Appetizer Essay
Kali ini saya
diberi kesempatan lagi dalam menulis dan membaca karya-karya tulisan dari
seorang Guru Besar Bahasa di Universitas Pendidikan Indonesia, yakni Prof. A.
Chaidar Alwasilah. Beliau ini sangat antusias dalam menyoroti persoalan
lemahnya budaya literasi masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan akademisi.
Karya-karya beliau sungguh luar biasa dan menyadarkan kita akan pentingnya budaya
baca-tulis.
Sebelumnya saya
pernah membaca karya beliau yaitu yang berjudul Pokoknya Sunda, dan kali ini
saya sedang belajar Writing and Composition dengan buku panduan dari karya
beliau yaitu Pokoknya Rekayasa Literasi. Dalam buku Pokoknya Rekayasa Literasi
ini saya diharuskan menulis dan menggagas tiga artikel yaitu (Bukan) Bangsa
Penulis, Powerful Writers versus the Helpless Readers, serta Learning Teaching
Process: More about Readers and Writers.
Pada artikel
pertama mengenai (Bukan) Bangsa Penulis. Dalam artikel tersebut berisi sebuah
surat yang ditulis oleh Direktur Jendral Pendidikan Tinggi perihal karya
ilmiah. Surat tersebut bukan sekedar untuk dibaca, tapi melainkan harus
ditindaklanjuti oleh para rector, ketua, direktur perguruan tinggi negeri dan
perguruan tinggi swasta di seluruh Indonesia.
Pada bagian
pertama isi surat tersebut menjelaskan bahwa Dirjen Pendidikan Tinggi merasa
kesal dengan akademisi Negara kita ini, dan dalam surat tersebut dituliskan
bahwa “mayoritas sarjana lulusan Perguruan Tinggi kita tidak bisa menulis.
Bahkan para dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis.” Saya tercengang ketika
membaca penggalan kalimat tersebut. Jelas membuat saya penasaran dan ingin
mengulik lebih dalam apa yang terjadi dengan karya tulis di Negara kita ini,
bukankah para mahasiswa dari mulai S1, S2, dan S3 ketika ingin lulus maka
mereka harus membuat karya ilmiah terlebih dahulu. Tentu saya kurang sependapat
dengan kata-kata yang tertera dalam bagian pertama isi surat tersebut. Dalam
penggalan kalimat tersebut tertuliskan kata “mayoritas”, jadi hanya “minoritas”
yang bisa menulis literat. Meskipun minoritas, bukan berarti Negara kita tidak
mempunyai penulis yang literat sama sekali, dan saya berharap yang minoritas
tersebut dapat memberikan motivasi terhadap para generasi baru dalam berkarya
tulis.
Namun ternyata
bukan sekedar permasalahan mengenai mayoritas para sarjana dan dosen yang tidak
bisa menulis saja, hal utama di balik munculnya surat edaran dari Dirjen
Pendidikan Tinggi tersebut yakni bahwa “sebagaimana kita ketahui pada saat
sekarang ini jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total
masih rendah, jika dibandingkan dengan Malaysia yakni hanya sekitar
sepertujuh.” Dalam hal ini menurut saya, faktor
utama semua ini merupakan kesalahan pada sistem
awal. Seharusnya sejak dini kita membiasakan untuk menulis dan mengeksplor
ide-ide atau gagasan kita dalam bentuk karya tulis. Kesalahan pada sistem awal
tersebut yang telah menghambat pola berfikir kita. Terkadang kita lebih menyukai speaking ketimbang writing. Karena
hal demikian, sehingga menjadikan mahasiswa khususnya S1 merasa kewalahan dalam
menghasilkan karya ilmiah. Dengan demikian, seperti yang tertulis dalam isi
surat tersebut bahwa “perlu pembenahan pembelajaran baca-tulis di tingkat SMA.”
Namun sebenarnya bukan hanya faktor di atas
saja yang menyebabkan mahasiswa di perguruan tinggi kurang literat, banyak
sekali faktor-faktor yang memicu hilangnya kesadaran dalam baca-tulis. Sungguh
ironi memang ketika saya membaca surat tersebut. Tentu ini bukan merupakan
persoalan biasa, karena dengan beredarnya surat tersebut menunjukkan bahwa
harus ada upaya selanjutnya dalam menyadarkan masyarakat Indonesia khususnya di
bidang akademisi ini.
Saya tertarik dengan pernyataan berikut
“sebagai bahan bandingan, semua perkuliahan di perguruan tinggi di AS memaksa
mahasiswa banyak menulis essay seperti laporan observasi, ringkasan bab, review
buku, dan sebagainya. Namun tugas-tugas itu selalu dikembalikan dengan
komentar-komentar kritis dari dosen, sehingga nalar dan argumen tulisan
mahasiswa benar-benar terasah.” Memang tidak seperti di negara kita, banyak
sekali dari golongan mahasiswa yang hanya bisa mengcopy paste tulisan, serta
tidak adanya komentar kritis dari para dosen. Jadi wajar saja jika seribu
banding satu yang benar-benar mampu dan menguasai kesarjanaannya. Seharusnya
kita dapat memanfaatkan sumber-sumber bacaan dan tulisan dengan sebaik mungkin,
bukan seratus persen menjiplak. Oleh sebagian orang faktor ini dianggap lebih
dominan sebagai ciri utama para sarjana dan dosen di Indonesia yang tidak bisa
menulis. Sehingga antara gelar dan keahlian tidaklah sama. Jika kita ditanya
bagaimana cara mengatasinya, tentu sangat sulit untuk menemukan kebenaran
mengenai jawaban itu, karena hanya dengan kesadaran diri sendiri saja yang bisa
merubah semuanya.
Kemudian dalam artikel berikutnya ini memang
masih berkesinambungan dengan artikel sebelumnya. Namun jika dalam artikel
berikutnya ini lebih menceritakan mengenai pembaca kritis. Dalam artikel
tersebut dijelaskan bahwa pembaca kritis dapat mengembangkan kesadaran tentang
bentuk teks dan konteks. Setiap readers berbeda-beda dalam menghadapi persoalan
baca-tulis atau membaca kritis. Salah satunya yaitu ketika seorang reader
berkata “I have not reached that level” or “His rhetoric is too high for me”,
mereka mengevaluasi diri mereka seolah-olah mereka tidak mempunyai pengetahuan
untuk berinteraksi dengan penulis. Memang kebanyakan dari kita hanya sekedar membaca
dan sekedar paham dengan apa yang dituliskan oleh si penulis, tanpa memberikan
suatu respon apa-apa. Hal demikian yang membuat pendidikan bangsa kita gagal
untul mengembangkan pembaca kritis.
Pada artikel ketiga ini membahas mengenai
hasil konferensi UPI Bandung tentang ketidakmampuan murid-murid dalam
mengidentifikasi makna dari prosa. Menurut saya ketidakmampuan itu dikarenakan
murid-murid jarang dilatih untuk mengidentifikasi makna dari prosa itu, dan
ketidakseringan murid-murid dalam membaca juga mempengaruhi hal tersebut. Kedua
faktor tadi merupakan sifat malas yang ada pada diri siswa. Dengan adanya sifat
malas tersebut, maka akan timbul rasa mudah menyerah. Hal semacam itu hampir
sama ketika saya memahami bahasa Inggris. Pertama kali membaca sudah malas,
padahal jika sedikit demi sedikit kita cari artinya di dalam kamus, tentu kita
akan paham. Begitupun dalam memahami prosa. Maka dalam hal itu bagaimana
tindakan guru agar bisa menjadi pengarah yang baik. Sehingga menurut Hyland, “a
strong teacher is a reflective teacher, and reflection requires the knowledge
to relate classroom actives to relevant research and theory.”
Dalam artikel tersebut juga dijelaskan
mengenai kurikulum. Dikatakan bahwa “kurikulum itu menjauhkan murid-murid dari
baca-tulis.” Saya sependapat dengan pernyataan tersebut, coba bayangkan saja
ketika kita berada di tingkat akhir sekolah, yang menentukan hasil kelulusan
adalah Ujian Nasional. Padahal di sekolah kita belajar membuat karangan,
menulis prosa, dan lain sebagainya, namun pada kenyataanya pengajaran dalam
bidang tulis menulis itu tidak dipakai dalam menentukan sebuah kelulusan
sekolah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk menyaingi
bangsa Malaysia, maka kita perlu meningkatkan lagi kwantitas dan kwalitas karya
tulis bangsa kita. Kita tidak perlu malu mengakui ketidakliteratan bangsa kita,
justru dengan edaran surat tersebut membuat bangsa kita semakin bangkit.
Meskipun menjadi penulis yang berliterat itu tidaklah mudah, namun setidaknya
kita masih memiliki kesadaran untuk meminimalisirnya.
0 comments:
Post a Comment