Menulis, Lagi dan Lagi
Di kesempatan kali ini, memang berbeda dengan
tulisan yang saya tulis di halaman pertama, karena judul besarnya pun berbeda.
Namun kedua teks ini akan sama membahas tentang “tulisan” apakah itu berupa
teks buku, artikel maupun jurnal.
Dan penemuan pengamat literasi Prof. Chaedar
yang diungkap dalam sebuah wacana yang berjudul (Bukan) Bangsa Penulis saya
bisa menangkap sebuah pemahaman yang berarti bahwa Indonesia kurang akan
pembaharuan ilmu. Ilmu pengetahuan yang telah ada diajarkan, dipahami, dan
diterpakan dalam kehidupan pada bidang dan ruang lingkup masing-masing. Namun
dikatakan kurang pembaharuan karena minimnya tulisan yang dapat diterbitkan
setiap tahunnya.
Menulis berarti menuangkan apa-apa yang ada di
dalam pikiran seorang penulis, dengan menulis otomatis otak si penulis akan
berfikir tentang apa yang dituliskan. Suatu fikiran akan berkembang dan
menumbuhkan suatu pemikiran yang baru dan setelah dituliskan akan ada seorang
pembaca, semakin banyak pembaca, maka akan semakin banyak ilmu yang tereksplor
dari tulisan tersebut. Alhasil ilmu itu akan bertambah karena bertambahnya
orang yang memahami ilmu tersebut, dengan itu maka akan ada kritisasi yang
menyebabkan berkembangnya ilmu tersebut.
Sejauh yang saya ketahui, tidak banyak lembaga
pendidikan tingkat SLTP atau SLTA yang lebih menekan siswanya untuk menulis
karya ilmiah. Seperti saya ketika berada di tingkat SLTP , di situ saya lebih
sering ditugaskan untuk merangkum materi dengan hanya satu sumber, dan seperti
itulah kurang lebih sistem pembelajaran SLTP di daerah saya dan sekitarnya.
Namun berbeda dengan pengalaman teman saya yang sekolah di kota, dia di sana
telah dituntut untuk mengarang sebuah tulisan dengan salah satu jenis teks yang
ada, dan ternyata hingga SLTA saya jarang sekali ditugaskan untuk itu, lebih
kepada sebatas melihat dan memahami contooh-contoh teks dari suatu jenis teks.
Apakah sistem pengajaran yang lebih hanya ada
di kota? Lantas, bagaimana nasib adik-adik saya yang tidak bersekolah di daerah
kota? Saya iri mendengar cerita teman saya kemarin tentang pembelajaran yang ia
dapatkan di sekolahnya yang berada di kota.
Mungkin bukti ini yang telah saya temui
berdasarkan pengalaman pribadi dan teman saya bisa menjadi penguat akan tulisan
artikel prof. Chaedar yang mengatakan minimnya literasi pada kehidupan bangsa
kita.
Dengan melihat realita yang ada saat ini,
hendaknya kita (saya dan teman seperjuangan) di Fakultas Tarbiyah bisa menjadi
guru yang mengindahkan literasi pada tingkat SLTP dan SLTA, agar akan ada
banyak pembaharuan ilmu di kalangan umat manusia khususnya de negara kita ini.
Berbicara tentang tulisan, tentu sangat
berhubungan dengan siapa penulis dan pembaca dari tulisan tersebut. Dari
artikel Prof. Chaedar pula kembali mengiyakan tentang kekuatan seorang penulis
dan ketidakberdayaan seorang pembaca, mungkin kata tersebut sangat dramatis
karena berkaitan dengan kenyataan pula yang memang seorang pembaca merasa
dirinya bukanlah pembaca yang baik dan merasa tulisan yang ia baca bukan untuk
dirinya, tidk tepat ia baca, entah mengapa hal itu juga saya rasakan.
Seringkali saya berfikir “buku ini tidak tepat diberikan kepada saya, saya
tidak faham akan makna yang terkandung di dalamnya, dan ini buku berlevel
tinggi, sementara saya bukanlah seorang kutu buku.” Tetapi jika saya terus
seperti ini, maka banyak sekali buku yang saya tinggalkan. Mungkin salah satu
solusi jika kita mengalami hal seperti ini, hendaknya membaca ulang, hingga
berulangkali sampai kita memahami makna dari tulisan tersebut.
Salah satu ungkapan yang hendaknya kita
garisbawahi yaitu “ketika kamu tidak mengerti tentang apa yang kamu baca, apa
alasanmu?” dan jawaban yang dihadirkan oleh serang ‘critical reader’ seperti
yang ditulis di artikel yaitu “seorang penulis tidak memiliki cukup kemampuan
untuk mengangkat makna dan ide kedalam tulisan untuk menjamu pembaca”. Namun,
tidak sependapat dengan apa yang ada di benak saya, karena bisa jadi saya belum
termasuk kepada ‘critical reader’ dan juga saya tidak menemukan alasan jika
saya turut mengiyakan jawaban di atas. Ketika saya dihadapkan pada pertanyaan
seperti pertanyaan di atas, jawaban yang saya suguhkan mungkin terlalu merendah
karena memang inilah yang saya alami, saya lebih kepada mengakui kualitas membaca
saya yang tidak sepadan dengan kualitas dari penulis yang dituangkan ke dalam
sebuah tulisan.
Dapat disimpulkan, bahwa ke literasi an bangsa
kita ini kurang diindahkan yang berefek pada sistem kependidikan siswa. Apa
yang seharusnya dirubah? Dari sistem pembelajaran anak yang mengutamakan
keaktifan dalambersosialisasi itukah yang harus dikurangi atau bagaimana, yang
jelas memang benar adanya jika anak-anak saat ini tidak ditekankan pada
kegiatan menulis. Menurut saya, sejauh yang saya ketahui ukuran anak yang
pintar berbicara sehari-hari itulah yang dianggap anak yang pintar dan aktif,
tapi mungkin tidak disadari bahwa sudahkah ia bisa mengembangkan keaktifannya
ke dalam berbagai hal yang berpengaruh positif pada pengetahuannya. Inilah yang
penting kita renungkan untuk bisa mengajarkan lebih dari apa yang telah
diajarkan oleh guru paa anak-anak saat ini. semuanya kembali kepada kita,
dimulai dari diri kita untuk bisa menjadi generasi yang berkualitas dan bisa
menuangkan apa yang kita ketahui ke dalam tulisan.
0 comments:
Post a Comment