Monday, February 17, 2014

10:09 PM


How Crucial Literacy Is 



            Setiap zamannya metode pendekatan literasi selalu berubah, berikut periodesasi yang dibagi ke dalam 5 kelompok:
§  Approach grammar translation methods structural sampai akhir perang dunia ke-2. Fokus pembelajarannya terletak pada penggunaan bahasa tulis dan tata bahasa. Ini berguna dalam error analysis, sintaksis kalimat, dan wacana. Namun, hal tersebut tidak menjamin siswa dapat menganalisis masalah sosial, seperti bahasa pejabat, gender, dan iklan.
§  Audiolingual approach (1940-1960), fokusnya adalah pada latihan dialog-dialog pendek. Yang dikemudian hari siswa dapat mempraktikannya. Sayangnya, hal ini kurang memberi ruang siswa untuk berkomunikasi dalam berbagai keadaan. Selain itu, writing orientednya terabaikan.
§  Cognitive and transformative approach as the implication of sytactic structure terms (Chomsky, 1957). Fokusnya terletak untuk membangkitkan potensi siswa dalam berbahasa, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
§  Communicative competence approach (Hymes, 1976 dan Widdowson, 1978). Tujuannya menjadikan siswa dapat berkomunikasi dalam bahasa yang diingankan.
§  Genre-based approach atau pendekatan literasi. Pendekatan ini sendiri dengan kurikulum 2004 di Indonesia, yang bertujuan menjadikan siswa mampu membuat wacana yang sesuai dengan konteks literasi.
Menanggapi fenomena periodisasi tersebut sungguh mencengangkan. Bagaimana tidak? Sejak sebelum terjadinya perang dunia ke-2, bangsa-bangsa adidaya sudah berkutat dengan sistem pembelajaran bahasa. Tidak heran jika mereka dapat menaklukan negara-negara lain untuk menjadi negara jajahannya. Namun, tak sedikit pula negara jajahan yang bangkit dan membalas dendam dengan menjadi bangsa yang maju dan patut di perhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Sebut saja Negri Sakura Jepang. Semakin maju perkembangan suatu bangsa, maka semakin dibenahi pula budaya literasi mereka.
Definisi Literasi
Dulu, literasi di artikan sebagai kemapuan membaca dan menulis (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005: 898). Di Indonesia disebut sebagai pengajaran dan pembelajaran bahasa (Setiadi: 2010). Namun, dalam KBBI sampai edisi ke-4 (2008) tidak tercantum nama literasi, yang ada hanya literature dan literer (hal 836). Literate disebut juga educate. Sudah lama literasi dianggap sebagai persoalan psikologis, yang behubungan dengan kemampuan mental dan keterampilan baca-tulis. Padahal literasi adalah praktik budaya yang berhubungan dengan sosial dan politik. Bahkan, kini ada ungkapan literasi komputer, virtual, matematika, IPA, dan lain-lain. Freebody Luke mengungkapkan model literasi sebagai berikut:
§  Breaking the codes of texts.
§  Participating in the meanings of texts.
§  Using texts functionally.
§  Critically analyzing and transforming texts.
Mereka disebut juga memahami, melihat, menggunakan, menganalisis, dan mentrasformasi text.
Sebenarnya literasi berhubungan dengan 4 dimensi, yaitu texts, cognitive, growth, dan sociocultural. Dimensi text adalah yang palinng dekat dekan literasi. Texts menurut Mikko Lethonen (2000) terbagi menajdi dua, yaitu semiotic beings dan physical beings. Menurutnya teks akan bebebntuk semiotic jika memiliki bentuk fisik, seperti artefak, kitab-kitab, dan lain-lain. Ini membuktikan bahwa, ‘sikap’ budaya literasi sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Walapun mereka belum menamainya sebagai ‘literasi’. Bagaimana dengan kita yang hidup di zaman modeern dan sudah mengenal kata ‘literasi’?
Ada banyak definisi tentang literasi. Ini menunjukan bahwa literasi terus berevolusi. Berbeda dengan Linguistic dan sastra yang konstan. Namun, sastra tetap berurusan dengan penggunaan bahasa. Sekarang merupakan kajian lintas disiplin dan memiliki tujuh dimensi yang terkait, yaitu:
§  Dimensi geografis
§  Dimensi bidang
§  Dimensi keterampilan
§  Dimensi fungsi
§  Dimensi media
§  Dimensi jumlah
§  Dimensi bahasa
Semua dimensi di atas sangat mempengaruhi keliterat-an seseorang dan keliteratannya mempengaruhi kesuksesan dan kemajuan negaranya. Seperti Negri Sakura Jepang yang masyarakatnya sangat menghargai dan mentaati semua peraturan. Mulai dari yang sepele seperti membuang sampah pada tempatnya, sampai datang tepat waktu saat bekerja. Sesuatu yang sulit di lakukan oleh orang-orang Indonesia. Satu hal yang menarik adalah kebanyakan dari mereka lebih memilih jalan kaki dengan cepatnya untuk pergi ke kantor. Sedangkan bagi anak-anak sekolah, mereka menggunakan sepeda walaupun mereka mempunyai kendaraan bermotor.
Terdapat pula 10 kunci tentang literasi yang menunjukan perubahan pandangan literasi, sesuai dengan kemajuan zaman, yaitu:
§  Ketertiban lembaga-lembaga sosial (bahasa birokrat dan politik).
§  Tingkat kefasihan leratif.
§  Pengembangan potensi diri dan pengetahuan (kemampuan memproduksi dan mereproduksi ilmu pengetahuan).
§  Standar dunia.
§  Warga masyarakat demokratis.
§  Keragaman lokal.
§  Hubungan global.
§  Kewarganegaraan yang efektif.
§  Bahasa Inggris ragam dunia.
§  Kemampuan berfikir kritis.
§  Msyarakat semiotik.
Sering kali masyarakat yang berfikir kritis di batasi haknya untuk menyuarakan apa yang ia fikirkan. Fenomena yang seperti ini menjadikan suatu negara membatasi atau tidak menghargai budaya literasi. Pantas saja jika seorang sastrawan puisi di takuti oleh sebagian ‘penguasa’. Padahal sastra sangat erat kaitannya dengan literasi, dan literasi sangat erat dengan budaya sosial dan politik.
Dalam buku Rekaya Literasi, pendidikan bahasa berbasis literasi harusnya dilaksanakan dengan 7 prinsip sebagai berikut:
§  Literasi sebgai life skills.
§  Meliputi kemampuan menerima (receptive) dan menghasilkan (productive) dalam berwacana secara tulis maupun lisan
§  Merupakan kemampuan memecahkan masalah.
§  Sebagai refleksi pengusaan dan apresiasi budaya.
§  Literasi adalah bentuk refleksi diri.
§  Merupakan hasil pencampuran (colaboration).
§  Kegiatan melakukan interpretation.
Ketujuh prinsip tersebut harus di tanamkan sedari dini kepada anak, mulai ari memperkenalkannya pada teks bergambar atau membacakannya cerita dongeng. Selain itu mengajarkan berbahasa dengan santun.
Rapor Merah Literasi Anak Negeri
Indonesi sejak tahun 1999 mengikuti PIRLS, PISA, dan TIMSS yang semuanya bergerak di bidang literasi. Hasil dari PIRLS 2006 tentang prestasi siswa kelas IV Indonesia. Penelitian tersebut menunjukan bahwa tujuan membaca adalah literacy purposes dan information purposes. Sedangkan membaca meliputi tujuan interpreting, intergrating, dan evaluating.
Dari hasil temuan pada penelitian tersebut dapat di tarik beberapa kesimpulan, yaitu:
§  Tingkat literasi siswa di Indonesia masih di bawah rata-rata.
§  Tidak ditemukan skor prestasi menulis. Namun, dapat diketahui dari kemampuan membaca.
§  Merupakan ujung dari persoalan, maka untuk menyelesaikannya harus diketahui pangkal masalahnya.
Kesadaran pentingnya membaca harus di biasakan sedari dini. Agar kelak ketika mereka tumbuh semakin besar, mereka sudah terbiasa dengan membaca.
Implementasi
Orang yang literat adalah yang terdidik dan berbudaya. Sehingga, rekaya literasi adalah usaha yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya. Perbaikan rekayasa literasi menurut Kucer (2005: 293-4), meliputi:
§  Linguistic atau focus text.
§  Cognitive.
§  Sociocultural.
§  Growth focus
Namun, menurut Kern terdapat 3 dimensi, yaitu Linguistic, Sociocultural, dan Cognitive/metacognitive.
Rekayasa literasi memang meliputi ke-4 dimensi di atas. Merekayasa literasi harus di lakukan kepada siswa sedari dini. Jika tidak dipaksakan, maka akan jadi apa generasi muda tanpa berbudaya?
Kurikulum pada bahasa asing di tingkat dasar bersifat text centric, bukan reader-writer centric, serta berfokus pada ketepatan dan konvensi bahasa dalam bnetuk grammar, spell, mechanic, language use, dan writen. Sedangkan kurikulum bahasa asing di tingkat tingg, yaitu muatan cultural (silang budaya dan apresiasi sastra), muatan kognitif (menganalisis teks dan berfikir kritis), muatan reproduksi (menggunakan bahasa asing untuk menghasilkan ilmu pengetahuan). Menanggapi hal tersebut, menutut Prof. Chaedar untuk dapat menulis dalam bahasa asing, kita di tuntut untuk dapat menulis dalam bahasa kita terlebih dahulu. kenapa? Bagaimana kita dapat menulis dalam bahasa ke-2, jika dalam bahasa kita saja masih jauh dari standar.
Mengajarkan literasi seperti menjadikan manusia secara fungsional mampu baca-tulis, terdidik, cerdas, dan memiliki apresiasi terhadap sastra. Di Negeri kita banyak manusia yang terdidik tapi kurang dalam apresiasi terhadap sastra. Terdapat 3 garis besar pembelajaran literasi, yaitu:
§  Decoding. Untuk garis ini, berlaku rumus: perkembangan literasi = Belajar tentang literasi ---› belajar literasi ---› belajar melalui literasi.
§  Keterampilan (skills). Pada garis ini, berlaku rumus: perkembangan literasi = belajar tentang literasi ---› belajar literasi ---› belajar melalui literasi.
§  Bahasa secara utuh. Dalam garis ini, memiliki rumus: perkembangan literasi adalah belajar melalui literasi ---› belajar literasi ---› belajar tentang literasi.
Dari data di atas, dapat tergambarkan sebagai berikut:
§  Perubahan paradigma tentu membawa konsekuensi metode dan teknik pembelajaran yang tak terlihat namun hasilnya dapat kita rasakan.
§  Perkembangan literasi terus berlanjut dari tingkat-tingkat sekolah.
Literasi memang berbentuk abstrak, namun manfaat dari mempelajarinya sangatlah terasa. Literasi memang bukan apa-apa, tapi melaluinya kita menjadi sesuatu yang dapat di perhitungkan karena budaya.

           

0 comments:

Post a Comment