Monday, February 17, 2014



It Is Not Only A Writing



            Dari kacamata Biologi, menulis adalah kegiatan yang sepenuhnya ‘bertumpu’ pada jari-jari tangan (umumnya tangan kanan) dengan melibatkan saraf motorik dan sensorik. Menulis juga dapat diartikan sebagai handout memmory. Sehingga ia dapat mengikat dan menjaga ilmu atau pengalaman yang telah kita dapatkan.
            Berbeda dengan pandangan Ilmu Sejarah. Sebenarnya orang-orang pada zaman dahulu sudah mengenal tulisan jauh sebelum kita. Seperti tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, lukisan atau pahatan di dinding gua, simbol-simbol, artefak, dan lain-lain yang mengandung nilai sejarah yang begitu besar. Mereka sudah memahami pentingnya sejarah, walaupun mereka belum mengenal apa itu literasi. Tapi, perilaku mereka jauh lebih ber-literasi di bandingkan kita.
            Untuk posisi kita sebgai mahasiswa, writing memiliki pengertian yang lebih dalam lagi. Dia lebih bersifat scientific. Artinya, apa yang di tulis harus menghasilkan pengetahuan yang baru, baik bagi pembaca maupun penulisnya. Dengan kata lain, writing di tulis dengan ‘style’ critical thinking. Hal ini di tandai dengan sikap mahasiswa yang tidak menerima begitu saja apa yang penulis katakan dalam bukunya.
            Writing bukan hanya sekedar menulis. Kenapa? Dia mampu menjadikan mahasiswanya sebgai ‘student’ of language. Dengan syarat, mereka harus dapat menyajikan content yang baik dan berbudaya. Dengan kata lain, apa yang mereka tulis harus menjadikan adat yang ber-literasi.
            Mr. Lala Bumela M.Pd dalam course-nya memberitahukan tentang 3 hal yang ada dalam writing oriented, yaitu:
·         Ways of knowing something
            Apapun yang akan kita tulis, harus didasari pada background information yang baik agar tidak terjadi mis-understunding baik oleh penulis maupun pembacanya. Dengan kata lain, untuk mengetahui atau mengenal sesuatu yang kita inginkan maka harus mempelajarinya dengan membaca sesuai dengan yang terkait.
·         Ways of representing something
            Setelah kita mengetahui ilmu yang kita pelajari, akan lebih baik jika kita memperkenalkannya kembali dengan tulisan. Dengan begitu, ilmu yang telah kita dapat pun akan terjaga.
·         Ways of producing knowlegde
            Melalui menulis kita dapat menghasilkan pengetahuan atau menghasilkan kembali pengetahuan yang telah ada. Tentu dengan ditambahkannya hal-hal baru yang tidak berlawanan arah.
Dari keterangan di atas, kita dapat menggambarkannya sebagi berikut:
Information            Knowledge           Enjoy information experiences.
            Satu hal yang menjadi syarat wajib dari writing oriented di atas, yaitu kemampuan writing recording dan reading. Reading-writing memang dua hal yang berbeda, namun keduanya bersinergi dalam menentukan meaning. Menulis disini bukan sekedar menulis, maka untuk memproduksi tulisan yang baik ‘janganlah’ semena-mena. Agar kelak karya tersebut dapat menjadi bongkahan emas pengetahuan. Sehingga, tak aneh jika para penulis dapat mengubah dunia, baik dunia si penulis maupun negerinya. Seperti tranding bahasa dan perdagangan yang di kuasai oleh Asia, yang besar karena budaya membaca mereka.
            Untuk menjadi penulis dan pembaca yang baik tidaklah mudah. Untuk menjadi penulis, di wajibkan membaca banyak buku. Namun, membaca banyak buku tidak menjamin menjadi seorang penulis (Rekayasa Literasi).
            Oleh karenanya, di perlukan pendidikan Bahasa yang yang memiliki roh literasi. Dalam buku Rekaya Literasi, pendidikan Bahasa yang ber-literasi adalah:
·         Pendidikan bahasa yang sejak dini dapat melatih dan memberdayakan siswa menggunakan bahasa sesuai dengan keadaan dan situasinya.
·         Pendidikan bahasa sejak kecil meliputi pengetahuan menerima (receptive) dan mengasilkan (productive) pengetahuan, agar para siswa dapat berekspresi baik melalui tulisan maupun lisan.
·         Pendidikan bahasa haruslah mengajarkan pengetahuan budaya karena padadasarnya literasi (baca-tulis) selalu ada dalam sistem budaya.
·         Literasi yang merupakan keahlian dalam memecahkan masalah, maka pendidikan bahasa harus berisikan latihan untuk berfikir kritis.
·         Berisikan oengajaran yang dapat menanamkan kebiasaan melakukan refleksi pada diri pelajar, baik atas bahasa sendiri maupun bahasa lainnya.
·         Literasi adalah hasil kolaborasi, maka pandidikan bahasa harus dibangun melalui kegiatan kolaborasi. Kolaborasi tersebut melibatkan dua pihak yang berkomunikasi.
·         Pendidikan bahasa sejak kecil mampu melatih siswa melakukan interpretasi, yaitu berhubungan dengan mencari, menebak, dan membangun makna.
            Pendidikan Bahasa akan berujung pada reader dan writer. Oleh sebab itu, mereka tidak dapat dipisahkan. Bahkan writer-reader menurut Hoey (2001) adalah sebagai dancers yang harus melakukan gerakan yang sama dalam satu irama. Menurutnya "…each assembling sense from a text by anticipating what the other is likely to do by making connections to prior text." Sehingga, untuk membuat gerakan antara reader dan writer di butuhkan pengetahuan yang luas dari si pembaca. Agar ia dapat mengimbangi apa yang si pebulis tulis. Dengan cara mampu memperkirakan apa yang akan ia ketahui atau baca dalam buku tersebut selanjutnya. Demikian dengan penulis, dia harus dapat menentukan untuk siapa buku itu di tujukan. Oleh karenanya, tidaklah mudah menjadi seorang penulis dan pembaca.
            Selain itu, literasi juga dapat memperkaya ilmu pengetahuan. Kenapa? Dari sanalah sebuah negara akan lebih maju karena ilmu pengetahuannya. Masyarakatnya dapat memperkaya ilmu pengetahuan (reading) dan memproduksi bahkan mereproduksi ilmu pengetahuan yang telah ada (writing). Itulah negara yang menghargai dan mengaplikasi budaya literasi. Sebut saja China, mereka memandang teknologi adalah sastra bukan sains atau penemuan lainnya. Lalu bagaimana dengan kita?
            Literasi bukan hanya berhubungan dengan baca-tulis dan bahasa, tapi lebih luas daripada itu. Seperti literasi komputer, virtual, matematika, IPA, dan lain-lain. (Rekayasa Literasi).
Walaupun readers-writers merupakan satu kesatuan yang utuh, mereka tetap memiliki perbedaan. Writer disebut sebagai penulis, hanya ketika ia sedang dalam proses menulis. Sedangkan pembaca tidak. Dia akan selalu disebut sebagai pembaca, jika ia memiliki fikiran "Apa yang akan saya baca selanjutnya, dan apa yang akan saya fahami dari buku lain."
            Untuk menjadi pembaca yang ber-literasi tidaklah mudah. Kenapa? Menurut Hawe Setiawan, masih diharuskan untuk belajar membaca. Membaca yang seperti apa? Menurutnya, media bacaan yang ada sekarang ini semakin canggih, cepat, dan mudah untuk di akses dimanapun dan kapanpun. Namun, semakin cepatnya laju informasi, masyarakat cenderung terburu-burudan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Apalagi jika informasi yang diterima setengah-setengah. Sehingga timbul istilah tahu banyak tapi tidak faham, luas tapi dangkal. Maka, menurutnya di butuhkan kebiasaan seperti zaman-zaman dahulu. Tetntang kesabaran dan kesanggupan mereka membaca fikiran sesama manusia secara tenang, menyerap dan mengolah informasi sehingga menjadi pengetahuan. Hal tersebut demi mempertahankan republik literasi. Dengan kata lain, belajar membaca bukan saja dengan mengeja dalam menyerap menerima informasi secara benar.
            Hyland (2004) juga bependapat tentang menulis. Menurutnya menulis di bedakan menjadi dua, writing and teaching writing. Keduanya sangatlah berbeda. Untuk menulis, menurutnya "concetualizing L2 writing in this way directs attention to writing as a product and encourages a focus on formal text units or grammatical features of texts. In this view, its mainly involves linguistic knowledge and the vocabularies choices, sytactic patterns and cohesive devices that comprise the essential building blocks of text." Writing dalam L2 ini lebih kompleks dan rumit karena harus fokus terhadap formal teks dan bentuk grammatical. Sehingga menurutnya, dibutuhkan strong teacher untuk dapat membawa para siswanya ke arah linguistic knowledge. Selain itu, teacher haruslah memiliki pengalaman yang cukup banyak tentang writing.
            Ada beberapa hal yang tidak dapat dipisahkan dengan readers-writers, yaitu texts, contexts, dan meanings. Menurut Lethonen (2000), "texts can be semiotic beings only when they have some physical form." Lethonen memberi contoh artefak sebagai bentuk fisik text yang digunakan manusia untuk berkomunikasi.
            Sedangkan context menurut Lethonen, "In traditional nations of text and contexts. Contexts are seen as separate ‘background’ of texts which in the role of a certain kind of additional information can be an aid in understunding the texts themselves. Ih this kind of nation of contexts, it falls to the reader’s lot to be a passive recipient." Jadi, dapat dikatakan bahwa context berada diluar texts itu sendiri. Namun, keberadaannya sangat mempengaruhi pembaca memperoleh meaning. Kenapa? Dengan pengetahuan kontekstual pembaca yang didapat dari text itu sendiri, memungkinkan dia mengungkap meaning dalam text tersebut.
            Kesimpulan dari semuanya adalah bagaimana kita menjadi seorang yang literate. Menulis secara literasi, bukan sekedar menulis biasa, namun bagaimana kita dapat mengorientasikannya dengan cara mencari pengetahuan yang kita inginkan, mengikatnya, dan memproduksinya atau memperkenalkannya kepada orang lain. Hal tersebut harus didukung dengan membaca banyak buku. Membaca yang dimaksudkan adalah bagaimana kita dapat menemukan informasi dengan cermat. Hal tersebut dipengaruhi oleh texts, context, meaning, reader, dan writer. Mereka merupakan satu kesatuan yang utuh dalam proses penggalian ilmu melalui membaca. Si penulis membuat buku dengan harapan, bahwa si pembaca akan mendapatkan meanings dari texts yang dia buat, dan contexts yanh ada di sekitarnya. Walaupun oembaca nantinya akan mendapatkan meaning yang berbeda dengan penulis, namun semua itu di pangaruhi oleh text dan contexts yang pembaca tangkap sehingga menjadi meanings.

0 comments:

Post a Comment