1st
Appetizer essay
03,
february 2014
Writing
and composition 4
O7.30-09.10
Mr.
Lala Bumela, M.Pd
Siapa
Bilang Indonesia Bukan Bangsa Penulis ?
Setelah
saya membaca dan mengamati artikel Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah yang berjudul
(bukan) bangsa penulis, menurut saya ada sesuatu yang janggal dan saya rasa
kurang tepat dengan judul itu sendiri, meskipun judul tersebut sesuai dengan
gambaran pendidikan di perguruan tinggi kita saat ini. Tetapi jika kita
mengingat lagi masa lalu bangsa ini, ternyata bangsa Indonesia ini memiliki
banyak penulis-penulis hebat di era tahun 45-90an. Saya rasa mungkin artikel
ini lebih tepat berjudul “Dahulu Bangsa Penulis, Sekarang Bukan Bangsa
Penulis”.
Dulu
bangsa ini banyak sekali melahirkan penulis-penulis terbaik pada masanya.
Diantaranya ada tokoh Mochtar Lubis, Arswendo Atminoto, Pramoedya Ananta Toer,
Hilman Hariwijaya (penulis cerpen Lupus) dan masih banyak lagi yang lainnya.
Contohnya saja Arswendo Atmiloto, beliau dikenal sebagai penulis juga wartawan
yang aktif di berbagai majalah dan surat kabar. Pada tahun 1990, beliau sempat
dipenjara karena salah satu tulisannya dianggap telah melecehkan nabi Muhammad
SAW sebagai suri tauladan bagi umat Islam. Sebagian masyarakat muslim marah dan
menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Pada akhirnya beliau
diproses secara hukum dan divonis hukuman 5 tahun penjara. Selama itu beliau
pernah memimpin redaksi Hai dan menjadi wartawan kompas. Beliau sangat prihatin
dengan masalah yang ada di televisi beliau tidak pernah bosan memberi kritikan
kepada TVRI, meskipun tidak peduli direspon atau tidak. Kemudian mengenai
penelitian Krashen (1984) diperguruan tinggi AS yang menunjukan bahwa para
penulis produktif dewasa adalah semasa di SMA-nya.
Pada
jaman modern sekarang ini, rasanya kurang tepat jika diterapkan pada SMA di
Indonesia. Dari beberapa artikel yang saya baca, kesulitan mengajak anak-anak
SMA di Indonesia untuk produktif menulis essay atau karya ilmiah, salah satu
bukti nyata karena adanya jaringan informasi dan komunikasi yang serba canggih
membuat anak-anak SMA malas untuk produktif dalam menulis. Jika kita menulis
karya ilmiah, mereka lebih memilih mencari di internet dengan jalan plagiat
(copy paste) tanpa harus menulis sedikit pun. Aktifitas anak-anak SMA juga saat
ini lebih banyak menggunakan media sosial seperti facebook dan twetter. Hal ini
membuat anak SMA di Indonesia tidak dapat produktif menulis. Sebelum ramainya
jaringan informasi dan komunikasi modern, seperti jejaring sosial internet,
gadget dan handphone, anak-anak SMA cukup mempunyai kegiatan positif dengan
media surat dan buku diary. Dalam sehari bisa sampai 10-50 pucuk surat yang ada
di kotak surat yang diambil oleh petugas. Tetapi kini, mereka lebih senang
menggunakan SMS/ pesan singkat untuk berkomunikasi, karena lebih praktis, cepat
dan murah. Selanjutnya, muncul pertanyaan “mengapa orang Indonesia tidak suka
menulis?” jawaban dari pertanyaan ini menjadi latar belakang sekaligus alasan
mengapa demikian. Seperti yang tercatat dalam artikel pak Chaedar, mengapa
orang Indonesia tidak suka menulis yang pertama yaitu karena paradigma rakyat
Indonesia yang menganggap bahwa menulis itu adalah sesuatu yang menyebalkan.
Selain
itu kurangnya perhatian dari pemerintah mulai dari kurikulum yang menekankan
untuk menulis seperti yang pak Chaedar jelaskan dalam artikel pertamanya. Tapi
bila dikatakan rakyat Indonesia itu bukan bangsa penulis sepenuhnya itu juga
salah, karena seperti yang sudah saya jelaskan banyak sekali penulis-penulis
hebat pada masa lau. Saat itu pula pada tahun 30an pemerintah Belanda sangat
mensuport para penulis hingga muncul lah banyak sastrawan hingga
kedaerah-daerah, bahkan kemerdekaan Indonesia juga didapat karena pemikiran
para penulis dulu. Tapi setelah Indonesia merdeka banyak para sastrawan yang
malah menghilang bahkan minat menulis bangsa ini semakin menurun. Salah satu
penyebabnya adalah pengekangan dari pemerintah terhadap rakyat terutama dalam
kebebasan berpendapat.
Dan
dari situlah penyebab semakin menurunnya produktifitas para sastrawan di
Indonesia hingga saat ini. Kemudian dalam artikel kedua pak Chaedar menjadi
alasan kedua juga mengapa orang Indonesia itu tidak senang menulis. Alasannya
karena banyak para pembaca tidak mengerti akan buku yang mereka baca, mereka
hanya suka buku yang sesuai untuk dirinya sendiri (intinya menyesuaikan
background bahasa yang kita mengerti). Alasan ketiga masih terdapat di artikel
kedua, yaitu kurangnya buku-buku yang berkualitas, sehingga kita lebih percaya
dengan buku-buku dari luar negri. Akibatnya banyak siswa-siswa di perguruan
tinggi itu tidak mengerti dengan buku yang mereka baca/pegang. Alasan keempat
yaitu karena setiap buku menurut penulisnya itu benar, tetapi belum tentu
menurut pembaca itu benar. Banyak kemungkinan kita kontra dengan pendapat
penulis. Alasan kelima adalah karena banyak penulis tidak dihargai, sebagai
contohnya adalah anak-anak SMA yang melakukan plagiat (copy paste) atau
membajak (photo copy) hasil karya-hasil karya para penulis. Alasan keenam yaitu
bahwasannya menulis itu tidak menguntungkan, istilahnya pengeluaran banyak
(waktu, tenaga, pikiran bahkan materi) tetapi tidak ada timbal balik. Mungkin
ini saah satu alasan mengapa mereka malas menulis. Kemudian dalam artikel
ketiga pak Chaedar, beliau mengungkapkan tentang sistem pendidikan yang
mengutamakan keaktifan dikelas, hal itu dianggap lebih baik dan anak dianggap
pintar jika dia aktif dalam berbicara. Namun apakah itu bisa dianggap sebagai
salah satu faktor bangsa Indonesia bukan bangsa penulis? Bisa jadi, faktor
tersebut lebih mengutamakan kepada para murid untuk aktif berbicara dan
berdebat dari pada menulis materi yang diajarkan. Di Indonesia sekarang para
guru lebih mengutamakan aktifitas para siswa dalam hal berbicaraa.
Kemudian dalam dunia pendidikan di Indonesia,
yang lebih dipentingkan itu hasil bukan proses, contohnya dalam pendidikan
tingkat SD, SMP, SMA yang mempengaruhi kelulusan itu hasil dari ujian nasional
(UN). Padahal diluar negri yang menentukan itu adalah proses belajar siswa.
Jika di Indonesia mengutamakan anak dalam berbicara, akibatnya mereka
beranggapan bahwa berbicara lebih efektif dari pada menulis. Dan biasanya akan
menurun pada generasi-generasi berikutnya. Inilah beberapa hal yang melatar
belakangi orang Indonesia menjadi malas dalam menulis. Ketiga artikel ini
saling berkesinambungan, ketika dalam artikel pertamnya menjelaskan bahwa
bangsa Indonesia ini bukan bangsa penulis, maka di artikel kedua terdapat pula
alasan-alasannya.
Dan
pada artikel ketiga C W Waston mendukung terhadap argumen pak Chaedar tersebut.
Kemudian kenapa kita bukan bangsa penulis? Pada dasarnya menurut saya jika
dikatakan bangsa ini (bukan) bangsa penulis itu salah, alasanya banyak seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya. Hanya saja memang kita tidak punya
pembendaharaan buku. Intinya tidak adanya sumber untuk menulis. Jadi dapat saya
simpulkan, pada ketiga artikel tersebut semua saling berkaitan. Diartikel
pertama dijelaskan bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa penulis, di artikel
kedua terdapat alasan-alasannya dan diartikel ketiga penguatan dan dukungan
dari C W Waston terhadap argumen pak Chaedar.
Dan
tanggapan saya jatuh pada kurang setuju, karena melihat kebelakang dimana ada
masa-masa bangsa ini mampu melahirkan penulis-penulis hebat. Dan disini saya
menguraikan banyak alasan kenapa orang Indonesia tidak senang menulis. Namun
saya juga tidak menyatakan bahwa bangsa Indonesia sekarang itu sebagai bangsa
penulis yang handal.
Created by: Nunuy Nurlatipah PBI. B
0 comments:
Post a Comment