The 1st
Appetizer Essay
Indonesia, bisa! ^__^
Negara Indonesia merupakan Negara
yang berkembang. Negara yang memiliki popularitas penduduk terbanyak,
pemandangan yang indah dan eksotis dan lain sebagainya. Akan tetapi, dibalik
keindahannya itulah muncul tabir-tabir pertanyaan karena memiliki segudang
permasalahan. Dimana salah satu dari permasalahan itu adalah rendahnya
kemampuan baca-tulis, baik di kalangan Intelektual ataupun yang lainnya.
Kalangan Intelektual adalah kaum
terpelajar dengan memiliki pendidikan yang beragam. Memang seharusnya keragaman
pendidikan setidaknya dapat menumbuhkan literasi yang dapat disampaikan kepada
public. Dimana literasi tersebut akan menjadi cermin untuk masyarakat
sekitarnya.
Rendahnya kreativitas kemampuan
baca-tulis kalangan Intelektual yang menghasilkan sarjana lulusan PT tidak bisa
menulis. Bahkan, menurut dirjen, jumlah karya ilmiah dari PT Indonesia masih
sangat rendah jika dibandingkan dengan Malaysia. Menurut beliau, apabila kita
ingin mengimbangi Malaysia, maka Indonesia harus mampu menerbitkan 80 ribu
judul buku per tahun.
Menurut Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi, kemampuan menulis artikel jurnal lah yang paling disarankan karena
termasuk literasi tingkat tinggi, yang membuat seorang penulis memproduksi ilmu
pengetahuan.
Artikel jurnal merupakan suatu bukti
kepakaran dan spesialisasi keilmuwan penulisnya. Pada tahun 1984, penelitian
Krashen di Perguruan Tinggi AS menunjukkan bahwa para penulis prosuktif dewasa
adalah mereka yang sering membaca banyak karya pada masa SMA nya. Secara
realita, dosenlah yang diwajibkan untuk menulis artikel jurnal atau buku teks
dalam setiap tahunnya.
Sebenarnya, dalam ihwal
permasalahan, bapak chaedar memberikan kesimpulan bahwa menulis merupakan mata
pelajaran yang paling diabaikan. Baik di sekolah maupun di PT; menulis juga
merupakan keterampilan berbahasa yang paling sulit dikuasai para siswa dan yang
paling sulit diajarkan oleh para guru; siswa SMU dan mahasiswa selama ini
diajari menulis oleh guru atau dosen yang tidak berpengalaman; pelajaran menulis lebih merupakan pelajaran tata bahasa
dan teori menulis dengan sedikit latihan menulis; pada umumnya karangan siswa
dan mahasiswa tidak dikembalikan pada mereka; dan satu-satunya cara mengajar
menulis adalah lewat latihan menulis.
Hal yang tersebut diatas yang paling
ahir, setidaknya dapat meminimalkan penumpukan kreativitas menulis generasi
penerus bangsa. Hal ini disebabkan karena permasalahan literasi juga dikaitkan
dengan kaum intelektual yang dihadapkan pada realitayang menjelajahi dunia
intelektual, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi(IPTEK) yang kurang memadai.
Menurut saya pribadi, dalam
menanggapi permasalahan tersebut, harus dicermati dengan seksama dengan mencari
dimana letak awal permasalahannya. Budaya menulis memang sangatlah efektif bagi
sebagian orang. Akan tetapi, bila dihadapkan dengan minat menulis itu sendiri
masih sangat rendah seperti perbandingan buku yang keluar dari Indonesia dan
Malaysia tadi. Secara tidak langsung bahwa hal tersebut menunjukkan rendahnya
atau lemahnya produktivitas menulis.
Oleh karenanya, menumbuhkan minat
budaya menulis sejak dini adalah solusi terbaik. Tentunya dengan tumbuhnua
minat yang tinggi, kami sebagai bagsa Indonesia akan terus bertukar informasi
dengan buku dan orang-orang yang hebat. Setelah itu, barulah ide-ide yang
cemerlang dan gemilang datang menghantui dan membayangi. Dan hingga akhirnya,
kami semua dapat meresponnya dan juga mampu mengaplikasikannya.
Setelah menumbuhkan minat dan
pengetahuan iptek saja itu tidaklah cukup. Menurut opa Chaedar Al-wasilah
bahwasannya memiliki iptek yang luas memang dibutuhkan dalam ilmu sains(pasti),
akan tetapi iman dan taqwa (imtaq) juga sangat penting ada dalam jiwa kita kita
untuk membuat manusia lebih manusiawi, arif, beradab serta berbudaya. Oleh
karenanya, kaum Intelektual khususnya harus memiliki dua hal tersebut. Di satu
sisi, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) diperlukan agar mampu
mempertahankan hidup dan literasi. Namun di sisi lain, imtaq juga dapat
meleburkan gejolak yang ada di dada.
Dengan memiliki dua hal tersebut,
para intelektual dapat mengaplikasikan pengetahuan dalam konteks aktualisasi
literasi budaya. Apabila setiap tahunnya ada sarjana yang baru lulus, andai
saja beberapa persen saja mereka mampuberkarya tulis, maka cerahlah Negara
Indonesia. Ada sepenggal kata dari Profesor Dr. Yus. Rusyana bahwasannya “
karya tulis adalah bendera yang dikibarkan penulisnya. Kemanapun ia pergi, maka
masyarakat akan mengenal lewat benderanya itu.”
Berlanjut ke topic selanjutnya tentang powerful writers versus
the helpless readers. Memang biasanya kemampuan seorang penulis lebih tinggi
dari pembacanya. Terkadang saya sendiri sering mengatakan bahwa buku yang say
abaca itu terlalu tinggi kapasitasnya dari kemampuan saya. Dan ketika saya
berfikir lagi, apa mungkin ini karena latar belakang saya. Beliau pertanyaan
yang muncul dalam benak saya.
Suatu ketika, saya menemukan sebuah
kata menurut kutipan orang lain, bahwasannya tidak ada suatu wacana yang tidak
dapat dipahami oleh pembaca. Kalau memang ia tidak bisa memahami, maka
kemungkinan besar kemampuan si pembaca belum mencukupi. Memang benar apa yang
dituturkan oleh bapak Chaedar dalam tiga point yang ada di dalam wacana 6.3.
Alasannya adalah kurangnya perkembangan
writing skill dari pada reading skills, kurangnya kesadaran untuk mengembangkan
krtitikan. Sebelum membahas lebih jauh tentang alas an, marilah kita terjun
untuk melihat apa isi dari tiga point yang dituturkan oleh beliau.
Pertama, kedekatan koneksi
reading-writing dipercaya bahwa kekuatan menbaca mu menentukan kemampuan
menulisnya. Kedua, bahasa pendidikan kita telah memproduksi orientasi reasing
dari pada orientasi menulis siswanya. Ketiga, orientasi reading siswa akan
lebih sulit menjadi orientasi intelektual writing. Hal tersebut terjadi karena
banyak alasan, seperti yang sudah saya paparkan sebelumnya.
Rasanya sangat sulit untuk
meningkatkan minat membaca dan menulis, rasa malas itulah yang akan menjadi
akar dan bibit dari masa depan yang suram. Oleh karenanya, minat membaca dan
menulis harus segera ditumbuhkan demi kebaikan kita sendiri. Jikalau bukanlah
kita yang memulai, siapa lagi. Dalam hal ini, globalisasi semakin maju,
teknologi semakin canggih, seharusnya kita bersyukur dengan kemajuan ini, kita
bisa mambaca buku tanpa harus mengeluarkan biaya. Cukup mendownload filenya,
kita bisa membaca dimana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apa saja. Akan
tetapi, kita tergiur dengan keindahannya dan kecanduan oleh hal tersebut.
Maka dari itu, seperti yang sudah
saya paparkan sebelumnya, iptek dan imtaq memang hal yang sangat penting demi
meningkatkan kemampuan membaca-menulis kita. Dimana iptek sebagai penolong kita
dan imtaq sebagai pegangan, yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan.
Jadi, dari paparan tersebut dapat
disimpulkan bahwa membaca dan menulis merupakan hal yang paling utama. Dimana
dengan membaca, wawasan kita menjadi luas dan dengan menulislah manusia dapat
memproduksi sebuah tulisan. Rasulullah SAW saja ketika menyendiri di gua Hira
dan mendapatkan wahyu pertamanya, beliau diperintahkan untuk membaca. Berarti
betapa pentingnya membaca juga menulis untuk diri kita, masa depan dan bangsa kita.
اِنَّ فىٍ يَدِ السُّبّاَنَ اَمْرَالاَمَّةٍ وَفىِ اِقْدَامهاَ حَيَا تَهاَ
“seungguhnya di tangan pemudalah urusan umat
dan di dalam perjuangannyalah hidup majunya umat.”
Created by:
Khanifa Imelda Fauziyanti
14121310310
0 comments:
Post a Comment