Appetizer essay
Dari ketiga artikel yang menjadi
bahan appetizer essay, semuanya menyoroti kelemahan tentang kemampuan menulis.
Mulai dari lulusan Perguruan Tinggi yang minim karya tulis, termasuk kebanyakan
dosennya pun tak bisa menulis. Lalu kemampuan membaca dari 100 orang lulusan
sekolah yang merasa kewalahan menghadapi penulis yang kuat.
Karna alasan itulah Dirjen
Perguruan Tinggi mengeluarkan surat kepada para rektor Perguruan tinggi Negri dan swasta diseluruh
Indonesia tentang kemampuan menulis karya ilmiah yang mendapat tanggapan pro dan
kontra. Diharapkan kemampuan menulis
karya ilmiah mampu memacu tingkat literasi para mahasiswa dan pendidik ke level
yang lebih tinggi.
Ironis memang, para sarjana dan
dosen yang meraih gelar mereka dengan menulis skripsi, tesis atau disertasi
tidak memiliki kemampuan menulis yang mumpuni, lalu bagaimana mereka bisa
lulus? Bagaimana menjamin skripsi,tesis dan disertasi mereka berkualitas?
banyak lagi pertanyaan lain yang
mengkritisi skill mereka atau mutu pengawasan
akademik di perguruan tinggi kita.
Kita susuri sejenak bagaimana
hal ini terjadi. Kemampuan menulis yang rendah di Indonesia tak hanya besumber
dari satu masalah. Ada banyak sebab yang kompleks yang saling berhubungan
menghasilkan kemampuan litersi yang rendah. Baik dari metode, kurikulum, buku,
kemampuan pengajarnya hingga orientasi pendidikanya yang tidak mendukung siswa
aktif menulis.
Kita cermati dan bandingkan
dengan pengalaman diri masing-masing. Sejak SD hingga SMA, berapa kali kita
ditugaskan untuk menghafal? bandingkan dengan berapa kali kita disuruh membuat
karya sastra, seperti cerpen atau puisi. Seberapa sering kita membaca buku
pelajaran IPA,IPS, dan Matematika? bandingkan dengan membaca novel. Ketika
menulis, kita sering menulis apa yang didiktekan oleh guru atau ketua kelas. Kita menulis apa
yang guru tulis di white board.tak ada ruang bebas dalam cara menulis yang
demikian, kita hanya sekedar copy paste
dari buku pelajaran kehalaman kosong. Lalu kapan dan berapa kali kita bebas menulis
dengan gaya bahasa kita sendiri tentang mata pelajaran, atau menuliskan
pemahaman dan pendapat kita tentang
sesuatu dalam bidang akademik. Mungkin hanya diary,status facebook dan dunia
maya, tempat dimana banyak siswa menuliskan kebebasan berfikirnya yang tak
mendapat tempat di dunia nyata.
Maka jika hasilnya adalah
siswa-siswa yang tak mampu menulis, bahkan hingga sarjana dan dosennya
sekalipun, kita tak bisa serta merta memberi label ‘’produk akademik yang
gagal’’. Bisa jadi mereka hanya korban dari ‘’system akademik yang gagal’’. Dari
tiga artikel yang say baca, setidaknya ada tiga hal yang harus di perbaiki.
Yakni:
Pertama, orientasi pendidikan. Pernahkah anda mendengar pepatah “
buku adalah jendela dunia, membaca adalah kuncinya”? Pepatah ini banyak di
temple di perpustakaan sekolah dengan harapan setiap siswa yang masuk akan
termotivasi untuk membaca. Coba cermati lagi “buku adalah jendela dunia, membaca adalah kuncinya”.
IRONI
Sudahkah anda dapati kesalahan
pada orientasi pendidikan kita…? Yap. Ini dia , membaca adalah kuncinya. Dengan
jargon ini, siswa kita hanya dimotivasi untuk membaca. Siswa kita hanya di
didik menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tidak menjadi produsen. Membaca dan
menulis harusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan. Dengan membaca, siswa
meraup banyak informasi. Dengan menulis, ia menuangkan pengalaman mencari
informasinya dengan cita rasa dan kemasannya sendiri. Sekaligus ia mengikat
informasi itu dalam catatan.
Kedua, Kurikulum. Sewaktu saya masih siswa SMK, ada yang namanya KBK.
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dimana para siswa dituntut cakap dan aktif dalam
pembelajaran dan berpengetahuan yang kompetitif. Aktif disini seringkali di
contohkan dengan siswa yang berani bertanya dan berpendapat secara lisan. Jadi
bisa dikatakan kurikulum tersebut menitik beratkan pada kemampuan speaking
siswa, bukan writing. Jadi siswa yang Dianggap
pintar adalah siswa yang banyak bicara. Bagaimana dengan kemampuan menulisnya?
Lah wong disuruhnya banyak ngomong, bukan banyak nulis. Bisa anda tebak sendiri
hasilnya.
Ketiga,buku bahan pelajarannya. Sewaktu SD dulu, ada yang namanya
buku LKS. Buku lengkap super simple. Buku ini memuat seluruh mata pelajaran
dalam komposisi yang padat dan sempit. Isinya hanya teori dan latihan, pilihan
ganda pula. Dengan tampilan yang seadanya dari kertas buram daur ulang. Apa
buku seperti ini cukup memenuhi standar pendidikan? Entah mungkin pemerintah
enggan merogoh kocek lebih dalam untuk mendidik rakyatnya, atau aliran dana
pendidikannya tersendat bahkan tertelan. Kita tak akan membahas lebih jauh
tentang itu. Buku bahan ajaran adalah sumber belajar siswa disekolah, kalaulah
isinya yang padat dan sempit itu menjadi santapan sehari-hari para siswa, apa
jadinya? Beruntung bila siswa merasa kurang puas dan mencari tambahan ilmunya
sendiri. Dan celakalah bagi yang merasa pendidikan di sekoahnya sudah cukup dan
yang terbaik.
Sebagai tambahan, orang luar
negri merasa aneh dan mungkin lucu dengan ujian nasional di negri kita, lulus
dan tidaknya ditentukan hanya dengan menghitamkan lingkaran pada lembar jawaban
computer. Siswa yang pintar selama belajar bisa tidak lulus gara-gara lingkaran
hitam kecil.sungguh ironis. Dengan system ujian seperti ini hanya akan
menghasilkan siswa yang pandai menghafal dan membuat lingkaran. Mau
menghasilkan siswa yang mampu membaca dan menulis dengan system ini? Jangan
ngarep.
0 comments:
Post a Comment