Monday, February 10, 2014

Appertizer Essay
Budaya Membaca Adalah Tonggaknya Budaya Menulis
            Menulis memang menjadi sorotan utama dalam dunia pendidikan di Indonesia. Banyak orang yang menganggap menulis itu tidak begitu penting, sekalipun kalangan akademis. Sehingga tidak heran jika budaya menulis di Indonesia masih sangat lemah. Seperti halnya yang dipaparkan dalam artikelnya A. Chaedar Alwasilah yang berjudul “(Bukan) Bangsa Penulis”. Mayoritas sarjana lulusan perguruan tinggi kita tidak bisa menulis. Bahkan para dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis. Hal ini dibuktikan dalam artikelnya yang menyatakan bahwa karya ilmiah dari perguruan tinggi di Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia. Indonesia hanya menerbitkan buku sekitar 8 ribu dari 225 juta jiwa.
            Untuk memperkuat hal ini, kita bisa bandingkan dengan Negara lain. Vietnam mampu menghasilkan 15.000 judul buku per tahun yang berpenduduk sekitar 80 juta jiwa. Di Jepang, tidak kurang dari 60.000 judul buku diterbitkan setiap tahunnya. Sedangkan di Inggris bahkan lebih besar, yang mana bisa mencapai 110.155 judul buku per tahunnya.
            Kurangnya budaya menulis di Indonesia tentunya dipicu oleh beberapa sebab, diantaranya motivasi yang rendah. Hal ini karena, jika tidak ada motivasi, niat untuk menulis pun tidak ada. Bahkan mereka merasa menulis itu tidak cukup penting.
            Minimnya kemampuan menulis pun menjadi hambatan yang mengakibatkan lemahnya budaya menulis di Indonesia. Setiap orang tentunya tidak mempunyai kemampuan menulis yang sama. Terkadang dalam memilih kata yang tidak tepat, bahasa yang kurang tepat, plagiatisme, dan bahkan masalah logika dalam mengeluarkan pendapat.
            Ada juga yang berpikiran untuk apa menulis jika mereka dapat berbicara. Sehingga mereka menganggap menulis itu ribet. Hanya menghabiskan waktu, tenaga dan materi. Salah besar jika mereka berpikir demikian, karena menulis itu sangat penting dan juga dengan menulis mereka dapat mengikat ilmu dengan tulisan. Seperti sebuah pepatah yang berbunyi, gajah mati menninggalkan gadingnya. Itu diibaratkan seseorang mati meninggalkan tulisannya. Sehingga, meskipun mati tetapi nama kita tidak akan mati. Dia akan hidup dalam sebuah karya.
            Hal yang paling penting penyebab lemahnya budaya menulis adalah kurangnya budaya membaca. Sebab, dengan membaca kita dapat mendapatkan ilmu pengetahuan dan bahkan dapat kita kembangkan ke dalam bentuk tulisan. Membaca memang dijadikan sumber supaya kita dapat menulis.
            Budaya membaca memang dapat dijadikan bukti lemahnya budaya menulis. Lemah budaya membaca, maka lemah juga budaya menulis. Hal ini dipaparkan dalam artikelnya A. Chaedar Alwasilah yang berjudul “Powerful Writers versus the Helpless Readers”. Pelajar hampir 95% menyalahkan diri mereka sendiri. Mereka menganggap mereka tidak mempunyai basic membaca yang baik dan keahlian penulis terlalu tinggi, serta pemahamannya terlalu tinggi bagi para pelajar pemula. Sehingga, pelajar beranggapan bahwa buku tersebut tidak sesuai dengan backgroundnya mereka. Jika seperti itu mereka akan terus bergelut dengan buku yang harus sesuai dengan beckground mereka. Padahal siapa tahu buku yang mereka anggap tidak sesuai dengan backgroundnya lebih bagus dan kumplit dalam penjelasannya.
            Terdapat juga orang yang menilai buku sesuai dengan sugesti orang. Jika ada seseorang yang menganggap suatu buku itu sullit dan memberikan informasi ke orang lain, maka orang yang mendapat informasi tersebut akan ikut berpikir demikian dan menganggap buku tersebut sesuai dengan kapasitasnya. Padahal dia belum sempat membacanya, atau bahkan hanya membaca sekilas.
            Selain pembaca menganggap suatu buku terlalu tinggi dan di luar kemampuan pembaca, pelajar pun mempunyai respon ketika membaca. Seperti di dalam artikelnya yang menyatakan bahwa pelajar menyalahkan diri mereka sendiri karena di dalam membaca, mereka kurang berkonsentrasi. Sebenarnya mereka terlalu menyalahkan diri mereka sendiri, bahkan keputusasaan dalam membaca. Jika mereka lebi serius lagi dalam membaca, mereka akan paham atas apa yang mereka baca dan dapat menyerap pengetahuan atas apa yang mereka baca.
            Critical readers percaya bahwa antara penulis dan pembaca mempunyai tanggung jawab dalam membuat makna. Sehingga, crirical readers menganggap jika mereka tidak mengerti atas apa yang mereka baca, itu berarti penulis kurang kompeten dalam menyampaikan ide dan menghibur pembaca.
            Padahal biasanya makna antara penulis dan pembaca berbada. Penulis bermaksud pada suatu hal, akan tetapi pembaca memahami dengan makna lain. Sehingga pemikiran pun muncul apakah penulis yang terlalu hebat dengan bahasa yang tinggi dan pembaca yang kurang memiliki kemampuan membaca ataukah penulis yang tidak dapat menyampaikan informasi secara kompeten.
            Kemudian di dalam artikel yang berjudul “Learning and Teaching Process: More about Readers and Writers”, tertera bahwa penulis merasa kaget karena mahasiswa di IKIP belajar pakai buku yang diberi dosen yang mana buku tersebut berasal dari UK. Hasilnya pun tetap saja mereka tidak bisa berbicara bahasa inggris dengan baik dan benar.
            Sebenarnya ada yang perlu dicermati dalam pengambilan/pemakaian buku dalam mengajar bahasa Inggris. Kenapa tidak menggunakan buku bahasa Indonesia yang bermaterikan bahasa Inggris? Dan kenapa harus memakai buku yang berasal dari luar? Banyak di antara mereka berpikir bahwa buku dari luar lebih bagus bahkan keren. Juga di Indonesia, buku yang mereka perlukan tidak tersedia. Sedangkan, buku yang berasal dari luar belum tentu kita pahami sepenuhnya. Mengapa bisa terjadi tidak tersedianya buku di Indonesia? Untuk mengerti dan memahami buku saja sulit apalagi menulis.

            Jadi dapat diketahui bahwa, ketiga artikel tersebut saling berkaitan satu sama lain yaitu menulis menjadi masalah utama di bangsa kita. Baik dikalangan akademis maupun pelajar, budaya menulis cukup rendah. Hal ini disebabkan motivasi yang rendah, tidak mempunyai keterampilan menulis dan budaya membaca yang kurang. Oleh karena itu, tingkatkanlah budaya menulis dengan meningkatkan budaya membaca. Maka dengan cara itu, bangsa Indonesia akan lebih meningkatkan mutu dan kualitas menulis dan tidak di cap lagi sebagai bukan bangsa penulis.

0 comments:

Post a Comment