Monday, February 10, 2014

The 1st Appetizer Essay
Indonesia, bisa!  ^__^
Negara Indonesia merupakan Negara yang berkembang. Negara yang memiliki popularitas penduduk terbanyak, pemandangan yang indah dan eksotis dan lain sebagainya. Akan tetapi, dibalik keindahannya itulah muncul tabir-tabir pertanyaan karena memiliki segudang permasalahan. Dimana salah satu dari permasalahan itu adalah rendahnya kemampuan baca-tulis, baik di kalangan Intelektual ataupun yang lainnya.
Kalangan Intelektual adalah kaum terpelajar dengan memiliki pendidikan yang beragam. Memang seharusnya keragaman pendidikan setidaknya dapat menumbuhkan literasi yang dapat disampaikan kepada public. Dimana literasi tersebut akan menjadi cermin untuk masyarakat sekitarnya.
Rendahnya kreativitas kemampuan baca-tulis kalangan Intelektual yang menghasilkan sarjana lulusan PT tidak bisa menulis. Bahkan, menurut dirjen, jumlah karya ilmiah dari PT Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan Malaysia. Menurut beliau, apabila kita ingin mengimbangi Malaysia, maka Indonesia harus mampu menerbitkan 80 ribu judul buku per tahun.
Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, kemampuan menulis artikel jurnal lah yang paling disarankan karena termasuk literasi tingkat tinggi, yang membuat seorang penulis memproduksi ilmu pengetahuan.
Artikel jurnal merupakan suatu bukti kepakaran dan spesialisasi keilmuwan penulisnya. Pada tahun 1984, penelitian Krashen di Perguruan Tinggi AS menunjukkan bahwa para penulis prosuktif dewasa adalah mereka yang sering membaca banyak karya pada masa SMA nya. Secara realita, dosenlah yang diwajibkan untuk menulis artikel jurnal atau buku teks dalam setiap tahunnya.
Sebenarnya, dalam ihwal permasalahan, bapak chaedar memberikan kesimpulan bahwa menulis merupakan mata pelajaran yang paling diabaikan. Baik di sekolah maupun di PT; menulis juga merupakan keterampilan berbahasa yang paling sulit dikuasai para siswa dan yang paling sulit diajarkan oleh para guru; siswa SMU dan mahasiswa selama ini diajari menulis oleh guru atau dosen yang tidak berpengalaman; pelajaran  menulis lebih merupakan pelajaran tata bahasa dan teori menulis dengan sedikit latihan menulis; pada umumnya karangan siswa dan mahasiswa tidak dikembalikan pada mereka; dan satu-satunya cara mengajar menulis adalah lewat latihan menulis.
Hal yang tersebut diatas yang paling ahir, setidaknya dapat meminimalkan penumpukan kreativitas menulis generasi penerus bangsa. Hal ini disebabkan karena permasalahan literasi juga dikaitkan dengan kaum intelektual yang dihadapkan pada realitayang menjelajahi dunia intelektual, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi(IPTEK) yang kurang memadai.
Menurut saya pribadi, dalam menanggapi permasalahan tersebut, harus dicermati dengan seksama dengan mencari dimana letak awal permasalahannya. Budaya menulis memang sangatlah efektif bagi sebagian orang. Akan tetapi, bila dihadapkan dengan minat menulis itu sendiri masih sangat rendah seperti perbandingan buku yang keluar dari Indonesia dan Malaysia tadi. Secara tidak langsung bahwa hal tersebut menunjukkan rendahnya atau lemahnya produktivitas menulis.
Oleh karenanya, menumbuhkan minat budaya menulis sejak dini adalah solusi terbaik. Tentunya dengan tumbuhnua minat yang tinggi, kami sebagai bagsa Indonesia akan terus bertukar informasi dengan buku dan orang-orang yang hebat. Setelah itu, barulah ide-ide yang cemerlang dan gemilang datang menghantui dan membayangi. Dan hingga akhirnya, kami semua dapat meresponnya dan juga mampu mengaplikasikannya.
Setelah menumbuhkan minat dan pengetahuan iptek saja itu tidaklah cukup. Menurut opa Chaedar Al-wasilah bahwasannya memiliki iptek yang luas memang dibutuhkan dalam ilmu sains(pasti), akan tetapi iman dan taqwa (imtaq) juga sangat penting ada dalam jiwa kita kita untuk membuat manusia lebih manusiawi, arif, beradab serta berbudaya. Oleh karenanya, kaum Intelektual khususnya harus memiliki dua hal tersebut. Di satu sisi, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) diperlukan agar mampu mempertahankan hidup dan literasi. Namun di sisi lain, imtaq juga dapat meleburkan gejolak yang ada di dada.
Dengan memiliki dua hal tersebut, para intelektual dapat mengaplikasikan pengetahuan dalam konteks aktualisasi literasi budaya. Apabila setiap tahunnya ada sarjana yang baru lulus, andai saja beberapa persen saja mereka mampuberkarya tulis, maka cerahlah Negara Indonesia. Ada sepenggal kata dari Profesor Dr. Yus. Rusyana bahwasannya “ karya tulis adalah bendera yang dikibarkan penulisnya. Kemanapun ia pergi, maka masyarakat akan mengenal lewat benderanya itu.”
Berlanjut ke topic  selanjutnya tentang powerful writers versus the helpless readers. Memang biasanya kemampuan seorang penulis lebih tinggi dari pembacanya. Terkadang saya sendiri sering mengatakan bahwa buku yang say abaca itu terlalu tinggi kapasitasnya dari kemampuan saya. Dan ketika saya berfikir lagi, apa mungkin ini karena latar belakang saya. Beliau pertanyaan yang muncul dalam benak saya.
Suatu ketika, saya menemukan sebuah kata menurut kutipan orang lain, bahwasannya tidak ada suatu wacana yang tidak dapat dipahami oleh pembaca. Kalau memang ia tidak bisa memahami, maka kemungkinan besar kemampuan si pembaca belum mencukupi. Memang benar apa yang dituturkan oleh bapak Chaedar dalam tiga point yang ada di dalam wacana 6.3. Alasannya  adalah kurangnya perkembangan writing skill dari pada reading skills, kurangnya kesadaran untuk mengembangkan krtitikan. Sebelum membahas lebih jauh tentang alas an, marilah kita terjun untuk melihat apa isi dari tiga point yang dituturkan oleh beliau.
Pertama, kedekatan koneksi reading-writing dipercaya bahwa kekuatan menbaca mu menentukan kemampuan menulisnya. Kedua, bahasa pendidikan kita telah memproduksi orientasi reasing dari pada orientasi menulis siswanya. Ketiga, orientasi reading siswa akan lebih sulit menjadi orientasi intelektual writing. Hal tersebut terjadi karena banyak alasan, seperti yang sudah saya paparkan sebelumnya.
Rasanya sangat sulit untuk meningkatkan minat membaca dan menulis, rasa malas itulah yang akan menjadi akar dan bibit dari masa depan yang suram. Oleh karenanya, minat membaca dan menulis harus segera ditumbuhkan demi kebaikan kita sendiri. Jikalau bukanlah kita yang memulai, siapa lagi. Dalam hal ini, globalisasi semakin maju, teknologi semakin canggih, seharusnya kita bersyukur dengan kemajuan ini, kita bisa mambaca buku tanpa harus mengeluarkan biaya. Cukup mendownload filenya, kita bisa membaca dimana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apa saja. Akan tetapi, kita tergiur dengan keindahannya dan kecanduan oleh hal tersebut.
Maka dari itu, seperti yang sudah saya paparkan sebelumnya, iptek dan imtaq memang hal yang sangat penting demi meningkatkan kemampuan membaca-menulis kita. Dimana iptek sebagai penolong kita dan imtaq sebagai pegangan, yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan.
Jadi, dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa membaca dan menulis merupakan hal yang paling utama. Dimana dengan membaca, wawasan kita menjadi luas dan dengan menulislah manusia dapat memproduksi sebuah tulisan. Rasulullah SAW saja ketika menyendiri di gua Hira dan mendapatkan wahyu pertamanya, beliau diperintahkan untuk membaca. Berarti betapa pentingnya membaca juga menulis untuk diri kita, masa depan dan bangsa kita.
اِنَّ فىٍ يَدِ السُّبّاَنَ اَمْرَالاَمَّةٍ وَفىِ اِقْدَامهاَ حَيَا تَهاَ
“seungguhnya di tangan pemudalah urusan umat dan di dalam perjuangannyalah hidup majunya umat.”

Created by:
Khanifa Imelda Fauziyanti

14121310310

0 comments:

Post a Comment