Menulis bukanlah sesuatu yang asing di telinga kita. Walaupun demikian, menulis juga bukan hal yang mudah. Menjawab pertanyaan essay, mengisi TTS, dan lain sebagainya. Itu semua termasuk pada kegiatan menulis. Namun berbeda dengan menulis pada umumnya. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika menulis, seperti menulis jurnal, makalah, paper, skripsi, thesis, disertasi, buku ilmiah, dan karya ilmiah lainnya. Oleh sebab itu, untuk membuatnya dibutuhkan proses dan waktu yang cukup lama. Wacana yang berjudul "(Bukan) Bangsa Penulis", memperlihatkan kemirisan produktifitas menulis karya ilmiah di Negri kita kurang baik. Ada beberapa poin yang saya kritisi sebagai pembaca.
Judul dari wacana ini memang cukup menggambarkan kurangnya produktifitas menulis karya ilmiah di Negri ini. Namun semua itu bukan tanpa alasan. Banyak hal yang melatarbelakanginya, seperti mayoritas mahasiswa PT dan bahkan dosennya tidak bisa menulis. Sehingga wajar saja bila Dirjen PT mengirimkan surat kepada para petinggi di PT tersebut (Source: A. Chaedar Alwasilah, Pikiran Rakyat, 28 Februari, 2012). Mengejutkan bukan? Mayoritas mahasiswa dan dosen tidak bisa menulis. Logikanya, bagaimana mungkin mahasiswanya bisa menulis jika dosennya saja belum bisa. Menurut Hyland (2003 dan 2004), "even for those who speak English as a first language, the ability to write effectively is something that requires extensive and speacialised instruction". Jadi, dapat dikatakan bahwa menulis secara efektif itu membutuhkan pengetahuan yang luas dan pengajar yang berpengalaman. Apalagi menulis karya ilmiah membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyekesaikannya. Seperti istri dari Bapak Chaerul Tanjung, yang membuat buku tentang kota Solo. Beliau membutuhkan waktu kurang lebih 3 tahun. Sangat lama bukan?
Alasan lainnya adalah kurangnya minat membaca pada mahasiswa. Reading-writing mempunyai keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Tingkatan atau seringnya membaca akan menentukan kekuatan atau kemampuan untuk menulis (Source: A. Chaedar Alwasilah, The Jakarta Post, January 14, 2012). Kenapa? Dengan banyaknya membaca, maka banyak pula pengetahuan atau pengalaman yang di dapat. Sehingga kita dapat menuangkannya melalui tulisan. Oleh karenanya, membangun minat membaca haruslah sedari dini. Kebiasaan orang tua yang membacakan dongen kepada anaknya ketika ia masih kecil, dapat membantu menumbuhkan rasa tertarik dan minat abca si anak. Alhasil. Membaca akan menjadi kegiatan yang ber-continue.
Mengkritisi penelitian Krashen (1984) di Perguruan Tinggi AS, yang menunjukan prtoduktifitas para penulis dewasa, yaitu mereka yang ketika duduk di SMA-nya banyak membaca kaerya sastra, koran, dan mempunyai perpustakaan di rumahnya. Sehingga, perlunya pembenahan pembelajaran baca-tulis yang benar di tingkat SMA. (Source: A. Chaedar Alwasilah, Pikiran Rakyat, 28 Februari, 2012). Jika di SMA dilakukan pembenahan pembelajaran baca-tulis, lalu dimanakah seharusnya mulai diperkenalkannya baca-tulis tersebut? Kalaupun dilakukan pembenahan di SMA, apakah itu cocok untuk siswa/siswi di Indonesia, demi memenuhi produktifitas karya ilmiah? Bukankah itu terkesan dipaksa? Apalagi mereka kurang tertarik dengan dunia baca-tulis. Mereka cenderung lebih tertarik untuk membaca-menulis kalimat-kalimat pendek pada social media. (Source: My own research and experience). Selain itu, walaupun di perkenalkan di SMA tapi tidak ada keinginan dari hari mereka. Sehingga akan sulit membangun budaya cinta baca-tulis.
Tidak akan habis membahas tentang baca-tulis, karya ilmiah, dan jurnal. Jika demikia, timbulah pertanyaan besar yang mencuat ke permukaan kawah candradimuka. Apakah fungsi dari karya ilmiah itu sendiri? Sehingga di butuhkan baca tulis yang baik sampai muncul statement asal terbit jurnal-jurnalan karena paksaan pembuatan jurnal untuk wisuda, dan penelitian tentang perbandingan jumlah karya ilmiah Indonesia dengan Malaysia. Dari penelitian tersebut, sepertujuh dari totalnya masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia. Padahal jumlah penduduknya lebih besar Indonesia. Sehingga, setidaknya kita harus mampu menerbitkan 80.000 judul per tahunnya. Apa bisa? (Source: A. Chaedar Alwasilah, Pikiran Rakyat, 28 Februari, 2012). Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus tau terlebih dahulu fungsi dari karya ilmiah itu sendiri.
Jurnal karya ilmiah menurut artikel Bapak A. Chaedar Alwasilah yang di lansir dari Pikiran Rakyat, 28 Februari, 2012. Bahwa jurnal adalah sebagai ajang silahturahmi intelektual dan profesional bagi para peneliti agar ilmunya terus berkembang. Dia juga sebagai bukti kepakaran dan spesialisasi keilmuan penulisnya. Selain itu, bentuknya sangat teknis, abstrak, dan hanya dimengerti oleh sesama pakar.
Di tambah lagi membuat jurnal itu tidaklah mudah. Dia disebut juga ilmu literasi tinggi. Kenapa? Bagaimana tidak, para sarjana harus memperbanyak informasi dan melakukan penelitian. Setelah itu, mengajukan sudut pandang baru dalam bentuk kesimpulan dan rumus. Sehingga dapat memperkaya pengetahuan. (Source: A. Chaedar Alwasilah, Pikiran Rakyat, 28 Februari, 2012). Lalu masih pantaskan pertanyaan apa bisa itu di jawab? Orientasi produktif karya ilmiah kita mau dibawa ke arah mana? Terdapat dua pilihan besar, produktif dalam jumlah besar sampai mampu menyamai Malaysia namun tidak jelas siapa target pembacanya sehingga timbul istilah jurnal-jurnalan, atau kurang produktif namun menghasilkan jurnal yang tepat sasaran dan mampu memperluas khasanah pengetahuan??? Jawabannya hanyalah diri kita yang tau.
2nd Appetizer: Relationship among Writers and Readers (Powerful Writers vs Helpless Readers)
Judul Powerful Writers vs Helpless Readers ini tidak pantas. Seolah-olah menyudutkan para pembaca. Helpless readers adalah mereka yang tidak mempunyai keinginan untuk membaca. Sehingga apapun yang ia baca tidak mampu ia mengerti. Dengan demikian, judul tersebut tidak cocok untuk wacana tersebut.
Sebagian besar wacana ini menggambarkan tentang kemampuan para penulis dalam membuat karya tulisnya. Namun hal tersebut tidak dapat diimbangi dengan pemahaman para pembacanya. Realita tersebut bukan berarti para pembaca berada pada posisi helpless readers. Selalu ada alasan di balik fenomena tersebut.
Terdapat 3 alasan yang dikemukakan dalam wacana Pak Chaedar, yaitu tentang "if you do not understund what you are read, what is the reason?" pertanyaan tersebut diarahkan pada 40 mahasiswa Matematik dan 60 mahasiswa Bahasa di Bandung. Hasil dari survey tersebut, yaitu "I do not have similar background knowledge, the writers expertise is very high, its beyond my capacity as a new learner, I have not reached that level, His rhetoric is too high for me, I could not concentrate when reading" (Source: A. Chaedar Alwasilah, The Jakarta Post, January 14, 2012). Hasil survey tersebut menyatakan, bahwa mereka setidaknya sudah berusha membaca dan mengerti buku-buku tersebut. Itu terbukti dari statement mereka tentang buku-buku tersebut. Walaupun pada akhirnya, yang mereka temukan adalah keunggulan dari style si penulis dan kelemahan yang, dimiliki oleh mereka sebagai pembaca. Bukan tidak mungkin mereka mengerti tentang buku si penulis, walaupun hanya secara garis besarnya saja. Di samping itu, readers juga dapat mengetahui kelemahan mereka dalam membaca. Sehingga merek tau buku mana yang cocok untuk mereka baca.
Hal lain yang perlu di kritisi dari wacana ini adalah orientasi pendidikan Bahasa kita yang lebih ke arah reading-oriented daripada writing-oriented. Orientasi tersebut sangat membantu helpless readers dengan menggunakan teks. (Source: A. Chaedar Alwasilah, The Jakarta Post, January 14, 2012). Sekali lagi, kata helpless readers disna tidak pantas. kenapa? Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, bahwa seorang pembaca yang baik akan mengetahui dan mengerti buku mana yang cocok untuk dia baca. Bukan saja di lihat dari isinya, namun juga penulisnya. Jika ia sudah dapat memperkirakan style penulis dari tulisannya, maka ia juga tau akan seperti apa content buku tersebut. (My own research and experience).
Di sisi lain, kita juga tidak bisa menyalahkan penulis dengan menganggapnya kurang kompeten dalam menulis. . (Source: A. Chaedar Alwasilah, The Jakarta Post, January 14, 2012). Biasanya dalam buku-buku juga teradapat sasaran dan khusus yang di produksi oleh luar maupun dalam negri.
Hubungan pembaca dan penulis itu sangat erat. Penulis tidak akan pernah menjadi penulis, jika ia malas membaca buku. Begitu pula pembaca yang sangat penting peranannya bagi penulis, karena merekalah yang membuat buku-buku tersebut menjadi bermanfaat.
Ada salah satu statement pada wacana ini yang menarik bagi saya. Statement tersebut berbunyi, "reading-oriented student will hardly become writing-oriented intellectuals, regardless of their expertise. When they have to write, they tend to take those maxims easy. They lack of sensitivity of the psychology of their intended readers." Statement tersebut tidak cukup beralasan. Kenapa? Ketika seseorang yang memiliki reading-oriented yang semakin baik, lalu berkembang ke arah writing-oriented. Artinya, ia telah memiliki cukup banyak ilmu dan pengalaman yang bisa ia tuangkan ke dalam tulisan. Tulisam tersebut bukan hanya berpotensi menggunakan pribahasa saja, karena cara tersebut kurang mewakili apa yang telah ia dapatkan selama membaca. Dia bisa menulis apa saja, tentang apa yang dia rasa, tau, dan dia alami. Jika tidak menulis dengan itu semua, lalu bagaimana pembaca dapat terkesan? Menulis dari hati akan membuat pembaca tertarik
Monday, February 10, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment