Monday, February 10, 2014

Lewat wacana “(Bukan) Bangsa Penulis” A. Chaedar Alwasilah berargumen bahwa pada saat ini bangsa kita telah dihadapkan pada suatu hal yang sangat krusial, yakni rendahnya minat dan bakat masyarakat kita dalam bidang menulis. Jangankan masyarakat biasa, golongan yang dianggap berintelektual pun mayoritas tidak bisa menulis.
Sampai dengan tahun 2003, Indonesia setiap tahunnya memproduksi 6.000 buku (termasuk terjemahan), Malaysia 8.500 buku, Korea 45.000 buku, Jepang 60.000 buku, Amerika 90.000, buku dan India 70.000 buku. Samapai dengan 2006, India menempati posisi ke-3 terbesar setelah Amerika dan Inggris (komusikasi dengan pusat perbukuan,2011). Sementara itu, diketahui bahwa sampai dengan 2007 tercatat 231.786 orang dosen di Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dengan sebaran sebagai berikut: 12.231 orang berpendidikan S-3, 74.845 orang berpendidikan S-2, 135.340 orang berpendidikan S-1, 2.667 orang berpendidikan Sp-1, 420 orang berpendidikan Sp-2, 2.052 orang berpendidikan D-4, 2.705 orang berpendidikan D-3, 55 orang berpendidikan D-2, 28 orang berpendidikan D-1, 1.316 orang berpendidikan profesi, dan 127 orang berpendidikan non academic (Depdiknas, 2008). Bila setiap dosen menjalankan kewajibannya menulis sebuah buku dalam setiap tiga tahun, maka setiap tahun akan terbit sekitar 77.000 buah; belum termasuk buku-buku yang ditulis oleh kalangan non dosen. Dengan cara ini lah Indonesia akan mampu menyamai India.
Terdapat banyak alasan mengapa para kaum intelektual ini tidak bisa menulis. Salah satunya penyebabnya adalah seperti yang dijelaskan oleh A. Chaedar Alwasilah dalam sebuah artikel yang berjudul “Powerful Writers Versus the Helpless Readers”  yang dimuat di the Jakarta Post Januari 2012 lalu. Dalam sebuah informal survey yang dilakukan beliau terhadap para mahasiswa. Hampir 95 persen mahasiswa menyalahkan diri mereka sendiri. Mereka berkata bahwa mereka tidak memiliki latar belakang menulis yang baik dan menilai bahwa penulis terlalu ahli sehingga berbanding terbalik dengan kapasitas mereka sebagai pemula.
Selain alasan diatas, fenomena kesalahgunaan buku yang baik untuk para undergraduate pun menjadi alasan lainnya. Banyak para dosen yang bergelar Doktor setelah memperoleh gelarnya dari luar negeri memperlakukan siswanya seperti sudah menjadi calon Doktor. Mereka selalu menggunakan buku favorit yang mereka bawa dari luar negeri untuk mengajar para undergraduate. Dan itu sebenarnya bukanlah sebuah sifat mendidik melah bisa jadi itu adalah sebuah gangguan intelektual. Para dosen tidak menyadari bahwa keputusan mereka itu dapat mengecilkan minat mahasiswa menjadi pembaca kritis. Selain itu efek lainnya adalah membuat siswa lebih berorientasi menjadi intelectual readers dari pada menjadi intelectual writers. Bahkan bahaya lainnya adalah dengan menggunakan terlalu banyak buku import yang dijadikan sebagai bahan pengajaran dapat mencuci otak para mahasiswa bahwa bahasa nasional kita tidak cukup berpengalaman untuk menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Pendapat pak Chaedar diatas pun sangat didukung oleh C.W Watson lewat artikelnya yang berjudul (Leraning and Teaching Process: more about Readers and Writers). Sebagai bukan warga negara Indonesia dia berspekulasi yang cukup beresiko memprovokasi kemarahan para pembaca  Indonesia, seperti apa yang dilakukan pak Chaedar. Diluar apa yang telah dikatakan pak Chaedar dia mengkritik bahwa kurikulum negara kita terlalu kembung atas hal-hal yang tidak penting. Tidak mementingkan menulis malah mementingkan Ujian Nasional yang hanya mengisi lembar jawaban yang bersoalkan pilihan ganda. Suatu hal yang sangat aneh bila kelulusan siswa hanya ditentukan lewat tes macam itu. Berkat itu pula lah setelah lulus mereka tidak cakap dalam menulis.
Selain alasan diatas sebenarnya terdapat banyak alasan mengapa saat ini semakin banyak saja siswa yang tidak dapat meulis. Berdasarkan Penelitian Setiadi (2010) beliau menemukan kenyataan sebagai berikut: dalam pembelajarn membaca dan menulis, para guru sangat mengandalkan kurikulum nasional dan buku paket untuk materi ajar dan metodelogi mengajarnya. Pemodelan dalam kegiatan membaca dan menulis tidak lazim dilakukan oleh para guru. Serta walaupun kualifikasi akademik para guru sekolah memadai, mereka tidak mendapat pelatihan yang memadai dalam kegiatan mengelola kelas, mereka memerlukan tambahan untuk meningkatkan kerja mereka.
Sedangkan menurut opini saya yang mengakibatkan mengapa banyak masyarakat indonesia yang tidak bisa menulis saat ini adalah dikarenakan oleh dua sebab, yang pertama adalah karena paradigma sosial yang keliru yang tumbuh dan berkembang dalam masarakat terhadap menulis. Banyak masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa menulis adalah suatu yang merepotkan, bila bisa diuatarakan secara lisan mengapa harus menulis. Selain itu banyak diantara merka yang tidak mengetahui esensi dari menulis, sehingga banyak banyak yang mengira bahwa menulis adalah sesuatu yang membutuhkan banyak biaya namun sedikit memberi keuntungan. Sehingga banyak diantara mereka yang mengurungkan diri menjadi seorang penulis.
Alasan lainnya adalaah perkembangan teknologi yang tak terbatas. Banyak orang yang menjadi malas menulis karena kecanggihan teknologi saat ini. Sebagai contoh sederhana, saat ini bila seorang mahasiswa diberi tugas membuat makalah, dengan mudah tanpa menulis dan membaca mereka dapat membuatnya dalam waktu sekejab lewat internet. Komunikasi surat menyurat pun telah digantikan oleh SMS dan telepon. Bahkan mencatat catatan pun sudah tidak zaman. Kita cukup merekam suara atau memotret dan memfotokopi maka semuanya beres. Sungguh kita teramat dimanjakan oleh teknologi.
Kesemua alasan diatas memang benar menjadi penyabab mengapa masyarakat Indonesia saat ini tidak bisa menulis. Namun bila ditilik dari sejarah, bangsa kita ini sebenarnya adalah salah satu bangsa penulis. Mengapa begitu? Itu karena bisa kita dapati dengan banyaknya prasasti sisa kerajaan-kerajaan kuno yang ditemukan di Indonesia. Bahkan hebatnya sejak abad ke-4 bangsa kita ini sudah mulai menulis dan itu terbukti oleh prasasti yang ditemuakn di kutai.
Selain itu munculnya pergerakan nasional hingga kemerdekaan bangsa ini pun didapat dari hasil menulis.  Tulisan-tulisan sastrawan bangsa ini lah yang saat itu mengobarkan semangat anak-anak bangsa untuk bangkit dan berjuang melawan penjajah. Tulisan-tulisan mereka pun tidak sebatas bahasa Belanda atau Indonesia saja, melainkan juga bahasa daerah. Dan itu membuktikan bahwa budaya literasi itu pun cukup berkembang didaerah pinggiran dan golongan non intelek.

Selain itu pun bermunculan para sastrawan-sastrawan muda yang menulis bukan hanya untuk perjuangan tapi juga kesenian. Maka munculah novel-novel luar biasa dan lahirlah para legenda0legenda sastra bahkan semua karyanya tetap hidup himgga kini. Dan itu semua adalah karena dukungan penuh dari Pemerintah saat itu yakni kolonial Belanda yang berperan sebagai fasilitator dengan membuat Balai Pustaka.
Oleh karena itu, sudah saatnya bagi pemerintah dan aparatur terkait untuk mulai memberikan perhatian khusus untuk masalah ini. Selain itupun sebaiknya mereka memberikan dukungan penuh dengan bersikap sebagai fasilitator. Tidak ada kata terlambat untuk melakukan perubahan. Bila saat ini saja Indonesia dianggap bukan bangsa penulis. Jangan sampai suatu saat nanti kita disebut sebagai bangsa yang tidak pernah menulis.

0 comments:

Post a Comment