Monday, February 10, 2014

1st Appetizer essay
03, february 2014
Writing and composition 4
O7.30-09.10
Mr. Lala Bumela, M.Pd

Siapa Bilang Indonesia Bukan Bangsa Penulis ?
Setelah saya membaca dan mengamati artikel Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah yang berjudul (bukan) bangsa penulis, menurut saya ada sesuatu yang janggal dan saya rasa kurang tepat dengan judul itu sendiri, meskipun judul tersebut sesuai dengan gambaran pendidikan di perguruan tinggi kita saat ini. Tetapi jika kita mengingat lagi masa lalu bangsa ini, ternyata bangsa Indonesia ini memiliki banyak penulis-penulis hebat di era tahun 45-90an. Saya rasa mungkin artikel ini lebih tepat berjudul “Dahulu Bangsa Penulis, Sekarang Bukan Bangsa Penulis”.
Dulu bangsa ini banyak sekali melahirkan penulis-penulis terbaik pada masanya. Diantaranya ada tokoh Mochtar Lubis, Arswendo Atminoto, Pramoedya Ananta Toer, Hilman Hariwijaya (penulis cerpen Lupus) dan masih banyak lagi yang lainnya. Contohnya saja Arswendo Atmiloto, beliau dikenal sebagai penulis juga wartawan yang aktif di berbagai majalah dan surat kabar. Pada tahun 1990, beliau sempat dipenjara karena salah satu tulisannya dianggap telah melecehkan nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi umat Islam. Sebagian masyarakat muslim marah dan menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Pada akhirnya beliau diproses secara hukum dan divonis hukuman 5 tahun penjara. Selama itu beliau pernah memimpin redaksi Hai dan menjadi wartawan kompas. Beliau sangat prihatin dengan masalah yang ada di televisi beliau tidak pernah bosan memberi kritikan kepada TVRI, meskipun tidak peduli direspon atau tidak. Kemudian mengenai penelitian Krashen (1984) diperguruan tinggi AS yang menunjukan bahwa para penulis produktif dewasa adalah semasa di SMA-nya.
Pada jaman modern sekarang ini, rasanya kurang tepat jika diterapkan pada SMA di Indonesia. Dari beberapa artikel yang saya baca, kesulitan mengajak anak-anak SMA di Indonesia untuk produktif menulis essay atau karya ilmiah, salah satu bukti nyata karena adanya jaringan informasi dan komunikasi yang serba canggih membuat anak-anak SMA malas untuk produktif dalam menulis. Jika kita menulis karya ilmiah, mereka lebih memilih mencari di internet dengan jalan plagiat (copy paste) tanpa harus menulis sedikit pun. Aktifitas anak-anak SMA juga saat ini lebih banyak menggunakan media sosial seperti facebook dan twetter. Hal ini membuat anak SMA di Indonesia tidak dapat produktif menulis. Sebelum ramainya jaringan informasi dan komunikasi modern, seperti jejaring sosial internet, gadget dan handphone, anak-anak SMA cukup mempunyai kegiatan positif dengan media surat dan buku diary. Dalam sehari bisa sampai 10-50 pucuk surat yang ada di kotak surat yang diambil oleh petugas. Tetapi kini, mereka lebih senang menggunakan SMS/ pesan singkat untuk berkomunikasi, karena lebih praktis, cepat dan murah. Selanjutnya, muncul pertanyaan “mengapa orang Indonesia tidak suka menulis?” jawaban dari pertanyaan ini menjadi latar belakang sekaligus alasan mengapa demikian. Seperti yang tercatat dalam artikel pak Chaedar, mengapa orang Indonesia tidak suka menulis yang pertama yaitu karena paradigma rakyat Indonesia yang menganggap bahwa menulis itu adalah sesuatu yang menyebalkan.
Selain itu kurangnya perhatian dari pemerintah mulai dari kurikulum yang menekankan untuk menulis seperti yang pak Chaedar jelaskan dalam artikel pertamanya. Tapi bila dikatakan rakyat Indonesia itu bukan bangsa penulis sepenuhnya itu juga salah, karena seperti yang sudah saya jelaskan banyak sekali penulis-penulis hebat pada masa lau. Saat itu pula pada tahun 30an pemerintah Belanda sangat mensuport para penulis hingga muncul lah banyak sastrawan hingga kedaerah-daerah, bahkan kemerdekaan Indonesia juga didapat karena pemikiran para penulis dulu. Tapi setelah Indonesia merdeka banyak para sastrawan yang malah menghilang bahkan minat menulis bangsa ini semakin menurun. Salah satu penyebabnya adalah pengekangan dari pemerintah terhadap rakyat terutama dalam kebebasan berpendapat.
Dan dari situlah penyebab semakin menurunnya produktifitas para sastrawan di Indonesia hingga saat ini. Kemudian dalam artikel kedua pak Chaedar menjadi alasan kedua juga mengapa orang Indonesia itu tidak senang menulis. Alasannya karena banyak para pembaca tidak mengerti akan buku yang mereka baca, mereka hanya suka buku yang sesuai untuk dirinya sendiri (intinya menyesuaikan background bahasa yang kita mengerti). Alasan ketiga masih terdapat di artikel kedua, yaitu kurangnya buku-buku yang berkualitas, sehingga kita lebih percaya dengan buku-buku dari luar negri. Akibatnya banyak siswa-siswa di perguruan tinggi itu tidak mengerti dengan buku yang mereka baca/pegang. Alasan keempat yaitu karena setiap buku menurut penulisnya itu benar, tetapi belum tentu menurut pembaca itu benar. Banyak kemungkinan kita kontra dengan pendapat penulis. Alasan kelima adalah karena banyak penulis tidak dihargai, sebagai contohnya adalah anak-anak SMA yang melakukan plagiat (copy paste) atau membajak (photo copy) hasil karya-hasil karya para penulis. Alasan keenam yaitu bahwasannya menulis itu tidak menguntungkan, istilahnya pengeluaran banyak (waktu, tenaga, pikiran bahkan materi) tetapi tidak ada timbal balik. Mungkin ini saah satu alasan mengapa mereka malas menulis. Kemudian dalam artikel ketiga pak Chaedar, beliau mengungkapkan tentang sistem pendidikan yang mengutamakan keaktifan dikelas, hal itu dianggap lebih baik dan anak dianggap pintar jika dia aktif dalam berbicara. Namun apakah itu bisa dianggap sebagai salah satu faktor bangsa Indonesia bukan bangsa penulis? Bisa jadi, faktor tersebut lebih mengutamakan kepada para murid untuk aktif berbicara dan berdebat dari pada menulis materi yang diajarkan. Di Indonesia sekarang para guru lebih mengutamakan aktifitas para siswa dalam hal berbicaraa.
 Kemudian dalam dunia pendidikan di Indonesia, yang lebih dipentingkan itu hasil bukan proses, contohnya dalam pendidikan tingkat SD, SMP, SMA yang mempengaruhi kelulusan itu hasil dari ujian nasional (UN). Padahal diluar negri yang menentukan itu adalah proses belajar siswa. Jika di Indonesia mengutamakan anak dalam berbicara, akibatnya mereka beranggapan bahwa berbicara lebih efektif dari pada menulis. Dan biasanya akan menurun pada generasi-generasi berikutnya. Inilah beberapa hal yang melatar belakangi orang Indonesia menjadi malas dalam menulis. Ketiga artikel ini saling berkesinambungan, ketika dalam artikel pertamnya menjelaskan bahwa bangsa Indonesia ini bukan bangsa penulis, maka di artikel kedua terdapat pula alasan-alasannya.
Dan pada artikel ketiga C W Waston mendukung terhadap argumen pak Chaedar tersebut. Kemudian kenapa kita bukan bangsa penulis? Pada dasarnya menurut saya jika dikatakan bangsa ini (bukan) bangsa penulis itu salah, alasanya banyak seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Hanya saja memang kita tidak punya pembendaharaan buku. Intinya tidak adanya sumber untuk menulis. Jadi dapat saya simpulkan, pada ketiga artikel tersebut semua saling berkaitan. Diartikel pertama dijelaskan bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa penulis, di artikel kedua terdapat alasan-alasannya dan diartikel ketiga penguatan dan dukungan dari C W Waston terhadap argumen pak Chaedar.
Dan tanggapan saya jatuh pada kurang setuju, karena melihat kebelakang dimana ada masa-masa bangsa ini mampu melahirkan penulis-penulis hebat. Dan disini saya menguraikan banyak alasan kenapa orang Indonesia tidak senang menulis. Namun saya juga tidak menyatakan bahwa bangsa Indonesia sekarang itu sebagai bangsa penulis yang handal.
Created by: Nunuy Nurlatipah PBI. B


0 comments:

Post a Comment