Monday, February 10, 2014

Appetizer essay
                Dari ketiga artikel yang menjadi bahan appetizer essay, semuanya menyoroti kelemahan tentang kemampuan menulis. Mulai dari lulusan Perguruan Tinggi yang minim karya tulis, termasuk kebanyakan dosennya pun tak bisa menulis. Lalu kemampuan membaca dari 100 orang lulusan sekolah yang merasa kewalahan menghadapi penulis yang kuat.
                Karna alasan itulah Dirjen Perguruan Tinggi mengeluarkan surat kepada para rektor  Perguruan tinggi Negri dan swasta diseluruh Indonesia  tentang kemampuan menulis  karya ilmiah yang mendapat tanggapan pro dan kontra.  Diharapkan kemampuan menulis karya ilmiah mampu memacu tingkat literasi para mahasiswa dan pendidik ke level yang lebih tinggi.
                Ironis memang, para sarjana dan dosen yang meraih gelar mereka dengan menulis skripsi, tesis atau disertasi tidak memiliki kemampuan menulis yang mumpuni, lalu bagaimana mereka bisa lulus? Bagaimana menjamin skripsi,tesis dan disertasi mereka berkualitas? banyak  lagi pertanyaan lain yang mengkritisi  skill mereka atau mutu pengawasan akademik di perguruan tinggi kita.
                Kita susuri sejenak bagaimana hal ini terjadi. Kemampuan menulis yang rendah di Indonesia tak hanya besumber dari satu masalah. Ada banyak sebab yang kompleks yang saling berhubungan menghasilkan kemampuan litersi yang rendah. Baik dari metode, kurikulum, buku, kemampuan pengajarnya hingga orientasi pendidikanya yang tidak mendukung siswa aktif menulis.
                Kita cermati dan bandingkan dengan pengalaman diri masing-masing. Sejak SD hingga SMA, berapa kali kita ditugaskan untuk menghafal? bandingkan dengan berapa kali kita disuruh membuat karya sastra, seperti cerpen atau puisi. Seberapa sering kita membaca buku pelajaran IPA,IPS, dan Matematika? bandingkan dengan membaca novel. Ketika menulis, kita sering menulis apa yang didiktekan  oleh guru atau ketua kelas. Kita menulis apa yang guru tulis di white board.tak ada ruang bebas dalam cara menulis yang demikian, kita hanya sekedar copy paste dari buku pelajaran kehalaman kosong. Lalu kapan dan berapa kali kita bebas menulis dengan gaya bahasa kita sendiri tentang mata pelajaran, atau menuliskan pemahaman  dan pendapat kita tentang sesuatu dalam bidang akademik. Mungkin hanya diary,status facebook dan dunia maya, tempat dimana banyak siswa menuliskan kebebasan berfikirnya yang tak mendapat tempat di dunia nyata.
                Maka jika hasilnya adalah siswa-siswa yang tak mampu menulis, bahkan hingga sarjana dan dosennya sekalipun, kita tak bisa serta merta memberi label ‘’produk akademik yang gagal’’. Bisa jadi mereka hanya korban dari ‘’system akademik yang gagal’’. Dari tiga artikel yang say baca, setidaknya ada tiga hal yang harus di perbaiki. Yakni:
                Pertama, orientasi pendidikan. Pernahkah anda mendengar pepatah “ buku adalah jendela dunia, membaca adalah kuncinya”? Pepatah ini banyak di temple di perpustakaan sekolah dengan harapan setiap siswa yang masuk akan termotivasi untuk membaca. Coba cermati lagi “buku adalah jendela dunia, membaca adalah kuncinya”.

IRONI                
Sudahkah anda dapati kesalahan pada orientasi pendidikan kita…? Yap. Ini dia , membaca adalah kuncinya. Dengan jargon ini, siswa kita hanya dimotivasi untuk membaca. Siswa kita hanya di didik menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tidak menjadi produsen. Membaca dan menulis harusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan. Dengan membaca, siswa meraup banyak informasi. Dengan  menulis, ia menuangkan pengalaman mencari informasinya dengan cita rasa dan kemasannya sendiri. Sekaligus ia mengikat informasi itu dalam catatan.
                Kedua, Kurikulum. Sewaktu saya masih siswa SMK, ada yang namanya KBK. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dimana para siswa dituntut cakap dan aktif dalam pembelajaran dan berpengetahuan yang kompetitif. Aktif disini seringkali di contohkan dengan siswa yang berani bertanya dan berpendapat secara lisan. Jadi bisa dikatakan kurikulum tersebut menitik beratkan pada kemampuan speaking siswa, bukan writing. Jadi siswa yang Dianggap pintar adalah siswa yang banyak bicara. Bagaimana dengan kemampuan menulisnya? Lah wong disuruhnya banyak ngomong, bukan banyak nulis. Bisa anda tebak sendiri hasilnya.
                Ketiga,buku bahan pelajarannya. Sewaktu SD dulu, ada yang namanya buku LKS. Buku lengkap super simple. Buku ini memuat seluruh mata pelajaran dalam komposisi yang padat dan sempit. Isinya hanya teori dan latihan, pilihan ganda pula. Dengan tampilan yang seadanya dari kertas buram daur ulang. Apa buku seperti ini cukup memenuhi standar pendidikan? Entah mungkin pemerintah enggan merogoh kocek lebih dalam untuk mendidik rakyatnya, atau aliran dana pendidikannya tersendat bahkan tertelan. Kita tak akan membahas lebih jauh tentang itu. Buku bahan ajaran adalah sumber belajar siswa disekolah, kalaulah isinya yang padat dan sempit itu menjadi santapan sehari-hari para siswa, apa jadinya? Beruntung bila siswa merasa kurang puas dan mencari tambahan ilmunya sendiri. Dan celakalah bagi yang merasa pendidikan di sekoahnya sudah cukup dan yang terbaik.

                Sebagai tambahan, orang luar negri merasa aneh dan mungkin lucu dengan ujian nasional di negri kita, lulus dan tidaknya ditentukan hanya dengan menghitamkan lingkaran pada lembar jawaban computer. Siswa yang pintar selama belajar bisa tidak lulus gara-gara lingkaran hitam kecil.sungguh ironis. Dengan system ujian seperti ini hanya akan menghasilkan siswa yang pandai menghafal dan membuat lingkaran. Mau menghasilkan siswa yang mampu membaca dan menulis dengan system ini? Jangan ngarep.

0 comments:

Post a Comment