2nd Class Review
Titik Temu Roh Pendidikan Literasi
Menulis itu meditasi, itulah apa yang diungkapakan dosen
writing4 di pertemuan kedua. Mungkin bisa dikatakan seperti itu, karena memang
tidak bisa dipungkiri adanya jika ketika kata menulis, kita sangat tidak
mengharapkan kehadiran orang lain siapapun itu, yang sekiranya dapat mengganggu
konsentrasi. Telah diungkapkan oleh Mr. Lala pula yaitu prinsip dasar dari
penulis dan pembaca, yang mana kita tidak sepenuhnya menuangkan atau
merealisasikan prinsip tersebut jika tidak mempunyai konsentrasi dalam menulis.
Adapun prinsip dasar tersebut itu ialah sebagai berikut:
WRITING
|
Ways of Reproducing Something
Information
Knowledge
Experience
|
Dengan konsep perubahan informasi menjadi sebuah
pengalaman, penulis bisa disebut sebagai seseorang yang hebat, dan juga ketika
tulisan tersebut dibaca orang lain maka dari situlah awal kesuksesan seorang
penulis, karena setelah itu ia akan bisa merubah mindset seorang pembaca dan
dapat dikatakan juga sebagai perubah dunia berdasarkan ungkapan “writer is
someone who can change the world”.
Untuk memenuhi syarat sebagai penulis yang sukses, kita
juga harus bisa mengerti tentang bagaimana cara memilih suatu informasi yang
pantas dan layak diangkat menjadi tema sebuah tulisan, serta mengingat kondisi
dan objek yang akan dituju.
Bericara tentang menulis, sebenarnya erat kaitannya
dengan menghitung atau sering diungkapkan dengan akronim calistung (membaca,
menulis, menghitung). Ketiga aspek tersebut merupakan literasi, yang dari mulai
pendidikan sekolah dasar hingga sekarang selalu menjadi topik pembelajaran
dasar dan utama. Dengan literasi maka hidup kita akan aman, setidaknya kita
tidak disebut bodoh apabila sudah pandai bercalistung. Karena kehidupan kita di
dunia tidak akan lepas dari ketiga hal tersebut.
Kembali kepada tiga prinsip dasar penulis, prinsip yang
kedua yaitu “ways of representing” maksudnya menulis itu sebagai ajang untuk
menunjukkan inilah kita, dengan literasi yang ada, ketika kita menulis, maka
saat itu kita adalah penulis, seperti halnya seorang chef ia akan disebut chef
hanya ketika ia memasak.
Prinsip dasar yang ketiga adalah “ways of reproducing
something”. Dengan menulis, itu berarti kita sedang memproduksi suatu ilmu,
seperti yang telah disebutkan di awal, bahwa sebuah informasi yang kita tulis
adalah pengetahuan dan kemudian dituangkan ke dalam tulisan dan selanjutnya
menjadi sebuah pengalaman.
Pendidikan bahasa harus mempunyai roh pendidikan
literasi, apakah itu Pendidikan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jerman
ataupun bahasa-bahasa yang lainnya, yang mana roh-roh pendidikan literasi itu
ada pada membaca dan menulis. Roh literasi itu akan menjelama ke dalam sebuah
perasaan atau suasana hati, tulisan yang baik akan dihasilkan ketika hati
memihak. Sejenak semua pikiran terkumpul di dalam hati, tenaga terkerahkan dengan kekuatan yang berpusat di
tangan, gerak tangan terarah oleh kata hati yang kemudian disebut sebagai Roh
Pendidikan Literasi.
‘who are you in my class?’ pertanyaan tersebut telah
mengukir tanya dalam benak, tentang jawaban dan kesadaran akan siapakah diri
kita saat ini, jawaban yang dihadirkan sendiri oleh dosen writing4 seolah
menjadi asa yang harus diwujudkan oleh para mahasiswanya, juga sebagai kuda
pacu akan langkah writing4 ini.
Ungkapan Hyland yang mengatakan bahwa menulis adalah
praktek berdasarkan ekspektasi, dia (penulis) membuat sebuah tujuan yang
menyangkut di dalamnya seolah bentuk antisipasi dari ekspektasi yang dihadirkan
pembaca dari teks yang pernah ia baca sebelumnya. Relasi tersebut tidak akan
terlepas dari pembaca dan penulis yang selanjutnya mereka akan bergerak sebagai
‘couple’ yang sejalan, diibaratkan oleh Hoey (2001) dengan penari, penari akan
menari dengan mengikuti irama dan bergerak seragam, menyesuaikan satu sama
lain, menyelaraskan gerak tari dan keserasian itulah yang akan memukau para
penonton. Seperti layaknya penari tersebut, buku Best Seller akan menjadi
contoh. Buku bisa menjadi Best Seller dikarenakan adanya hubungan yang selaras
antara penulis dan pembaca, penulis bisa menuangkan arti yang juga dipahami dan
sesuai ekspektasi pembaca, maka pembaca akan merasa puas dengan teks (tulisan)
yang ada. Dengan relasi yang baik seperti itulah yang menjadikan mutu
(kualitas) sebuah buku itu tinggi dan banyak diminati oleh pembaca.
Apabila digambarkan maka akan tertulis persamaan antara
penari yang bagus dan buku yang berkualitas
Best
Seller
a.
Penulis
(writer)
b.
Arti
(meaning)
c.
Tulisan
(texts)
d.
Keadaan/harapan
(contexts)
e.
Pembaca
(reader)
Good Dancer
a.
Penari
b.
Seragam
c.
Irama
d.
Keserasian
e.
Penonton
Theory:
Penulis menuangkan arti ke dalam sebuah tulisan,
sesuai dengan ekspektasi pembaca yang mana temanya sesuai dengan apa
yang diharapkan pembaca, maka pembaca akan merasa puas. Penari
akan menari mengikuti irama, bergerak seragam, menyesuaikan keselarasan
tarian dengan pasangannnya yang akan menghipnotis semua mata yang menyaksikannya.
Relasi antara lima unsur yang merupakan rukun dari sebuah
teks akan dipaparkan sebagai berikut, kelima rukun tersebut adalah teks,
konteks, penulis, pembaca dan makna. Pernyataan Lehtonen dapat saya simpulkan
bahwa konteks itu akan selalu mengikuti teks, karena konteks adalah bagian dari
teks itu sendiri. Namun sebelum penulis itu menulis maka konteks itu belum ada,
konteks hadir seiring hadirnya teks yang ditulis oleh si penulis, baru ketika
penulis menuangkan tulisannya konteks itu hadir. Keadaan konteks yang hadir
sebagai bagian dari teks akan bisa dirasakan oleh pembaca ketika ia membaca
teks. Sementara mengenai makna, makna akan lahir dari sebuah teks, karena teks
adalah bahan baku dari makna, dan dari makna tersebut maka akan terproduksi
atau teraktivasi sebuah daya pemikiran kontekstual pembaca.
Berpindah kepada artikel seorang Hawe Setiawan. Dalam
artikelnya beliau seolah menolak pernyataan Prof. Chaedar tentang keliterasian
Bangsa Indonesia yang kurang, dalam pandangan Hawe Setiawan, bahwasanya
literasi tidak hanya dapat diukur dari seberapa banyak buku yang ditulis
masyarakat Indonesia setiap tahunnya, atau seberapa jauh mereka berliterasi
dalam tulisannya, namun menurut Hawe, keliterasian itu dapat diwujudkan dengan
berbicara, menyimak, dan menonton. Juga termasuk ke dalamnya yaitu mengisi dan
mengomentari status dalam jejaring sosial, menyimak buku audio dan lain
sebagainya. Hawe Setiawan lebih melirik kepada perkembangan zaman yang semakin
canggih, ia mengambil kesimpulan bahwa kegiatan seseorang di jejaring sosial
itu adalah salah satu bentuk dari wujud literasi, dengan pernyataan tersebut
saya pribadi khususnya sangat merasa bangga karena kegiatan saya di jejaring
sosial internet yang sering saya lakukan selama ini tidaklah percuma. Itu juga
termasuk salah satu budaya literasi.
Namun dengan kecanggihan itu, lantas kita tidak boleh melupakan
buku, tetapi kita harus lebih mempunyai wawasan yang luas, menjadi pembaca yang
kritis, dan menjadi seseorang yang literat. Sebagaimana dikatakan Hawe Setiawan
bahwa ia mengingat sebuah tulisan pengantar dari Edward Said atas republikasi
karya utamanya yang menuliskan perihal seseorang yang kritis. Dengan ini,
menunjukkan bahwa tetap saja kita tidak harus meninggalkan buku-buku yang telah
ada, kita harus lebih banyak mengetahui dari hanya sekedar tahu. Peribahasa
dalam Bahasa Sunda mengatakan kudu asak-asak ngejo bisi tutung tambaga na,
sing asak-asak nenjo bisi kaduhung jaga na.
0 comments:
Post a Comment