Monday, February 17, 2014

10:14 PM


2nd Class Review



            Minggu yang lalu kita telah membahas mengenai tiga artikel yang harus kita gagas, serta mendiskusikannya. Mr. Lala Bumela mengulas materinya dengan cara menanyakan point-point penting kepada masing-masing mahasiswanya.  Kemudian materi pada pertemuan kedua kemarin lebih mengarah kepada ways of writing, karena writing ini sangatlah kompleks. Sebelumnya Mr. Lala Bumela mengatakan bahwa pada pembelajaran writing semester 4 ini berbasiskan akademik writing. Akademik writing yaitu bagaimana kita mampu untuk mengekspresikan tulisan-tulisan atau teks-teks yang bersifat ilmiah, akademisi, dan bersifat critical thinking. Jadi dewasa ini menulis bukan lagi diartikan sebagai sebuah aktivitas menggerakkan otot-otot tangan, namun lebih dari itu.
            Ketika kita akan memasuki dunia perkuliahan, maka academic writing ini dianggap sebagai menulis yang cocok untuk diterapkan dikalangan mahasiswa, karena mahasiswa akan terkait dengan penelitian dan penulisan ilmiah. Oleh karena itu untuk membiasakannya mahasiswa dilatih sesering mungkin untuk menulis akademik. Pada saat kita menulis, kita dikondisikan agar tidak hanya membuat tulisan berdasarkan perspektif kita semata, tetapi diharapkan mampu menguraikannya melalui tulisan yang terkait dengan bidang study yang tengah kita palajari.
            Kemudian selain academic writing, menulis juga merupakan critical writing. Maksudnya critical writing ini kita diharapkan untuk tidak sepenuhnya menelan mentah-mentah isi yang ada dalam text, atau dengan kata lain kita tidak sepenuhnya memfokuskan terhadap apa yang ditulis didalam wacana tersebut, tetapi melainkan kita juga harus mampu mengkritisinya, karena apa yang kita baca belum tentu sependapat dengan perspektif kita. Dengan adanya critical writing ini, maka akan melahirkan pembaca yang aktif bukan pasif.
            Ketika kita ingin mengkaji beberapa tulisan dari berbagai sumber, pasti kita akan bertanya kenapa kita harus repot-repot menulis? Apa gunanya menulis? Dan apa ruginya ketika kita tidak membaca dan menulis, atau menjadi literat people? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu pasti akan muncul dalam diri kita, dan jika bertanya mengenai jawabannya, tentu setiap orang mempunyai persepsi tersendiri dalam menjawabnya perihal menulis. Gunanya menulis itu untuk mengikat suatu kejadian yang kita temui atau yang kita alami agar tidak mudah terlupakan. Atau jika diibaratkan suatu ilmu, maka ilmu itu harus dituangkan kedalam tulisan supaya ia tetap lestari.
Menulis juga dikatakan seperti meditasi, karena meditasi itu proses kerjanya memusatkan suatu energi. Meditasi secara fisik mungkin terlihat seperti aktivitas duduk bersila, memejamkan mata lalu mengatur pernafasan dan merilekskan pikiran agar batin lebih tenang. Sama halnya dengan kita menulis, menulis juga dapat dikatakan mengerahkan semua pikiran kita untuk menulis, dan biasanya orang yang menulis itu butuh ketenangan bukan suatu keramaian. Terkadang kita sampai rela menyendiri di dalam kamar demi menulis.
Dikatakan pula bahwa “bangsa yang suka sastra adalah bangsa-bangsa yang besar”. Mengapa demikian, karena semakin tinggi literasi seseorang, maka semakin kaya ilmu pengetahuannya. Bahkan lompatan-lompatan teknologi dasarnya ada pada literasi. “literacy will save your life”. Bahkan pendidikan bahasa sekarang-sekarang ini, seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, Bahasa Korea, dan lain sebagainya telah merujuk kepada pendidikan berliterasi (reading writing).
Secara lebih spesifiknya, kita akan bergerak ke area academic writing, namun disamping itu juga kita menjadi multilingual writing, yaitu orang yang efektif menulis dalam dua bahasa dan juga menjadi critical reader. Dua bahasa tersebut yaitu L1 dan L2 yang akan merubah kita dari student of language menjadi student of writing. Menulislah sebagai bagian dari hidupmu yang bisa mengubah dunia. Dalam menulis tidak boleh asal sembarangan, karena ada cara-cara tertentu. Berikut ini adalah 3 kata kunci atau 3 cara terpenting dalam menulis.
1.      Ways of knowing something
Ketika kita ingin menulis, kita harus mengetahui terlebih dahulu background masalah yang sedang terjadi atau membahas tentang apa, karena dengan begitu kita akan bijak merespon masalah tersebut, dan dapat menuliskannya sesuai dengan masalah atau keadaan yang sedang terjadi.
2.      Ways of representing something
Menulis merupakan salah satu cara untuk mencurahkan apa yang kita rasakan, dan terkait dengan hal itu, kita harus tahu bagaimana cara menyuguhkan sesuatunya. Maksudnya ketika kita menulis itu dalam menyuguhkan informasinya apakah valid atau tidak, dan apakah menyuguhkan informasinya akan secara keseluruhan atau bertahap.
3.      Ways of reproducing something
Pada dasarnya menulis itu memproduksi pengetahuan. Namun dalam hal ini lebih mengarah kepada pengalaman yang kita peroleh dalam proses mencari pengetahuan. Membaca merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan, dan menulis merupakan cara untu mengikat pengetahuan, dan diantara keduanya terdapat proses experience.

Jadi menulis itu kata kuncinya ada pada tiga cara yaitu ways of knowing something, ways of representing something, and ways of reproducing something. Cara-cara tersebut akan menjadi pengetahuan yang krusial dalam menulis.
Hyland says, “writing is a practice based on expectations: the reader’s chances of interpreting the writer’s purpose are increased if the writer takes the trouble to anticipate what the reader might be expecting based on previous texts he or she has read of the same kind”. Hyland mengatakan bahwa menulis itu merupakan sebuah praktek yang berdasarkan ekspektasi, peluang pembaca untuk dapat menafsirkan apa maksud penulis, maka menjadi penulis itu tidak boleh polos, ia harus mempunyai harapan agar teks-teksnya dapat dibaca dan dimengerti atau dipahami oleh pembaca. Dengan demikian, antara pembaca dan penulis harus membangun koneksi, karena kita menujunya pada lintasan yang sama yaitu teks.

            Ketiganya harus terkoneksikan, dan hubungan teks dengan reader akan memunculkan meaning formation. dikatakan pula bahwa seorang pembaca harus tahu apa saja yang telah dibaca oleh seorang penulis. Jadi kita sebagai seorang pembaca harus bisa menebak sebelum membaca teks tersebut, kira-kira apa saja yang telah penulis baca dan apa saja yang akan penulis sampaikan.
Hoey (2001), seperti dikutip dalam pernyataan Hyland (2004), mengibaratkan para pembaca dan penulis kepada penari-penari yang mengikuti langkah-langkah satu sama lain, setiap sense perakitan dari teks mengantisipasi apa yang memungkinkan akan dilakukan dengan membuat koneksi kepada teks sebelumnya. Dengan kata lain, baginya penulis dan pembaca membuat koneksi yang disebut seni. Maksud dari kata tersebut yaitu writer dan reader sama dengan dancer, yang melengkapi satu sama lain, harus seirama. Jadi ketika kita akan menulis yang sasarannya ditujukan untuk anak SMA, maka kita harus menulis sesuai dengan pengetahuan SMA, dan menulis harus ada keindahan bahasa, dan lain sebagainya.
Menurut Lehtonen (2000 : 74), pembaca naik ke inti pembentukan atau penyusunan suatu makna, dan pembaca menjadi tempat dimana makna itu dimiliki. Teks dan pembaca tidak berada secara bebas, tetapi sesungguhnya mereka (teks dan pembaca) satu sama lain saling menghasilkan (makna). Membaca termasuk memilih apa yang harus dibaca, menggabungkan dan mentautkan mereka bersama supaya membentuk makna, juga membawa pengetahuan pembaca tersebut kedalam teks. Meaning bisa dibangun karena kolaborasi antara writer dan reader. Namun semua negosiasi makna ada pada reader. Jika kita sedang membaca, secara otomatis kita sedang bernegosiasi dengan mencari makna yang terkandung dalam teks tersebut.
Kesimpulannya adalah budayakan pendidikan berliterasi, berwawasan luas, dan berfikiran bebas. Ketika kita ingin menulis, kita harus ingat tentang tiga kata kunci mengenai cara-cara menulis, ciptakan tulisan seperti chef di restoran mahal, serta bangun sebuah koneksi antara teks, reader dan writer.

0 comments:

Post a Comment