Monday, February 17, 2014



Sudahkah kita tahu siapa diri kita sebenarnya? Apakah kita adalah mahasiswa yang hanya bekerja  keras siang kuliah dan malam mengerjakan tugas tanpa tujuan dan tidak sepenuh hati? Jangan sampai hal itu terjadi, bahkan ketika Pak Lala mempunyai pandangannya terhadap kita sebagai MULTILINGUAL WRITER. Ya, itu adalah kita. Penulis yang bisa menulis dengan banyak bahasa. Penulis yang hebat menngunakan L1 dan L2 nya. Penulis yang mampu kritis dalam  banyak bahasa. Yang mentransformasikan dirinya sebagai student of language ke dalam student of writing. Lagi, kita di ingatkan bahwa mata kuliah ini begitu rumit. Bagaimana menulis adalah suatu aktivitas yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak sederhana. Oleh karenanya, ada yang mengatakan bahwa menulis seperti meditasi. Penulis selayaknya tahu apa yang pembaca harapkan, apa yang pembaca tunggu-tunggu dalam bacaannya. Hal ini pula yang menyebabkan Hoey (2001) yang di kutip Hyland (2004) mengibaratkan pembaca dan penulis menari mengikuti langkah satu sama lain seperti dalam tarian salsa misalnya, yang menyebabkan keduanya harus seirama. Dengan kata lain menulis adalah sebuah seni.
            Sebuah teks dan seorang pembaca merupakan satu kesatuan yang tidak dapat berdiri sendiri. Pembaca membentuk makna, dan kegiatan membaca menjadi tempat dimana makna itu bernaung. Membaca termasuk di dalamnya terdapat kegiatan seperti mengorganisir, dan menghubungkan makna beserta pengetahuan yang telah pembaca bawa sendiri ke dalam teks. Bahkan Guy Cook dalam Lehtonen (2000: 112) memberi karakteristik terhadap proses penulisan sebagai berikut :

You, the reader, do not see me, the writer, as you read this book, or know
anything about the circumstances in which I am writing. You do not know
what changes I have made in this sentence, when I added it to the manuscript,
or whether I paused to have a cup of coffee between these dots . . . or these
. . . And by the conventions of our culture you do not care. You read this
book for the information or ideas it carries, not to communicate with me as
an individual physical presence. Writing makes this language no longer
dependent on me and my situation in any way. You can read this book in
any order, when and how you want: and I will not even know. I may even
be dead.

Betapa itu merupakan sebuah bukti bahwa ketika penulis menciptakan sebuah teks, kemudian teks tersebut dibaca oleh para pembaca. Sesungguhnya teks tersebut sudah seutuhnya milik pembaca. Bagaimana para pembaca menginterpretasikan teks tersebut tanpa memperdulikan kejadian-kejadian yang penulis rasakan selama menulis. Yang  pembaca tahu bagaimana infomasi dan ide-ide dalam teks tersebut sampai. Sehinnga pembaca dapat membawa teks kedalam dimensinya sendiri kapanpun dan sebagaimana yang mereka kehendaki.
Class review kali ini akan sangat kental dengan ihwal text,context,reader,writer,dan meanings. Kepada ihwal pertama yaitu teks, sering kita memberi arti bahwa teks merupakan suatu tulisan yang berbentuk rangkaian kata. Akan tetapi, sebenarnya teks juga bisa berbentuk simbol, tanda, televisi, layar lebar, tinta, kertas, yang mana merupakan teks dalam bentuk fisik. Ada juga teks sebagai materi semiotik yaitu seperti kata-kata, gambar, dan lagu yang mungkin menjadi hubungan dua dimensi teks fisik-semiotik.  Semua jenis teks memiliki sejarah produksi mereka sendiri-sendiri, ada bebereapa orang yang menulis dengan genre, apa yang diasumsikan pembaca, saluran distribusi teks dan lain sebagainya.
Setiap teks memiliki konteks, karena teks sebagai makhluk semiotic tidak ada tanpa pembaca, interteks, situasi dan fungsi yang setiap saat terhubung kepada teks. Teks menyerupai tek -teki silang dengan satu dan hanya satu solusi, dan konteks pada gilirannya adalah sejumlah buku referensi bahwa pemecah teka teki berkonsultasi untuk mencari solusi. Akan tetapi, konteks tidak ada sebelum adanya penulis dan teks. Dengan demikian konteks ada di dalam writer dan reader. Berbicara tentang pembaca, bahwa teks dan pembaca tidak akan bisa berdiri sendiri-sendiri. Keduanya saling terkait, saling menghasilkan satu sama lain. Tidak ada pembaca tanpa teks, dan tidak ada teks tanpa pembaca.
Menulis adalah sebuah hal yang sarat akan seni, dan memiliki cita rasa yang tinggi. Apa yang di ekspektasikan di dalam Writing 4 ini seperti yang kita tahu adalah Academic Writing, yang lama-lama akan menuju pada Scientific Writing, kemudian critical thingking adalah ihwal yang akan juga ditekankan kali ini. Bagaimana mengkritisi sebuah teks yang merupakan seutuhnya adalah negosiasi penuh untuk para pembaca untuk menciptakan makna. Sebenarnya ketika kita menulis kita sedang mengetahui sesuatu, mempresentasikan sesuatu, dan memproduksi sesuatu. Oleh karenanya kegiatan menulis perlu di kembangkan untuk membentuk bangsa yang literat. Bangsa China, Jepang, dan Negara-negara maju lainnya menjadikan kegiatan menulis bukan hanya untuk menyampaikan informasi. Lebih dari itu, bangsa-bangsa tersebut menjadikan kegiatan menulis sebagai ilmu pengetahuan dan juga pengalaman. Mengapa pengalaman? Karena bangsa yang literasinya tinggi akan menjadikan menulis sebagai suatu perjalanan yang harus mereka lakukan secara inten, terus menerus dan menulis berdasarkan ekspektasi. Berbeda halnya dengan Indonesia yang masih menjadikan menulis sebagai sistem untuk menyampaikan informasi, ini pula yang menyebabkan bangsa Indonesia belum literate.
            Hawé Setiawan dalam artikelnya Belajar Membaca yang di terbitkan oleh Republika beberapa hari yang lalu. Saya mengambil poin penting bahwa di era peradaban digital ini sebenarnya mudah untuk menjadikan sebuah bangsa yang sarat akan literasi. Dengan adanya sosial media membuat orang mudah untuk melakukan kegiatan baca tulis sekaligus dalam satu waktu. Tetapi, apakah bisa kita mengolah informasi yang ada tersebut menjadi ilmu pengetahuan? Sulit memang apalagi informasi yang ada di era digital ini tiada berujung, sehingga membuat kita seperti seorang perawi hadits yang sedang menelusuri ke sohihan informasi tersebut. Disinilah critical thinking kita harus bekerja, dan critical thinking bisa terbentuk jika kita rajin membaca. Kita perlu untuk kembali ke masa lalu, dimana orang-orang lebih sabar dan anteng dalam membaca, sehingga memperoleh ilmu pengetahuan. Sekiranya itulah yang kita perlukan di zaman yang serba cepat dan membuat orang tidak sabaran seperti sekarang ini. Artikel Hawé juga menggambarkan bahwa membaca merupakan suatu tindakan yang perlu di perhatikan, sehingga kita tidak menciptakan konteks yang salah yang sebenarnya telah penulis ciptakan sebelum teks itu sampai kepada para pembacanya.
            Pendeknya, text, context, reader, writer dan meaning adalah seperti satu kesatuan.  Mereka tidak bisa berdiri sendiri, dan mereka menghasilkan satu sama lain. Oleh karenanya, di era seperti sekarang ini perlu kewaspadaan dalam menyerap informasi yang banyaknya merupakan sebuah propaganda. Seyogianya, kita bisa menjadi bangsa yang literat yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman literasinya. Sehingga peradaban baca-tulis bisa memberi makna yang akan sangat berarti bagi kehidupan kita. Menjadi pembaca sekaligus penulis yang baik itulah yang kita cita-citakan. Pembaca yang bisa menghidupkan roh-roh dalam bacaan sehingga menjadi sebuah khazanah ilmu pengetahuan yang bisa terus bertambah seiring bertambahnya pula bacaan yang kita baca. Juga sebagai penulis yang baik, yang merupakan jalan atau cara untuk mengetahui, mempresentasikan, dan memproduksi suatu ilmu pengetahuan.

0 comments:

Post a Comment