Sudahkah kita
tahu siapa diri kita sebenarnya? Apakah kita adalah mahasiswa yang hanya
bekerja keras siang kuliah dan malam
mengerjakan tugas tanpa tujuan dan tidak sepenuh hati? Jangan sampai hal itu
terjadi, bahkan ketika Pak Lala mempunyai pandangannya terhadap kita sebagai
MULTILINGUAL WRITER. Ya, itu adalah kita. Penulis yang bisa menulis dengan
banyak bahasa. Penulis yang hebat menngunakan L1 dan L2 nya. Penulis yang mampu
kritis dalam banyak bahasa. Yang
mentransformasikan dirinya sebagai student of language ke dalam student
of writing. Lagi, kita di ingatkan bahwa mata kuliah ini begitu rumit.
Bagaimana menulis adalah suatu aktivitas yang dilakukan dengan cara-cara yang
tidak sederhana. Oleh karenanya, ada yang mengatakan bahwa menulis seperti
meditasi. Penulis selayaknya tahu apa yang pembaca harapkan, apa yang pembaca
tunggu-tunggu dalam bacaannya. Hal ini pula yang menyebabkan Hoey (2001) yang
di kutip Hyland (2004) mengibaratkan pembaca dan penulis menari mengikuti
langkah satu sama lain seperti dalam tarian salsa misalnya, yang menyebabkan
keduanya harus seirama. Dengan kata lain menulis adalah sebuah seni.
Sebuah
teks dan seorang pembaca merupakan satu kesatuan yang tidak dapat berdiri
sendiri. Pembaca membentuk makna, dan kegiatan membaca menjadi tempat dimana
makna itu bernaung. Membaca termasuk di dalamnya terdapat kegiatan seperti
mengorganisir, dan menghubungkan makna beserta pengetahuan yang telah pembaca
bawa sendiri ke dalam teks. Bahkan Guy Cook dalam Lehtonen (2000: 112) memberi
karakteristik terhadap proses penulisan sebagai berikut :
You, the reader, do not see me, the writer, as you
read this book, or know
anything about the circumstances in which I am
writing. You do not know
what changes I have made in this sentence, when I
added it to the manuscript,
or whether I paused to have a cup of coffee between
these dots . . . or these
. . . And by the conventions of our culture you do not
care. You read this
book for the information or ideas it carries, not to
communicate with me as
an individual physical presence. Writing makes this
language no longer
dependent on me and my situation in any way. You can
read this book in
any order, when and how you want: and I will not even
know. I may even
be dead.
Betapa
itu merupakan sebuah bukti bahwa ketika penulis menciptakan sebuah teks, kemudian
teks tersebut dibaca oleh para pembaca. Sesungguhnya teks tersebut sudah
seutuhnya milik pembaca. Bagaimana para pembaca menginterpretasikan teks
tersebut tanpa memperdulikan kejadian-kejadian yang penulis rasakan selama
menulis. Yang pembaca tahu bagaimana
infomasi dan ide-ide dalam teks tersebut sampai. Sehinnga pembaca dapat membawa
teks kedalam dimensinya sendiri kapanpun dan sebagaimana yang mereka kehendaki.
Class review kali ini akan sangat kental dengan ihwal text,context,reader,writer,dan
meanings. Kepada ihwal pertama yaitu teks, sering kita memberi arti
bahwa teks merupakan suatu tulisan yang berbentuk rangkaian kata. Akan tetapi,
sebenarnya teks juga bisa berbentuk simbol, tanda, televisi, layar lebar,
tinta, kertas, yang mana merupakan teks dalam bentuk fisik. Ada juga teks
sebagai materi semiotik yaitu seperti kata-kata, gambar, dan lagu yang mungkin
menjadi hubungan dua dimensi teks fisik-semiotik. Semua jenis teks memiliki sejarah produksi
mereka sendiri-sendiri, ada bebereapa orang yang menulis dengan genre, apa yang
diasumsikan pembaca, saluran distribusi teks dan lain sebagainya.
Setiap teks memiliki konteks, karena teks sebagai
makhluk semiotic tidak ada tanpa pembaca, interteks, situasi dan fungsi yang
setiap saat terhubung kepada teks. Teks menyerupai tek -teki silang dengan satu
dan hanya satu solusi, dan konteks pada gilirannya adalah sejumlah buku
referensi bahwa pemecah teka teki berkonsultasi untuk mencari solusi. Akan
tetapi, konteks tidak ada sebelum adanya penulis dan teks. Dengan demikian
konteks ada di dalam writer dan reader. Berbicara tentang
pembaca, bahwa teks dan pembaca tidak akan bisa berdiri sendiri-sendiri.
Keduanya saling terkait, saling menghasilkan satu sama lain. Tidak ada pembaca
tanpa teks, dan tidak ada teks tanpa pembaca.
Menulis adalah sebuah hal yang sarat akan seni, dan memiliki
cita rasa yang tinggi. Apa yang di ekspektasikan di dalam Writing 4 ini seperti
yang kita tahu adalah Academic Writing, yang lama-lama akan menuju pada
Scientific Writing, kemudian critical thingking adalah ihwal yang akan juga
ditekankan kali ini. Bagaimana mengkritisi sebuah teks yang merupakan seutuhnya
adalah negosiasi penuh untuk para pembaca untuk menciptakan makna. Sebenarnya
ketika kita menulis kita sedang mengetahui sesuatu, mempresentasikan sesuatu,
dan memproduksi sesuatu. Oleh karenanya kegiatan menulis perlu di kembangkan
untuk membentuk bangsa yang literat. Bangsa China, Jepang, dan Negara-negara
maju lainnya menjadikan kegiatan menulis bukan hanya untuk menyampaikan
informasi. Lebih dari itu, bangsa-bangsa tersebut menjadikan kegiatan menulis
sebagai ilmu pengetahuan dan juga pengalaman. Mengapa pengalaman? Karena bangsa
yang literasinya tinggi akan menjadikan menulis sebagai suatu perjalanan yang
harus mereka lakukan secara inten, terus menerus dan menulis berdasarkan
ekspektasi. Berbeda halnya dengan Indonesia yang masih menjadikan menulis
sebagai sistem untuk menyampaikan informasi, ini pula yang menyebabkan bangsa
Indonesia belum literate.
Hawé Setiawan dalam
artikelnya Belajar Membaca yang di terbitkan oleh Republika beberapa hari yang
lalu. Saya mengambil poin penting bahwa di era peradaban digital ini sebenarnya
mudah untuk menjadikan sebuah bangsa yang sarat akan literasi. Dengan adanya
sosial media membuat orang mudah untuk melakukan kegiatan baca tulis sekaligus
dalam satu waktu. Tetapi, apakah bisa kita mengolah informasi yang ada tersebut
menjadi ilmu pengetahuan? Sulit memang apalagi informasi yang ada di era
digital ini tiada berujung, sehingga membuat kita seperti seorang perawi hadits
yang sedang menelusuri ke sohihan informasi tersebut. Disinilah critical thinking
kita harus bekerja, dan critical thinking bisa terbentuk jika kita rajin
membaca. Kita perlu untuk kembali ke masa lalu, dimana orang-orang lebih sabar
dan anteng dalam membaca, sehingga memperoleh ilmu pengetahuan. Sekiranya
itulah yang kita perlukan di zaman yang serba cepat dan membuat orang tidak sabaran
seperti sekarang ini. Artikel Hawé juga menggambarkan bahwa membaca merupakan
suatu tindakan yang perlu di perhatikan, sehingga kita tidak menciptakan
konteks yang salah yang sebenarnya telah penulis ciptakan sebelum teks itu
sampai kepada para pembacanya.
Pendeknya, text, context, reader,
writer dan meaning adalah seperti satu kesatuan. Mereka tidak bisa berdiri sendiri, dan mereka
menghasilkan satu sama lain. Oleh karenanya, di era seperti sekarang ini perlu
kewaspadaan dalam menyerap informasi yang banyaknya merupakan sebuah
propaganda. Seyogianya, kita bisa menjadi bangsa yang literat yang penuh dengan
ilmu pengetahuan dan pengalaman literasinya. Sehingga peradaban baca-tulis bisa
memberi makna yang akan sangat berarti bagi kehidupan kita. Menjadi pembaca
sekaligus penulis yang baik itulah yang kita cita-citakan. Pembaca yang bisa
menghidupkan roh-roh dalam bacaan sehingga menjadi sebuah khazanah ilmu
pengetahuan yang bisa terus bertambah seiring bertambahnya pula bacaan yang
kita baca. Juga sebagai penulis yang baik, yang merupakan jalan atau cara untuk
mengetahui, mempresentasikan, dan memproduksi suatu ilmu pengetahuan.
0 comments:
Post a Comment