Monday, February 10, 2014

Membaca dan Menulis untuk Budaya
            Merasa malu dan tersindir dengan tiga teks artikel yang telah saya baca, mulai dari teks bacaan yang pertama dengan judul “(Bukan) Bangsa Penulis” di teulis oleh A. Chaedar Alwashilah, kemudian disusul dengan teks bacaan lainnya yang ditulis oleh bapa Chaedar pula dengan judul “Powerful Writers Versus the Helpless Readers”. Juga wacana terakhir yang dituliskan oleh CW Watson berjudulkan “Learning and Teaching: More about Readers and Writers”. Begitu banyak olokan-olokan yang telah penulis wacana-wacana di atas bagikan untuk para pembaca budiman, hingga arahnya kepada suatu dobrakan yang tegas akan pentingnya membaca dan menulis agar menjadi suatu budaya yang melekat pada kebiasaan-kebiasaan orang Indonesia. Bertubi-tubi tantangan yang datang memojokkan bangsa Indonesia akan kurangnya membaca bahkan menulis.
            Seorang penyair, aktor drama, dan kritikus sastra yang berpengaruh pada Era Restorasi Inggris John Dryden berkata “We first make our habits, and then our habits make us.” Lewat kata-kata itu, ia hendak mengatakan bahwa kitalah yang membentuk kebiasaan-kebiasaan yang kita miliki, tetapi di kemudian hari, kebiasaan-kebiasaan itulah yang akan menunjukkan kepada dunia siapa diri kita yang sebenarnya.
Saya rasa unik jika sesuatu hal belum dianggap suatu kewajaran atau kenormalan, orang-orang akan membuat sesuatu itu menjadi bahan 'guyonan' atau lelucon dan sepertinya layak menjadi sumber keheran-heranan orang. Terkadang pula menjadi bahan perbincangan orang. Berbeda jika suatu hal telah menjadi budaya, maka hal itu tidak akan mengundang keheran-heranan orang dan orang-orang itu, meskipun belum tentu semuanya, dapat menerima hal tersebut. 
Misalnya adalah membuang sampah, merokok di tempat umum, dan berebut antrean. Beberapa hal tersebut dianggap biasa dan normal-normal saja di negara ini. Bisa dikatakan, meski sebenarnya sangat tidak mengenakan, hal-hal tersebut telah menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia. Banyak orang (tidak semuanya) yang saat melakukan hal-hal seperti itu merasa wajar-wajar saja, normal-normal saja, dan tidak pula merasa risih atau pun malu. Mereka melakukannya sepertinya merasa tanpa dosa, tanpa beban. Yaa, begitulah kalau sudah menjadi budaya.
 Kebalikannya dari misal di atas adalah saat ada orang membaca buku di tempat umum atau di kelas saat jam pelajaran kosong, sering kali hal tersebut dianggap sesuatu yang 'tidak' wajar atau normal. Seperti contoh peristiwa yang saya alami beberapa waktu lalu saat saya sedang membaca sebuah buku di tempat kerja. Ada seorang pegawai kantor yang menyapa "Nah, gitu dong, baca buku biar pinter". Lalu misalnya saat di kelas, sedang menunggu dosen datang. Ada seorang yang sedang membaca buku diantara orang yang sedang berbicara, mungkin perkataan ini yang akan seorang itu dapatkan "Cieee..rajin amat sih". Anda (kemungkinan besar) akan menjadi pusat perhatian jika melakukannya di tengah-tengah aktivitas manusia di negara ini. Jika ada seorang yang membaca buku di tempat umum, sepertinya akan menjadi sumber perhatian' orang disekelilingnya, bahkan di kelas atau kawasan kampus/sekolah sekalipun. Parahnya, terkadang hal-hal seperti itu menjadi bahan 'guyonan' atau 'lawakan' untuk ditertawakan. Yaa begitulah, membaca buku memang belum sepenuhnya menjadi budaya masyarakat di negara ini.
Jika membaca buku telah mejadi budaya di negara ini suatu saat nanti, kita pasti dapat  menemukan dengan mudah orang membaca buku di angkot, kereta, bus, terminal, halte, kafe, dan tentunya di setiap sudut universitas atau lembaga pendidikan lainnya. Setiap orang yang melakukan dan melihatnya pun tidak merasa risih, malu, ataupun heran, apalagi dibuat bahan guyonan.
Memang benar apa yang dikatakan dalam wacana milik bapa A. Chaedar Alwashilah bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangatlah rendah dibandingkan dengan Malaysia, AS, bahkan Jepang dan Singapur.
Memasuki lebih dalam lagi bahwasannya Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta ini ternyata setiap tahunnya rata-rata baru bisa menerbitkan buku sebanyak 10.000 judul. Jumlah yang sama juga diterbitkan di Vietnam, namun dengan jumlah penduduk hanya 26 juta jiwa. Malaysia, dengan jumlah penduduk 80 juta jiwa mampu menerbitkan buku 15.000 judul per tahun. Prosentase minat baca masyarakat Indonesia diperkirakan sebesar 0.01%, jauh dibawah Singapura yang mencapai 55% [2]. Menurut data dari UNDP, Indonesia mempunyai posisi ke-96 dalam hal minat baca. Di kawasan Asia Tenggara, hanya ada dua negara yang posisinya di bawah Indonesia, yakni Laos dan Kamboja [3]. Rasio orang membaca surat kabar di Indonesia adalah 1:43, padahal idealnya adalah 1:10, atau satu surat kabar untuk 10 orang.
Sedangkan di Negara Amerika dan Jepang, budaya membaca buku sudah mendarah daging, Hampir semua orang senang membaca. Jumlah buku yang diterbitkan di negara tersebut pun sangat tinggi, di Jepang misalnya, buku yang diterbitkan setiap tahunnya mencapai 60.000 judul
            Banyak orang mengatakan jika aktivitas membaca berkorelasi dengan aktivitas menulis. Namun ada juga yang mengatakan orang yang suka membaca belum tentu suka menulis. Tapi, orang yang suka menulis tentu suka membaca, karena dia membutuhkan sumber referensi, bahan pembanding, dan inspirasi dari tulisan lainnya. Bagi saya, kegemaran membaca suatu saat akan melahirkan keinginan untuk menulis. Saat aktivitas menulis dilakukan dan akhirnya menjadi kegemaran, maka aktivitas membaca pun akan jadi kebutuhan. Akhirnya, kedua aktivitas itu pun sama-sama akan jadi kebutuhan, tidak sekedar kegemaran. Membaca dan menulis memang mempunyai hubungan, tapi tidak selalu berkorelasi positif. Sedikitnya jumlah buku yang terbit di negara ini bisa jadi karena rendahnya minat membaca masyarakatnya. Padahal, salah satu penyebab orang berkeinginan menulis adalah karena senang membaca. Bagaimana orang akan senang menulis jika tidak suka membaca, dan bagaimana orang akan suka membaca jika tidak banyak tulisan (buku) apalagi jika harga buku terlampau mahal?.

            Jadi dapat saya simpulkan bahwasannya dengan meningkatkan kebiasaan-kebiasaan kita dalam membaca dan menulis sehingga menjadi suatu budaya yang baik nantinya dan mampu menyeimbangi Negara-negara lain seperti Malaysia, Singapur, Jepang, dan Amerika. Begitu budaya baca telah mendarah daging dalam diri masyarakat Indonesia, dengan demikian mahasiswa, para dosen, para warganegara, dan siswa-siswa dapat menuangkan ide-ide mereka ke dalam tulisan. Sehingga pada akhirnya akan menghasilkan karya-karya yang mendidik, buku-buku yang selaluu abadi sepanjang khayat dan untuk diwariskan kepada generasi-generasi selanjutnya sehingga dapat dibaca dan ditelaah dengan baik bahkan nantinya cakupannya akan lebih luas dibandingkan dengan buku-buku yang lama. Perubahan zaman akan selalu memicu orang-orang di dalamnya untuk selalu membaca dan menulis. Thank you.

0 comments:

Post a Comment