Monday, February 17, 2014



The 2nd Class Review
10 February 2014
Writing Is More and More Complex
Semakin meningkatnya globalisasi, semakin membuat perubahan ke seluruh dunia. Tentunya, perubahan tersebut ada yang berefek negative dan positive dalam diri kita. Meskipun demikian, semoga kita selalu diberikan hal-hal yang baik oleh Sang Pencipta. Dalam hal ini, terkait dengan writing yang semakin bertambahnya usia semakin complex dan berisi. Bak sebuah padi, semakin berusia semakin merunduk. Dengan adanya hal tersebut, semoga kita semakin terbawa dengan sifat writing tersebut yang memiliki banyak efek positif terhadap diri dan jiwa kita.
Pada pertemuan tadi pagi, kami hadir dengan wajah yang kusut, mata yang sayu, jari yang kaku, dan baju dinas Represso. Tentunya hal ini disebabkan karena sedikitnya waktu istirahat dan kurangnya tidur. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa kelas kami yang tidak bergairah dalam kondisi badan dapat menghipnotis pak Lala dengan tulisan notebook dan jawaban dari pertanyaan yang telah diajukan. Sungguh menakjubkan karena usaha kami tidak mengecewakan beliau. Dan kami harap untuk kedepannya selalu ada peningkatan di kelas Represso.
Terkait dengan topic hari ini “Knowing who we really are” yang akan dibahas setelah sekilas info dari pak Lala. Secara fakta, informasi yang beliau berikan kepada mahasiswanya itu tidaklah banyak, hanya berbentuk point atau secara garis besarnya. Akan tetapi, bagaimana seorang membuat garis besar itu menuju cerita atau karangan yang semakin meluas dan kompleks. Opa Chaedar pun menuturkan bahwa semakin spesifik tulisan kita itu semakin baik karena semakin bergengsi. Tentunya saya tidak ingin kalah saing untuk “Fastabiqul Khoiroot” dan do the best for myself.
Point pertama yang akan saya bahas yaitu tentang writing for academic will be scientific writing. Tentunya dalam writing yang memiliki tujuan tersebut akan memberikan efek dan beban yang sangat berat. Mengapa? Karena dalam hal ini kami tidak lagi menulis karangan yang bersifat imajinatif atau explanation, tetapi kami harus menulis yang sifatnya lebih sedikit formal. Dalam hal tersebut, tentunya sangatlah tidak mudah untuk merubah mindset kita karena menulis saat ini lebih membutuhkan sources yang akurat. Dengan hal tersebut, tentunya akan membuat tulisan kita semakin evidence.
Kedua, terkait dengan hal tersebut diatas tentunya kami membutuhan pola pikir yang lebih kritis “Critical Thinking.” Dalam hal ini, ketika kita membaca artikel dari Opa Chaedar tentunya “we will not take a text for a granted” karena kita harus menyaring terlebih dahulu kemudian memberikan komentar. Apabila kita hanya mengambil mentah-mentah dari artikel tersebut, ini akan berimplikasi pada mindset kita yang membuat malas untuk berfikir.
Point selanjutnya, terkait dengan guru bahasa yang hanya bisa mengajarkan teori dan cara-cara untuk menulis kepada siswanya.  Akan tetapi, guru itu sendiri belum bisa menulis seperti halnya menulis jurnal dan sebagainya. Sebagai guru bahasa yang baik ataupun professional setidaknya mereka bisa menulis atau bisa membuat buku sendiri.  Yang mana hal ini akan berimplikasi pada pengajarannya kepada siswanya untuk rajin menulis seperti gurunya. Oleh karenanya, “students of language = students of writing.” Dengan prinsip tersebut, yang titik awalnya adalah guru bahasa juga harus bisa menjadi guru menulis baik untuk dirinya sendiri beserta siswa didiknya.
Setelah sedikit mengulas beberapa point di atas, lalu “What should we bother in writing class?” Inilah merupakan pertanyaan yang sederhana tetapi membutuhkan jawaban yang menurut kami agak sedikit rumit. Kemudian salah satu dari teman kami, Nabillah, menjawab yang intisarinya bahwa writing itu mengikat. Setelah itu, beliau juga menambahkan jawabannya menurut Profesor besar, pertama, bahwasannya writing adalah the ways of knowing something  (Information). Dimana hal ini berarti bahwa dengan menulis akan membantu kita untuk mengetahui suatu hal yang lebih banyak. Kedua, the ways of representing something (Knowledge), yang artinya dengan menulis kita bisa menghadirkan sesuatu yang berbeda dalam bentuk tulisan. Ketiga, The ways of reproducing (Experiences), yang artinya bahwa dengan menulis kita dapat memproduksi teori baru.

Information => Knowledge => Experience => Specialized Instruction

Setelah membahas sedikit penjelasan pak Lala, kita kembali ke topic awal “ Knowing Who We Really Are.” Banyak sekali pertanyaan yang menguak dari beliau tentang siapa diri kami. Namun yang pasti, insya Allah dan semoga saja saya bukanlah yang termasuk di dalamnya. Secara tidak langsung, ini merupakan sebuah penyindiran bagi kami untuk merubah tujuan belajar kami, seperti yang sudah saya jelaskan di class review sebelumnya. Dalam hal ini, beliau juga berpendapat bahwa kami adalah penulis yang bisa menulis dalam berbagai bahasa (Multilingual). Mengapa? Karena dalam hal ini, kami mampu menulis dalam dua bahasa dengan efektif, bahasa Inggris dan Indonesia. Orang Amerika saja menulis hanya dengan bahasa ibunya, sedangkan kita keduanya. Oleh karenanya, orang yang menulis adalah orang yang mampu membuat pilihan informasi di hidupnya sehingga dengan menulis itulah mereka dapat merubah dunianya.
Dalam bukunya Mikko Lehtonen, terdapat perbedaan pendapat orang yang terkemuka antara Saussure dan Barthes dalam konsep bahasa dan makna. Dimana bahasa menurut Saussure adalah sebuah system yang didefinisikan oleh makna. Sedangkan Barthes melihat role setiap orang yang memparaktikkan aktivitas linguistic sebagai pusat dalam formasi atau bentukan makna.
Sebagai seorang writer bukanlah seorang writer sebelumnya untuk memainkan tulisannya, tetapi mengambil bentuk sebagai kesatuan ketika menulis. Seperti cerita protagonisnya Danish, yang ditulis oleh Peter Hoeg.
Am I a man writing about what once happened to him? Or does this account add something to my life, in which case it would have to be said that I only come into being as I write: that, in a sense, this account makes me what I am?
            Terkait dengan pepatah “The death of the author”, Barthes mendeklarasikan kematian penulis, yang bermaknakan kelahiran seorang pembaca. Pembaca menaiki formasi makna dasar, dan pembaca menjadi tempat dimana makna mestinya.
Membaca termasuk jugamemilih apa yang dibaca, mengorganisasikan mereka bersama untuk membentuk makna. Seolah-olah pembaca berada di dalam teks kejadian si penulis tersebut. Terkait dengan koneksi antara teks, konteks, reader, writer, and meaning, namun sebelumnya saya ingin sedikit membahas konsep teks yang sebagai hasil pemikiran, konteks sebagai makna yang dibuat hanya untuk aktivitas yang tradisional untuk mempertimbangkan pembentukan makna, baik dalam spoken, written, audiovisual dan teks lainnya. Membaca sebuah teks sama dengan memberi makna aktif untuk potensi makna dalam memahami kekuatan teks. Jadi dapat dikatakan semua jenis membaca adalah membaca ulang, mereproduksi teks ketika sedang membaca.
Inilah yang menyebabkan “reading” adalah koneksi diantara mereka. Teks, konteks, reader, writer, meaning tidak akan bisa terhubung tanpa membaca. Aktivitas membaca merupakan aktivitas mempelajari isinya dan komposisi budaya. Jadi, dengan membaca, kita dapat menunjukkan kepada dunia sebagai praktik kesadaran diri dengan membaca. Dimana dengan membaca, akan timbul textual interaction yang di dalamnya tidak hanya reader dan writer, tetapi juga beberapa bagian yang berpengaruh di dalamnya sehingga membentuklah sebuah makna. Yang mana textual interaction adalah sebagai proses pembentukan makna antara teks dan reader.

0 comments:

Post a Comment