Monday, February 17, 2014



Sejauh mana kita mengenal literasi? Bisa jadi selama ini kita berbicara tentang literasi tetapi tidak tahu maksud dan maknanya?
Definisi lama dari literasi adalah kemampuan membaca dan menulis (  Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005 : 898). Namun dalam konteks persekolahan di negara kita istilah literasi itu masih sangan  awam karena istilah yang sering dipakai oleh tenaga pengajar kita saat di sekolah dasar maupun sampai sekolah menengah atas pun menyebutnya dengan istilah pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa (Setiadi: 2010).
Pada masa silam membaca dan menulis dianggap “cukup” sebagai pendidikan dasar (pendidikan umum)  untuk membekali manusia kemampuan menghadapi tantangan zamannya. Pada kenyataannya menulis dan membaca saja tidak cukup, karena zaman akan berkembang jauh lebih pesat dari pada itu, tanpa keterampilan kita akan terlindas oleh arus globalisasi yang semakin tak terkendali.
Generasi dulu menganggap bahwa baca-tulis itu adalah  pendidikan dasar untuk bekal kita saat menghadapi dunia luar, mereka menganggap asalkan sudah bisa membaca itu sudah cukup yang penting tidak buta huruf. Masyarakat menganggap belajar baca tulis itu hanya  saat terikat dengan lembaga pendidikan saja, terlepas dari itu mereka tidak lagi mendalami keterampilan baca-tulis. Ditinjau dari arus globalisasi yang kian melangit, maka literasi memunculkan definisi baru yang akan merubah cara pandang kita, atau yang kita kenal sebagai perubahan cara pandang kita terhadap suatu kebiasaan yang sudah menjamur di permukaan. Literasi terbentuk dari beberapa model seperti litersi komputer, literasi virtual, litersi matematika dan literasi IPA.
Freebody dan Luke menwarkan literasi sebagai beriku:
1.      Memahami kode dalam teks
2.      Terlibat dalam memaknai teks
3.      Menggunakan teks secara fungsional
4.      Melakukan analisis dan mentransformasi teks secara kritis.
Ke empat literasi di atas dapat diringkas ke dalam lima kata yaitu memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasi teks.
Memahami ini dapat diartikan bagaimana cara pandang kita dalam memahami apa yang sedang kita baca, mengukur sejauh mana kepahaman kita tentang isi teks di dalam bacaan tersebut.
Melibati, tentu saja kita akan terlibat langsung dalam konteks literasi ini secara sadar maupun tidak sadar kita terlibat dalam memaknai sebuah bacaan atau teks yang sedang kita kaji. Dalam kehidupan ini kita tidak dapat dipisahkan dengan yang namanya literasi, literasi ini tidak hanya menyangkut kegiatan baca-tulis saja, namun di dalamnya ada literasi matematika, nah secara tidak langsung setiap hari kita terlibat dalam literasi matematika seperti saat kita melakukan transaksi dengan pedagang.
Menggunakan, di sini kita akan menggunakan teks yang kita baca menurut fungsinya. Maksudnya apa yang kita baca saat ini itu apakah memang itu yang dibutuhkan oleh kita. Jadi kita akan memilih bahan bacaan dilihat dari fungsinya, memenuhi kebutuhan kita atau tidak.
Yang terakhir adalah analisis. Di sini kita belajar tentang bagaimana cara  menganalisis teks sehingga dapat mentransformasikan teks secara kritis. Ketika kita sedang membaca sesuatu, maka otak kita secara otomatis akan menganalisis isi teks tersebut lalu merubahnya ke dalam pemahaman kritis kita.
Literasi tetap berurusan dengan penggunaan bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait. Ketujuh dimensi itu mencakup : dimensi geografis, dimensi bidang, dimensi keterampilan, dimensi fungsi, dimensi media, dimensi jumlah, dan dimensi bahasa.
Saya menyetujui pendapat pak Chaedar pada Dimensi keterampilan yaitu “Setiap sarjana pasti mampu membaca, tapi tidak semua sarjana mampu menulis!” jadi dalam kehidupan gonjang ganjing yang disebut jaman “edan” oleh pak Chaedar, memanglah benar setiap orang memiliki kemampuan membaca dengan baik, bahkan bukan hanya mereka yang lulusan sarjana, anak SD pun mereka pasti pandai membaca. Namun disisi lain tidak semua pembaca bisa menulis walaupun mereka sangat hapal bagaimana bentuk hurup alfabet itu seperti apa.
Kemampuan menulis itu tidak dimiliki oleh banyak orang, bahkan hanya orang-orang hebat yang memiliki “gizi” saja yang dapat menulis dengan baik dan hasil yang bagus.  Gizi yang dimaksud tidak hanya suplemen makanan saja, gizi di sini mencakup daya serap baca kita, sejauh mana kita menerima informasi, semakin banyak informasi yang kita dapat maka semakin baik gizi yang kita miliki.
Pada zaman digital seperti sekarang ini rupanya sangat kuno jika kita masih menulis manual. Dengan arus globalisasi yang kian melejit maka berkembanglah istilah literasi visual, literasi digital, dan literasi virtual. Begitu adanya maka kita dituntut untuk menguasai semua ilmu dari berbagai aspek. Literasi itu tidak musti menulis maupun membaca berbau ilmiah, kita bisa belajar menulis mulai dari hal-hal yang sering kita lakukan di dalam kehidupan nyata seperti halnya menulis surat izin untuk sekolah ketika kita sedang sakit, menulis lamaran pekerjaan, membaca tabloid, jejaring sosial, mendengarkan radio, melihat berita, menulis puisi dan bahkan menulis status di febuk saja sudah termasuk kedalam hal terkecil dari literasi.
Kenapa masyrakat Indonesia literasinya sangat lemah? Dapat kita lihat dari dimensi bidang, “Pendidikan yang berkualitas tinggi maka menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. Pasti!”. jadi pada dasarnya tingkat literasi kita yang rendah dilihat dari berbagai faktor. Pendidikan orang tua yang rendah dapat memicu tingkat literasi anaknya rendah pula karena orang tua itu sendiri tidak menjalani budaya baca-tulis. Mereka cenderung acuh pada aktivitas anaknya, mereka tidak begitu perduli apa yang dilakukan si anak saat di rumah maupun di sekolah, sehingga rasa semangat dalam diri anak tidak terpicu karena ketidak perdulian itu.
Unjung tombak generasi masyrakat literat itu guru. Guru adalah cerminan kedua setelah orang tua, kita banyak belajar dari mereka. Jika guru kita berkualitas maka akan menghasilkan lulusan yang berkualitas pula.
Dari rapot merah dapat kita simpulkan betapa rendahnya literasi generasi muda kita ini. Indonesia hanya menduduki peringkat ke lima dari urutan paling bawah setelah Qatar, Kuwait dan Afrika utara. Padahal dulu saat pada era 50’an, Indonesia jauh lebih unggul dari Malaysia. Kita meredeka pada tahun 1945, sedangkan Malaysia saat itu masih dalam jajahan inggris dan mereka mendapat hak meredeka 15 tahun kemudia setelah Indonesia. Pada masa itu banyak sekali guru dari Indonesia yang direkrut ke negera tetangga untuk mengajar di sana, dari sana kita bisa melihat bahwa pada masa itu banyak sekali orang-orang pintar di negara kita yang dicuri oleh negara lain, seperti pak Habibie yang direkrut oleh pemerintah Jerman.
Dari perbincangan di atas tampak bahwa orang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya. Rekayasa literasi itu sendiri adalah upaya pemerintah yang disengaja untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan.
Lantas apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia? Tentu saja kita tidak sepenuhnya harus menyalahkan guru bahasa, karena bagaimanapun faktor pendorong tingkat literasi dipicu juga ole pendapatan per kapita pemerintah, sosial ekonomi, keluarga, dan diri sendiri.
Baru-baru ini di kota Surabaya terjadi fenomena yang sangat miris karena banyak kalangan masyarakat yang mengecam diskusi buku hampir di seluruh  perpustakaan yang ada di Surabaya. Apapun jenis bukunya tetap tidak diperbolehkan untuk didiskusikan. Bahkan yang memperparah adalah pihak kepolisian yang juga ikut turun tangan dalam pelarangan diskusi buku itu.
Peristiwa itu berarti pelarangan terhadap kemerdekaan untuk berkumpul, kemerdekaan untuk mengakses informasi dan kemerdekaan untuk berpikir. Jika sudah seperti ini, lalu bagaimana upaya kita untuk mengembangkan masyarakat yang literat sedangkan perpustakaan yang menjadi benteng terakhir untuk membangun literasi bangsa malah dikekang?! Jadi sebenaranya apa yang sedang terjadi di negeri ini?
Kesimpulannya, untuk membangun masyarakat literat memanglah tidak mudah dan tidak dapat berjalan jika hanya dilakukan oleh satu pihak saja. Kita butuh dukungan dari berbagai pihak seperti pemerintah, guru, keluarga, dan masyarakat itu sendiri.

0 comments:

Post a Comment