Monday, February 10, 2014

Tumpulnya serangan intelektual Indonesia di bidang karya ilmiah
By Majid

Dalam buku yang berjudul pokoknya rekayasa literasi yang ditulis oleh prof Chaedar alwasilah (2012) mengenai publikasi karya ilmiah di kalangan perguruan tinggi, beliau mengkritik habis para sarjana lulusan perguruan tinggi di Indonesia dengan mengecap bahkan memvonis bahwa mayoritas dari mereka tidak bisa menulis. Bahkan dari kalangan dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis. Fakta ini terbukti dengan minimnya jumlah karya ilmiah yang diterbitkan oleh lulusan sarjana-sarjana Indonesia. Motivasi intrinsik atau internal dosen yang rendah juga nampaknya menjadi kendala utama. Ketika seorang dosen merasa tidak penting menulis, maka telah hilang separuh kedosenannya.
Lemahnya serangan intelektual indonesia dalam bidang menulis karya ilmiah ini sangat disesalkan sekali oleh dirjen pendidikan tinggi yang merupakan pengawal utama dalam publikasi ilmiah. Menurutnya, rendahnya buku yang diterbitkan menjadi indikator bahwa mayoritas para lulusan sarjana PT di indonesia tidak bisa menulis. Jika rata-rata terbitan buku di indonesia sekitar 5 ribu per tahunnya, maka negara malaysia menerbitkan 50 ribu buku per tahunnya. Perbandingan yang sangat signifikan tersebut mengindikasikan bahwa lulusan sarjana di Indonesia lemah dalam bidang menulis. Jadi setidaknya untuk mengimbangi malaysia, mestinya kita mampu menerbitkan buku 10 kali lipat per tahunnya.
Dari hal di atas, rasanya sangat tidak adil jika Prof. chaedar hanya menyebutkan bahwa letak kesalahan tersebut berasal dari mahasiswanya saja tanpa melihat sektor-sektor yang lain. Justru hal ini bisa jadi karena kurangnya sikap tegas, buruknya regulasi dan sikap antipati yang ditunjukkan oleh pemerintah di bidang pendidikan yang menyebabkan terjadinya stagnasi pemikiran di kalangan pelajar atau mahasiswa sehingga mereka tidak bisa menulis. Jika kita ingin mengambil motivasi, kita bisa tengok saja perguruan tinggi di AS. Di sana PT mewajibkan mahasiswanya untuk banyak menulis essay, seperti mencatat hasil observasi, mereview buku, meringkas bab dan lain-lain kemudian diserahkan kepada dosen untuk dikomentari dan dikritisi tulisannya. Sehingga nalar dan argumen mereka benar-benar terasah. Dengan tindakan seperti itu, PT di AS tidak harus mewajibkan mahasiswanya untuk membuat skripsi, tesis atau disertasi karena mereka sudah terasah kemampuan menulisannya bahkan mereka sudah mampu menerbitkan buku-buku, jurnal-jurnal atau tulisan yang lainnya.
Selama ini perguruan tinggi kita hanya mewajibkan menulis akademik ketika hendak membuat skripsi, tesis dan disertasi saja, karena itu merupakan ajang jitu untuk mengasah skill, ketrampilan, meneliti dan melaporkannya secara akademik. Atau Bisa jadi juga hal itu dilakukan semata karena formalitas yang dibuat oleh PT tersebut untuk mendapatkan gelar bukan karena ikeinginan unuk menulis.
Jika kita ingin agar mahasiswa pandai menulis atau berkarya ilmiah, seharusnya pemerintah atau lembaga pendidikan mewajibkan mereka sejak masih duduk di bangku SMA. Usia SMA dianggap sebagai usia ideal dalam pembentukan karakter apasaja. Ketika SMA saja mereka sudah senang menulis bahkan tulisannya sudah diakui publik, maka  untuk membuat tulisan yang isinya lebih berbobot lagi pun mereka akan mampu melakukannya. Sektor kesalahan mahasiswa sebenarnya terletak pada paradigma mereka sendiri yang memandang bahwa menulis sebagai hal yang tidak penting atau sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan. Faktor seperti haanya akan membuat mahasiswa atau lulusan sarjana tumpul dalam menulis.
Selain itu, Prof chaedar dalam tulisannya tentang wacana bukan bangsa penulis, hanya memberikan kritik terhadap pelajar indonesia tanpa menjelaskan alasan-alasannya secara spesifik mengapa mayoritas dari mereka tidak bisa menulis. Bahkan beliau juga mengkritik para pelajar indonesia dengan membandingkannya dengan malaysia bukan karena keinginan untuk membangun melainkan lebih melihat adanya gengsi atau kecemburuan sosial terhadap malaysia. Jika caranya hanya seperti itu, kita juga akan susah untuk membangun Indonesia menjadi bangsa penulis, justru hal seperti itu hanya akan membuat bangsa Indonesia menjadi tidak percaya diri. 
Mungkin di Indonesia ini hanya beberapa perguruan tinggi saja yang mewajibkan mahasiswanya untuk menulis. Namun hal itu  juga karena upaya atau inisiatif dosennya sendiri yang menginginkan agar mahasiswanya bisa menulis, bukan karena formalitasnya saja seperti Dosen MK Writing, maka berdasarkan fungsi formalnya ia harus menuntut mahasiswanya untuk menulis.
Metode clas review yaitu menulis ringkasan materi setiap pertemuan yang diterapkan Mr Lala Bumela M.Pd sangatlah jitu. Beliau barangkali meniru gaya perguruan tinggi di AS. Dengan metode tersebut, artinya beliau sedang mengasah pola pikir kritis mahasiswa supaya daya nalarnya semakin tajam dan terasah. Sedikit demi sedikit, Hal itu akan membangun paradigma menulis bagi mahasiswanya. Beliau bergerak dari area imajinatif yang hanya bersifat merefleksikan fikiran, seperti menceritakan pengalaman, membuat narative, membuat argumen faktual, dan lain-lain. Nah setelah itu beliau bergerak untuk menggiring mahasiswa ke arah menulis akademik yang tentunya lebih rumit lagi struktur tulisannya. Namun dengan terbiasanya mahasiswa menulis, mereka tidak akan kaget jika disuruh untuk membuat karya tulisan yang bobot kerumitannya lebih berat lagi.
Sementara pada wacana yang lain ”Powerful Writers vs the Helpless Readers”, Prof Chaedar mengkritik pembacanya yang tidak bisa kritis dalam menaggapi atau merespond tulisan writer. kalimat “ If you do not understand the text you are reading, what the reason ?” tersebut merupakan kalimat perlawanan antara reader dengan writers. Dari kalimat tersebut akan muncul dua pertanyaan yaitu “Apa atau Bagaimana alasan readers ?” dan Seperti apa pandangan readers tentang writers ?.
Jika readers mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki background yang sama dengan writers, itu menunjukkan terhadap lack of confident dari readers. Jika readers mengatakan bahwa keahlian writers yang sangat tinggi dan itu di luar kapasitas readers, itu mengindikasikan inferioritas readers dalam memandang writers. Jika readers mengatakan bahasa writers terlalu tinggi sehingga sulit dipahami, itu mengindikasikan bahwa readers tidak memiliki kapasitas pengetahuan untuk berinteraksi dengan superioritas yang dimiliki oleh writers. Jika masalahnya seperti itu maka tidak akan ada titik temunya.
Masalah di atas sebenarnya hanyalah masalah paradigma. Maka yang harus kita lakukan adalah merubah mindset, pola pikir atau cara pandang readers untuk mampu kritis dalam menanggapi superioriotas writers.  Seorang reader yang kritis jika disajikan pertanyaan “ketika kamu tidak mengerti teks yang kamu baca, apa alasannya?” maka ia akan menjawab bahwa writer tidak cukup kompeten dalam menyampaikan idea kepada pembacanya readernya.
Untuk pendapat Prof Chaedar yang terakhir ini, yaitu tentang critical readers justru bisa menjadi suatu bumerang tersendiri bagi tulisannya. Dengan kata lain, jika ada orang yang tidak bisa memahami tulisan beliau, mereka mempunyai hak untuk mengkritik beliau berdasarkan jawaban dari critical reader. Alasan tersebut bisa berlaku jika yang membaca adalah pembaca yang kritis ( critical reader ). Namun di sini pertanyaannya yaitu siapakah orang yang kita sebut sebagai critical reader?, kriteria-kriteria seperti apakah yang termasuk ke dalam critical reader ?, Jika reader menganggap bahwa writer tidak cukup kompeten dalam menyampaikan ide berdasarkan ketidakmengertian reader dalam memahami tulisannya, apakah pembaca tersebut masih layak disebut sebagai critical reader?. fenomena ini bisa jadi adalah sektor kelemahan dari tulisan Prof Chaedar.


Referensi

A. Chaedar Alwasilah, Fikiran Rakyat, 28 Februari 212
A. Chaedar Alwasilah, The Jakarta Post, 14 Januari 212




0 comments:

Post a Comment