Membaca dan Menulis untuk Budaya
Merasa malu dan tersindir dengan
tiga teks artikel yang telah saya baca, mulai dari teks bacaan yang pertama
dengan judul “(Bukan) Bangsa Penulis” di teulis oleh A. Chaedar
Alwashilah, kemudian disusul dengan teks bacaan lainnya yang ditulis oleh bapa
Chaedar pula dengan judul “Powerful Writers Versus the Helpless Readers”.
Juga wacana terakhir yang dituliskan oleh CW Watson berjudulkan “Learning
and Teaching: More about Readers and Writers”. Begitu banyak
olokan-olokan yang telah penulis wacana-wacana di atas bagikan untuk para
pembaca budiman, hingga arahnya kepada suatu dobrakan yang tegas akan
pentingnya membaca dan menulis agar menjadi suatu budaya yang melekat pada
kebiasaan-kebiasaan orang Indonesia. Bertubi-tubi tantangan yang datang
memojokkan bangsa Indonesia akan kurangnya membaca bahkan menulis.
Seorang
penyair, aktor drama, dan kritikus sastra yang berpengaruh pada Era Restorasi
Inggris John Dryden berkata “We first make our habits, and then our habits make
us.” Lewat kata-kata itu, ia hendak mengatakan bahwa kitalah yang membentuk
kebiasaan-kebiasaan yang kita miliki, tetapi di kemudian hari,
kebiasaan-kebiasaan itulah yang akan menunjukkan kepada dunia siapa diri kita
yang sebenarnya.
Saya rasa unik jika sesuatu hal belum
dianggap suatu kewajaran atau kenormalan, orang-orang akan membuat sesuatu itu
menjadi bahan 'guyonan' atau lelucon dan sepertinya layak menjadi sumber
keheran-heranan orang. Terkadang pula menjadi bahan perbincangan orang. Berbeda
jika suatu hal telah menjadi budaya, maka hal itu tidak akan mengundang
keheran-heranan orang dan orang-orang itu, meskipun belum tentu semuanya, dapat
menerima hal tersebut.
Misalnya adalah membuang sampah,
merokok di tempat umum, dan berebut antrean. Beberapa hal tersebut dianggap
biasa dan normal-normal saja di negara ini. Bisa dikatakan, meski sebenarnya
sangat tidak mengenakan, hal-hal tersebut telah menjadi budaya dalam masyarakat
Indonesia. Banyak orang (tidak semuanya) yang saat melakukan hal-hal seperti itu
merasa wajar-wajar saja, normal-normal saja, dan tidak pula merasa risih atau
pun malu. Mereka melakukannya sepertinya merasa tanpa dosa, tanpa beban. Yaa,
begitulah kalau sudah menjadi budaya.
Kebalikannya dari misal di atas
adalah saat ada orang membaca buku di tempat umum atau di kelas saat jam
pelajaran kosong, sering kali hal tersebut dianggap sesuatu yang 'tidak' wajar
atau normal. Seperti contoh peristiwa yang saya alami beberapa waktu lalu saat
saya sedang membaca sebuah buku di tempat kerja. Ada seorang pegawai kantor
yang menyapa "Nah, gitu dong, baca buku biar pinter". Lalu misalnya
saat di kelas, sedang menunggu dosen datang. Ada seorang yang sedang membaca
buku diantara orang yang sedang berbicara, mungkin perkataan ini yang akan seorang
itu dapatkan "Cieee..rajin amat sih". Anda (kemungkinan besar) akan
menjadi pusat perhatian jika melakukannya di tengah-tengah aktivitas manusia di
negara ini. Jika ada seorang yang membaca buku di tempat umum, sepertinya akan
menjadi sumber perhatian' orang disekelilingnya, bahkan di kelas atau kawasan
kampus/sekolah sekalipun. Parahnya, terkadang hal-hal seperti itu menjadi bahan
'guyonan' atau 'lawakan' untuk ditertawakan. Yaa begitulah, membaca buku memang
belum sepenuhnya menjadi budaya masyarakat di negara ini.
Jika membaca buku telah mejadi
budaya di negara ini suatu saat nanti, kita pasti dapat menemukan dengan
mudah orang membaca buku di angkot, kereta, bus, terminal, halte, kafe, dan
tentunya di setiap sudut universitas atau lembaga pendidikan lainnya. Setiap
orang yang melakukan dan melihatnya pun tidak merasa risih, malu, ataupun
heran, apalagi dibuat bahan guyonan.
Memang benar apa yang dikatakan dalam wacana milik bapa A. Chaedar
Alwashilah bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangatlah rendah dibandingkan
dengan Malaysia, AS, bahkan Jepang dan Singapur.
Memasuki lebih dalam lagi bahwasannya Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta ini
ternyata setiap tahunnya rata-rata baru bisa menerbitkan buku sebanyak 10.000
judul. Jumlah yang sama juga diterbitkan di Vietnam, namun dengan jumlah
penduduk hanya 26 juta jiwa. Malaysia, dengan jumlah penduduk 80 juta jiwa
mampu menerbitkan buku 15.000 judul per tahun. Prosentase minat baca masyarakat
Indonesia diperkirakan sebesar 0.01%, jauh dibawah Singapura yang mencapai 55%
[2]. Menurut data dari UNDP, Indonesia mempunyai posisi ke-96 dalam hal minat
baca. Di kawasan Asia Tenggara, hanya ada dua negara yang posisinya di bawah
Indonesia, yakni Laos dan Kamboja [3]. Rasio orang membaca surat kabar di Indonesia
adalah 1:43, padahal idealnya adalah 1:10, atau satu surat kabar untuk 10
orang.
Sedangkan di Negara Amerika dan
Jepang, budaya membaca buku sudah mendarah daging, Hampir semua orang senang
membaca. Jumlah buku yang diterbitkan di negara tersebut pun sangat tinggi, di
Jepang misalnya, buku yang diterbitkan setiap tahunnya mencapai 60.000 judul
Banyak orang mengatakan jika aktivitas membaca berkorelasi dengan
aktivitas menulis. Namun ada juga yang mengatakan orang yang suka membaca belum
tentu suka menulis. Tapi, orang yang suka menulis tentu suka membaca, karena
dia membutuhkan sumber referensi, bahan pembanding, dan inspirasi dari tulisan
lainnya. Bagi saya, kegemaran membaca suatu saat akan melahirkan keinginan
untuk menulis. Saat aktivitas menulis dilakukan dan akhirnya menjadi kegemaran,
maka aktivitas membaca pun akan jadi kebutuhan. Akhirnya, kedua aktivitas itu
pun sama-sama akan jadi kebutuhan, tidak sekedar kegemaran. Membaca dan menulis
memang mempunyai hubungan, tapi tidak selalu berkorelasi positif. Sedikitnya
jumlah buku yang terbit di negara ini bisa jadi karena rendahnya minat membaca
masyarakatnya. Padahal, salah satu penyebab orang berkeinginan menulis adalah
karena senang membaca. Bagaimana orang akan senang menulis jika tidak suka membaca,
dan bagaimana orang akan suka membaca jika tidak banyak tulisan (buku) apalagi
jika harga buku terlampau mahal?.
Jadi
dapat saya simpulkan bahwasannya dengan meningkatkan kebiasaan-kebiasaan kita
dalam membaca dan menulis sehingga menjadi suatu budaya yang baik nantinya dan
mampu menyeimbangi Negara-negara lain seperti Malaysia, Singapur, Jepang, dan
Amerika. Begitu budaya baca telah mendarah daging dalam diri masyarakat
Indonesia, dengan demikian mahasiswa, para dosen, para warganegara, dan siswa-siswa
dapat menuangkan ide-ide mereka ke dalam tulisan. Sehingga pada akhirnya akan
menghasilkan karya-karya yang mendidik, buku-buku yang selaluu abadi sepanjang
khayat dan untuk diwariskan kepada generasi-generasi selanjutnya sehingga dapat
dibaca dan ditelaah dengan baik bahkan nantinya cakupannya akan lebih luas
dibandingkan dengan buku-buku yang lama. Perubahan zaman akan selalu memicu
orang-orang di dalamnya untuk selalu membaca dan menulis. Thank you.
0 comments:
Post a Comment