Lewat wacana “(Bukan) Bangsa Penulis” A. Chaedar Alwasilah
berargumen bahwa pada saat ini bangsa kita telah dihadapkan pada suatu hal yang
sangat krusial, yakni rendahnya minat dan bakat masyarakat kita dalam bidang
menulis. Jangankan masyarakat biasa, golongan yang dianggap berintelektual pun
mayoritas tidak bisa menulis.
Sampai dengan tahun 2003, Indonesia setiap tahunnya
memproduksi 6.000 buku (termasuk terjemahan), Malaysia 8.500 buku, Korea 45.000
buku, Jepang 60.000 buku, Amerika 90.000, buku dan India 70.000 buku. Samapai
dengan 2006, India menempati posisi ke-3 terbesar setelah Amerika dan Inggris (komusikasi
dengan pusat perbukuan,2011). Sementara itu, diketahui bahwa sampai dengan
2007 tercatat 231.786 orang dosen di Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
dengan sebaran sebagai berikut: 12.231 orang berpendidikan S-3, 74.845 orang
berpendidikan S-2, 135.340 orang berpendidikan S-1, 2.667 orang berpendidikan
Sp-1, 420 orang berpendidikan Sp-2, 2.052 orang berpendidikan D-4, 2.705 orang
berpendidikan D-3, 55 orang berpendidikan D-2, 28 orang berpendidikan D-1,
1.316 orang berpendidikan profesi, dan 127 orang berpendidikan non academic (Depdiknas,
2008). Bila setiap dosen menjalankan kewajibannya menulis sebuah buku dalam
setiap tiga tahun, maka setiap tahun akan terbit sekitar 77.000 buah; belum
termasuk buku-buku yang ditulis oleh kalangan non dosen. Dengan cara ini lah
Indonesia akan mampu menyamai India.
Terdapat banyak alasan mengapa para kaum intelektual
ini tidak bisa menulis. Salah satunya penyebabnya adalah seperti yang
dijelaskan oleh A. Chaedar Alwasilah dalam sebuah artikel yang berjudul “Powerful
Writers Versus the Helpless Readers” yang dimuat di the Jakarta Post Januari 2012
lalu. Dalam sebuah informal survey yang dilakukan beliau terhadap para
mahasiswa. Hampir 95 persen mahasiswa menyalahkan diri mereka sendiri. Mereka
berkata bahwa mereka tidak memiliki latar belakang menulis yang baik dan
menilai bahwa penulis terlalu ahli sehingga berbanding terbalik dengan
kapasitas mereka sebagai pemula.
Selain alasan diatas, fenomena kesalahgunaan buku
yang baik untuk para undergraduate pun menjadi alasan lainnya. Banyak para
dosen yang bergelar Doktor setelah memperoleh gelarnya dari luar negeri
memperlakukan siswanya seperti sudah menjadi calon Doktor. Mereka selalu
menggunakan buku favorit yang mereka bawa dari luar negeri untuk mengajar para
undergraduate. Dan itu sebenarnya bukanlah sebuah sifat mendidik melah bisa
jadi itu adalah sebuah gangguan intelektual. Para dosen tidak menyadari bahwa
keputusan mereka itu dapat mengecilkan minat mahasiswa menjadi pembaca kritis.
Selain itu efek lainnya adalah membuat siswa lebih berorientasi menjadi
intelectual readers dari pada menjadi intelectual writers. Bahkan bahaya lainnya
adalah dengan menggunakan terlalu banyak buku import yang dijadikan sebagai
bahan pengajaran dapat mencuci otak para mahasiswa bahwa bahasa nasional kita
tidak cukup berpengalaman untuk menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Pendapat pak Chaedar diatas pun sangat didukung oleh
C.W Watson lewat artikelnya yang berjudul (Leraning and Teaching Process:
more about Readers and Writers). Sebagai bukan warga negara Indonesia dia
berspekulasi yang cukup beresiko memprovokasi kemarahan para pembaca Indonesia, seperti apa yang dilakukan pak
Chaedar. Diluar apa yang telah dikatakan pak Chaedar dia mengkritik bahwa
kurikulum negara kita terlalu kembung atas hal-hal yang tidak penting. Tidak
mementingkan menulis malah mementingkan Ujian Nasional yang hanya mengisi
lembar jawaban yang bersoalkan pilihan ganda. Suatu hal yang sangat aneh bila
kelulusan siswa hanya ditentukan lewat tes macam itu. Berkat itu pula lah
setelah lulus mereka tidak cakap dalam menulis.
Selain alasan diatas sebenarnya terdapat banyak alasan
mengapa saat ini semakin banyak saja siswa yang tidak dapat meulis. Berdasarkan
Penelitian Setiadi (2010) beliau menemukan kenyataan sebagai berikut: dalam
pembelajarn membaca dan menulis, para guru sangat mengandalkan kurikulum
nasional dan buku paket untuk materi ajar dan metodelogi mengajarnya. Pemodelan
dalam kegiatan membaca dan menulis tidak lazim dilakukan oleh para guru. Serta
walaupun kualifikasi akademik para guru sekolah memadai, mereka tidak mendapat
pelatihan yang memadai dalam kegiatan mengelola kelas, mereka memerlukan
tambahan untuk meningkatkan kerja mereka.
Sedangkan menurut opini saya yang mengakibatkan
mengapa banyak masyarakat indonesia yang tidak bisa menulis saat ini adalah
dikarenakan oleh dua sebab, yang pertama adalah karena paradigma sosial yang
keliru yang tumbuh dan berkembang dalam masarakat terhadap menulis. Banyak
masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa menulis adalah suatu yang
merepotkan, bila bisa diuatarakan secara lisan mengapa harus menulis. Selain
itu banyak diantara merka yang tidak mengetahui esensi dari menulis, sehingga
banyak banyak yang mengira bahwa menulis adalah sesuatu yang membutuhkan banyak
biaya namun sedikit memberi keuntungan. Sehingga banyak diantara mereka yang
mengurungkan diri menjadi seorang penulis.
Alasan lainnya adalaah perkembangan teknologi yang
tak terbatas. Banyak orang yang menjadi malas menulis karena kecanggihan
teknologi saat ini. Sebagai contoh sederhana, saat ini bila seorang mahasiswa
diberi tugas membuat makalah, dengan mudah tanpa menulis dan membaca mereka
dapat membuatnya dalam waktu sekejab lewat internet. Komunikasi surat menyurat
pun telah digantikan oleh SMS dan telepon. Bahkan mencatat catatan pun sudah
tidak zaman. Kita cukup merekam suara atau memotret dan memfotokopi maka
semuanya beres. Sungguh kita teramat dimanjakan oleh teknologi.
Kesemua alasan diatas memang benar menjadi penyabab
mengapa masyarakat Indonesia saat ini tidak bisa menulis. Namun bila ditilik
dari sejarah, bangsa kita ini sebenarnya adalah salah satu bangsa penulis.
Mengapa begitu? Itu karena bisa kita dapati dengan banyaknya prasasti sisa
kerajaan-kerajaan kuno yang ditemukan di Indonesia. Bahkan hebatnya sejak abad
ke-4 bangsa kita ini sudah mulai menulis dan itu terbukti oleh prasasti yang
ditemuakn di kutai.
Selain itu munculnya pergerakan nasional hingga
kemerdekaan bangsa ini pun didapat dari hasil menulis.
Tulisan-tulisan sastrawan bangsa ini lah yang saat itu mengobarkan semangat anak-anak bangsa untuk bangkit dan berjuang melawan penjajah. Tulisan-tulisan mereka pun tidak sebatas bahasa Belanda atau Indonesia saja, melainkan juga bahasa daerah. Dan itu membuktikan bahwa budaya literasi itu pun cukup berkembang didaerah pinggiran dan golongan non intelek.
Selain itu pun bermunculan para sastrawan-sastrawan muda yang menulis bukan hanya untuk perjuangan tapi juga kesenian. Maka munculah novel-novel luar biasa dan lahirlah para legenda0legenda sastra bahkan semua karyanya tetap hidup himgga kini. Dan itu semua adalah karena dukungan penuh dari Pemerintah saat itu yakni kolonial Belanda yang berperan sebagai fasilitator dengan membuat Balai Pustaka.
Oleh karena itu, sudah saatnya bagi pemerintah dan aparatur terkait untuk mulai memberikan perhatian khusus untuk masalah ini. Selain itupun sebaiknya mereka memberikan dukungan penuh dengan bersikap sebagai fasilitator. Tidak ada kata terlambat untuk melakukan perubahan. Bila saat ini saja Indonesia dianggap bukan bangsa penulis. Jangan sampai suatu saat nanti kita disebut sebagai bangsa yang tidak pernah menulis.
0 comments:
Post a Comment