Monday, February 10, 2014

10:09 PM
Appetizer Essay
February, 03rd 2014
Writing and Composition 4
By: Nofi Maryana

Bumikan Indonesia Menulis
Tulisan ini adalah critical review dari tiga artikel sekaligus. (Bukan) Bangsa Penulis yang diterbitkan oleh Pikiran Rakyat, 28 Februari 2012 dan Powerful Writers versus the Helpless Readers yang dipostkan oleh The Jakarta Post, 14 Januari 2012 yang keduanya ditulis oleh A.Chaedar Alwashilah, seta Learning and Teaching Process: More about Readers and Writers yang ditulis oleh C.W Watson.
            Artikel (Bukan) Bangsa Penulis secara garis besar memperlihatkan bahwa warga pendidikan baik itu mahasiswa ataupun dosen diharuskan untuk menulis. Apapun bentuk tulisannya tidak masalah asalkan yang berbau pendidikan karena dengan begitu mampu meningkatkan produktivitas bangsa ini. Ketika bapak Chaedar berkata bahwa Indonesia bukanlah bangsa penulis itu memang benar karena Indonesia juga bukan bangsa pembicara, bangsa pembicara adalah bangsa pekerja. Indonesia adalah bangsa pemikir. Segala sesustu hanya matang dipikirkan tanpa ada realisasinya. Meski gemar membacapun hanya sampai di pikiran saja, tak ada usaha untuk menuliskannya atau menyampaikannya pada orang lain.
            Kemudian, artikle kedua tentang Powerful Writers versus the Helpless Readers secara garis besar membahas kenyataan dibalik pernyataan seorang helpless reader. Penting bagi lembG pendidikan bahasa membentuk siswa yang mampu menjadi critical reader. Writing-oriented studentpun harus lebih ditekankan daripada reading-oriented student. Dalam artikel ini pula bapak Chaedar menghimbau para intelectual unt uk menulis textbook dalam bahasa indonesia
Sedangkan artikel ketiga mengungkap learning dan teaching process di IKIP Bandung (sekarang UPI) yang mana dosen bahasanya menggunakan buku yang ia bawa dari luar negeri namun tetap tidak bisa membuat mahasiswanya berbahasa inggris secara benar dan lancar.
            Sejatinya, Reading dan writing erat kaitannya. Reading adalah bekal dan fondasi dalam menulis. Semakin banyak membaca, akan lebih mudah untuk menulis. Namun kenyataan bahwa tingkat membacanya saja sudah rendah, bagaimana dengan tingkat menulisnya. Sebenarnya apa yang membuat sulitnya membaca dan menulis itu? Memang benar yang dikatakan oleh bapak Chaedar bahwa seseorang akan cenderung memilih buku yang hendak ia baca, yang sesuai dengan background dirinya. Mereka bahkan tidak tertarik pada suatu buku yang bukan seleranya, tapi itu wajar karena itu adalah haknya.
Kenyataan miris lainnya adalah indonesia memang produktif dalam mengeluarkan buku-buku tapi yang berbau novel, romance atau sejenisnya. Sedangkan buku-buku bernuansa ilmiah justru tak terlihat atau secara kasarnya memang tidak ada. Maka dari iu wajar apabila di jenjang pendidikan menggunakan buku berbahasa inggris atau asing sebagai sumber materi dan pembelajaran. Namun sangat disayangkan karena tidak jarang siswa atau mahasiswa yang tidak mengerti akan bahasa tersebut, sehingga pembelajaran bahasa inggris lebih difokuskan guna mengatasi masalah tersebut.
            Anehnya saat mahasiswa dihadapkan pada masalah tadi, sekarang mahasiswa malah dipaksa untuk menulis. Bagaimana siswa atau mahasiswa mau menulis, membaca buku saja mereka tidak mengerti karena sumber buku yang mereka gunakan berbahasa inggris. Lalu kenapa bukan buku bahasa indonesia saja yang dijadikan sumber? Sejatinya, mereka menggunakan sumer buku berbahasa inggris karena minimnya sumber buku pengetahuan bahkan tidak adanya buku pelajaran yang berbahasa indonesia.
Menulis jurnal? Mengapa harus jurnal? Jika sulit menyeleksi teks 400 halaman menjadi 15-20 halaman kenapa tidak membuat buku teks saja? Membuat buku akan lebih bermanfaat untuk pendikdikan, bukankah bapak Chaedar berkata bahwa jurnal hanya sebagai ajang silaturrahmi dan bukti kepakaran  ilmu semata. Membuat jurnal juga berarti hanya menyeleksi tulisan orang lain bukan? Memang jurnal dapat membuktikan bahwa dosen atau orang tersebut bisa menulis tapi apakah hanya itu. Jadi akan lebih baik jika seseorang yang telah membuat jurnal, yang telah menemukan rumus atau teori baru di khazanah ilmu pengetahuan juga membuat buku guna membumikan teorinya dan juga teori terbaru lainnya.
            Himbauan bapak Chaedar mengenai para dosen yang setidaknya satu tahun harus menulis jurnal atau textbook itu boleh saja, tapi yang perlu diperhatikan adalah management timenya. Jangan karena terlalu terfokus pada jurrnal atau buku tersebut lantas dosen mengabaikan tugas utamanya untuk mengajar. Biasanya dosen yang terlalu sibuk berkutat dengan jurnal atau bukunya tega menelantarkan mahasiswanya. Kemudian saya rasa bukan hanya dosen yang disarankan membuat buku atau jurnal, bisa saja guru atau dari profesi keilmuan lainnya yang berpartisipasi meningkatkan prokdutivitas buku pendidikan.
Selain peningkatan produktivitas buku pendidikan, negara kita juga butuh peningkatan critical-thinking. Critical thinking akan menghasilkan critical reading dan critical writing. Menggarisbawahi pernyataan bapak Chaedar bahwa pendidikan bahasa lebih berfokus pada reading (reading-oriented) tapi beliau setuju bahwa sebagian besar bangsa indonesia adalah helpless-reader. Jadi jika benar pendidikan bahasa kita adalah reader-oriented seharusnya kita bukanlah helpless reader,melainkan critical reader.
Ketika critical reader tidak mengerti akan apa yang ia baca, ia bisa saja berpendapat bahwa penulisnya yang tidak berkompeten. Namun, seorang critical writer berpendapat bahwa semua penulis pasti benar karena tulisan itu adalah tulisannya. Semua yang ia tulis adalah apa yang menurut ia benar dan yang ia cari tau sendiri kebenarannya. Jadi pantas apabila penulis berkata bahwa ia selalu benar. Oleh karena itu critical review hadir sebagai titik temu antara keduanya.
Dalam artikel ketiga penulis mengatakan bahwa proses belajar mengajar di Indonesia tidak sempurna karena syllabus dan sistem ujian yang salah. Contohnya mana mungkin hasil belajar 3 tahun baik di SMA atau SMP dapat diukur hanya dengan 3 hari Ujian Nasional. Hal ini sangat tidak objektif. Begitupula dengan reading dan writing literature. L1 adalah fondasi L2. Ketika mahasiswa hanya diberi asupan buku L2 saja, tentu mereka akan sulit untuk mencernanya. Namun apabila mereka diberikan asupan buku dalam L1 dan L2 tentu kemungkinan mereka mengerti akan jauh lebih besar karena L1 dan L2 seimbang.
Kenyataannya kembali lagi ke lapangan, tidak tersedianya buku-buku pendidikan berbahasa indonesia, membuat mereka tidak punya jalan lain selain menggunakan buku berbahasa inggris. Oleh sebab itu keberadaan profesor-profesor, para intelektual serta petinggi akademik indonesia mampu membuat dan mengeluarkan buku pendidikan berbahasa indonesia.

Kesimpulan yang dapat diambil dari ketiga artikel ini diantaranya, pertama artikel ini sangat bagus guna memotivasi warga pendidikan tentang pentingnya menulis. Kedua, tujuan penulis baik terhadap dosen, mahasiswa atau golongan lain sudah tercapai dengan baik. Hanya saja pada artikel ketiga tersebut penulis tidak seimbang dalam memberikan contoh-contoh atau penjelasan pendukung, seperti pernyataan bahwa mahasiswa diberikan buku yang dibawa oleh dosennya dari luar negeri. Penulis tidak membahas atau menjelaskan  bagaimana komentar atau sudut pandang para mahasiswa tersebut mengenai hal itu.

0 comments:

Post a Comment