangan mengenai tutur kata atau
tindak-tanduk sang Nabi.
Jadi yang dimaksud
dengan belajar membaca adalah kesanggupan untuk sabar membaca pikiran sesame
manusia, secara tenang dan anteng, menyerap dan mengolah informasi menjadi
pengetahuan, untuk menopang rangkaian kerja budaya yang tak akan berkesudahan,
demi perbaikan kondisi kemanusiaan.
Di dalam kelas
dosen saya menjelaskan mengenai tulisan, dosen menanyakan kepada kita
pengalaman kalian menulis itu sebetulnya untuk apa? Di antara jawaban-jawaban
mahasiswa adalah pertama, menulis ya berdasarkan ilmu pengetahuan yang
merusjuk pada akademik. Kedua, menulis itu ya berfikir secara kritis. Ketiga,
mahasiswa yang hanya bisanya membohongi diri saja. Dan keempat,
menulis adalah sebagai pengikat yang mana writing itu sangatlah kompleks. Writing
yang kompleks maksudnya adalah: pertama, cara untuk mengetahui
sesuatu, kedua, cara untuk mempresentasikan sesuatu yang mana seorang
penulis menyuguhkan sesuatu pada tempatnya, dan terakhir, kegiatan
menulis adalah cara untuk memproduksi lagi sesuatu yaitu pengetahuan (knowledge).
Selain kegiatan tulis-menulis ada pula kegiatan membaca, hal ini akan
mendapatkan suatu informasi yang mana akan menjadi suatu pengetahuan, kemudian
pada akhirnya menjadi sebuah pengalaman Si pembaca.
Melanjut pada power
point, seperti halnya pertemuan sebelumnya dosen saya menanyakan lagi
tentang kesungguhan mahasiswa untuk belajar Writing empat. Sang dosen memiliki
beberapa pernyataan terkait dengan kesungguhan itu, di antaranya adalah apakah
mahasiswa hanya mendaftarkan dirinya ikut serta matakuliah writing tanpa
tujuan? Apakah mahasiswa hanya menyelesaikan tugasnya tanpa adanya ketulusan
hati? Apakah mahasiswa hanya mendapatkan sebuah tingkatan yang pantas? Apakah
mahasiswa menulis tanpa disertai dengan jiwanya? Apakah mahasiswa cuman
melunasi kontrak belajarnya saja ketika ikut serta matakuliah Writing empat?
Semua pertanyaan inilah yang selalu membuat telinga panas yang mana menjelmakan
diri saya menjadi lebih berada dalam kegiatan baca-tulis dalam matakuliah
Writing empat ini.
Dosen saya pun
tiba-tiba membuka slide berikutnya dan tertulis jelas bahwa dalam pandangan beliau
pribadi, kami (mahasiswa) adalah seorang penulis dengan benyak bahasa yang mana
menulis secara aktif dalam bahasa pertama (L1) dan bahasa kedua (L2). Kami
adalah pembaca yang kritis dalam bahasa pertama (L1) dan bahasa kedua (L2). Bahakan kami pun adalah mahasiswa
yang mentransformasikan diri kami yang tadinya sebagai mahasiswa bahasa
sekarang menjadi mahasiswa penulis. begitu pun kami adalah mahasiswa yang mampu
memilah-milah informasi dalam kehidupan dan kami pun adalah mahasiswa yang
mampu merubah dunia. Amin. Kata inilah yang mampu menenagkan suasana hati saya,
mungkin juga teman-teman saya. Diakhir kalimta pada slide ini, beliau
menuliskan bahwa semua ini adalah apa-apa yang kalian miliki.
Tulisan saya
merumitkan, menurut Hyland mengatakan “menulis adalah praktek berdasarkan
keinginan: kesempatan-kesempatan pembaca untuk memaknai tujuan penulis menambah
jika si penulis mengambil suatu kesalahan untuk mengatisipasi apa yang pembaca
harapkan berdasarkan teks-teks sebelumnya yang
mana telah dibaca”.
Penulis dan
pembaca samadengan seorang pendansa. Hoey yang dikutip dalam Hyland
mengibaratkan pembaca dan penulis sebagai pendansa yang selalu mengikuti
langkah pendansa lainnya, setiap makna yang terhimpun dari sebuah teks dengan
mengantisipasi apa yang lainnya seolah-olah dilakukan dengan membuat hubungan
pada teks sebelumnya. Dengan kata lain, bahwa menulis dan membaca membuat
sebuah hubungan itu disebut dengan art (kesenian).
Lehtonen (2000:
74) pada Barthes menyatakan bahasa menurut Saussure adalah sebuah system di
mana mendefinisikan maknanya sendiri, Barthes melihat peranan masyarakat yang
mana mempraktekan aktivitas kebahasaan sebagai pusat dalam suatu makna
informasi. Penulis adalah bukan penulis sebelumnya yang beraksi untuk menulis,
tapi membentuk satu bentuk ketika menulis. Barthes sungguh mendeklarasikan kematian
seorang penulis, secara serempak berarti lahirlah para pembaca. Lehtonen
berargumen lebih lanjut bahwa seorang penulis dinaiki pada inti dalam
pembentukan makna, dan membaca adalah tempat di mana makna-makna itu dimiliki.
Teks dan pembaca tidak akan berdiri sendiri, namun kenyataannya satu sama
lainnya memproduksikan sesuatu. Selanjutnya membaca pun memilih apa yang yang
akan dibaca, menyusun dan menyambungkannya supaya membentuk suatu makna, serta
membawa pengetahuan pembaca ke dalam teks.
Selanjutnya
akan membahas tentang hubungan yang jelas antara teks, konteks, pembaca,
penulis, dan makna. Menurut Lehtonen jika salah satunya tidak ada maka tidak
bisa menghasilkan suatu makna. Konteks ada di kita sebagai pembaca, reader ada
di kita sebagai pembaca, teks menempel di writer. Meaningnya dimana? Konteks
dan meaning beda, bedanya apa? Ketika writer dan reader ditengahnya ada
meaning. Meaning ini seharusnya searah, tetapi kadang tidak sama karena sesuai
dengan experiences masing-masing. Kalau kita harus mengkritisi kita harus tahu
background dari keduanya, writer-reader. Yang menyesuaikan itu adalah pembaca.
Semua negosiasi makan ada pada reader, jadi terserah kita mengambil atau mengamati
maknanya. Jika kita sedang membaca secara otomatis kita sedang bernegosiasi
dengan mencari makna yang terkandung dalam tulisan. Yang mengartikan buku bagus
itu tergantung dari reader. Lehtonen,
itu tidak cukup dalam mempelajari pembaca untuk memaksa atau menekankan bahwa
mereka jadi partisipan aktif dalam formasi meaning. Jadi memang dalam
pembentukan suatu meaning diharuskan menghadirkan teks, konteks, reader, dan
juga writer.
Menurut pendapat lain teks itu multitafsir. Hammal al-wujuh, kata
Imam Ali. Namun, tentu saja kebebasan menafsir dan memahami teks tidak berarti
kebebasan untuk membenci atau menodai kebebasan menulis. Di sinilah kelapangan
hati untuk menerima perbedaan pendapat harus dimunculkan dan dimatangkan.
Seorang penulis adalah kreator tulisan dan perangkum makna.
Sedangkan pembaca adalah penafsir makna dari tulisan tersebut. Meski demikian,
tak selamanya makna yang tertulis selaras dengan makna yang terpahami pembaca.
Hal itu disebabkan banyak hal: latar belakang pengetahuan, perbedaan orientasi,
alur pendidikan, ketajaman analisis, bahkan status sosial.
Sedikitnya, ada tiga tipologi pembaca buku. Pertama, pembaca
buku knowledgable. Yang masuk dalam kelompok tersebut adalah para pembaca yang
menelaah isi buku berdasar keinginan murni untuk mendalami isi dan muatan buku,
tanpa tendensi side-effect apa pun. Kedua, kelompok pembaca buku karena
dorongan keingintahuan (curiosity). Kelompok ketiga adalah pembaca buku yang tendensius. Mereka
membaca buku bukan untuk menimba pengetahuan, tapi untuk mencari kesalahan dan
keteledoran di dalamnya. Setidaknya, mereka membaca hanya untuk memperkuat diri
sendiri bahwa buku tersebut tidak bagus, tidak bermutu, atau salah. Bukan
pengetahuan atau keingintahuan yang mendasari pembacaan mereka, tapi ketidaksukaan
(dislikeness) dan kebencian (hatred).
Contohnya, kelompok kanan Ikhwanul Muslimin di Mesir akan cenderung
membaca buku-buku tentang Islam kiri seperti buku-buku Hassan Hanafi, Arkoun,
dan Mahmoud Ismail. Tapi, bukan untuk mengetahui dan mengapresiasi buku
tersebut, melainkan untuk mencari kelemahan dan melihat celah untuk menyerang
balik pemahaman yang mereka anggap salah.
Jadi dapat saya simpulkan bahwa teks, konteks,
reader, writer, dan makna itu saling berkaitan satu dengan lainnya. Pembaca
adalah pemenang dibandingkan dengan penulis, karena semua penyerapan makna
dikuasi si pembaca bukan penulis. sebab seorang penulis dikatakan author jika
dia menulis, namun setelah dia selesai menulis dia sudah tidak lagi menjadi
author. Berbeda dengan pembaca, ia selamanya akan menjadi pembaca. Dan disimpulkan
pula bahwa dalam menulis seorang pengarang harus berani untuk
menghadapi kematian atas pemaknaan si pembaca. Thank you.
0 comments:
Post a Comment