Appertizer Essay
Budaya Membaca Adalah
Tonggaknya Budaya Menulis
Menulis memang menjadi sorotan utama
dalam dunia pendidikan di Indonesia. Banyak orang yang menganggap menulis itu
tidak begitu penting, sekalipun kalangan akademis. Sehingga tidak heran jika
budaya menulis di Indonesia masih sangat lemah. Seperti halnya yang dipaparkan
dalam artikelnya A. Chaedar Alwasilah yang berjudul “(Bukan) Bangsa Penulis”.
Mayoritas sarjana lulusan perguruan tinggi kita tidak bisa menulis. Bahkan para
dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis. Hal ini dibuktikan dalam artikelnya
yang menyatakan bahwa karya ilmiah dari perguruan tinggi di Indonesia secara
total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia. Indonesia hanya
menerbitkan buku sekitar 8 ribu dari 225 juta jiwa.
Untuk memperkuat hal ini, kita bisa
bandingkan dengan Negara lain. Vietnam mampu menghasilkan 15.000 judul buku per
tahun yang berpenduduk sekitar 80 juta jiwa. Di Jepang, tidak kurang dari
60.000 judul buku diterbitkan setiap tahunnya. Sedangkan di Inggris bahkan
lebih besar, yang mana bisa mencapai 110.155 judul buku per tahunnya.
Kurangnya budaya menulis di
Indonesia tentunya dipicu oleh beberapa sebab, diantaranya motivasi yang
rendah. Hal ini karena, jika tidak ada motivasi, niat untuk menulis pun tidak
ada. Bahkan mereka merasa menulis itu tidak cukup penting.
Minimnya kemampuan menulis pun
menjadi hambatan yang mengakibatkan lemahnya budaya menulis di Indonesia.
Setiap orang tentunya tidak mempunyai kemampuan menulis yang sama. Terkadang dalam
memilih kata yang tidak tepat, bahasa yang kurang tepat, plagiatisme, dan
bahkan masalah logika dalam mengeluarkan pendapat.
Ada juga yang berpikiran untuk apa
menulis jika mereka dapat berbicara. Sehingga mereka menganggap menulis itu
ribet. Hanya menghabiskan waktu, tenaga dan materi. Salah besar jika mereka
berpikir demikian, karena menulis itu sangat penting dan juga dengan menulis
mereka dapat mengikat ilmu dengan tulisan. Seperti sebuah pepatah yang
berbunyi, gajah mati menninggalkan gadingnya. Itu diibaratkan seseorang mati
meninggalkan tulisannya. Sehingga, meskipun mati tetapi nama kita tidak akan
mati. Dia akan hidup dalam sebuah karya.
Hal yang paling penting penyebab
lemahnya budaya menulis adalah kurangnya budaya membaca. Sebab, dengan membaca
kita dapat mendapatkan ilmu pengetahuan dan bahkan dapat kita kembangkan ke
dalam bentuk tulisan. Membaca memang dijadikan sumber supaya kita dapat
menulis.
Budaya membaca memang dapat
dijadikan bukti lemahnya budaya menulis. Lemah budaya membaca, maka lemah juga
budaya menulis. Hal ini dipaparkan dalam artikelnya A. Chaedar Alwasilah yang
berjudul “Powerful Writers versus the Helpless Readers”. Pelajar hampir 95%
menyalahkan diri mereka sendiri. Mereka menganggap mereka tidak mempunyai basic
membaca yang baik dan keahlian penulis terlalu tinggi, serta pemahamannya
terlalu tinggi bagi para pelajar pemula. Sehingga, pelajar beranggapan bahwa
buku tersebut tidak sesuai dengan backgroundnya mereka. Jika seperti itu mereka
akan terus bergelut dengan buku yang harus sesuai dengan beckground mereka.
Padahal siapa tahu buku yang mereka anggap tidak sesuai dengan backgroundnya
lebih bagus dan kumplit dalam penjelasannya.
Terdapat juga orang yang menilai
buku sesuai dengan sugesti orang. Jika ada seseorang yang menganggap suatu buku
itu sullit dan memberikan informasi ke orang lain, maka orang yang mendapat
informasi tersebut akan ikut berpikir demikian dan menganggap buku tersebut
sesuai dengan kapasitasnya. Padahal dia belum sempat membacanya, atau bahkan
hanya membaca sekilas.
Selain pembaca menganggap suatu buku
terlalu tinggi dan di luar kemampuan pembaca, pelajar pun mempunyai respon
ketika membaca. Seperti di dalam artikelnya yang menyatakan bahwa pelajar
menyalahkan diri mereka sendiri karena di dalam membaca, mereka kurang
berkonsentrasi. Sebenarnya mereka terlalu menyalahkan diri mereka sendiri,
bahkan keputusasaan dalam membaca. Jika mereka lebi serius lagi dalam membaca,
mereka akan paham atas apa yang mereka baca dan dapat menyerap pengetahuan atas
apa yang mereka baca.
Critical readers percaya bahwa
antara penulis dan pembaca mempunyai tanggung jawab dalam membuat makna.
Sehingga, crirical readers menganggap jika mereka tidak mengerti atas apa yang
mereka baca, itu berarti penulis kurang kompeten dalam menyampaikan ide dan
menghibur pembaca.
Padahal biasanya makna antara
penulis dan pembaca berbada. Penulis bermaksud pada suatu hal, akan tetapi
pembaca memahami dengan makna lain. Sehingga pemikiran pun muncul apakah
penulis yang terlalu hebat dengan bahasa yang tinggi dan pembaca yang kurang
memiliki kemampuan membaca ataukah penulis yang tidak dapat menyampaikan
informasi secara kompeten.
Kemudian di dalam artikel yang
berjudul “Learning and Teaching Process: More about Readers and Writers”, tertera
bahwa penulis merasa kaget karena mahasiswa di IKIP belajar pakai buku yang
diberi dosen yang mana buku tersebut berasal dari UK. Hasilnya pun tetap saja
mereka tidak bisa berbicara bahasa inggris dengan baik dan benar.
Sebenarnya ada yang perlu dicermati
dalam pengambilan/pemakaian buku dalam mengajar bahasa Inggris. Kenapa tidak
menggunakan buku bahasa Indonesia yang bermaterikan bahasa Inggris? Dan kenapa
harus memakai buku yang berasal dari luar? Banyak di antara mereka berpikir
bahwa buku dari luar lebih bagus bahkan keren. Juga di Indonesia, buku yang
mereka perlukan tidak tersedia. Sedangkan, buku yang berasal dari luar belum
tentu kita pahami sepenuhnya. Mengapa bisa terjadi tidak tersedianya buku di
Indonesia? Untuk mengerti dan memahami buku saja sulit apalagi menulis.
Jadi dapat diketahui bahwa, ketiga
artikel tersebut saling berkaitan satu sama lain yaitu menulis menjadi masalah
utama di bangsa kita. Baik dikalangan akademis maupun pelajar, budaya menulis
cukup rendah. Hal ini disebabkan motivasi yang rendah, tidak mempunyai
keterampilan menulis dan budaya membaca yang kurang. Oleh karena itu,
tingkatkanlah budaya menulis dengan meningkatkan budaya membaca. Maka dengan
cara itu, bangsa Indonesia akan lebih meningkatkan mutu dan kualitas menulis
dan tidak di cap lagi sebagai bukan bangsa penulis.
0 comments:
Post a Comment