Nama : Nurmala
NIM : 14121310339
Kelas : PBI-B
Mata
Kuliah : Writing & Composition 4
Appetizer
Indonesia
dan Literasinya
Indonesia. Negeri kita yang tercinta
ini memang jauh sekali dari kata “highliteracy” jika dibandingkan dengan
negara-negara maju lainnya seperti Korea dan Amerika Serikat. Tapi, jangan
jauh-jauh dibandingkan dengan negara yang benar-benar highliteracy, dengan
Negara tetangga saja (Malaysia) negari kita ini sudah ketinggalan jauh dalam
bidang literasi.
Terdapat banyak sekali perbedaan
antara Indonesia dengan negara-negara lain. Salah satunya, Indonesia memang
identik dengan dengan negara konsumen daripada produsen. Dalam hal terbitan
buku, Indonesia masih kalah dengan Malaysia, bahkan berkali-kali lipat jauh
dari Malaysia. Hal tersebut menurut saya pribadi karena memang SDM (Sumbsr Daya
Manusia) di Indonesia kurang memiliki antusiasme untuk memproduksi
tulisan-tulisan yang berkualitas dan mampu diterbitkan dalam bentuk buku.
Walaupun memang penduduk Malaysia jauh lebih sdikit daripada penduduk
Indonesia, tapi SDM (Sumbsr Daya Manusia) Negara tetangga tersebut mampu
menuangkan hasil bacaan berbagai informasi dan melakukan penelitian, mampu
mengajukan sudut pandang baru dalam bentuk kesimpulan, rumus, atau teori untuk
memperkaya pengetahuan mereka. Kita perlu 10 kali lipat terbitan buku untuk
mengimbangi Malaysia, tapi apa mungkin dengan keadaan yang seperti ini Indonesia mampu?
Di Negara-negara maju seperti
Amerika Serikat dosen selalu memberikan komentar kritis atas tulisan-tulisan
mahasiswanya agar nalar dan argumen tulisan mahasiswanya betul-betul terasah.
Karena itu, tidak ada kehar usan menulis tesis , skripsi, apalagi artikel jurnal.
Menurut saya, walaupun nalar dan argumen tulisan mahasiswa sudah terasah tapi
mahasiswa harus menulis skripsi, tesis dan artikel jurnal, karena apa? Karena
skripsi, tesis, artikel jurnal dilakukan sebagai pembuktian akhir bahwa ilmu
mereka digunakan dengan sungguh-sungguh. Contohnya, ketika kita belajar
menyanyi pasti kita belajar mengenai vocal dan selalu melatihnya dengan
intruksi atau arahan dari guru vokal, tapi apakah cukup sampai disitu? Tidak.
Harus ada pembuktian bahwa sura kita benar-benar layak dinikmati penikmat
musik. Dengan membuat album solo misalnya. Itulah pembuktian akhir apakah suara
kita layak dinikmati atau tidak.
Jika di Amerika Serikat para penulis
produktif dewasa adalah mereka yang sewaktu di SMA-nya banyak membaca karya
sastra, berlangganan Koran atau majalah dan di rumahnya memiliki perpustakaan.
Di Indonesia, fasilitas-fasilitas tersebut mungkin tidak dapat didapatkan oleh
anak-anak SMA di negeri ini karena terbatasnya fasilitas yang ada. Rata-rata
dari mereka tidak memiliki akses untuk membaca di perpustakaan rumah,
perpustakaan sekolah pun tidak dapat memfasilitasi akses membaca mereka, bahkan
yang berlangganan Koran dan majalah pun hanya orang-orang tertentu saja.
Terdapat kalimat yang saya highlight
dari tulisan Pak A. Chaedar Alwasilah “jadi yang tidak bisa menulis sebaiknya
jangan bermimpi jadi dosen.” Menurut saya, mimpi itu hak semua orang. Tidak ada
seorang pun yang berhak melarang seseorang
untuk berani bermimpi, karena sebagai manusia kita hanya mampu berusaha
dan yang menentukan hanyalah Sang Pencipta.
Selanjutnya, kalian pasti pernah
mendengar jika buku pelajaran bahasa Indonesia anak SD ditarik dari
sekolah-sekolah karena di dalam buku tersebut terdapat beberapa hal yang tidak
layak dibaca oleh anak SD. Nah, dalam konteks ini, yang patut disalahkan adalah
penulis dan penerbit karena buku yang diproduksi tidak tepat sasaran. Oleh
karena itu, seorang penulis harus benar-benar tahu untuk siapa teks tersebut
ditujukan. Ok kembali ke topik, muncul permasalahan yang sangat “complicated”
yaitu jika sebuah teks tidak dapat dipahami oleh pembaca maka siapa yang salah?
Nah jelas hal ini perlu ita pahami dan telisik. Menurut saya bukan karena
penulisnya terlalu kuat dibandingkan pembaca tak berdaya. Diibaratkan seperti
suatu hal yang bertepuk sebelah tangan, jadi tidak adanya timbale balik. Contoh
lain seperti halnya ketika kita melemparkan bola ke lantai tapi bola tersebut
tidak memantul. Antara penulis dan pembaca harus ada yang namanya server, yang
disebut dengan teks. Tapi permasalahannya, jika teks tersebut tidak dapat
dicerna oleh pembaca siapa yang salah? Apakah penulis yang terlalu egois atau
pembaca yang kurang intelektual?
Mwnurut saya, menulis itu bisa
karena hobi dan kesukaan walau orang tersebut jarang membaca. Tapi ketika ada
keinginan yang kuat untuk menulis pasti orang tersebut dapat mengaplikasikannya
lewat tulisan, karena menulis adalah menempatkan pengetahuan lewat tulisan.
Kita mendapatkan pengetahuan tidak hanya melalui baca buku, tapi bisa saja
dengan pengalaman. Menulis bukan hanya menulis artikel jurnal atau juga thesis
tapi menulis novel, puisi, cerpen yang basicly menggunakan daya imajinasi dan
pengalaman. Seperti yang Pak Lala katakana bahwa menulis itu harus menggunakan
hati, tidak hanya otak saja. Oleh karena ituantara penulis dan embaca harus
adanya kecocokan atau harus timbul roh dari teks tersebut yang akan saling
memberikan makna antara penulis dan pembaca. Pastinya, ketika seorang penulis
memproduksi sebuah tulisan tentu sebelumnya si penulis sudah tahu tujuan
tulisan tersebut sasarannya untuk siapa. So, ketika memang pembaca tidak dapat
memahami makna tulisan tersebut maka tulisan tersebut memang salah sasaran.
Jika menyinggung masalah intelektual, sebelum membaca sebuah tulisan, pembaca
juga harus mengetahui tulisan tersebut tertuju untuk dirinya atau tidak.
Di sisi lain, CW Watson mengatakan
bahwa ketidakmampuan siswa dalam mengidentifikasi tema utama potongan prosa
Indonesia langsung dalam pemeriksaan pilihan ganda. Menurut beliau hal tersebut
dikarenakan silabus dan pemeriksaan sistem. Justru menurut saya silabus itu
membantu agar pembelajaran bagi siswa dilakukan secara terarah dan berada dalam
koridor yang sewajarnya. Walaupun kurikulum kesannya lebih memaksa tapi siswa
yang mampu untuk mengembangkan pemikiran dan kompetensi bahasa, tapi dalam
batasan tertentu. Karena spesifikasi kurikulum yang dibuat secara rinci dengan
mempertimbangkan kemampuan siswa. Misalnya jika tanpa silabus pembelajaran di
dalam kelas pun tidak terarah dan tidak bisa jika hanya mengandalkan membaca
dan menulis saja, tapi ada aspek-aspek lain yang harus siswa explore. Selain
membaca dan menulis, masih ada aspek lain yang harus siswa kembangkan yaitu
kemampuan mendengarkan dan berbicara.
Dari beberapa hal yang saya utarakan
diatas, sudah jelas bahwa Indonesia masih sulit untuk menerapkan budaya
literasi. Selain itu, sulit juga untuk merubah system yang telah ada di negeri
kita ini. Menulis memang bukan budaya bangsa kita, karena dari nenek moyang
kita sendiri zaman dulu sangat sulit untuk mendapatkan akses belajar khususnya
membaca dan menulis hal tersebut dikarenakan memang zaman dulu nenek moyang
kita dilarang bahkan dibodohi oleh para penjajah. Pada akhirnya Indonesiapun
jauh dari kata” highliteracy.” Mungkin Indonesia akan tetap seperti ini dan
akan tetap seperti ini. Tapi, jika memang Indonesia mampu berubah pun harus ada
keinginan yang kuat dan merubah sistem-sistem yang telah ada, berubah dari
bukan bangsa penulis menjadi bangsa penulis.
0 comments:
Post a Comment