MARI (ber)LITERASI
8 Desember. Hari
apakah itu? Adakah yang tahu? Benar, International
Literacy Day (Hari Literacy Internasional). 50 tahun yang lalu tepatnya 8 Des
1964 UNESCO menetapkan hari itu sebagai hari jadi ILD dengan tujuan
mengingatkan dunia akan pentingnya budaya literasi (baca-tulis). Namun, jarang
orang yang tau akan peringatan ini. Peringatan-peringatan seperti ini kalah
pamor dengan valentine day yang banyak orang nantikan kehadirannya. Betul atau
tidak?
Apapun jawaban
anda, saya tidak peduli karena saya disini bukan untuk itu melainkan untuk ikut
meramaikan dunia litersi. Baca-tulis? Itu pemikiran orang kuno. Literasi tidak
hanya baca-tulis kawan.. Literasi banyak macamnya seperti literasi informasi,
literasi media, literasi keuangan, literasi matematika, dan sebagainya. Seiring
perkembangan zaman, teori litersi pun menerima tantangan tersebut, oleh karenanya
literasi selalu berevolusi menjadi meluas dan kompleks.
Bahkan sekarang
muncul paradigma baru literasi yang belakangan ini gencar disuarakan yakni pendidikan
yang berporos pada nalar. Dalam disiplin ilmu pendidikan , kemampuan nalar
memang berkaitan erat dengan literasi. Pada dasarnya objek studi literasi
hampir sama dengan objek studi budaya yang fokusnya adalah variabel sosial dan
maknanya (O’Sulivan, 1994:71) karena literasi menjadi poros upaya peningkatan
kualitas hidup manusia. Sebagai kajian lintas disiplin, literasi tetap bergelut
dengan penggunaan bahasa dan memiliki 7 dimensi yang terkait:
1.
Dimensi geografis meliputi lokal, regional,
nasional dan internasional yang mana literasinya bergantung pada tingkat pendidikan
dan jejaring sosial.
2. Dimensi bidang meliputi pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, dan
sebagainya. Praktek literasinya ketika kualitas bidang tersebut tinggi maka
tinggi pula praktek literasinya.
3.
Dimensi keterampilan
yang meliputi membaca menulis, menghitung, dan berbicara. Praktek literasinya
dengan melihat pada kualitas keterampilan tadi. Kualitas tulisan bergantung
pada asupan gizi bacaan yang disantapnya dan gizi tersebut akan tampak ketia ia
berbicara.
4.
Dimensi fungsi
yang meliputi memecahkan persoalan, memperoleh pekerjaan, mengembangkan
pengetahuan dan potensi diri. Orang yang literat karena pendidikannya akan
dengan mudah menaklukkan dimensi fungsi ini dan lagi-lagi praktek literasi
identik dengan kualitas.
5.
Dimensi media
yang mencakup media cetak, visual maupun digital. Praktek literasi masa
sekarang tak cukup mengandalkan rading and writing skill tetapi juga sejauh
mana mereka mennguasai IT (information technology) seperti menulis teks visual
dan digital.
6.
Dimensi jumlah dapat
meliputi banyak hal seperti variasi bahasa, bidang ilmu dan sebagainya. Praktek
literasinya seperti orang multiliterat yang mampu berkomunikasi dalam berbagai
bahasa dan lagi-lagi hal ini didapat karena proses pendidikan yang berkualitas
tinggi.
7.
Dimensi bahasa
yang meliputi etnis, lokal, regional, nasional dan internasional. Analoginya ke
dimensi monolingual, bilingual, dan multilingual. Saya orang Jawa dan mahasiswa
jurusan bahasa inggris berarti saya multilingual dan multiliterat dalam bahasa
Jawa, Indonesia, dan Inggris. Namun sejauh mana saya multiliterat hanya saya
yang bisa mengukur berdasar pada 7 dimensi ini.
Dalam hal literasi, ada 10 gagasan kunci yang menunjukkan perubahan paradigma
literasi sesuai dengan tantangan zaman, dan berkembangnya ilmu pegetahuan,
yakni:
1.
Ketertiban lembaga-lembaga social;
2.
Tingkat kefasihan relative;
3.
Pengembangan
potensi diri dan pengetahuan;
4.
Standar dunia;
5.
Warga masyarakat demokratis;
6.
Keragaman local;
7.
Hubungan
global;
8.
Kewarganegaraan
yang efektif;
9.
Bahasa inggris ragam dunia;
10.
Kemampuan berpikir kritis;
11.
Masyarakat semiotic;
Diawal
telah dibahas tentang tujuh dimensi literasi dan telah pula disebutkan tentang
10 frasa kunci litersi dan sekarang saya akan sedikit menjelaskan tentang tujuh
prinsip bahasa berbasis literasi yang sejatinya harus diaplikasikan dengan
dimensi dan kunci literasi.
Berikut ini 7
prinsip bahasa berbasis literasi:
1.
Literacy
is life skills that allows humans to function as members of society. Intinya
pendidikan bahasa digunakan untuk melatih serta memberdayakan manusia
memfungsikan bahasa sesuai kedudukannya dalam kehidupan sehari-hari
2.
Literacy
include receptive and productive abilities in an effort to discourse in writing
or orally. Pendidikan bahasa membiasakan
berekspresi, memproduksi ilmu pengetahuan berupa karya ilmiah atau fiksi dan
secara bertahap melakukan konstruksi dan rekonstruksi.
3.
Literacy
is a problem-solving skills. Bahasa adalah alat untuk berfikir. Berfikir kritis
berarti sama dengan memecahkan masalah. Memang sebenarnya pembelajaran berfikir
kritis harus sudah diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan guru sekolah dasar
karena membaca sejak kecil akan menjadikan pemikir di masa depan, oleh
karenanya 4-R –reading, writing, arithmetic, dan reasioning- perlu ditanamkan
sejak dini.
4.
Literacy
is reflection of mastery and cultural appreciation.
5.
Literacy
is self-reflection activities. Penulis dan pembaca senantiasa mengaitkan bahasa
dengan pengalaman pribadi atau dunia mereka.
6.
Literacy
is the result of collaboration. Baca-tulis selalu melibatkan pihak yang
berkomunikasi. Penulis menuliskan sesuatu berdasarkan pengalamannya dan pembaca
juga sebisa mungkin mengerahkan semua pengetahuan dan pengalamannya untuk
memaknai tulisan itu.
7.
Literacy
is interpretation activity. Baik penulis atau pembaca, keduanya bekerja
menginterpretasi. Penulis menginterpretasikan pengetahuan dan pengalamannya
lewat kata-kata dan pembaca bekerja memaknai interpretasi penilis.
Jadi dari ketujuh prinsip bahasa
berbasis literasi diatas dapat disimpulkan bahwa literasi mencerminkan
kualitas manusia bahkan suatu bangsa, sedangkan bisa kita lihat bahwa
litersai kita ini bernilai C.
Literasi kami C
Bagaimana rasanya ketika kita mendapatukan nilai “C“ dalam IP
(Indeks Prestasi) kita? Tentu sangat miris bukan? Ya itulah kenyataannya bagi
literasi negara kita. Anda tidak percaya? Hati sangat ingin mengingkari namun
bukti tidak bisa berbohong. Indonesia berpartisipasi dalam proyek penelitian
dunia PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), PISA (Program
for International Study Assessment), dan TIMSS (the Third International
Mathematics and Science Study). Tujuan membaca dalam penelitian itu meliputi
literacy and informational purposes, sedangkan proses membacanya meliputi
interpreting, integrating, dan evaluating. Hasil temuannya:
1.
Urutan
ke-5 terendah untuk prestasi membaca dengan nilai 407 drari rata-rata 510.
2.
Negara
yangprestasi bacanya diatas rata-rata 500 ditandai dengan pendapatan perkapita
dan indeks pembangunan manusia (HDI) yang lebih tinggi dari negara yang dibawah
rata-rata.
3.
Ada
3 kategori negara berdasar perbandingan skor Literacy Purposes (LP) dan
Informational Purposes (IP). Negara yang
LP>IP seperti hongaria, negara yang LP<IP seperti Indonesia dan negara
yang LP=IP contoh Inggris dan Austria.
4.
Hanya
2% siswa yang prestasi membacanya sangat tinggi, 19% di kategori menengah , 55%
dalam kategori rendah, dan ada 45% siswa yang tidak mampu mencapai skor 400.
Saya tidak akan banyak berbicara
pada ranah research, saya akan langsung membahas implementasi literasi
di negara kita. Dari yang sudah saya ketahui orang literat adalah orang yang
terdidik dan terbudaya meski kemampuan literasi tersebut harus direkayasa dalam
arti disengaja untuk menjadikan manusia terdidik dan terbudaya lewat penguasaan
bahasa yang optimal, saya rasa akan bisa memacu litersi itu sendiri.
Bapak Chaedar Alwasilah mengatakan
perbaikan rekayasa literasi mencakup 4 dimensi litersi membaca dan menulis seperti
dalam bukunya “Pokoknya Rekayasa Literasi”, yakni
(1) linguistik
atau fokus teks dimana membaca dan menulis membutuhkan pengetahuan yang
mencakup sistem bahasa pembangun makna, persamaan dan perbedaan bahasa tulis
dengan lisan, dan ragam bahasa yang mencerminkan kelompok.
(2) kognitif atau fokus minda dimana membaca dan menulis
membutuhkan pengetahuan dan keterampilan. Kemampuan kita menulis tergantung
daya baca kita. Meski gemar membacapun tidak menjamin kita menjadi seorang yang
bisa menulis. Jadi bisa kita bayangkan begitu dalamnya kita jatuh dari tebing
literasi. Oleh karenanya keterampilan baca-tulis harus terus dimaksimalkan.
(3)
sosiokultural atau fokus kelompok dimana semua yang dilakukan atas tujuan
kelompok, dan
(4) perkembangan
atau fokus pertumbuhan dimana menjadi literat itu berproses secara continue.
Jadi dapat disimpulkan bahwa peningkatan
literasi terkait erat dengan pengoptimalan peran teks atau buku. Fungsi teks
bukan sekadar rujukan, tapi juga sebagai medium untuk berpikir kritis dengan
cara mendiskusikan makna. Pendidikan yang melibatkan buku teks dan bahan bacaan
sebagai sumber ajar akan memfasilitasi guru dan siswa dalam proses pembelajaran
yang dialogis, aktif, dan kritis.
Peningkatan
literasi siswa juga mengandaikan perlunya guru dipersiapkan untuk menanamkan
pemahaman literasi dan mengajarkannya di kelas. Dengan begitu, siswa punya
kesempatan meningkatkan daya literasi mereka di sekolah. Namun sebelum hal ini
menjadi budaya dikalangan siswa disekolah tentunya daya literasi dikalangan pendidikpun
harus mumpuni, sehingga siswa memiliki peran pentimng ketika akan melibatkan
diri dalam peningkatan daya literasi
Memang negara kita
belum mampu menciptakan warga negara yang literat, namun belakangan ini
benih-benih praktek literasi mulai gencar dibumikan. Oleh karena itu Bersabarlah
negriku, kami generasi mudamu sedang belajar, mempersiapkan obat penawar dengan
cara kami dari ruang kecil di sudut negri ini.
0 comments:
Post a Comment