2nd Class Review
Minggu yang lalu
kita telah membahas mengenai tiga artikel yang harus kita gagas, serta
mendiskusikannya. Mr. Lala Bumela mengulas materinya dengan cara menanyakan point-point penting
kepada masing-masing mahasiswanya. Kemudian materi pada pertemuan kedua kemarin lebih
mengarah kepada ways of writing, karena writing ini sangatlah kompleks. Sebelumnya
Mr. Lala Bumela mengatakan bahwa pada pembelajaran writing semester 4 ini
berbasiskan akademik writing. Akademik writing yaitu bagaimana kita mampu untuk
mengekspresikan tulisan-tulisan atau teks-teks yang bersifat ilmiah, akademisi,
dan bersifat critical thinking. Jadi dewasa ini menulis bukan lagi diartikan
sebagai sebuah aktivitas menggerakkan otot-otot tangan, namun lebih dari itu.
Ketika
kita akan memasuki dunia perkuliahan, maka academic writing ini dianggap
sebagai menulis yang cocok untuk diterapkan dikalangan mahasiswa, karena
mahasiswa akan terkait dengan penelitian dan penulisan ilmiah. Oleh karena itu untuk
membiasakannya mahasiswa dilatih sesering mungkin untuk menulis akademik. Pada
saat kita menulis, kita dikondisikan agar tidak hanya membuat tulisan
berdasarkan perspektif kita semata, tetapi diharapkan mampu menguraikannya
melalui tulisan yang terkait dengan bidang study yang tengah kita palajari.
Kemudian
selain academic writing, menulis juga merupakan critical writing. Maksudnya
critical writing ini kita diharapkan untuk tidak sepenuhnya menelan
mentah-mentah isi yang ada dalam text, atau dengan kata lain kita tidak
sepenuhnya memfokuskan terhadap apa yang ditulis didalam wacana tersebut,
tetapi melainkan kita juga harus mampu mengkritisinya, karena apa yang kita
baca belum tentu sependapat dengan perspektif kita. Dengan adanya critical
writing ini, maka akan melahirkan pembaca yang aktif bukan pasif.
Ketika kita ingin mengkaji beberapa tulisan
dari berbagai sumber, pasti kita akan bertanya kenapa kita harus repot-repot
menulis? Apa gunanya menulis? Dan apa ruginya ketika kita tidak membaca dan
menulis, atau menjadi literat people? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu pasti
akan muncul dalam diri kita, dan jika bertanya mengenai jawabannya, tentu
setiap orang mempunyai persepsi tersendiri dalam menjawabnya perihal menulis. Gunanya menulis itu untuk mengikat suatu kejadian yang kita temui
atau yang kita alami agar tidak mudah terlupakan.
Atau jika diibaratkan suatu ilmu, maka ilmu
itu harus dituangkan kedalam tulisan supaya ia tetap lestari.
Menulis juga dikatakan seperti meditasi,
karena meditasi itu proses kerjanya memusatkan suatu energi. Meditasi secara
fisik mungkin terlihat seperti aktivitas duduk bersila, memejamkan mata lalu
mengatur pernafasan dan merilekskan pikiran agar batin lebih tenang. Sama
halnya dengan kita menulis, menulis juga dapat dikatakan mengerahkan semua
pikiran kita untuk menulis, dan biasanya orang yang menulis itu butuh
ketenangan bukan suatu keramaian. Terkadang kita sampai rela menyendiri di
dalam kamar demi menulis.
Dikatakan pula bahwa “bangsa yang suka sastra
adalah bangsa-bangsa yang besar”. Mengapa demikian, karena semakin tinggi
literasi seseorang, maka semakin kaya ilmu pengetahuannya. Bahkan
lompatan-lompatan teknologi dasarnya ada pada literasi. “literacy will save
your life”. Bahkan pendidikan bahasa sekarang-sekarang ini, seperti Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, Bahasa Korea, dan lain sebagainya
telah merujuk kepada pendidikan berliterasi (reading writing).
Secara lebih spesifiknya, kita akan bergerak
ke area academic writing, namun disamping itu juga kita menjadi multilingual
writing, yaitu orang yang efektif menulis dalam dua bahasa dan juga menjadi
critical reader. Dua bahasa tersebut yaitu L1 dan L2 yang akan merubah kita
dari student of language menjadi student of writing. Menulislah sebagai bagian
dari hidupmu yang bisa mengubah dunia. Dalam menulis tidak boleh asal
sembarangan, karena ada cara-cara tertentu. Berikut ini adalah 3 kata kunci
atau 3 cara terpenting dalam menulis.
1. Ways of knowing something
Ketika kita ingin menulis, kita harus mengetahui terlebih dahulu background
masalah yang sedang terjadi atau membahas tentang apa, karena dengan begitu
kita akan bijak merespon masalah tersebut, dan dapat menuliskannya sesuai
dengan masalah atau keadaan yang sedang terjadi.
2. Ways of representing something
Menulis merupakan salah satu cara untuk mencurahkan apa yang kita rasakan,
dan terkait dengan hal itu, kita harus tahu bagaimana cara menyuguhkan
sesuatunya. Maksudnya ketika kita menulis itu dalam menyuguhkan informasinya
apakah valid atau tidak, dan apakah menyuguhkan informasinya akan secara
keseluruhan atau bertahap.
3. Ways of reproducing something
Pada dasarnya menulis itu
memproduksi pengetahuan. Namun dalam hal ini lebih mengarah kepada pengalaman yang kita peroleh
dalam proses mencari pengetahuan. Membaca merupakan upaya untuk memperoleh
pengetahuan, dan menulis merupakan cara untu mengikat pengetahuan, dan diantara
keduanya terdapat proses experience.
Jadi menulis itu kata kuncinya ada pada tiga
cara yaitu ways of knowing something, ways of representing something, and
ways of reproducing something. Cara-cara tersebut akan menjadi pengetahuan
yang krusial dalam menulis.
Hyland says, “writing is a practice based on expectations: the reader’s
chances of interpreting the writer’s purpose are increased if the writer takes
the trouble to anticipate what the reader might be expecting based on previous
texts he or she has read of the same kind”. Hyland mengatakan bahwa menulis itu
merupakan sebuah praktek yang berdasarkan ekspektasi, peluang pembaca untuk
dapat menafsirkan apa maksud penulis, maka menjadi penulis itu tidak boleh
polos, ia harus mempunyai harapan agar teks-teksnya dapat dibaca dan dimengerti
atau dipahami oleh pembaca. Dengan demikian, antara pembaca dan penulis harus
membangun koneksi, karena kita menujunya pada lintasan yang sama yaitu teks.
Ketiganya harus terkoneksikan, dan hubungan
teks dengan reader akan memunculkan meaning formation. dikatakan pula bahwa seorang pembaca harus tahu apa saja yang telah dibaca
oleh seorang penulis. Jadi kita sebagai seorang pembaca harus bisa menebak
sebelum membaca teks tersebut, kira-kira apa saja yang telah penulis baca dan
apa saja yang akan penulis sampaikan.
Hoey (2001), seperti dikutip dalam pernyataan Hyland (2004), mengibaratkan
para pembaca dan penulis kepada penari-penari yang mengikuti langkah-langkah
satu sama lain, setiap sense perakitan dari teks mengantisipasi apa yang
memungkinkan akan dilakukan dengan membuat koneksi kepada teks sebelumnya.
Dengan kata lain, baginya penulis dan pembaca membuat koneksi yang disebut
seni. Maksud dari kata tersebut yaitu writer dan reader sama dengan dancer,
yang melengkapi satu sama lain, harus seirama. Jadi ketika kita akan menulis
yang sasarannya ditujukan untuk anak SMA, maka kita harus menulis sesuai dengan
pengetahuan SMA, dan menulis harus ada keindahan bahasa, dan lain sebagainya.
Menurut Lehtonen (2000 : 74), pembaca naik ke inti pembentukan atau
penyusunan suatu makna, dan pembaca menjadi tempat dimana makna itu dimiliki.
Teks dan pembaca tidak berada secara bebas, tetapi sesungguhnya mereka (teks
dan pembaca) satu sama lain saling menghasilkan (makna). Membaca termasuk
memilih apa yang harus dibaca, menggabungkan dan mentautkan mereka bersama
supaya membentuk makna, juga membawa pengetahuan pembaca tersebut kedalam teks.
Meaning bisa dibangun karena kolaborasi antara writer dan reader. Namun semua
negosiasi makna ada pada reader. Jika kita sedang membaca, secara otomatis kita
sedang bernegosiasi dengan mencari makna yang terkandung dalam teks tersebut.
Kesimpulannya adalah budayakan pendidikan berliterasi, berwawasan luas, dan
berfikiran bebas. Ketika kita ingin menulis, kita harus ingat tentang tiga kata
kunci mengenai cara-cara menulis, ciptakan tulisan seperti chef di restoran
mahal, serta bangun sebuah koneksi antara teks, reader dan writer.
0 comments:
Post a Comment