Evolution of Literacy
Ada
sebuah kata bijak yang mengatakan bahwa. “Bangsa yang besar adalah bangsa penulis”.
Menulis adalah salah satu media untuk menuangkan gagasan maupun ide yang
terlintas di otak maupun di dalam pikiran kita. Ada juga yang mengatakan, “Dengan menulis seseorang tidak pernah mati karena
tulisannya, tulisan merupakan cermin diri kita,”
Pola
pikir kita yang dituangkan kedalam tulisan yang membentuk suatu gagasan maupun
syair inilah yang membuatnya terasa hidup walaupun jasadnya telah mati. Salah
satu contohnya adalah Chairil Anwar, sosok Chairil memang sudah tidak ada di
dunia ini namun dengan tulisan-tulisannya yang begitu fenomenal, sosoknya
seakan tidak pernah mati ditelan zaman.
“Menurut dirjen
pendidikan Tinggi pada saat sekarang ini jumlah karya ilmiah dari perguruan
tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia,
yakni hanya sekitar sepertujuh. Penduduk Malaysia sekarang sekitar 25 juta
orang, hampir sepersepuluh populasi Indonesia. Bila rata-rata jumlah terbitan
buku di Indonesia sekarang sekitar 8 ribu judul per tahun, maka untuk
mengimbangi Malaysia, mestinya kita mampu menerbitkan buku 10 kali lipat, yaitu
80 ribu per tahun. Apa bisa?”
Penyebabnya
sederhana karena bangsa kita tidak dibiasakan belajar menulis sejak dini.
Mengapa AS menjadi bangsa penulis paling sukses? Karena mereka sewaktu di
SMA-nya banyak membaca karya sastra, berlangganan koran atau majalah, dan di
rumahnya ada perpustakaan. jadi untuk memproduksi mahasiswa dan dosen yang
produktif menulis, perlu pembenahan pembelajaran baca-tulis yang benar di
tingkat SMA. (Krashen, 1984)
Kenyataannya
pada bangsa kita ini sangat terpuruk dalam hal baca-tulis, bagaimana kita bisa
menjadi bangsa penulis jika masyarakatnya masih banyak yang mengalami buta
huruf, bukan hanya pada mereka yang tidak bersekolah namun ini terjadi pada
mereka yang sedang menuntut ilmu di bangku sekolah menengah atas, tidak sedikit
dari mereka yang masih belum bisa membaca dengan baik dan benar. Jika membaca saja tidak bisa, bagaimana kita
bisa menulis dengan baik dan benar? Ini terjadi karena tenaga pendidik kita
yang menyepelehkan pendidikan, banyak dari sekolah negeri maupun swasta yang
meluluskan anak muridnya tanpa melihat anak itu mempunyai daya pikir yang
berkembang atau tidak. Pendidikan hanya
dijadikan ajang bergengsi sebatas memenuhi formalitas saja.
Kesalahan
tidak sepenuhnya dilimpahkan pada tenaga pengajar, melainkan juga pada
pemerintah yang kurang respek pada pendidikan yang berlangsung di negara ini.
Mereka kurang menyediakan bahan bacaan untuk sekolah-sekolah yang memang
pembendaharaan buku perpustakaannya sangat minim, sebagai contohnya terjadi di desa-desa terpencil yang jauh dari tinjauan
pemerintah sehingga berdampak buruk pada siswanya.
Kenapa
Indonesia tidak bisa menjadi bangsa penulis seperti Malaysia? Pokok
permasalahannya cukup sederhana karena masyarakat kita sangat minim dalam
pengetahuan, masyarakat banyak yang berasumsi, “Untuk apa kita menulis? Menulis hanya membuang waktu kita sia-sia,
lagi pula menulis tidak dapat menghasilkan uang,” pemikiran statis itulah
yang membunuh semangat dalam diri seseorang untuk produktif dalam bidang karya
tulis.
Jika
kita bandingkan dengan bangsa kita pada zaman dulu, mereka mempunyai semangat
belajar yang sangat tinggi. Walaupun pada masa itu dunia pendidikan belum
sebanyak ini, justru itu yang membuat mereka bersemangat untuk menuntut ilmu,
pada masa itu juga jurnalis berkualitas sangat banyak, walaupun mengerjakannya
secara manual. Tidak seperti zaman sekarang yang semuanya serba canggih, bukan
membuat kita lebih semangat dalam belajar
malah membuat kita semakin bodoh karena kecanggihannya, orang-orang
tidak lagi menulis karena pada saat ini beredar komputer dan laptop bahkan ada
juga sekolah yang mewajibkan peserta didiknya membawa laptop bukan buku tulis,
mereka melakukan pembelajaran menggunakan ebook, bukan buku teks. Sedangkan di
AS, mereka menjadi literat karena buku teks yang mereka baca sedangkan di
negara kita buku teks sudah semakin tersisihkan.
Menulis
tidak harus terpaku pada mereka yang mengenyam pendidikan tinggi, sebenarnya
banyak generasi muda yang akan menjadi calon penulis-penulis besar, hanya saja
yang menjadi kendala adalah kurangnya wadah yang akan menaungi dan membimbing
mereka untuk mengasah kemampuan menulis
mereka.
Forum
Lingkar Pena adalah organisasi pengkaderan Penulis, yang didirikan oleh Helvy Tiana
Rosa, Asma Nadia dan Maimon Herawati pada 1997. Saat ini, FLP memiliki anggota
sekitar 5000 orang, tersebar di seluruh dunia. Dengan adanya FLP ini cukup
membantu para calon penulis untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka menjadi penulis
produktif.
Pada
dasarnya semua orang dapat menjadi penulis, dan negara ini bisa saja menjadi
negara penulis jika ada kemaun besar untuk menuju ke arah sana.
0 comments:
Post a Comment