Nama: Musfi’ah Ni’matu Maula
Kelas: PBI_B
NIM:
14121310326
Semburan Wiritng di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa
Setelah saya membaca dan mengamati artikel dari pk A.Chaedar
Alwasillah yang berjudul “bukan bangsa penulis”. Ada beberapa pendapat yang
saya kurang setuju. Tentang penelitian yang Krashen (1984) di perguruan tinggi
AS menunjukka bahwa para penulis produktif
dewasa adalah pada masa SMA, antara lain membaca karya sastra,
berlangganan koran atau majalah dan di rumahnya tersedia perpustakaan. Menurut
saya itu bagus teteapi jika diterapkan di indonesia pada anak SMA kita itu akan
sangat sulit. Yang saya ketahui bahwa untuk mengajak anak SMA untuk produktif
dalam menulis karya ilmiah. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya bahan
bacaan di perpustakaan tettang karya sastra, siswa lebih menyukai membaca
novel, komik dan dengan adanya jaringan komunikasi yang canggih membuat anak
SMA malas produktif untuk menulis. Mereka lebih suka update di media sosial
seperti facebook,twitter,instagram,bbm dan lain sebagainya.
Sebelum adanya jaringan telekomunikasi canggih. Media surat
merupakan media yang banyak digunakan pada zaman itu. Antusias siswa untuk
menulis pada zaman itu pun ada. Bukan hanya surat tetapi ada juga menulis
diary. Apabila kita ingin berkomunikasi dengan kerapat kita yang jauh. Otomatis
satu-satunya media perantara itu adalah surat. Walaupun dulu sudah ada telefon
tetapi jarang sekali orang yang mempunyainya karena harganya yang cukup mahal.
Jadi, kebanyakan orang lebih memilih media surat karena harganya yang murah.
Untuk mendukung minat membaca dan menulis di kalangan pelajar SMA di Amerika
dengan berlangganan majalah ataupun koran. Menurut saya apabila itu di terapkan
juga di indonesia rasanya kurang cocok karena orang yang berlangganan koran itu
biasanya orang-orang tertentu saja, orang yang sudah mempunya pekerjaan atau
penghasilan sendiri. Pendukung lainnya yaitu siswa SMA di Amerika memiliki
perpustakaan sendiri di rumahnya. Jika di terapkan untuk siswa di indonesia itu
bagus. Tetapi kurang tepat karena perpustakaan umum saja mereka jarang
mengunjunginya, jarang membacanya. Apalagi harus memilikinya sendiri. Yang saya
ketahui juga hanya orang-orang tetrtentu saja yang memiliki perpustakaan
sendiri di rumahnya seperti guru, dosen, profesor.
Ada beberapa alasan mengapa orang indonesia tidak suka menulis. Pertama
adalah paradigma rakyat indonesia yang melihat bahwa menulis itu sesuatu yang
tidak mengasyikkan. Kurangnya perhatian dari pemerintah mulai dari tidak adanya
kurikulum yang menekankan untuk menulis. Seperti yang pak Chaedar jelaskan pada
artikel pertamanya bahwa rakyat indonesia bukan bangsa penulis. Sebenarnya itu
juga salah karena banyak sekali penulis-penulis berbakat di indonesia. Hingga
bermunculan para sastrawan hingga ke pelosok negeri dengan antusias. Setelah
indonesia merdeka banyak sastrawan yang justru menghilang. Bahkan minat menulis
semakin menurun. Salah satu penyebab yang paling berpengaruh adalah pengekangan
dari pemeri tah. Terutama pada rezim soeharto tentang kebebasan berpendapat.
Apabila ada media masa atau cetak menyinggung tentang kepemerintahannya atau
dirinya akan di penjara. Dari situlah penyebab semakin menurunnya produktifitas
para sastrawan di indonesia.
Alasan kedua karena
banyak para pembaca tidak mengerti akan buku yang mereka baca. Alasan ketiga
kurangnya buku-buku yang berkualitas yang berbahasa indonesia. Sehingga
kita lebih percaya dengan buku-buku dari luar. Akibatnya banyak para mahasiswa
di perguruan tinggi tidak mengerti
dengan buku yang mereka baca dan tidak ada manfaatnya karena kita tidak bisa
memahami bacaan dari buku tersebut. Alasan keempat kita sudah menjudge
bahwa buku yang kita baca mencapai ratusan halaman sehingga kita sudah malas
untuk membacanya karena melihat jumlah halaman yang luar biasa banyak. Apabila
ada buku yang di awalnya sulit sekali untuk dipahami, kemudain buku itu tidak
akan dibacanya kembali. Sebenarnya itu merupakan tantangan kita untuk mengasah
atau melatih pemahaman kita. Terutama pada buku-buku bahasa inggris dan
alasan-alasan lainnya.
Setelah saya membaca dan mencoba memahami teks yang ketiga. Sistem
pendidikan kita sekarang adalah mengutamakan keaktifan kelas pada siswanya. Hal
itu di anggap lebih baik dan anak di anggap pintar jika dia aktif berbicara di kelasnya. Apakah itu bisa
dikatakan bahwa bangsa kita memang bukan bangsa penulis? Jawabannya bisa,
faktor tersebut lebih mengutamakan kepada para siswa untuk aktif berbicara dan
berdebat dibandingkan menulis. Dahulu ketika saya duduk di bangku sekolah dasar
atau sekolah menengah pertama sering sekali saya ditugaskan guru saya untuk
membuat karangan. Mengarang merupakan kegiatan mengasah kemampuan tulisan kita.
Kemudian ada satu hal lagi yang membuat saya tercengang adalah
pendidikan di indonesia setingkat SD,SMP,SMA yang mempengaruhi suatu hasil
kelulusan adalah ujian nasional. Padahal di negara-negara maju yang
mempengaruhi suatu kelulusan siswa-siswinya yaitu dilihat dari segi proses
pembelajaran yang dilakukan para siswanya. Banyak sekali dampak dari ujian
nasional yaitu para siswa depresi ketika sudah mendekati masa ujian, terbukti
bahwa banyak terjadinya kecurangan yang dilakukan siswa ataupun guru. Menurut
saya lebih baik di hilangkan saja sistem ujian nasional. Jadi untuk menentukan
kelulusan siswa di lihat dari nilai prosesnya, dari tugas-tugasnya, dari
kerajinannya dan dari aspek lainnya.
Kesimpulannya adalah jangan salahkan siapa-siapa jika bangsa kita
bukan bangsa penulis. Mulailah dari hal terkecil. Mulai dari diri kita sendiri,
untuk melatih kemampuan menulis. Kita harus berfikir kritis demi merubah negeri
kita lebih baik lagi.
0 comments:
Post a Comment