Monday, February 17, 2014

10:16 PM


Chapter Review



            Pada chapter review kali ini akan mengupas mengenai Rekayasa Literasi. Dalam bahasanya membahas mengenai periodisasi penggunaan metode dan pendekatan khususnya terhadap pengajaran bahasa asing, dibahas pulamengenai definisi dari literasi, dan membahas mengenai rapor merah literasi anak negeri, beserta implementasinya.
            Para ahli bahasa mengelompokkan periodisasi penggunaan metode dan pendekatan khususnya terhadap pengajaran bahasa asing ke dalam 5 kelompok besar yaitu pendekatan struktural dengan grammar translation, pendekatan audiolingual atau dengar ucap (1940-1960), pendekatan kognitif dan transformatif sebagai implikasi dari teori-teori sintactic structure (chomsky, 1957), pendekatan communicative competence (Hymes 1976 dan Widdowson 1978), dan yang terakhir yaitu pendekatan literasi atau genre based sebagai implikasi dari study wacana. Meski istilah literasi sudah dipakai secara puluhan tahun yang lalu, tapi nampaknya istilah ini masih asing bagi kita, dan istilah literasi ini sekarang sedang gencar diperbincangkan dikalangan para pelajar.
            Kenapa para ahli bahasa mengelompokkan periodisasi penggunaan metode dan pendekatan khususnya ke dalam bahasa asing? Kenapa literasi harus ditempatkan dibagian akhir? Dan kenapa literasi menjadi salah satu metode pendekatan yang efektif? Karena menurut buku Pak Chaidar sesuai dengan kurikulum 2004 di Indonesia, tugas pembelajaran adalah menjadikan siswa mampu menghasilkan wacana yang sesuai dengan tuntutan konteks komunikasi. Jadi dalam hal ini, pendekatan literasi ini dianggap sebagai pendekatan yang efektif.
            Apa sih yang dimaksud dengan literasi ini? Kenapa istilah ini kembali muncul? Bukankah istilah tersebut telah dipakai sejak puluhan tahun yang lalu? Literasi biasanya dipahami sebagai kemampuan membaca dan menulis. Pengertian tersebut berkembang menjadi konsep literasi fungsional yaitu literasi yang terkait dengan berbagai fungsi keterampilan hidup. Literasi selama bertahun-tahun dianggap sebagai persoalan psikologis yang berkaitan dengan kemampuan mental dan keterampilan baca-tulis, padahal literasi adalah praktek kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. Oleh karena itu para pakar memaknai literasi tersebut dengan definisi baru.
            Menurut artikel Rekayasa Literasi, dalam konteks persekolahan Indonesia istilah literasi jarang dipakai. Istilah yang sering dipakai adalah pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa (setiadi, 2010). Pada masa silam membaca dan menulis dianggap cukup sebagai dasar pendidikan untuk membekali manusia kemampuan dalam menghadapi zaman. Namun seiring berkembangnya zaman, literasi berevolusi menjadi “seperangkat kemampuan mengolah informasi, jauh diatas kemampuan mengurai dan memahami bahan bacaan sekolah” (A Campbell, I Kirsch, A Kolstad, 1992). Melalui pemahaman ini literasi tidak hanya membaca dan menulis, tetapi juga mencangkup bidang lain seperti matematika, sosial, komputer, sains, keuangan, dan lain sebagainya, sehingga ada ungkapan literasi matematika, literasi komputer, literasi sains, dan sebagainya. Kesemua hal tadi merupakan rekayasa ilmu pengetahuan.
            Sedikit menarik mengenai penggalan pernyataan Pak Chaidar berikut ini “bila Anda orang sunda dan mahasiswa bahasa Inggris, Anda adalah orang yang multilingual dalam bahasa Sunda, Indonesia, dan Inggris. Artinya Anda multiliterat. Silahkan Anda ukur sejauh mana Anda multiliterat. Anda mungkin sangat literat dengan basis bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, namun Anda tidak hirau terhadap bahasa dan budaya sunda, maka literasi kesundaan Anda payah”. Jadi seharusnya ketika kita mahir dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia, seharusnya kita juga mahir dalam bahasa daerah kita sendiri. Hal demikian pernah dilakukan oleh Presiden kita terdahulu yaitu Pak Harto. Pak Harto sebagai penguasa daripada rezim orba telah mewariskan gaya bicaranya. Pak Harto yang lahir di Yogyakarta itu sesekali menyisipkan kosa kata bahasa Jawa atau sangsekerta dalam berbagai kesempatan berpidatonya.
Pendidikan berbasis literasi seyogyanya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip sebagai berikiut:
1.      Literasi adalah kecakapan hidup (life skill) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
2.      Literasi mencangkup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
3.      Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
4.      Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
5.      Literasi adalah kegiatan refleks (diri).
6.      Literasi adalah hasil kolaborasi.
7.      Literasi adalah kegiatan melakukan imterpretasi.
            Freebody dan Luke menawarkan model literasi sebagai berikut:
-          Memahami kode dalam teks (breaking the codes of text)
-          Terlibat dalam memaknai teks (participating in the meaning of text)
-          Menggunakan teks secara fungsional (using texts functionally)
-          Melakukan analisis dan mentransformasi teks (critically analyzing and transforming texts)
Dari model literasi yang ditawarkan oleh Freebody dan Luke ini sangatlah tepat. Bahwasanya kita harus memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks.
Menurut Freebody dan Luke, ke empat model di atas merupakan gambaran berliterasi secara kritis dalam masyarakat demokratis. Namun pada prakteknya, kita masih belum masuk ke ranah tersebut. Jika dibandingkan dengan dunia barat seperti di Amerika, budaya membaca dan menulis sudah membumi dikalangan mereka, kegiatan membaca menjadi sesuatu yang biasa mendampingi dalam keseharian hidup mereka, jelas kita sangat tertinggal jauh.
Di negara Amerika, mereka punya cara-cara tertentu dalam meningkatkan minat membaca dan menulis. Salah satu contohnya yaitu demi menggaet orang berkunjung ke toko bukunya, para pemilik toko buku sengaja merancang ruang bacanya senyaman mungkin. Lantainya dilapisi dengan karpet yang tebal, kursi yang empuk, ruang baca yang luas, serta harga-harga bukunya pun tergolong murah dan terjangkau. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apa aksi Indonesia dalam meningkatkan minat membaca dan menulis?
Seperti yang tertuliskan dalam bukunya Prof. A. Chaidar Alwasilah, bahwa sejak tahun 1999 Indonesia ikut dalam proyek penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), PISA (Program for International Student Assessment), TIMS (the Third  International Mathematics and Science Study), untuk mengukur literasi membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Terdapat tujuh temuan dalam PIRLS 2006 yang melibatkan siswa sekolah dasar (SD). Masing-masing siswa dari negara lain memperoleh skor 500, 510, dan 493. Sementara Indonesia berada pada posisi kelima dari urutan terbawah, atau sedikit tinggi dari Qatar (356), Kuawait (333), Maroko (326), dan Afrika Utara (304). Indonesia sangat tertinggal jauh dengan negara-negara lain dan selalu menempati skor dibawah rerata. Tentu semua itu sangat berpengaruh kepada pendapatan perkapita. Dalam study PIRLS 2006, Indonesia memiliki HDI 0,711 dan GNI perkapita 810 US $.
Irina Bokova, Direktur jendral UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) dalam perayaan HAI (Hari Aksana Nasional), mengatakan “literasi bukan hanya tentang pendidikan, tetapi merupakan investasi utama untuk masa depan dan langkah utama menuju semua bentuk-bentuk baru yang diperlukan dalam abad kedua puluh satu, diamana setiap anak dapat membaca dan menggunakan keterampilan ini untuk mendapatkan otonomi”. Pernyataan tersebut dimaksudkan agar Indonesia mampu menciptakan generasi baru yang peduli dengan dunia literasi.
Dalam laporan PIRLS tidak ditemukan skor prestasi menulis, sehingga kita tidak mengetahui bukti korelasi antar skor prestasi membaca dan skor prestasi menulis. Namun dapat diprediksi bahwa prestasi menulis sangat bergantung pada kemampuan membaca. Namun sebenarnya banyak membaca juga tidak menjamin menjadi penulis. Dengan demikian, kualiatas membaca untuk menjadi penulis adalah bergantung pada gizi bacaan yang disantapnya atau berdasarkan pemahamannya.
Implementasi dari perbincangan di atas tampak bahwa orang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya. Dalam upaya merekayasa literasi ini adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Pada perubahan rekayasa literasi selalu menyangkut empat dimensi sebagai berikut:
-          Linguistik atau fokus teks
-          Kognitif atau fokus minda
-          Sosiokultural atau fokus kelompok
-          Perkembangan atau fokus pertumbuhan
(kucer, 2005 : 293 - 4)


Kesimpulannya, budaya baca-tulis telah berevolusi ke area literasi, dan literasi ini sedang gencar diperbincangkan oleh banyak kalangan terutama kaum terpelajar. Seyogyanya pendidikan yang berbasis literasi ini mempunyai prinsip-prinsip yang telah disebutkan. Dengan adanya rekayasa literasi ini diharapkan masyarakat Indonesia memiliki karakter yang terdidik lewat penguasaan bahasa.

0 comments:

Post a Comment