Appetizer Essay
February, 03rd 2014
Writing and Composition 4
By: Nofi Maryana
Bumikan Indonesia Menulis
Tulisan ini adalah critical review
dari tiga artikel sekaligus. (Bukan) Bangsa Penulis yang diterbitkan oleh
Pikiran Rakyat, 28 Februari 2012 dan Powerful Writers versus the Helpless
Readers yang dipostkan oleh The Jakarta Post, 14 Januari 2012 yang keduanya
ditulis oleh A.Chaedar Alwashilah, seta Learning and Teaching Process: More
about Readers and Writers yang ditulis oleh C.W Watson.
Artikel (Bukan)
Bangsa Penulis secara garis besar memperlihatkan bahwa warga pendidikan baik
itu mahasiswa ataupun dosen diharuskan untuk menulis. Apapun bentuk tulisannya
tidak masalah asalkan yang berbau pendidikan karena dengan begitu mampu
meningkatkan produktivitas bangsa ini. Ketika bapak Chaedar berkata bahwa
Indonesia bukanlah bangsa penulis itu memang benar karena Indonesia juga bukan
bangsa pembicara, bangsa pembicara adalah bangsa pekerja. Indonesia adalah
bangsa pemikir. Segala sesustu hanya matang dipikirkan tanpa ada realisasinya.
Meski gemar membacapun hanya sampai di pikiran saja, tak ada usaha untuk
menuliskannya atau menyampaikannya pada orang lain.
Kemudian, artikle
kedua tentang Powerful Writers versus the Helpless Readers secara garis besar
membahas kenyataan dibalik pernyataan seorang helpless reader. Penting bagi
lembG pendidikan bahasa membentuk siswa yang mampu menjadi critical reader.
Writing-oriented studentpun harus lebih ditekankan daripada reading-oriented
student. Dalam artikel ini pula bapak Chaedar menghimbau para intelectual unt
uk menulis textbook dalam bahasa indonesia
Sedangkan
artikel ketiga mengungkap learning dan teaching process di IKIP Bandung
(sekarang UPI) yang mana dosen bahasanya menggunakan buku yang ia bawa dari
luar negeri namun tetap tidak bisa membuat mahasiswanya berbahasa inggris
secara benar dan lancar.
Sejatinya,
Reading dan writing erat kaitannya. Reading adalah bekal dan fondasi dalam
menulis. Semakin banyak membaca, akan lebih mudah untuk menulis. Namun
kenyataan bahwa tingkat membacanya saja sudah rendah, bagaimana dengan tingkat
menulisnya. Sebenarnya apa yang membuat sulitnya membaca dan menulis itu?
Memang benar yang dikatakan oleh bapak Chaedar bahwa seseorang akan cenderung
memilih buku yang hendak ia baca, yang sesuai dengan background dirinya. Mereka
bahkan tidak tertarik pada suatu buku yang bukan seleranya, tapi itu wajar
karena itu adalah haknya.
Kenyataan miris lainnya adalah
indonesia memang produktif dalam mengeluarkan buku-buku tapi yang berbau novel,
romance atau sejenisnya. Sedangkan buku-buku bernuansa ilmiah justru tak
terlihat atau secara kasarnya memang tidak ada. Maka dari iu wajar apabila di
jenjang pendidikan menggunakan buku berbahasa inggris atau asing sebagai sumber
materi dan pembelajaran. Namun sangat disayangkan karena tidak jarang siswa
atau mahasiswa yang tidak mengerti akan bahasa tersebut, sehingga pembelajaran
bahasa inggris lebih difokuskan guna mengatasi masalah tersebut.
Anehnya
saat mahasiswa dihadapkan pada masalah tadi, sekarang mahasiswa malah dipaksa
untuk menulis. Bagaimana siswa atau mahasiswa mau menulis, membaca buku saja
mereka tidak mengerti karena sumber buku yang mereka gunakan berbahasa inggris.
Lalu kenapa bukan buku bahasa indonesia saja yang dijadikan sumber? Sejatinya,
mereka menggunakan sumer buku berbahasa inggris karena minimnya sumber buku
pengetahuan bahkan tidak adanya buku pelajaran yang berbahasa indonesia.
Menulis jurnal? Mengapa harus
jurnal? Jika sulit menyeleksi teks 400 halaman menjadi 15-20 halaman kenapa
tidak membuat buku teks saja? Membuat buku akan lebih bermanfaat untuk
pendikdikan, bukankah bapak Chaedar berkata bahwa jurnal hanya sebagai ajang
silaturrahmi dan bukti kepakaran ilmu
semata. Membuat jurnal juga berarti hanya menyeleksi tulisan orang lain bukan?
Memang jurnal dapat membuktikan bahwa dosen atau orang tersebut bisa menulis
tapi apakah hanya itu. Jadi akan lebih baik jika seseorang yang telah membuat
jurnal, yang telah menemukan rumus atau teori baru di khazanah ilmu pengetahuan
juga membuat buku guna membumikan teorinya dan juga teori terbaru lainnya.
Himbauan bapak
Chaedar mengenai para dosen yang setidaknya satu tahun harus menulis jurnal
atau textbook itu boleh saja, tapi yang perlu diperhatikan adalah management
timenya. Jangan karena terlalu terfokus pada jurrnal atau buku tersebut lantas
dosen mengabaikan tugas utamanya untuk mengajar. Biasanya dosen yang terlalu
sibuk berkutat dengan jurnal atau bukunya tega menelantarkan mahasiswanya.
Kemudian saya rasa bukan hanya dosen yang disarankan membuat buku atau jurnal,
bisa saja guru atau dari profesi keilmuan lainnya yang berpartisipasi
meningkatkan prokdutivitas buku pendidikan.
Selain peningkatan produktivitas
buku pendidikan, negara kita juga butuh peningkatan critical-thinking. Critical
thinking akan menghasilkan critical reading dan critical writing.
Menggarisbawahi pernyataan bapak Chaedar bahwa pendidikan bahasa lebih berfokus
pada reading (reading-oriented) tapi beliau setuju bahwa sebagian besar bangsa
indonesia adalah helpless-reader. Jadi jika benar pendidikan bahasa kita adalah
reader-oriented seharusnya kita bukanlah helpless reader,melainkan critical
reader.
Ketika critical reader tidak
mengerti akan apa yang ia baca, ia bisa saja berpendapat bahwa penulisnya yang
tidak berkompeten. Namun, seorang critical writer berpendapat bahwa semua penulis
pasti benar karena tulisan itu adalah tulisannya. Semua yang ia tulis
adalah apa yang menurut ia benar dan yang ia cari tau sendiri kebenarannya.
Jadi pantas apabila penulis berkata bahwa ia selalu benar. Oleh karena itu
critical review hadir sebagai titik temu antara keduanya.
Dalam artikel ketiga penulis
mengatakan bahwa proses belajar mengajar di Indonesia tidak sempurna karena
syllabus dan sistem ujian yang salah. Contohnya mana mungkin hasil belajar 3
tahun baik di SMA atau SMP dapat diukur hanya dengan 3 hari Ujian Nasional. Hal
ini sangat tidak objektif. Begitupula dengan reading dan writing literature. L1
adalah fondasi L2. Ketika mahasiswa hanya diberi asupan buku L2 saja, tentu
mereka akan sulit untuk mencernanya. Namun apabila mereka diberikan asupan buku
dalam L1 dan L2 tentu kemungkinan mereka mengerti akan jauh lebih besar karena
L1 dan L2 seimbang.
Kenyataannya kembali lagi ke
lapangan, tidak tersedianya buku-buku pendidikan berbahasa indonesia, membuat
mereka tidak punya jalan lain selain menggunakan buku berbahasa inggris. Oleh
sebab itu keberadaan profesor-profesor, para intelektual serta petinggi
akademik indonesia mampu membuat dan mengeluarkan buku pendidikan berbahasa
indonesia.
Kesimpulan yang dapat diambil dari
ketiga artikel ini diantaranya, pertama artikel ini sangat bagus guna
memotivasi warga pendidikan tentang pentingnya menulis. Kedua, tujuan penulis
baik terhadap dosen, mahasiswa atau golongan lain sudah tercapai dengan baik.
Hanya saja pada artikel ketiga tersebut penulis tidak seimbang dalam memberikan
contoh-contoh atau penjelasan pendukung, seperti pernyataan bahwa mahasiswa
diberikan buku yang dibawa oleh dosennya dari luar negeri. Penulis tidak
membahas atau menjelaskan bagaimana
komentar atau sudut pandang para mahasiswa tersebut mengenai hal itu.
0 comments:
Post a Comment