Sejauh
mana kita mengenal literasi? Bisa jadi selama ini kita berbicara tentang
literasi tetapi tidak tahu maksud dan maknanya?
Definisi
lama dari literasi adalah kemampuan
membaca dan menulis (
Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary,
2005 : 898). Namun dalam konteks persekolahan di negara kita istilah literasi
itu masih sangan awam karena istilah
yang sering dipakai oleh tenaga pengajar kita saat di sekolah dasar maupun
sampai sekolah menengah atas pun menyebutnya dengan istilah pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa (Setiadi:
2010).
Pada
masa silam membaca dan menulis dianggap “cukup”
sebagai pendidikan dasar (pendidikan umum)
untuk membekali manusia kemampuan menghadapi tantangan zamannya. Pada
kenyataannya menulis dan membaca saja tidak cukup, karena zaman akan berkembang
jauh lebih pesat dari pada itu, tanpa keterampilan kita akan terlindas oleh
arus globalisasi yang semakin tak terkendali.
Generasi
dulu menganggap bahwa baca-tulis itu adalah pendidikan dasar untuk bekal kita saat
menghadapi dunia luar, mereka menganggap asalkan sudah bisa membaca itu sudah
cukup yang penting tidak buta huruf. Masyarakat menganggap belajar baca tulis
itu hanya saat terikat dengan lembaga
pendidikan saja, terlepas dari itu mereka tidak lagi mendalami keterampilan
baca-tulis. Ditinjau dari arus globalisasi yang kian melangit, maka literasi
memunculkan definisi baru yang akan merubah cara pandang kita, atau yang kita
kenal sebagai perubahan cara pandang kita terhadap suatu kebiasaan yang sudah
menjamur di permukaan. Literasi terbentuk dari beberapa model seperti litersi
komputer, literasi virtual, litersi matematika dan literasi IPA.
Freebody
dan Luke menwarkan literasi sebagai beriku:
1. Memahami
kode dalam teks
2. Terlibat
dalam memaknai teks
3. Menggunakan
teks secara fungsional
4. Melakukan
analisis dan mentransformasi teks secara kritis.
Ke
empat literasi di atas dapat diringkas ke dalam lima kata yaitu memahami, melibati, menggunakan,
menganalisis dan mentransformasi teks.
Memahami
ini dapat diartikan bagaimana cara pandang kita dalam memahami apa yang sedang
kita baca, mengukur sejauh mana kepahaman kita tentang isi teks di dalam bacaan
tersebut.
Melibati,
tentu saja kita akan terlibat langsung dalam konteks literasi ini secara sadar
maupun tidak sadar kita terlibat dalam memaknai sebuah bacaan atau teks yang
sedang kita kaji. Dalam kehidupan ini kita tidak dapat dipisahkan dengan yang
namanya literasi, literasi ini tidak hanya menyangkut kegiatan baca-tulis saja,
namun di dalamnya ada literasi matematika, nah secara tidak langsung setiap
hari kita terlibat dalam literasi matematika seperti saat kita melakukan
transaksi dengan pedagang.
Menggunakan,
di sini kita akan menggunakan teks yang kita baca menurut fungsinya. Maksudnya
apa yang kita baca saat ini itu apakah memang itu yang dibutuhkan oleh kita.
Jadi kita akan memilih bahan bacaan dilihat dari fungsinya, memenuhi kebutuhan
kita atau tidak.
Yang
terakhir adalah analisis. Di sini kita belajar tentang bagaimana cara menganalisis teks sehingga dapat
mentransformasikan teks secara kritis. Ketika kita sedang membaca sesuatu, maka
otak kita secara otomatis akan menganalisis isi teks tersebut lalu merubahnya
ke dalam pemahaman kritis kita.
Literasi
tetap berurusan dengan penggunaan bahasa, dan kini merupakan kajian lintas
disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait. Ketujuh dimensi itu
mencakup : dimensi geografis, dimensi
bidang, dimensi keterampilan, dimensi fungsi, dimensi media, dimensi jumlah,
dan dimensi bahasa.
Saya
menyetujui pendapat pak Chaedar pada Dimensi keterampilan yaitu “Setiap sarjana pasti mampu membaca, tapi
tidak semua sarjana mampu menulis!” jadi dalam kehidupan gonjang ganjing
yang disebut jaman “edan” oleh pak Chaedar, memanglah benar setiap orang
memiliki kemampuan membaca dengan baik, bahkan bukan hanya mereka yang lulusan
sarjana, anak SD pun mereka pasti pandai membaca. Namun disisi lain tidak semua
pembaca bisa menulis walaupun mereka sangat hapal bagaimana bentuk hurup alfabet
itu seperti apa.
Kemampuan
menulis itu tidak dimiliki oleh banyak orang, bahkan hanya orang-orang hebat
yang memiliki “gizi” saja yang dapat
menulis dengan baik dan hasil yang bagus.
Gizi yang dimaksud tidak hanya suplemen makanan saja, gizi di sini
mencakup daya serap baca kita, sejauh mana kita menerima informasi, semakin
banyak informasi yang kita dapat maka semakin baik gizi yang kita miliki.
Pada
zaman digital seperti sekarang ini rupanya sangat kuno jika kita masih menulis
manual. Dengan arus globalisasi yang kian melejit maka berkembanglah istilah
literasi visual, literasi digital, dan literasi virtual. Begitu adanya maka
kita dituntut untuk menguasai semua ilmu dari berbagai aspek. Literasi itu
tidak musti menulis maupun membaca berbau ilmiah, kita bisa belajar menulis
mulai dari hal-hal yang sering kita lakukan di dalam kehidupan nyata seperti
halnya menulis surat izin untuk sekolah ketika kita sedang sakit, menulis
lamaran pekerjaan, membaca tabloid, jejaring sosial, mendengarkan radio,
melihat berita, menulis puisi dan bahkan menulis status di febuk saja sudah
termasuk kedalam hal terkecil dari literasi.
Kenapa
masyrakat Indonesia literasinya sangat lemah? Dapat kita lihat dari dimensi
bidang, “Pendidikan yang berkualitas
tinggi maka menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. Pasti!”. jadi
pada dasarnya tingkat literasi kita yang rendah dilihat dari berbagai faktor.
Pendidikan orang tua yang rendah dapat memicu tingkat literasi anaknya rendah
pula karena orang tua itu sendiri tidak menjalani budaya baca-tulis. Mereka
cenderung acuh pada aktivitas anaknya, mereka tidak begitu perduli apa yang
dilakukan si anak saat di rumah maupun di sekolah, sehingga rasa semangat dalam
diri anak tidak terpicu karena ketidak perdulian itu.
Unjung
tombak generasi masyrakat literat itu guru. Guru adalah cerminan kedua setelah
orang tua, kita banyak belajar dari mereka. Jika guru kita berkualitas maka
akan menghasilkan lulusan yang berkualitas pula.
Dari
rapot merah dapat kita simpulkan betapa rendahnya literasi generasi muda kita
ini. Indonesia hanya menduduki peringkat ke lima dari urutan paling bawah
setelah Qatar, Kuwait dan Afrika utara. Padahal dulu saat pada era 50’an,
Indonesia jauh lebih unggul dari Malaysia. Kita meredeka pada tahun 1945,
sedangkan Malaysia saat itu masih dalam jajahan inggris dan mereka mendapat hak
meredeka 15 tahun kemudia setelah Indonesia. Pada masa itu banyak sekali guru
dari Indonesia yang direkrut ke negera tetangga untuk mengajar di sana, dari
sana kita bisa melihat bahwa pada masa itu banyak sekali orang-orang pintar di
negara kita yang dicuri oleh negara lain, seperti pak Habibie yang direkrut
oleh pemerintah Jerman.
Dari
perbincangan di atas tampak bahwa orang literat adalah orang yang terdidik dan
berbudaya. Rekayasa literasi itu sendiri adalah upaya pemerintah yang disengaja
untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara
optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan
pembudayaan.
Lantas
apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia? Tentu saja kita tidak
sepenuhnya harus menyalahkan guru bahasa, karena bagaimanapun faktor pendorong
tingkat literasi dipicu juga ole pendapatan per kapita pemerintah, sosial
ekonomi, keluarga, dan diri sendiri.
Baru-baru
ini di kota Surabaya terjadi fenomena yang sangat miris karena banyak kalangan
masyarakat yang mengecam diskusi buku hampir di seluruh perpustakaan yang ada di Surabaya. Apapun
jenis bukunya tetap tidak diperbolehkan untuk didiskusikan. Bahkan yang memperparah
adalah pihak kepolisian yang juga ikut turun tangan dalam pelarangan diskusi
buku itu.
Peristiwa
itu berarti pelarangan terhadap kemerdekaan untuk berkumpul, kemerdekaan untuk
mengakses informasi dan kemerdekaan untuk berpikir. Jika sudah seperti ini,
lalu bagaimana upaya kita untuk mengembangkan masyarakat yang literat sedangkan
perpustakaan yang menjadi benteng terakhir untuk membangun literasi bangsa
malah dikekang?! Jadi sebenaranya apa yang sedang terjadi di negeri ini?
Kesimpulannya,
untuk membangun masyarakat literat memanglah tidak mudah dan tidak dapat
berjalan jika hanya dilakukan oleh satu pihak saja. Kita butuh dukungan dari
berbagai pihak seperti pemerintah, guru, keluarga, dan masyarakat itu sendiri.
0 comments:
Post a Comment