The 2nd Class Review
10 February 2014
Writing Is More and More Complex
Semakin meningkatnya
globalisasi, semakin membuat perubahan ke seluruh dunia. Tentunya, perubahan
tersebut ada yang berefek negative dan positive dalam diri kita. Meskipun
demikian, semoga kita selalu diberikan hal-hal yang baik oleh Sang Pencipta.
Dalam hal ini, terkait dengan writing yang semakin bertambahnya usia semakin
complex dan berisi. Bak sebuah padi, semakin berusia semakin merunduk. Dengan
adanya hal tersebut, semoga kita semakin terbawa dengan sifat writing tersebut
yang memiliki banyak efek positif terhadap diri dan jiwa kita.
Pada pertemuan tadi
pagi, kami hadir dengan wajah yang kusut, mata yang sayu, jari yang kaku, dan
baju dinas Represso. Tentunya hal ini disebabkan karena sedikitnya waktu
istirahat dan kurangnya tidur. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa
kelas kami yang tidak bergairah dalam kondisi badan dapat menghipnotis pak Lala
dengan tulisan notebook dan jawaban dari pertanyaan yang telah diajukan. Sungguh
menakjubkan karena usaha kami tidak mengecewakan beliau. Dan kami harap untuk
kedepannya selalu ada peningkatan di kelas Represso.
Terkait dengan topic
hari ini “Knowing who we really are” yang akan dibahas setelah sekilas info
dari pak Lala. Secara fakta, informasi yang beliau berikan kepada mahasiswanya
itu tidaklah banyak, hanya berbentuk point atau secara garis besarnya. Akan
tetapi, bagaimana seorang membuat garis besar itu menuju cerita atau karangan
yang semakin meluas dan kompleks. Opa Chaedar pun menuturkan bahwa semakin
spesifik tulisan kita itu semakin baik karena semakin bergengsi. Tentunya saya
tidak ingin kalah saing untuk “Fastabiqul Khoiroot” dan do the best for myself.
Point pertama yang akan
saya bahas yaitu tentang writing for academic will be scientific writing.
Tentunya dalam writing yang memiliki tujuan tersebut akan memberikan efek dan
beban yang sangat berat. Mengapa? Karena dalam hal ini kami tidak lagi menulis
karangan yang bersifat imajinatif atau explanation, tetapi kami harus menulis
yang sifatnya lebih sedikit formal. Dalam hal tersebut, tentunya sangatlah
tidak mudah untuk merubah mindset kita karena menulis saat ini lebih
membutuhkan sources yang akurat. Dengan hal tersebut, tentunya akan membuat
tulisan kita semakin evidence.
Kedua, terkait dengan
hal tersebut diatas tentunya kami membutuhan pola pikir yang lebih kritis
“Critical Thinking.” Dalam hal ini, ketika kita membaca artikel dari Opa
Chaedar tentunya “we will not take a text for a granted” karena kita harus
menyaring terlebih dahulu kemudian memberikan komentar. Apabila kita hanya
mengambil mentah-mentah dari artikel tersebut, ini akan berimplikasi pada
mindset kita yang membuat malas untuk berfikir.
Point selanjutnya, terkait
dengan guru bahasa yang hanya bisa mengajarkan teori dan cara-cara untuk
menulis kepada siswanya. Akan tetapi,
guru itu sendiri belum bisa menulis seperti halnya menulis jurnal dan
sebagainya. Sebagai guru bahasa yang baik ataupun professional setidaknya
mereka bisa menulis atau bisa membuat buku sendiri. Yang mana hal ini akan berimplikasi pada
pengajarannya kepada siswanya untuk rajin menulis seperti gurunya. Oleh
karenanya, “students of language = students of writing.” Dengan prinsip
tersebut, yang titik awalnya adalah guru bahasa juga harus bisa menjadi guru
menulis baik untuk dirinya sendiri beserta siswa didiknya.
Setelah sedikit
mengulas beberapa point di atas, lalu “What should we bother in writing class?”
Inilah merupakan pertanyaan yang sederhana tetapi membutuhkan jawaban yang menurut
kami agak sedikit rumit. Kemudian salah satu dari teman kami, Nabillah,
menjawab yang intisarinya bahwa writing itu mengikat. Setelah itu, beliau juga
menambahkan jawabannya menurut Profesor besar, pertama, bahwasannya writing
adalah the ways of knowing something (Information).
Dimana hal ini berarti bahwa dengan menulis akan membantu kita untuk mengetahui
suatu hal yang lebih banyak. Kedua, the ways of representing something
(Knowledge), yang artinya dengan menulis kita bisa menghadirkan sesuatu yang
berbeda dalam bentuk tulisan. Ketiga, The ways of reproducing (Experiences),
yang artinya bahwa dengan menulis kita dapat memproduksi teori baru.
Information
=> Knowledge => Experience => Specialized Instruction
Setelah membahas
sedikit penjelasan pak Lala, kita kembali ke topic awal “ Knowing Who We Really
Are.” Banyak sekali pertanyaan yang menguak dari beliau tentang siapa diri
kami. Namun yang pasti, insya Allah dan semoga saja saya bukanlah yang termasuk
di dalamnya. Secara tidak langsung, ini merupakan sebuah penyindiran bagi kami
untuk merubah tujuan belajar kami, seperti yang sudah saya jelaskan di class
review sebelumnya. Dalam hal ini, beliau juga berpendapat bahwa kami adalah
penulis yang bisa menulis dalam berbagai bahasa (Multilingual). Mengapa? Karena
dalam hal ini, kami mampu menulis dalam dua bahasa dengan efektif, bahasa
Inggris dan Indonesia. Orang Amerika saja menulis hanya dengan bahasa ibunya,
sedangkan kita keduanya. Oleh karenanya, orang yang menulis adalah orang yang
mampu membuat pilihan informasi di hidupnya sehingga dengan menulis itulah
mereka dapat merubah dunianya.
Dalam bukunya Mikko
Lehtonen, terdapat perbedaan pendapat orang yang terkemuka antara Saussure dan
Barthes dalam konsep bahasa dan makna. Dimana bahasa menurut Saussure adalah
sebuah system yang didefinisikan oleh makna. Sedangkan Barthes melihat role
setiap orang yang memparaktikkan aktivitas linguistic sebagai pusat dalam
formasi atau bentukan makna.
Sebagai seorang writer
bukanlah seorang writer sebelumnya untuk memainkan tulisannya, tetapi mengambil
bentuk sebagai kesatuan ketika menulis. Seperti cerita protagonisnya Danish,
yang ditulis oleh Peter Hoeg.
Am I a man
writing about what once happened to him? Or does this account add something to
my life, in which case it would have to be said that I only come into being as I
write: that, in a sense, this account makes me what I am?
Terkait dengan
pepatah “The death of the author”, Barthes mendeklarasikan kematian penulis,
yang bermaknakan kelahiran seorang pembaca. Pembaca menaiki formasi makna
dasar, dan pembaca menjadi tempat dimana makna mestinya.
Membaca termasuk jugamemilih apa
yang dibaca, mengorganisasikan mereka bersama untuk membentuk makna. Seolah-olah
pembaca berada di dalam teks kejadian si penulis tersebut. Terkait dengan
koneksi antara teks, konteks, reader, writer, and meaning, namun sebelumnya
saya ingin sedikit membahas konsep teks yang sebagai hasil pemikiran, konteks
sebagai makna yang dibuat hanya untuk aktivitas yang tradisional untuk
mempertimbangkan pembentukan makna, baik dalam spoken, written, audiovisual dan
teks lainnya. Membaca sebuah teks sama dengan memberi makna aktif untuk potensi
makna dalam memahami kekuatan teks. Jadi dapat dikatakan semua jenis membaca
adalah membaca ulang, mereproduksi teks ketika sedang membaca.
Inilah yang menyebabkan “reading”
adalah koneksi diantara mereka. Teks, konteks, reader, writer, meaning tidak
akan bisa terhubung tanpa membaca. Aktivitas membaca merupakan aktivitas
mempelajari isinya dan komposisi budaya. Jadi, dengan membaca, kita dapat
menunjukkan kepada dunia sebagai praktik kesadaran diri dengan membaca. Dimana dengan
membaca, akan timbul textual interaction yang di dalamnya tidak hanya reader
dan writer, tetapi juga beberapa bagian yang berpengaruh di dalamnya sehingga
membentuklah sebuah makna. Yang mana textual interaction adalah sebagai proses
pembentukan makna antara teks dan reader.
0 comments:
Post a Comment