Setelah saya membaca dan mengamati artikel dari Bapak Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah. Terdapat sebuah paragraph yang perlu dicermati, yaitu Dirjen Pendidikan Tinggi adalah orang pertama yang paling bertanggung jawab mengawal publikasi ilmiah dikalangan perguruan tinggi. Wajar jika ia “jengkel” karena mayoritas sarjana lulusan PT kita tidak bisa menulis. Bahkan para dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis. Sebuah kata yang tidak bisa kita terima begitu saja. Kata yang saya pertebal ini menunjukkan hal yang tidak saya sukai dan tidak saya setujui. Dari informasi yang saya baca di dalam Wikipedia. Terdapat penulis Indonesia yang mendapat gelar dibidang tulis menulis yaitu Bapak Anies Baswedan.
Anies Baswedan merupakan cucu dari pejuang nasional, Abdul Rahman Baswedan (AR. Baswedan). Anies Baswedan menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Sewaktu menjadi mahasiswa Anies Baswedan juga mendapat beasiswa Japan Airlines Foundation untuk mengikuti kuliah musim panas bidang Asian Studies di Universitas Sophia, Tokyo, Jepang. Beasiswa ini ia dapatkan karena memenangkan sebuah lomba menulis mengenai lingkungan. Ia menjadi pemenang karena kegemarannya mengeliping artikel. Saat itu kumpulan artikel hasil klipingnya ia jadikan bahan referensi penting dalam penulisan artikel untuk lomba tersebut.
Ia banyak menulis artikel mengenai desentralisasi, demokrasi dan politik Islam di Indonesia. Artikel jurnalnya yang berjudul “Political Islam: Present and Future Trajectory” dimuat di Asian Survey, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Universitas California. Sementara artikel “Indonesian Politics in 2007: The Presidency, Local Elections and The Future of Democracy" diterbitkan oleh BIES, Australian National University. Pemikirannya yang tertuang dalam disertasi dan artikel merupakan sumbangsih penting bagi proses transisi pemerintahan Indonesia dari sentralistik menuju desentralisasi melalui otonomi daerah.
Maka dari itu kita jangan terlalu mengatakan bahwa sebuah lulusan PT itu tidak bisa menulis. Walaupun ia sebenarnya jawaban saya ini dapat dibantah kembali oleh Prof. chaedar dalam artikelnya yang berjudul “powerful writer vs helpless Readers” yang di terbitkan di The Jakarta Post. Kalimat tersebut pada intinya adalah jangankan untuk menulis, mahasiswa pun kadang tidak mengerti apa yang mereka tulis dan apa yang mereka baca. Itu semuanya terbukti dengan 95 persen jawaban dari para mahasiswa adalah menyalahkan diri mereka sendiri. Itu merupakan salah kaprah karena mereka tidak menjadi seorang pembaca yang kritis.
Konsentrasi masih menjadi alasan semua mahasiwa dan mahasiswi dalam memahami isi bacaannya. Alasan ini bisa diperkuat dengan bukti bahwa mereka kesulitan dalam berkonsentrasi dalam membacanya. Bukan hanya membaca yang di tuntut tetapi memahami pula isi yang sipembaca baca. Maka dari itu kita harus mempunyai taktik pula dalam mempelajarinya. Jika pembaca tidak bisa cepat memahami isi bacaannya tersebut, maka kesalahan lain bisa bermunculan. Contohnya masalah si penulis menggunakan bahasa yang susah untuk di cerna oleh pembaca pemula, bisa juga si penulis tidak menulis sesuatu yang menarik.
Hal ini diperparah dengan kaitannya di artikel Prof. Chaedar yang berjudul “Learning dan Teaching Process : More about readers and writers.” Dalam artikel ini CW Waston mendukung Prof. Chaedar. CW waston bahkan memberikan spekulasi tambahan bahwasanya kurikulum di Indonesia itu terlihat aneh. Hal ini beliau katakan karena bukti dilapangan menunjukkan bagaimana kita ingin maju dibidang menulis, tetapi didalam kenyataannya system ujian kita saja masih menggunakan pilihan ganda. Contohnya ujian akhir nasional atau biasa disebut ujian nasional. Dalam ujian nasional menggunakan pilihan ganda yang memungkinkan anak didik kita susah untuk menjadi warga Negara yang cinta menulis. Coba kita bayangkan jika system ujian kita semua menggunakan system essay. Mungkin anak didik kita menjadi suka menulis.
Dalam menulis pun, perasaan seseorang ikut bercampur dalam proses menulis mereka. Contohnya jika anak didik kita sedang malas untuk menulis, maka hasilnya pun akan berbeda. Berbeda dengan anak didik kita yang sedang bergembira mungkin membantu dalam proses penulisan. Semuanya itu terbukti didalam sebutan anak sekarang. Sebutan itu biasa disebut buku “diary”.
Kesimpulan dari kesemuanya adalah jiwa menulis kita bisa kita munculkan sejak dini. Jika di usia kanak-kanak kita sudah dibudayakan menulis, maka untuk generasi selanjutnya pun bisa untuk dipertahankan budaya menulisnya. Khususnya untuk guru Bahasa, entah itu Bahasa ibu ataupun Bahasa asing. Kita perlu mengepres atau membiasakan memberi tugas tambahan untuk membuat sebuah karangan.
Jangan sekali-kali menjudge para lulusan perguruan tinggi kita yang tidak bisa menulis. Kita semuanya seharusnya berfikir jauh karena sebenarnya kita perlu pembenahan bukan membuat down bangsa ini. Walaupun kritikan memang perlu, tetapi harus dengan keadaan kita sendiri sebagai bangsa yang menjungjung etika.
Monday, February 10, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment