Wacana 6.2: (Bukan) Bangsa Penulis
Menyinggung artikelnya Pak Chaedar,
memang kita sebagai bangsa Indonesia tidak bisa menafikan stigma-stigma yang
berhubungan dengan tulis-menulis. Artikelnya yang berjudul (Bukan) Bangsa
Penulis menggambarkan kondisi kita pada saat ini, bayangkan Indonesia pada
tahun 2012 hanya ningkring di posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian
Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Penilaian IPM dilihat dari minat
menulis bangsa kita. Saya kurang sefaham dengan Asosiasi Perguruan Tinggi
Swasta (Aptisi) yang memboikot aturan surat Dirjen Pendidikan Tinggi Nomor
152/E/T/2012 tentang karya ilmiah. Pasalnya kenapa? Melihat jumlah penduduk
kita sekitar 225 juta jiwa hanya 8.000 buku pertahun, kita harus meningkatkan
menulis karena Malaysia yang hanya 27 juta jiwa bisa menghasilkan 8.000 buku
pula pertahun. Negara Vietnam berjumlah 80 juta jiwa bisa menghasilkan 15.000
pertahun, Jepang 60.000 pertahun, dan Negara Inggris 110.155 pertahun. Angka
yang fantastis bagi kita untuk mengejarnya, hanya menjadi mimpi di siang hari
pada saat ini. Jadi, jika Aptisi memboikot aturan Dirjen Pendidikan Tinggi bagi
saya itu tidak realistis dengan kondisi kita sekarang yang harus meningkatkan
kualitas SDM.
Lalu siapa yang harus bertanggung
jawab dari musibah masal ini? Tepat sekali jawaban dalam artikel Pak Chaedar,
dosenlah yang mempunyai andil yang besar dari semuanya. Salah satu kalimat artikelnya mengatakan bahwa dosen wajib menulis artikel
jurnal setiap tahunnya. Kewajiban trsebut menurut saya memang harus diterapkan
karena mayoritas para dosen tidak bisa menulis, hal ini akan mengakibatkan
lulusannya pun tidak bisa menulis juga.
Kita
bisa melihat dari fakta yang ada, dosen-dosen muda jarang yang menulis malahan
mereka lebih tergiur dengan spot money. Uang bisa didapat dengan mudah lewat
mengajar dan mengejar proyek yang harus mengabaikan kualitas mengajarnya. Namun,
situasi seperti ini terlihat berbeda dengan dosen senior yang sangat produktif,
motivasi mereka dulu memang uang kemudian memacunya untuk menulis, dan sekarang
aktualisasi dirilah yang menjadi motivasinya.
Mengkritisi perihal jurnal, menurut
saya tingkatan bagi kita yang sedang menempuh S1 itu sudah sesuai dengan tugas
akhirnya yaitu skripsi. Jika dibandingkan dengan AS yang memaksa mahasiswanya
banyak menulis esai seperti laporan observasi, ringkasan bab, review buku dan
sebagainya kita harus membenahi dari dosennya dulu, kalau dosennya tidak bisa
membuat jurnal setiap tahunnya bagaimana bisa mengoreksi tugas mahasiswanya
dengan benar. Apalagi jurnal itu hanya dimengerti oleh sesama pakar saja.
Menurut artikel yang ditulis oleh
Atep Afia Hidayat, budaya menulis di kampus kita ini sangat rendah. Pasalnya
kenapa? Untuk berkontribusi secara global idealnya kampus mampu menghasilkan
jurnal intrenasional, seperti yang dijelaskan oleh Pak Chaedar kalau jurnal itu
harus diseleksi dengan ketat, semakin ketat maka semakin bergengsi. Hal ini
menjadi salah satu parameter untuk menentukan peringkat suatu kampus. Bahkan
dari kualitas jurnal yang dihasilkan itu sangat mempengaruhi Iptek bangsa dan
Negara.
Lagi-lagi Indonesia berada pada
peringkat bawah yaitu peringkat 64 hanya 13 ribu dokumen. Jauh dengan Negara tetangga Singapura, dengan peringkat 32 dan 109 ribu
dokumen, dan Malaysia peringkat 43 dengan 55 ribu dokumen. Jadi, jawaban yang
tepat dari pertanyaan mengapa artikel jurnal ialah seperti apa yang sudah
dijelaskan di atas.
Wacana 6.3:
Powerful Writers versus the Helpless Readers
Membaca
berbagai artikel bukan lain tujuan akhirnya ialah kita bisa mendapatkan berita
apa yang kita butuhkan. Terkadang kita sebagai pemula tidak tahu kenapa jika
memahami bacaan harus dibaca beberapa kali. Sebenarnya apa latar belakang dan
alasannya sehingga merasa sangat sulit. Di sini saya akan mencoba untuk
merefleksikan dengan diri saya dan beracuan dengan artikelnya Pak Chaedar.
Disebutkan
bahwa hasil penelitian Pak Chaedar kepada pembaca kenapa sulit memahami
alasannya ialah karena kemampuan penulis yang sangat tinggi dan membacanya
melebihi kapasitas mereka sebagai pemula, retorikanya otomatis sangat sulit
untuk dipahami. Sebagian orang mungkin akan berpendapat sama dengan saya
sebagai reader, yaitu merasa bahwa buku yang ada itu harus benar-benar
compatible dengan kemampuan yang kita miliki.
Istilah texts dan contexts tidak bisa dipisahkan, hal ini
mendukung saya dalam berargumen. Suatu text harus memperhatikan contexts
pembaca sebagai targetnya, dengan begitu gata bahasa/retorika yang
digunakannyapun juga akan sesuai. Kebanyakan, dari beberapa mahasiswa yang
menemukan buku sulit untuk dipahami maka akan mencari buku lain yang cara
penyampaiannya lebih sederhana, meskipun buku yang sulit itu sangat lengkap.
Faktor
tidak bisa konsentrasi saat membaca juga memang benar. Konsentrasi
biasanya muncul dari perasaan kita pada saat membaca, jika pada saat itu sedang
tidak ada problem, membaca itu seperti kita benar-benar terlibat dalam bacaan
tersebut.
Pak Chaedar menyampaikan bahwa
“saat kita tidak paham tentang teks yang dibaca, apa alasannya?” sebuah
kritikan penjawab bisa menjawab bahwa penulis itu tidak cukup kompeten untuk
menyampaikan ide dan menghibur pembaca. Menanggapi hal tersebut, penulis memang
harus berfikir secara matang konteksnya akan disampaikan kepada siapa bacaan
tersebut. Namun kita tidak selamanya menyalahkan penulis, kalau kita ingin
memahaminya kita juga harus tanggap seperti halnya membuka kamus ilmih untuk
memahami tulisan tersebut.
Dua hal
yang kontradiktif dating dari intelektual Muslim dengan sarjana yang beretittle
PhD. Seorang muslim menggunakan Qauln Baligha dalam berbicara, tentu ini bisa
diterapkan pada writing. Namun bagaimana dengan lulusan luar negeri? Kebanyakan
mereka menggunakan buku dari luar yang berbahasa inggris untuk sumbernya. Hal
ini bukannya mendidik malah akan mengakibatkan ganguan.
Jadi,
saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Pak Chaedar pada akhir artikel bahwa
inilah waktu untuk intelektual kita menjadi kebanggaan bahasa lewat menulis.
Membaca dan menulis yang produktif berhubungan dengan hal untuk berkembang
menjadi penulis muda yang mana akan menjadi penulis dewasa selanjutnya.
Wacana 6.4:
Learning and Teaching Process: More about Readers and Writers
Pada wacana ini, saya lebih
menyoroti pendapat-pendapat para dosen. Pelajar yang merasa kesulitan pada
reading academic test meskipun ditullis secaara asli di bahasa Indonesia atau
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau bahkan disajikan dalam bahsa
inggris.
Hasil
analisis dari Dr.Imam bagus pada penelitian yang diberikan pada akhir-akhir ini
di konferensi UPI ada hal yang mengejutkan. Pelajar pada saat ini sudah
terbiasa dengan cara instan, kita bisa melihat dari Ujian Nasional saja
bentuknya pilihan ganda. Tentu hal ini menghambat dan menjadi salah satu
problem bagi siswa untuk meningkatkan kualitas menulisnya. Ujian seperti ini
tidak bisa melatih cara berfikir siswa dan menuangkannya dalm bentuk tulisan,
karena mereka tinggal memilih jawabannya saja.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa dari ketiga artikel tersebut ada korelasi yang tidak
dapat dipisahkan. Artikel pertama membahas tentang tulis-menulis dalam bangsa
kita, artikel kedua tentang alasan kenapa penulis begitu kurang ‘greget’ dalam
menyampaikan isi bukunya. Terakhir ialah tentang proses belajar mengajar yang
melebihi dari kegiatan pembaca dan penulis.
Kita
selaku mahasiswa yang berperan sebagai agen
of change harus bisa mengusahakan agar Indonesia bangkit dari keterpurukan
budaya tulis-menulis. Jangan sampai Negara kita terus-terusan berada di
peringkat bawah yaitu nangkring di posisi 64 yang tertinggal dengan Singapura
dan Malaysia dengan 13.000 dokumen jurnal.
0 comments:
Post a Comment