Monday, February 10, 2014

Nama           : Nurmala
NIM             : 14121310339
Kelas            : PBI-B
Mata Kuliah : Writing & Composition 4
Appetizer
Indonesia dan Literasinya
            Indonesia. Negeri kita yang tercinta ini memang jauh sekali dari kata “highliteracy” jika dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya seperti Korea dan Amerika Serikat. Tapi, jangan jauh-jauh dibandingkan dengan negara yang benar-benar highliteracy, dengan Negara tetangga saja (Malaysia) negari kita ini sudah ketinggalan jauh dalam bidang literasi.
            Terdapat banyak sekali perbedaan antara Indonesia dengan negara-negara lain. Salah satunya, Indonesia memang identik dengan dengan negara konsumen daripada produsen. Dalam hal terbitan buku, Indonesia masih kalah dengan Malaysia, bahkan berkali-kali lipat jauh dari Malaysia. Hal tersebut menurut saya pribadi karena memang SDM (Sumbsr Daya Manusia) di Indonesia kurang memiliki antusiasme untuk memproduksi tulisan-tulisan yang berkualitas dan mampu diterbitkan dalam bentuk buku. Walaupun memang penduduk Malaysia jauh lebih sdikit daripada penduduk Indonesia, tapi SDM (Sumbsr Daya Manusia) Negara tetangga tersebut mampu menuangkan hasil bacaan berbagai informasi dan melakukan penelitian, mampu mengajukan sudut pandang baru dalam bentuk kesimpulan, rumus, atau teori untuk memperkaya pengetahuan mereka. Kita perlu 10 kali lipat terbitan buku untuk mengimbangi Malaysia, tapi apa mungkin dengan keadaan yang seperti ini  Indonesia mampu?
            Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dosen selalu memberikan komentar kritis atas tulisan-tulisan mahasiswanya agar nalar dan argumen tulisan mahasiswanya betul-betul terasah. Karena itu, tidak ada kehar usan menulis tesis , skripsi, apalagi artikel jurnal. Menurut saya, walaupun nalar dan argumen tulisan mahasiswa sudah terasah tapi mahasiswa harus menulis skripsi, tesis dan artikel jurnal, karena apa? Karena skripsi, tesis, artikel jurnal dilakukan sebagai pembuktian akhir bahwa ilmu mereka digunakan dengan sungguh-sungguh. Contohnya, ketika kita belajar menyanyi pasti kita belajar mengenai vocal dan selalu melatihnya dengan intruksi atau arahan dari guru vokal, tapi apakah cukup sampai disitu? Tidak. Harus ada pembuktian bahwa sura kita benar-benar layak dinikmati penikmat musik. Dengan membuat album solo misalnya. Itulah pembuktian akhir apakah suara kita layak dinikmati atau tidak.
            Jika di Amerika Serikat para penulis produktif dewasa adalah mereka yang sewaktu di SMA-nya banyak membaca karya sastra, berlangganan Koran atau majalah dan di rumahnya memiliki perpustakaan. Di Indonesia, fasilitas-fasilitas tersebut mungkin tidak dapat didapatkan oleh anak-anak SMA di negeri ini karena terbatasnya fasilitas yang ada. Rata-rata dari mereka tidak memiliki akses untuk membaca di perpustakaan rumah, perpustakaan sekolah pun tidak dapat memfasilitasi akses membaca mereka, bahkan yang berlangganan Koran dan majalah pun hanya orang-orang tertentu saja.
            Terdapat kalimat yang saya highlight dari tulisan Pak A. Chaedar Alwasilah “jadi yang tidak bisa menulis sebaiknya jangan bermimpi jadi dosen.” Menurut saya, mimpi itu hak semua orang. Tidak ada seorang pun yang berhak melarang seseorang  untuk berani bermimpi, karena sebagai manusia kita hanya mampu berusaha dan yang menentukan hanyalah Sang Pencipta.
            Selanjutnya, kalian pasti pernah mendengar jika buku pelajaran bahasa Indonesia anak SD ditarik dari sekolah-sekolah karena di dalam buku tersebut terdapat beberapa hal yang tidak layak dibaca oleh anak SD. Nah, dalam konteks ini, yang patut disalahkan adalah penulis dan penerbit karena buku yang diproduksi tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, seorang penulis harus benar-benar tahu untuk siapa teks tersebut ditujukan. Ok kembali ke topik, muncul permasalahan yang sangat “complicated” yaitu jika sebuah teks tidak dapat dipahami oleh pembaca maka siapa yang salah? Nah jelas hal ini perlu ita pahami dan telisik. Menurut saya bukan karena penulisnya terlalu kuat dibandingkan pembaca tak berdaya. Diibaratkan seperti suatu hal yang bertepuk sebelah tangan, jadi tidak adanya timbale balik. Contoh lain seperti halnya ketika kita melemparkan bola ke lantai tapi bola tersebut tidak memantul. Antara penulis dan pembaca harus ada yang namanya server, yang disebut dengan teks. Tapi permasalahannya, jika teks tersebut tidak dapat dicerna oleh pembaca siapa yang salah? Apakah penulis yang terlalu egois atau pembaca yang kurang intelektual?
            Mwnurut saya, menulis itu bisa karena hobi dan kesukaan walau orang tersebut jarang membaca. Tapi ketika ada keinginan yang kuat untuk menulis pasti orang tersebut dapat mengaplikasikannya lewat tulisan, karena menulis adalah menempatkan pengetahuan lewat tulisan. Kita mendapatkan pengetahuan tidak hanya melalui baca buku, tapi bisa saja dengan pengalaman. Menulis bukan hanya menulis artikel jurnal atau juga thesis tapi menulis novel, puisi, cerpen yang basicly menggunakan daya imajinasi dan pengalaman. Seperti yang Pak Lala katakana bahwa menulis itu harus menggunakan hati, tidak hanya otak saja. Oleh karena ituantara penulis dan embaca harus adanya kecocokan atau harus timbul roh dari teks tersebut yang akan saling memberikan makna antara penulis dan pembaca. Pastinya, ketika seorang penulis memproduksi sebuah tulisan tentu sebelumnya si penulis sudah tahu tujuan tulisan tersebut sasarannya untuk siapa. So, ketika memang pembaca tidak dapat memahami makna tulisan tersebut maka tulisan tersebut memang salah sasaran. Jika menyinggung masalah intelektual, sebelum membaca sebuah tulisan, pembaca juga harus mengetahui tulisan tersebut tertuju untuk dirinya atau tidak.
            Di sisi lain, CW Watson mengatakan bahwa ketidakmampuan siswa dalam mengidentifikasi tema utama potongan prosa Indonesia langsung dalam pemeriksaan pilihan ganda. Menurut beliau hal tersebut dikarenakan silabus dan pemeriksaan sistem. Justru menurut saya silabus itu membantu agar pembelajaran bagi siswa dilakukan secara terarah dan berada dalam koridor yang sewajarnya. Walaupun kurikulum kesannya lebih memaksa tapi siswa yang mampu untuk mengembangkan pemikiran dan kompetensi bahasa, tapi dalam batasan tertentu. Karena spesifikasi kurikulum yang dibuat secara rinci dengan mempertimbangkan kemampuan siswa. Misalnya jika tanpa silabus pembelajaran di dalam kelas pun tidak terarah dan tidak bisa jika hanya mengandalkan membaca dan menulis saja, tapi ada aspek-aspek lain yang harus siswa explore. Selain membaca dan menulis, masih ada aspek lain yang harus siswa kembangkan yaitu kemampuan mendengarkan dan berbicara.

            Dari beberapa hal yang saya utarakan diatas, sudah jelas bahwa Indonesia masih sulit untuk menerapkan budaya literasi. Selain itu, sulit juga untuk merubah system yang telah ada di negeri kita ini. Menulis memang bukan budaya bangsa kita, karena dari nenek moyang kita sendiri zaman dulu sangat sulit untuk mendapatkan akses belajar khususnya membaca dan menulis hal tersebut dikarenakan memang zaman dulu nenek moyang kita dilarang bahkan dibodohi oleh para penjajah. Pada akhirnya Indonesiapun jauh dari kata” highliteracy.” Mungkin Indonesia akan tetap seperti ini dan akan tetap seperti ini. Tapi, jika memang Indonesia mampu berubah pun harus ada keinginan yang kuat dan merubah sistem-sistem yang telah ada, berubah dari bukan bangsa penulis menjadi bangsa penulis.

0 comments:

Post a Comment