Seusai membaca tiga buah wacana yang terdapat di buku Pokoknya Rekayasa Literasi karya Prof. Chaedar yang juga diterbitkan oleh Pikiran Rakyat dan The Jakarta Post, saya merasa bahwa fenomena tersebut memang benar terjadi di Indonesia. Fenomena tentang bangsa Indonesia yang miskin akan literasi. Bahkan, Prof. Chaedar mengatakan bahwa bangsa ini bukan bangsa penulis. Rasanya seperti tersambar petir mendengar hal tersebut, tetapi itulah fakta yang sebenarnya. Akademisi di Indonesia pun tak terampil menulis, dan mencengangkannya lagi ternyata jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, yakni hanya sekitar sepertujuh. Ironis memang, hal ini bagai dayung tak bersambut, ketika hal tersebut tidak menjadi perhatian semua orang termasuk akademisi. Akan tetapi ada yang harus kita garis bawahi bahwa semua itu terjadi karena ada penyebabnya, dan tidak boleh terus menerus dilestarikan. Seyogianya, kaum intelektual harus produktif dalam ihwal baca-tulis karena ini akan menumbuhkan masyarakat ilmiah minimal di lingkungan kampus.
Marilah kita
tengok jepang, dan belajar dari Negara ini. Bagaimana
budaya membaca dan menulis sangat di jungjung tinggi. Terlihat dari film-film
Jepang dimana orang-orangnya senantiasa membaca kapan dan dimanapun mereka
berada. Berbeda dengan di Indonesia dimana sangat jarang kita melihat
orang-orang membaca di dalam angkot, bus kota, atau taman sekalipun. Sehingga
bagaimana dengan budaya menulis jika budaya membaca saja masih sangat rendah?
Padahal literasi merupakan barometer kemajuan suatu bangsa.
Bagi
saya, hal ini sangat menarik untuk terus diperhatikan. Terutama penyebab
mengapa akademisi di Indonesia tidak mampu menulis seproduktif negara lain.
Saya melihat bahwa di Indonesia terdapat kendala dalam ihwal mengaplikasikan
gagasan. Maksudnya, pemerintah negara ini tidak mendukung penuh bangsanya untuk
maju dalam literasi. Jadi, sedikit berbeda dengan Prof.Chaedar yang menyatakan
seolah krisis menulis ini adalah karena pembelajaran baca-tulis yang salah.
Namun, ada hal lain seperti fenomena ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang lebih
memilih tinggal dan mengabdi di luar negeri merupakan contoh konkret bahwa
mereka kecewa terhadap negerinya sendiri. Negeri yang selalu menuntut
kesuksesan di awal dan pemerintah pun pelit mengeluarkan dana karena takut
gagal. Padahal, Thomas Alfha Edison pun gagal 9.995 kali dalam menemukan bola
lampu. Tetapi pemerintah tidak menghargai para penggerak Negara ini (baca:
akademisi) untuk maju dalam budaya literasi yang akan berdampak pada kemajuan peradaban
khazanah ilmu pengetahuan.
Rasanya
telinga memerah ketika membaca “jadi, yang tidak bisa menulis sebaiknya jangan
bermimpi jadi dosen!” di akhir wacana Prof.Chaedar yang berjudul (Bukan) Bangsa
Penulis. Bagi saya, ini seperti motivasi bahwa menulis merupakan sebuah esensi
yang tidak bisa di tinggalkan, terutama untuk para akademisi. Dosen
adalah seseorang yang sangat di andalkan dalam ihwal ini. Mereka adalah salah
satu pembaharu khazanah ilmu pengetahuan. Melalui penelitian yang mereka
tekuni, menulis, membuat rumus dan kemudian teori. Itu sebabnya mengapa kita
harus mampu menulis. Sampai-sampai haram sepertinya jika seorang dosen tidak
bisa menulis.
Selanjutnya
ihwal menulis dan membaca yang memiliki tanggung jawab dalam pembentukan makna
atau pemahaman. Ketika Prof. Chaedar mengajukan sebuah pertanyaan kepada 40
siswa matematika dan 60 siswa bahasa di sebuah lulusan sekolah tinggi di
Bandung dengan pertanyaan seperti berikut “jika kamu tidak mengerti teks yang
sedang kamu baca, apa alasanmu?” jawabannya
adalah 95 % dari mereka menyalahkan diri mereka sendiri. Mereka mengindikasikan
banyak hal, seperti tidak mempunyai background dalam bacaan tersebut, keahlian
penulis yang sangat tinggi, bacaan yang sangat tidak sepadan dengan mereka
sebagai pelajar baru, dan lain-lain yang menunjukkan mereka adalah seorang pembaca
yang tidak berdaya.
Hal
ini tidak seharusnya terjadi karena alasan-alasan yang di sebut di atas memang
hanya sebuah kontradiksi diri. Literasi hanya bisa dibangun dengan kesabaran
dan waktu. Tetapi Indonesia sudah terlanjur berada dalam zona nyaman kemiskinan
akan literasinya. Oleh karenanya, para siswa harus cinta pada karya sastra
untuk menyiapkan generasi penerus bangsa ini yang aktif menulis dan
berliterasi.
Malu
memang, ketika C W Watson menanggapi wacana Prof. Chaedar mengenai Powerful
Writers versus the Helpless Readers. Disana tergambarkan betapa lucunya (baca:
buruknya) literasi negeri ini.
Pengalamannya dan Prof. Chaedar mengenai proses belajar mengajar yang
sebenarnya lebih dari sekedar itu. Melainkan juga tentang membaca dan menulis.
Besarnya angka ketidak mampuan siswa di Indonesia dalam membaca sebuah teks
pelajaran, menurut Watson dikarenakan oleh silabus dan sistem ujian. Dimana
guru di paksa untuk mengikuti dan tentu akan menentukan pada perkembangan
pemikiran kritis dan kompetensi bahasa. Seperti penggunaan multiple choice pada
ujian-ujian dimana tidak membutuhkan dorongan dan hasrat untuk menulis karena
siswa hanya memberi tanda pada pilihan yang benar. Watson juga terkagetkan
dengan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak mendorong kepada kegiatan
membaca dan menulis kepada mahasiswanya, disini yang menjadi tujuan utamanya
yaitu melewati pembelajaran dengan teori dan pengetahuan dari dosen,
pengetahuan yang dosen dapatkan selama memperoleh PhD nya. Dimana sangat
kontradiktif dengan British university system yang pernah di peroleh Watson,
disana siswa belajar bahasa dengan menguasainya, sehingga mereka dapat
berbicara, mendengarkan, mengerti, membaca juga menulis. Mereka juga di dorong
untuk membaca sebanyak-banyaknya.
Inilah tugas kita sebagai calon
pengajar bahasa. Pekerjaan yang bukan saja menerjemahkan bahasa satu ke bahasa
lain. Namun lebih dari itu, mengajarkan literasi kepada lingkungan kita
minimalnya merupakan suatu tugas yang sangat genting harus dikerjakan.
Indonesia sudah terlalu lama dalam keterpurukan dan krisis literasi. Sudah
saatnya kita bangkit, dengan memaksakan diri bahwa menulis merupakan suatu
kewajiban sebagai seorang akademisi.
0 comments:
Post a Comment