Monday, February 10, 2014


Seusai membaca tiga buah wacana yang terdapat di buku Pokoknya Rekayasa Literasi karya Prof. Chaedar yang juga diterbitkan oleh Pikiran Rakyat dan The Jakarta Post, saya merasa bahwa fenomena tersebut memang benar  terjadi di Indonesia. Fenomena tentang bangsa Indonesia yang miskin akan literasi. Bahkan, Prof. Chaedar mengatakan bahwa bangsa ini bukan bangsa penulis. Rasanya seperti tersambar petir mendengar hal tersebut, tetapi itulah fakta yang sebenarnya. Akademisi di Indonesia pun tak terampil menulis, dan mencengangkannya lagi ternyata jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, yakni hanya sekitar sepertujuh. Ironis memang, hal ini bagai dayung tak bersambut, ketika hal tersebut tidak menjadi perhatian semua orang termasuk akademisi.  Akan tetapi ada yang harus kita garis bawahi bahwa semua itu terjadi karena ada penyebabnya, dan tidak boleh terus menerus dilestarikan. Seyogianya,  kaum intelektual harus produktif dalam ihwal baca-tulis karena ini akan menumbuhkan masyarakat ilmiah minimal di lingkungan kampus.
Marilah kita tengok jepang, dan belajar dari Negara ini. Bagaimana budaya membaca dan menulis sangat di jungjung tinggi. Terlihat dari film-film Jepang dimana orang-orangnya senantiasa membaca kapan dan dimanapun mereka berada. Berbeda dengan di Indonesia dimana sangat jarang kita melihat orang-orang membaca di dalam angkot, bus kota, atau taman sekalipun. Sehingga bagaimana dengan budaya menulis jika budaya membaca saja masih sangat rendah? Padahal literasi merupakan barometer kemajuan suatu bangsa.
Bagi saya, hal ini sangat menarik untuk terus diperhatikan. Terutama penyebab mengapa akademisi di Indonesia tidak mampu menulis seproduktif negara lain. Saya melihat bahwa di Indonesia terdapat kendala dalam ihwal mengaplikasikan gagasan. Maksudnya, pemerintah negara ini tidak mendukung penuh bangsanya untuk maju dalam literasi. Jadi, sedikit berbeda dengan Prof.Chaedar yang menyatakan seolah krisis menulis ini adalah karena pembelajaran baca-tulis yang salah. Namun, ada hal lain seperti fenomena ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang lebih memilih tinggal dan mengabdi di luar negeri merupakan contoh konkret bahwa mereka kecewa terhadap negerinya sendiri. Negeri yang selalu menuntut kesuksesan di awal dan pemerintah pun pelit mengeluarkan dana karena takut gagal. Padahal, Thomas Alfha Edison pun gagal 9.995 kali dalam menemukan bola lampu. Tetapi pemerintah tidak menghargai para penggerak Negara ini (baca: akademisi) untuk maju dalam budaya literasi yang akan berdampak pada kemajuan peradaban khazanah ilmu pengetahuan.
Rasanya telinga memerah ketika membaca “jadi, yang tidak bisa menulis sebaiknya jangan bermimpi jadi dosen!” di akhir wacana Prof.Chaedar yang berjudul (Bukan) Bangsa Penulis. Bagi saya, ini seperti motivasi bahwa menulis merupakan sebuah esensi yang tidak bisa di tinggalkan, terutama untuk para akademisi. Dosen adalah seseorang yang sangat di andalkan dalam ihwal ini. Mereka adalah salah satu pembaharu khazanah ilmu pengetahuan. Melalui penelitian yang mereka tekuni, menulis, membuat rumus dan kemudian teori. Itu sebabnya mengapa kita harus mampu menulis. Sampai-sampai haram sepertinya jika seorang dosen tidak bisa menulis.
            Selanjutnya ihwal menulis dan membaca yang memiliki tanggung jawab dalam pembentukan makna atau pemahaman. Ketika Prof. Chaedar mengajukan sebuah pertanyaan kepada 40 siswa matematika dan 60 siswa bahasa di sebuah lulusan sekolah tinggi di Bandung dengan pertanyaan seperti berikut “jika kamu tidak mengerti teks yang sedang kamu baca, apa alasanmu?”  jawabannya adalah 95 % dari mereka menyalahkan diri mereka sendiri. Mereka mengindikasikan banyak hal, seperti tidak mempunyai background dalam bacaan tersebut, keahlian penulis yang sangat tinggi, bacaan yang sangat tidak sepadan dengan mereka sebagai pelajar baru, dan lain-lain yang menunjukkan mereka adalah seorang pembaca yang tidak berdaya. 
            Hal ini tidak seharusnya terjadi karena alasan-alasan yang di sebut di atas memang hanya sebuah kontradiksi diri. Literasi hanya bisa dibangun dengan kesabaran dan waktu. Tetapi Indonesia sudah terlanjur berada dalam zona nyaman kemiskinan akan literasinya. Oleh karenanya, para siswa harus cinta pada karya sastra untuk menyiapkan generasi penerus bangsa ini yang aktif menulis dan berliterasi.
            Malu memang, ketika C W Watson menanggapi wacana Prof. Chaedar mengenai Powerful Writers versus the Helpless Readers. Disana tergambarkan betapa lucunya (baca: buruknya) literasi  negeri ini. Pengalamannya dan Prof. Chaedar mengenai proses belajar mengajar yang sebenarnya lebih dari sekedar itu. Melainkan juga tentang membaca dan menulis. Besarnya angka ketidak mampuan siswa di Indonesia dalam membaca sebuah teks pelajaran, menurut Watson dikarenakan oleh silabus dan sistem ujian. Dimana guru di paksa untuk mengikuti dan tentu akan menentukan pada perkembangan pemikiran kritis dan kompetensi bahasa. Seperti penggunaan multiple choice pada ujian-ujian dimana tidak membutuhkan dorongan dan hasrat untuk menulis karena siswa hanya memberi tanda pada pilihan yang benar. Watson juga terkagetkan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak mendorong kepada kegiatan membaca dan menulis kepada mahasiswanya, disini yang menjadi tujuan utamanya yaitu melewati pembelajaran dengan teori dan pengetahuan dari dosen, pengetahuan yang dosen dapatkan selama memperoleh PhD nya. Dimana sangat kontradiktif dengan British university system yang pernah di peroleh Watson, disana siswa belajar bahasa dengan menguasainya, sehingga mereka dapat berbicara, mendengarkan, mengerti, membaca juga menulis. Mereka juga di dorong untuk membaca sebanyak-banyaknya.

            Inilah tugas kita sebagai calon pengajar bahasa. Pekerjaan yang bukan saja menerjemahkan bahasa satu ke bahasa lain. Namun lebih dari itu, mengajarkan literasi kepada lingkungan kita minimalnya merupakan suatu tugas yang sangat genting harus dikerjakan. Indonesia sudah terlalu lama dalam keterpurukan dan krisis literasi. Sudah saatnya kita bangkit, dengan memaksakan diri bahwa menulis merupakan suatu kewajiban sebagai seorang akademisi.  

0 comments:

Post a Comment