Tumpulnya serangan intelektual Indonesia di bidang karya ilmiah
By
Majid
Dalam buku yang
berjudul pokoknya rekayasa literasi
yang ditulis oleh prof Chaedar alwasilah (2012) mengenai publikasi karya ilmiah
di kalangan perguruan tinggi,
beliau mengkritik habis para sarjana lulusan perguruan
tinggi di Indonesia dengan mengecap bahkan memvonis bahwa mayoritas dari mereka
tidak bisa menulis. Bahkan dari kalangan dosennya pun mayoritas tidak bisa
menulis. Fakta ini terbukti dengan minimnya jumlah karya ilmiah yang
diterbitkan oleh lulusan sarjana-sarjana Indonesia. Motivasi intrinsik atau internal dosen yang
rendah juga nampaknya menjadi kendala utama. Ketika seorang dosen merasa tidak penting menulis, maka telah hilang
separuh kedosenannya.
Lemahnya
serangan intelektual indonesia dalam bidang menulis karya ilmiah ini sangat
disesalkan sekali oleh dirjen pendidikan tinggi yang merupakan pengawal utama
dalam publikasi ilmiah. Menurutnya, rendahnya buku yang diterbitkan menjadi
indikator bahwa mayoritas para lulusan sarjana PT di indonesia tidak bisa
menulis. Jika rata-rata terbitan buku di indonesia sekitar 5 ribu per tahunnya,
maka negara malaysia menerbitkan 50 ribu buku per tahunnya. Perbandingan yang
sangat signifikan tersebut mengindikasikan bahwa lulusan sarjana di Indonesia
lemah dalam bidang menulis. Jadi setidaknya untuk mengimbangi malaysia,
mestinya kita mampu menerbitkan buku 10 kali lipat per tahunnya.
Dari
hal di atas, rasanya sangat tidak adil jika
Prof. chaedar hanya menyebutkan
bahwa letak kesalahan tersebut berasal dari
mahasiswanya saja tanpa melihat sektor-sektor yang lain. Justru hal ini bisa jadi karena
kurangnya sikap tegas, buruknya regulasi dan sikap antipati yang ditunjukkan
oleh pemerintah di bidang pendidikan yang menyebabkan terjadinya stagnasi
pemikiran di kalangan pelajar atau mahasiswa sehingga mereka tidak bisa
menulis. Jika kita ingin mengambil motivasi,
kita bisa tengok saja perguruan tinggi di AS. Di sana PT mewajibkan
mahasiswanya untuk banyak menulis
essay, seperti mencatat hasil observasi, mereview buku, meringkas bab dan
lain-lain kemudian diserahkan kepada dosen untuk dikomentari dan dikritisi
tulisannya. Sehingga nalar dan argumen mereka benar-benar terasah.
Dengan tindakan seperti itu, PT di AS tidak harus mewajibkan mahasiswanya untuk
membuat skripsi, tesis atau disertasi karena mereka sudah terasah kemampuan
menulisannya bahkan mereka sudah mampu menerbitkan buku-buku, jurnal-jurnal
atau tulisan yang lainnya.
Selama
ini perguruan tinggi kita hanya mewajibkan menulis akademik ketika hendak
membuat skripsi, tesis dan disertasi saja, karena itu merupakan ajang jitu
untuk mengasah skill, ketrampilan, meneliti dan melaporkannya secara akademik.
Atau Bisa jadi juga hal itu dilakukan semata karena formalitas yang dibuat oleh
PT tersebut untuk mendapatkan gelar bukan karena
ikeinginan unuk menulis.
Jika
kita ingin agar mahasiswa pandai menulis atau berkarya ilmiah, seharusnya pemerintah
atau lembaga pendidikan mewajibkan
mereka sejak masih duduk di bangku SMA. Usia SMA dianggap sebagai usia ideal dalam pembentukan
karakter apasaja. Ketika SMA saja mereka sudah senang menulis bahkan tulisannya
sudah diakui publik,
maka untuk
membuat tulisan yang isinya lebih berbobot lagi pun mereka akan mampu
melakukannya. Sektor kesalahan mahasiswa sebenarnya terletak pada paradigma
mereka sendiri yang memandang bahwa menulis sebagai hal yang tidak penting atau
sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan. Faktor seperti haanya akan membuat
mahasiswa atau lulusan sarjana tumpul dalam menulis.
Selain itu, Prof
chaedar dalam tulisannya tentang wacana bukan bangsa penulis, hanya memberikan kritik
terhadap pelajar indonesia tanpa menjelaskan alasan-alasannya secara spesifik
mengapa mayoritas dari mereka tidak bisa menulis. Bahkan beliau juga mengkritik
para pelajar indonesia dengan membandingkannya dengan malaysia bukan karena
keinginan untuk membangun melainkan lebih melihat adanya gengsi atau
kecemburuan sosial terhadap malaysia. Jika caranya hanya seperti itu, kita juga
akan susah untuk membangun Indonesia menjadi bangsa penulis, justru hal seperti
itu hanya akan membuat bangsa Indonesia menjadi tidak percaya diri.
Mungkin
di Indonesia ini hanya beberapa perguruan tinggi saja yang mewajibkan
mahasiswanya untuk menulis. Namun hal itu
juga karena upaya atau inisiatif dosennya sendiri yang menginginkan agar
mahasiswanya bisa menulis, bukan karena formalitasnya saja seperti Dosen MK Writing,
maka berdasarkan fungsi formalnya ia harus menuntut mahasiswanya untuk menulis.
Metode
clas review yaitu menulis ringkasan materi setiap pertemuan yang
diterapkan Mr Lala Bumela M.Pd sangatlah jitu. Beliau barangkali meniru gaya
perguruan tinggi di AS. Dengan metode tersebut, artinya beliau sedang mengasah pola
pikir kritis mahasiswa supaya
daya nalarnya semakin tajam dan terasah. Sedikit demi
sedikit, Hal itu akan membangun paradigma menulis
bagi mahasiswanya. Beliau bergerak dari area imajinatif yang
hanya bersifat merefleksikan fikiran, seperti menceritakan pengalaman, membuat
narative, membuat argumen faktual, dan lain-lain. Nah setelah itu beliau
bergerak untuk menggiring mahasiswa ke arah menulis akademik yang tentunya lebih rumit lagi
struktur tulisannya. Namun dengan terbiasanya mahasiswa menulis, mereka tidak
akan kaget jika disuruh untuk membuat karya tulisan
yang bobot kerumitannya lebih berat lagi.
Sementara
pada wacana yang lain ”Powerful Writers vs the Helpless Readers”, Prof Chaedar
mengkritik pembacanya yang tidak bisa kritis dalam menaggapi atau merespond
tulisan writer. kalimat “ If you do not understand the text you are reading, what the
reason ?” tersebut merupakan kalimat perlawanan antara reader dengan writers. Dari
kalimat tersebut akan muncul dua
pertanyaan yaitu “Apa atau Bagaimana alasan readers ?” dan Seperti apa pandangan
readers tentang writers ?.
Jika readers mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki background yang sama dengan writers, itu menunjukkan terhadap lack
of confident dari
readers. Jika readers
mengatakan bahwa keahlian writers yang sangat tinggi dan itu di luar kapasitas
readers, itu mengindikasikan inferioritas readers dalam memandang writers. Jika
readers mengatakan bahasa writers terlalu tinggi sehingga sulit dipahami, itu
mengindikasikan bahwa readers tidak memiliki kapasitas pengetahuan untuk
berinteraksi dengan superioritas yang dimiliki oleh writers. Jika masalahnya
seperti itu maka tidak akan ada titik temunya.
Masalah di atas
sebenarnya hanyalah masalah paradigma. Maka yang harus kita lakukan adalah
merubah mindset, pola pikir atau cara pandang readers untuk mampu kritis dalam menanggapi
superioriotas writers. Seorang reader
yang kritis jika disajikan pertanyaan “ketika kamu tidak mengerti teks yang
kamu baca, apa alasannya?” maka ia akan menjawab bahwa writer tidak cukup
kompeten dalam menyampaikan idea kepada pembacanya readernya.
Untuk pendapat Prof
Chaedar yang terakhir ini, yaitu tentang critical readers justru bisa menjadi
suatu bumerang tersendiri bagi tulisannya. Dengan kata lain, jika ada orang
yang tidak bisa memahami tulisan beliau, mereka mempunyai hak untuk mengkritik
beliau berdasarkan jawaban dari critical reader. Alasan tersebut bisa berlaku
jika yang membaca adalah pembaca yang kritis ( critical reader ). Namun di sini
pertanyaannya yaitu siapakah orang yang kita sebut sebagai critical reader?,
kriteria-kriteria seperti apakah yang termasuk ke dalam critical reader ?, Jika
reader menganggap bahwa writer tidak cukup kompeten dalam menyampaikan ide
berdasarkan ketidakmengertian reader dalam memahami tulisannya, apakah pembaca
tersebut masih layak disebut sebagai critical reader?. fenomena ini bisa jadi
adalah sektor kelemahan dari tulisan Prof Chaedar.
Referensi
A. Chaedar Alwasilah, Fikiran Rakyat, 28 Februari 212
A. Chaedar Alwasilah, The Jakarta Post, 14 Januari 212
0 comments:
Post a Comment