Monday, February 10, 2014

Wacana 6.2: (Bukan) Bangsa Penulis
Menyinggung artikelnya Pak Chaedar, memang kita sebagai bangsa Indonesia tidak bisa menafikan stigma-stigma yang berhubungan dengan tulis-menulis. Artikelnya yang berjudul (Bukan) Bangsa Penulis menggambarkan kondisi kita pada saat ini, bayangkan Indonesia pada tahun 2012 hanya ningkring di posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Penilaian IPM dilihat dari minat menulis bangsa kita. Saya kurang sefaham dengan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) yang memboikot aturan surat Dirjen Pendidikan Tinggi Nomor 152/E/T/2012 tentang karya ilmiah. Pasalnya kenapa? Melihat jumlah penduduk kita sekitar 225 juta jiwa hanya 8.000 buku pertahun, kita harus meningkatkan menulis karena Malaysia yang hanya 27 juta jiwa bisa menghasilkan 8.000 buku pula pertahun. Negara Vietnam berjumlah 80 juta jiwa bisa menghasilkan 15.000 pertahun, Jepang 60.000 pertahun, dan Negara Inggris 110.155 pertahun. Angka yang fantastis bagi kita untuk mengejarnya, hanya menjadi mimpi di siang hari pada saat ini. Jadi, jika Aptisi memboikot aturan Dirjen Pendidikan Tinggi bagi saya itu tidak realistis dengan kondisi kita sekarang yang harus meningkatkan kualitas SDM.
Lalu siapa yang harus bertanggung jawab dari musibah masal ini? Tepat sekali jawaban dalam artikel Pak Chaedar, dosenlah yang mempunyai andil yang besar dari semuanya. Salah satu kalimat artikelnya mengatakan bahwa dosen wajib menulis artikel jurnal setiap tahunnya. Kewajiban trsebut menurut saya memang harus diterapkan karena mayoritas para dosen tidak bisa menulis, hal ini akan mengakibatkan lulusannya pun tidak bisa menulis juga.
Kita bisa melihat dari fakta yang ada, dosen-dosen muda jarang yang menulis malahan mereka lebih tergiur dengan spot money. Uang bisa didapat dengan mudah lewat mengajar dan mengejar proyek yang harus mengabaikan kualitas mengajarnya. Namun, situasi seperti ini terlihat berbeda dengan dosen senior yang sangat produktif, motivasi mereka dulu memang uang kemudian memacunya untuk menulis, dan sekarang aktualisasi dirilah yang menjadi motivasinya.
Mengkritisi perihal jurnal, menurut saya tingkatan bagi kita yang sedang menempuh S1 itu sudah sesuai dengan tugas akhirnya yaitu skripsi. Jika dibandingkan dengan AS yang memaksa mahasiswanya banyak menulis esai seperti laporan observasi, ringkasan bab, review buku dan sebagainya kita harus membenahi dari dosennya dulu, kalau dosennya tidak bisa membuat jurnal setiap tahunnya bagaimana bisa mengoreksi tugas mahasiswanya dengan benar. Apalagi jurnal itu hanya dimengerti oleh sesama pakar saja.
Menurut artikel yang ditulis oleh Atep Afia Hidayat, budaya menulis di kampus kita ini sangat rendah. Pasalnya kenapa? Untuk berkontribusi secara global idealnya kampus mampu menghasilkan jurnal intrenasional, seperti yang dijelaskan oleh Pak Chaedar kalau jurnal itu harus diseleksi dengan ketat, semakin ketat maka semakin bergengsi. Hal ini menjadi salah satu parameter untuk menentukan peringkat suatu kampus. Bahkan dari kualitas jurnal yang dihasilkan itu sangat mempengaruhi Iptek bangsa dan Negara.
Lagi-lagi Indonesia berada pada peringkat bawah yaitu peringkat 64 hanya 13 ribu dokumen. Jauh dengan Negara tetangga Singapura, dengan peringkat 32 dan 109 ribu dokumen, dan Malaysia peringkat 43 dengan 55 ribu dokumen. Jadi, jawaban yang tepat dari pertanyaan mengapa artikel jurnal ialah seperti apa yang sudah dijelaskan di atas.




Wacana 6.3: Powerful Writers versus the Helpless Readers
            Membaca berbagai artikel bukan lain tujuan akhirnya ialah kita bisa mendapatkan berita apa yang kita butuhkan. Terkadang kita sebagai pemula tidak tahu kenapa jika memahami bacaan harus dibaca beberapa kali. Sebenarnya apa latar belakang dan alasannya sehingga merasa sangat sulit. Di sini saya akan mencoba untuk merefleksikan dengan diri saya dan beracuan dengan artikelnya Pak Chaedar.
            Disebutkan bahwa hasil penelitian Pak Chaedar kepada pembaca kenapa sulit memahami alasannya ialah karena kemampuan penulis yang sangat tinggi dan membacanya melebihi kapasitas mereka sebagai pemula, retorikanya otomatis sangat sulit untuk dipahami. Sebagian orang mungkin akan berpendapat sama dengan saya sebagai reader, yaitu merasa bahwa buku yang ada itu harus benar-benar compatible dengan kemampuan yang kita miliki.
            Istilah texts dan contexts tidak bisa dipisahkan, hal ini mendukung saya dalam berargumen. Suatu text harus memperhatikan contexts pembaca sebagai targetnya, dengan begitu gata bahasa/retorika yang digunakannyapun juga akan sesuai. Kebanyakan, dari beberapa mahasiswa yang menemukan buku sulit untuk dipahami maka akan mencari buku lain yang cara penyampaiannya lebih sederhana, meskipun buku yang sulit itu sangat lengkap.
Faktor tidak bisa konsentrasi saat membaca juga memang benar. Konsentrasi biasanya muncul dari perasaan kita pada saat membaca, jika pada saat itu sedang tidak ada problem, membaca itu seperti kita benar-benar terlibat dalam bacaan tersebut.
Pak Chaedar menyampaikan bahwa “saat kita tidak paham tentang teks yang dibaca, apa alasannya?” sebuah kritikan penjawab bisa menjawab bahwa penulis itu tidak cukup kompeten untuk menyampaikan ide dan menghibur pembaca. Menanggapi hal tersebut, penulis memang harus berfikir secara matang konteksnya akan disampaikan kepada siapa bacaan tersebut. Namun kita tidak selamanya menyalahkan penulis, kalau kita ingin memahaminya kita juga harus tanggap seperti halnya membuka kamus ilmih untuk memahami tulisan tersebut.
Dua hal yang kontradiktif dating dari intelektual Muslim dengan sarjana yang beretittle PhD. Seorang muslim menggunakan Qauln Baligha dalam berbicara, tentu ini bisa diterapkan pada writing. Namun bagaimana dengan lulusan luar negeri? Kebanyakan mereka menggunakan buku dari luar yang berbahasa inggris untuk sumbernya. Hal ini bukannya mendidik malah akan mengakibatkan ganguan.
Jadi, saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Pak Chaedar pada akhir artikel bahwa inilah waktu untuk intelektual kita menjadi kebanggaan bahasa lewat menulis. Membaca dan menulis yang produktif berhubungan dengan hal untuk berkembang menjadi penulis muda yang mana akan menjadi penulis dewasa selanjutnya.

Wacana 6.4: Learning and Teaching Process: More about Readers and Writers
Pada wacana ini, saya lebih menyoroti pendapat-pendapat para dosen. Pelajar yang merasa kesulitan pada reading academic test meskipun ditullis secaara asli di bahasa Indonesia atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau bahkan disajikan dalam bahsa inggris.
            Hasil analisis dari Dr.Imam bagus pada penelitian yang diberikan pada akhir-akhir ini di konferensi UPI ada hal yang mengejutkan. Pelajar pada saat ini sudah terbiasa dengan cara instan, kita bisa melihat dari Ujian Nasional saja bentuknya pilihan ganda. Tentu hal ini menghambat dan menjadi salah satu problem bagi siswa untuk meningkatkan kualitas menulisnya. Ujian seperti ini tidak bisa melatih cara berfikir siswa dan menuangkannya dalm bentuk tulisan, karena mereka tinggal memilih jawabannya saja.
            Jadi, dapat disimpulkan bahwa dari ketiga artikel tersebut ada korelasi yang tidak dapat dipisahkan. Artikel pertama membahas tentang tulis-menulis dalam bangsa kita, artikel kedua tentang alasan kenapa penulis begitu kurang ‘greget’ dalam menyampaikan isi bukunya. Terakhir ialah tentang proses belajar mengajar yang melebihi dari kegiatan pembaca dan penulis.

            Kita selaku mahasiswa yang berperan sebagai agen of change harus bisa mengusahakan agar Indonesia bangkit dari keterpurukan budaya tulis-menulis. Jangan sampai Negara kita terus-terusan berada di peringkat bawah yaitu nangkring di posisi 64 yang tertinggal dengan Singapura dan Malaysia dengan 13.000 dokumen jurnal.

0 comments:

Post a Comment