It Is Not Only A Writing
Dari kacamata
Biologi, menulis adalah kegiatan yang sepenuhnya ‘bertumpu’ pada jari-jari
tangan (umumnya tangan kanan) dengan melibatkan saraf motorik dan sensorik.
Menulis juga dapat diartikan sebagai handout memmory. Sehingga ia dapat
mengikat dan menjaga ilmu atau pengalaman yang telah kita dapatkan.
Berbeda dengan
pandangan Ilmu Sejarah. Sebenarnya orang-orang pada zaman dahulu sudah mengenal
tulisan jauh sebelum kita. Seperti tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, lukisan atau
pahatan di dinding gua, simbol-simbol, artefak, dan lain-lain yang mengandung
nilai sejarah yang begitu besar. Mereka sudah memahami pentingnya sejarah,
walaupun mereka belum mengenal apa itu literasi. Tapi, perilaku mereka jauh
lebih ber-literasi di bandingkan kita.
Untuk posisi kita
sebgai mahasiswa, writing memiliki pengertian yang lebih dalam lagi. Dia lebih
bersifat scientific. Artinya, apa yang di tulis harus menghasilkan pengetahuan
yang baru, baik bagi pembaca maupun penulisnya. Dengan kata lain, writing di
tulis dengan ‘style’ critical thinking. Hal ini di tandai dengan sikap
mahasiswa yang tidak menerima begitu saja apa yang penulis katakan dalam
bukunya.
Writing bukan
hanya sekedar menulis. Kenapa? Dia mampu menjadikan mahasiswanya sebgai
‘student’ of language. Dengan syarat, mereka harus dapat menyajikan content
yang baik dan berbudaya. Dengan kata lain, apa yang mereka tulis harus
menjadikan adat yang ber-literasi.
Mr. Lala Bumela
M.Pd dalam course-nya memberitahukan tentang 3 hal yang ada dalam writing
oriented, yaitu:
·
Ways of knowing
something
Apapun yang akan
kita tulis, harus didasari pada background information yang baik agar tidak
terjadi mis-understunding baik oleh penulis maupun pembacanya. Dengan kata
lain, untuk mengetahui atau mengenal sesuatu yang kita inginkan maka harus mempelajarinya
dengan membaca sesuai dengan yang terkait.
·
Ways of
representing something
Setelah kita
mengetahui ilmu yang kita pelajari, akan lebih baik jika kita memperkenalkannya
kembali dengan tulisan. Dengan begitu, ilmu yang telah kita dapat pun akan
terjaga.
·
Ways of
producing knowlegde
Melalui menulis
kita dapat menghasilkan pengetahuan atau menghasilkan kembali pengetahuan yang
telah ada. Tentu dengan ditambahkannya hal-hal baru yang tidak berlawanan arah.
Dari
keterangan di atas, kita dapat menggambarkannya sebagi berikut:
Information Knowledge
Enjoy information experiences.
Satu hal yang menjadi syarat wajib
dari writing oriented di atas, yaitu kemampuan writing recording dan reading.
Reading-writing memang dua hal yang berbeda, namun keduanya bersinergi dalam
menentukan meaning. Menulis disini bukan sekedar menulis, maka untuk
memproduksi tulisan yang baik ‘janganlah’ semena-mena. Agar kelak karya
tersebut dapat menjadi bongkahan emas pengetahuan. Sehingga, tak aneh jika para
penulis dapat mengubah dunia, baik dunia si penulis maupun negerinya. Seperti
tranding bahasa dan perdagangan yang di kuasai oleh Asia, yang besar karena
budaya membaca mereka.
Untuk menjadi penulis dan pembaca
yang baik tidaklah mudah. Untuk menjadi penulis, di wajibkan membaca banyak
buku. Namun, membaca banyak buku tidak menjamin menjadi seorang penulis
(Rekayasa Literasi).
Oleh karenanya, di perlukan
pendidikan Bahasa yang yang memiliki roh literasi. Dalam buku Rekaya Literasi,
pendidikan Bahasa yang ber-literasi adalah:
·
Pendidikan
bahasa yang sejak dini dapat melatih dan memberdayakan siswa menggunakan bahasa
sesuai dengan keadaan dan situasinya.
·
Pendidikan
bahasa sejak kecil meliputi pengetahuan menerima (receptive) dan mengasilkan
(productive) pengetahuan, agar para siswa dapat berekspresi baik melalui
tulisan maupun lisan.
·
Pendidikan
bahasa haruslah mengajarkan pengetahuan budaya karena padadasarnya literasi
(baca-tulis) selalu ada dalam sistem budaya.
·
Literasi yang
merupakan keahlian dalam memecahkan masalah, maka pendidikan bahasa harus
berisikan latihan untuk berfikir kritis.
·
Berisikan
oengajaran yang dapat menanamkan kebiasaan melakukan refleksi pada diri pelajar,
baik atas bahasa sendiri maupun bahasa lainnya.
·
Literasi adalah
hasil kolaborasi, maka pandidikan bahasa harus dibangun melalui kegiatan
kolaborasi. Kolaborasi tersebut melibatkan dua pihak yang berkomunikasi.
·
Pendidikan
bahasa sejak kecil mampu melatih siswa melakukan interpretasi, yaitu
berhubungan dengan mencari, menebak, dan membangun makna.
Pendidikan Bahasa akan berujung pada
reader dan writer. Oleh sebab itu, mereka tidak dapat dipisahkan. Bahkan
writer-reader menurut Hoey (2001) adalah sebagai dancers yang harus melakukan
gerakan yang sama dalam satu irama. Menurutnya "…each assembling sense
from a text by anticipating what the other is likely to do by making
connections to prior text." Sehingga, untuk membuat gerakan antara reader
dan writer di butuhkan pengetahuan yang luas dari si pembaca. Agar ia dapat
mengimbangi apa yang si pebulis tulis. Dengan cara mampu memperkirakan apa yang
akan ia ketahui atau baca dalam buku tersebut selanjutnya. Demikian dengan
penulis, dia harus dapat menentukan untuk siapa buku itu di tujukan. Oleh
karenanya, tidaklah mudah menjadi seorang penulis dan pembaca.
Selain itu, literasi juga dapat
memperkaya ilmu pengetahuan. Kenapa? Dari sanalah sebuah negara akan lebih maju
karena ilmu pengetahuannya. Masyarakatnya dapat memperkaya ilmu pengetahuan
(reading) dan memproduksi bahkan mereproduksi ilmu pengetahuan yang telah ada
(writing). Itulah negara yang menghargai dan mengaplikasi budaya literasi.
Sebut saja China, mereka memandang teknologi adalah sastra bukan sains atau
penemuan lainnya. Lalu bagaimana dengan kita?
Literasi bukan hanya berhubungan
dengan baca-tulis dan bahasa, tapi lebih luas daripada itu. Seperti literasi
komputer, virtual, matematika, IPA, dan lain-lain. (Rekayasa Literasi).
Walaupun
readers-writers merupakan satu kesatuan yang utuh, mereka tetap memiliki
perbedaan. Writer disebut sebagai penulis, hanya ketika ia sedang dalam proses
menulis. Sedangkan pembaca tidak. Dia akan selalu disebut sebagai pembaca, jika
ia memiliki fikiran "Apa yang akan saya baca selanjutnya, dan apa yang
akan saya fahami dari buku lain."
Untuk menjadi pembaca yang
ber-literasi tidaklah mudah. Kenapa? Menurut Hawe Setiawan, masih diharuskan
untuk belajar membaca. Membaca yang seperti apa? Menurutnya, media bacaan yang
ada sekarang ini semakin canggih, cepat, dan mudah untuk di akses dimanapun dan
kapanpun. Namun, semakin cepatnya laju informasi, masyarakat cenderung
terburu-burudan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Apalagi jika informasi yang
diterima setengah-setengah. Sehingga timbul istilah tahu banyak tapi tidak
faham, luas tapi dangkal. Maka, menurutnya di butuhkan kebiasaan seperti
zaman-zaman dahulu. Tetntang kesabaran dan kesanggupan mereka membaca fikiran
sesama manusia secara tenang, menyerap dan mengolah informasi sehingga menjadi
pengetahuan. Hal tersebut demi mempertahankan republik literasi. Dengan kata
lain, belajar membaca bukan saja dengan mengeja dalam menyerap menerima
informasi secara benar.
Hyland (2004) juga bependapat
tentang menulis. Menurutnya menulis di bedakan menjadi dua, writing and
teaching writing. Keduanya sangatlah berbeda. Untuk menulis, menurutnya
"concetualizing L2 writing in this way directs attention to writing as a
product and encourages a focus on formal text units or grammatical features of
texts. In this view, its mainly involves linguistic knowledge and the
vocabularies choices, sytactic patterns and cohesive devices that comprise the
essential building blocks of text." Writing dalam L2 ini lebih kompleks
dan rumit karena harus fokus terhadap formal teks dan bentuk grammatical.
Sehingga menurutnya, dibutuhkan strong teacher untuk dapat membawa para
siswanya ke arah linguistic knowledge. Selain itu, teacher haruslah memiliki
pengalaman yang cukup banyak tentang writing.
Ada beberapa hal yang tidak dapat
dipisahkan dengan readers-writers, yaitu texts, contexts, dan meanings. Menurut
Lethonen (2000), "texts can be semiotic beings only when they have some
physical form." Lethonen memberi contoh artefak sebagai bentuk fisik text
yang digunakan manusia untuk berkomunikasi.
Sedangkan context menurut Lethonen,
"In traditional nations of text and contexts. Contexts are seen as
separate ‘background’ of texts which in the role of a certain kind of
additional information can be an aid in understunding the texts themselves. Ih
this kind of nation of contexts, it falls to the reader’s lot to be a passive
recipient." Jadi, dapat dikatakan bahwa context berada diluar texts itu
sendiri. Namun, keberadaannya sangat mempengaruhi pembaca memperoleh meaning.
Kenapa? Dengan pengetahuan kontekstual pembaca yang didapat dari text itu
sendiri, memungkinkan dia mengungkap meaning dalam text tersebut.
Kesimpulan dari semuanya adalah
bagaimana kita menjadi seorang yang literate. Menulis secara literasi, bukan
sekedar menulis biasa, namun bagaimana kita dapat mengorientasikannya dengan
cara mencari pengetahuan yang kita inginkan, mengikatnya, dan memproduksinya
atau memperkenalkannya kepada orang lain. Hal tersebut harus didukung dengan
membaca banyak buku. Membaca yang dimaksudkan adalah bagaimana kita dapat
menemukan informasi dengan cermat. Hal tersebut dipengaruhi oleh texts,
context, meaning, reader, dan writer. Mereka merupakan satu kesatuan yang utuh
dalam proses penggalian ilmu melalui membaca. Si penulis membuat buku dengan
harapan, bahwa si pembaca akan mendapatkan meanings dari texts yang dia buat,
dan contexts yanh ada di sekitarnya. Walaupun oembaca nantinya akan mendapatkan
meaning yang berbeda dengan penulis, namun semua itu di pangaruhi oleh text dan
contexts yang pembaca tangkap sehingga menjadi meanings.
0 comments:
Post a Comment