Setelah
saya memaca wacana pertama dengan judul (Bukan) Bangsa Penulis. Pertama-tama
saya akan berkomentar sedikit mengenai judul wacana tersebut, tertulis “(Bukan)
Bangsa Penulis “ dilihat dari judulnya seolah-olah si penulis sudah sangat
kesal dengan keadaan yang sedang dialami bangsa kita, yaitu krisis literasi.
Kembali
ke masa lalu, dimana dulu bangsa kita adalah bangsa pengekspor pengajar
kewilayah sekitar asia tenggara. Tepatnya dulu kita tenaga pengajar kita banyak
di ekspor ke malaysia yang notabenya dulu pendidikan bangsa kita lebih baik dan
maju dari pada bangsa serumpun kita. Tetapi apa yang terjadi sekarang? Keadaan
berbalik 180 derajat, kini angsa kita yang kebanyakan datang ke negeri orang
untuk menuntut ilmu. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di perguruan tinggi
kita? Sehingga banyak para pelajar memilih menuntut ilmu ke negara lain?
Mungkin jawabanya kembali pada diri kita masing-masing apakah masih tetap ingin
menjadi followers ataukah memilih untuk mandiri. Terbukti benar kata pak haidar
kalau buku-buku di sekolah ataupun di tempat akademik lainya banyak didominasi
buku-buku asing. Lalu kemanakah hasil tulisan kita sendiri sebagai anak bangsa.
Itulah mungkin yang menjadi salah satu penyebabnya. Saya setuju dengan pendapat
pak haidar yang satu ini. Bahwasanya kurangnya tulisan/karya ilmiah disebabkan
oleh orang-orang yang hanya membaca tetapi tidak memproduksinya. Dalam artian
seseorang yang hanya membaca tetapi tidak mengaplikasanya dalam bentuk tulisan,
sehingga hal inilah yang membuat kurangnya penulis di indonesia.
Akan
tetapi sangat susah dijumpai masyarakat yang berliterasi ni negeri ini, dimana
budaya orang-orang yang hanya (sekelewat) tanpa berfikir yang leih jauh lagi.
Bahkan kita kalah saing dengan tetangga kita sendiri yaitu malaysia, hanya sekitar
sepertujuh. Lalu pak haidar bilang, apa bisa? Apa bisa kita melampaui malaysia
dengan menerbitkan uku 10x lipat, 80 ribu judul buku pertahun? Menurut saya
kalau difikir-fikir agak susah, apalagi dengan pemikiran masyarakat yang sudah
terpola sejak dulu bahwasanya kalau membaca ya hanya sekedar membaca (hanya
sekedar lewat). Fikir mereka yang bisa menulis adalah orang-orang yang mereka
anggap pantas untuk menulis layaknya orang yang berpendidikan tinggi. Padahal
itu semua belum tentu, justru hal seperti ini adalah tanggung jawab kita
bersama untuk memajukan dunia literasi di negara ini.
Tapi
pada kenyataanya memang masih banyak faktor yang membuat indonesia ketinggalan
dalam hal literasi salah satunya adalah kurangnya produktifitas menulis oleh
para kalangan terpelajar. Baik siswa, mahasiswa, ataupun dari segi dosenya
sendiri. Terkadang banyak keluhan mahasiswa mengenai menulis. Mulai dari faktor
tidak punya waktu, terlalu ribet, mentok dengan ide, dan lain sebagainya. Akan
tetapi menurut saya faktor kemalasanlah yang membuat kita mengurungkan diri
unruk berproduksi dalam hal tulisan.
Perbandingan
sistem perkuliahan di indonesia dan AS. Disini mahasiswa disuruh menulis TA
berupa skripsi, thesis, disertasi, dan harus mempertanggungjawabkanya didepan
penguji setelah itu mereka-mereka yang lulus di anggap memiliki modal untuk
mengaplikasikanya sesuai background yang mereka ambil. Tapi pertanyaanya apakah
cukup dengan hanya seperti itu tanpa mempertimbangkan proses-proses yang mereka
alami ketika masih duduk di bangku perkuliahan. Kita lihat di AS mahasiswanya
dipaksa untuk banyak menulis seperti laporan observasi, menulis essay, review,
dsb. Apa tujuanya? Tujuanya yaitu untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam
berargumen atau mengkritisi sebuah tulisan. Tentunya setelah itu semua
dikoreksi oleh dosen masing-masing, dan apa bila penilaianya kurang memuaskan
maka dosen tersebut tidak segan-segan memberikan kritikan pedas dengan tujuan
agar si mahasiswa bisa mengevaluasi kekurangan dirinya.
Di
wacananya pak haidar juga ada sub judul “ mengapa artikel jurnal?” ini sangat
menarik bahwasanya jurnal dikelola oleh tim yang ahli dalam bidang keilmuan
tertentu dan setiap naskah yang masuk dibaca oleh blind reviewer, sehingga
identitas naskah bersifat objektif bukan subjektif. Ini samahalnya yang
diungkapkan pak lala sewaktu di kelas tentang academic writing dimana harus
memisahkan antara you vs object. Tidak ada lagi namanya personal.
Pada
wacana ke dua, yaitu pada dasarnya seorang penulis itu akan menghasilkan teks,
dan teks tersebut akan di baca oleh orang-orang. Setiap orang mempunyai
tanggapan ataupun pemahaman masing-masing dengan teks yang telah dibacanya. Ada
yang hanya sekedar membaca, dan sekedar tahu apa isi teks tersebut dan ada yang
benar-benar memahami isi, konten, dan konteksnya. Ada juga yang memberikan
timbal balik kepada si penulisnya berupa masukan. Baik itu kritik, pujian,
ataupun solusi. Pembaca jenis inilah yang bisa menjadi timbal balik antara si
pembaca dan penulis.
Apabila
kedua-duanya menjalankan peranya dengan baik, yaitu sebagai penulis dan pembaca
yang baik. Maka bukan tidak mungkin tulisan tersebut menjadi tilisan yang baik.
Karena melibatkan tukar pikiran antara penulis dan pembaca. Tapi banyak kita
jumpai pelajar yang masa bodo dengan hal tersebut. Mereka disuruh membaca oleh
guru mereka maka mereka pun akan mengikuti komando dari gurunya tersebut tanpa
mereka sadari sebenarnya mereka juga memiliki potensi untuk bisa kritis dalam
membaca sebuah teks. Oleh karena itu peran pengajar sangatlah penting untuk
membentuk siswa-siswa yang kritis
Masih
di wacana kedua saya juga menemukan point bahwasanya mahasiswa di Indonesia ini
merasa tidak punya latar belakang menulis dengan baik. Perlu diketahui juga
bahwasanya kemampuan menulis itu bisa dilatih seiring dengan kita sering
membaca dan seberapa banyak kita menyerap informasi dari apa yang kita baca.
Permasalahan yang sering dijumpai orang indonesia manakala mereka akan membaca,
mereka kebanyakan memilah-milih bahan bacaan yang cocok dengan mereka, padahal
semua buku adalah sama. Sama berisi sebuah informasi. Dari sini dapat
disimpulkan bagaimana kita mau menghasilkan sebuah tulisan yang bagus, kalau
dalam masalah membaca saja kita masih pilah-pilih, dan bagaimana pula kita bisa
menjadi penulis yang baik kalau kita
minim informasi. Dan itu artinya sama saja kita sudah menyia-nyiakan kesempatan
yang ada di luar sana. Sungguh amat disayangkan.
Coba
lihat sejenak di negara-negara maju, bagaimana membaca adalah sebuah budaya, di
jalan-jalan raya sumber informasi mudah sekali didapat baik itu dari koran
gratis yang disediakan, atau pun papan-papan di jalan yang berisi informasi.
Perlu diingat bahwasanya belajar itu di mana saja dan dengan siapa saja. Apa
yang kita lihat, apa yang kita dengar, dan apa yang kita rasakan sesungguhnya
itu adalah proses belajar.
Oleh
karena itu cara terbaik untuk meningkatkan kemampuan menulis kita adalah dengan
banyak-banyak menyerap informasi dari berbagai sumber, dan informasi itu tidak
hanya berupa tulisan, bisa berupa hal lainya. Terkadang masalah klasik yang
muncul adalah ketika kita belajar atau dalam proses belajar mengajar lalu kita
disuguhkan dengan teks-teks yang menurut kita terlalu berat sebagai seorang
pemula. Kita selalu melihat yang paling menderita atau yang jadi korbanya
adalah kita padahal kalau kita introspeksi mungkin kita yang trlalu ketinggalan
start. Maka agar tidak berada diposisi paling menderita adalah dengan
memperbaiki kekurangan dimulai dari diri sendiri agar bisa mengimbangi tulisan
yang sudah sangat canggih tersebut. Dan kalau kita terus berfikir dari segi
penulisnya yang kelewat canggih tanpa memberikan kesempatan pada diri kita
sendiri ahwasanya kita juga bisa. Asalkan mau dan bersungguh-sungguh.
Terus
juga ada lagi tenyang pengajar yang memaksakan murid-muridnya untuk membaca
buku-buku import. Dalam hal ini pun apabila tidak diimbangi dengan latihan
seperti menulis essay, argumen, maka seorang siswa pun hanya terpaku pada
bacaan-bacaan import tersebut, tanpa bisa memberikan tanggapanya ataupun
mengkritisi bacaan tersebut. Oleh karena itu banyak mahasiswa yang giliran
disuruh menulis essay malah bingung
sendiri, dan itulah salah satu dampak yang sering terjadi, karena mahasiswa
hanya dibiasakan membaca saja tanpa ada pengaplikasianya. Dampaknya adalah
ketika mereka akan menulis TA kebanyakan
mahasiswa bingung sendiri
Menyambung
dari argumen yang di atas bahwa akar dari kurangnya penulis di Indonesia adalah
tidak lain sistem pendidikanya yang salah kaprah. UN masih dianggap nilai
mutlak untuk sebuah kelulusan. Coba tengok sebentar finlandia. Finlandia adalah
merupakan negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia namun di negara
ini tidak mengenal yang namanya UN. Di finlandia sendiri kualitas para siswa
dipengaruhi oleh seberapa besar seorang guru mampu menangajar sehingga negara
ini selalu meningkatkan kualitas para guru mereka. Sehingga murid hasil didikan
guru juga merupakan murid yang berkualitas. Di finlandia juga profesi guru
merupakan profesi paling terhormat.
Kesimpulan
:
Dari
appatizere yang saya tulis dapat disimpulkan beberapa poin yaitu : kebiasaan
menulis harus diterapkan sejak dari bangku SMA , budayakan belajar dari apa
yang kta lihat, dengar, dan rasakan, dan berusahalah untuk menjadi pembaca dan
penulis yang baik.
0 comments:
Post a Comment