Membaca artikel yang ditulis oleh
Prof. A. Chaedar Alwashilah yang diterbitkan oleh Pikiran Rakyat 28
Februari 2012 bahwa Indonesia memang bukan bangsa penulis. Terbukti pada data
yang diamati pada tahun-tahun sebelumnya bahwa banyak lulusan sarjana yang belum
atau bahkan tidak bisa menulis. Mungkin ini juga mengapa lulusan sarjana banyak
yang menganggur atau bekerja secara serabutan (asal kerja). Mereka lebih
memilih menjadi pengusaha atau sekedar menjadi guru di sekolah-sekolah.
Dalam
artikel dikatakan bahwa lulusan sarjana diharuskan membaca karya sastra. Namun
sebenarnya, para lulusan sarjana tidak hanya diharuskan membaca karya sastra
saja. Melainkan bidang-bidang lain, seperti Sejarah, Sosiologi, Psikologi
dan lain sebagainya.
Memang
realistis ketika lulusan sarjana diwajibkan menulis jurnal atau artikel. Namu,
akan lebih realistis lagi sepertinya menulis buku pada bidang studynya
masing-masing. Tidak hanya jurnal atau artikel yang hanya ditulis ketika ada
issu-issu tertentu yang terjadi. Buku teks dalan bidang study setidaknya bisa
membantu atau mendorong generasinya untuk memperbaiki apa yang ditulis oleh
generasi sebelumnya dan menulis kembali.
Untuk
menjadi bangsa penulis, Indonesia juga harus punya Critical Readers
(pembaca yang kritis) sehingga nantinya pun akan menjadi penulis yang kritis (Critical
Writers).Critical Readers harus memliki kemampuan membaca yang jeli dan
teliti. Sehingga ketika membaca sebuah buku, akan banyak coretan di dalamnya yang
berisi pertanyaan untuk penulis dari buku tersebut.
Yang
terjadi di Indonesia kebanyakan setiap pembaca hanya berpikir bahwa mereka
mungkin yang kurang membaca, mereka mungkin yang salah berpendapat, atau
kemampuan mereka belum tinggi atau kompeten sebagai pelajar, retoricnya terlalu
tinggi dan lain sebagainya.
Fenomena
ini sudah menjadi rahasia umum di negara kita. Dari mulai sekolah dasar tidak
terbiasa untuk membaca apalagi menulis. Para guru pun tidak mengharuskan para
muridnya untuk membaca. Membaca hanya untuk seperlunya saja, itu pun jika akan
menghadapi smester. Jika tidak, maka membaca pun tidak akan dilakukan. Fenomena
ini sulit dihilangkan, apalagi ketika dalam bukunya hanya lebih mengembangkan
kemampuan membaca (Reading Skill) dari pada kemampuan menulis (Writing
Skill).
Memang
membaca menentukan kekuatan menulis kita. Namun, bukan keharusan membaca yang
dikembangkan di negara kita. Akan tetapi, hanya kemampuan untuk membaca. Yang
diajarkan dari mulai sekolah dasar hanyalah kemampuannya bukan keharusannya.
Padahal keharusan membaca harus dilatih sejak dini sehingga nantinya
pengetahuan dari membaca tersebut bisa diterapkan dalam menulis sebuah jurnal,
artikel, atau bahkan buku.
Untuk
itu, Indonesia tidak hanya harus mengembangkan kemampuan membaca saja. Akan
tetapi, kemampuan menulis juga. Selama ini, yang diajarkan adalah pada tingkat
SMP diajari cara membaca sebuah teks, pada tingkat SMA diajari menganalisa
sebuah teks, kemudian barulah pada tingkat Perguruan Tinggi diajari menulis
sebuah teks. Pengajaran ini harus dirubah total. Seharusnya pada tingkat SMA
diajari menulis teks sehingga nantinya terbiasa ketika di Perguruan Tinggi.
Dengan sendirinya mahasiswa akan menjadi Critical Readers ketika sudah
terbias menulis.
Benar
sekali ketika Prof. Chaedar mengatakan bahwa lulusan S3 (PhD) yang mengharuskan
mahasiswanya membaca sebuah buku kemudian mahasiswanya mengeluh bahwa buku ini
terlalu tinggi, atau tidak cocok, atau buku ini di luar zona materi dan
sebagainya. Ini dikerenakan mereka tidak terbiasa membaca apalagi menulis.
Pada
artikel yang lain, ada yang setuju dengan artikel yang ditulis oleh Prof.
Chaedar Alwashilah pada Pikiran Rakyat. Intinya adalah, bahwa para pelajar di Indonesia harus didorong
untuk membaca sebanyak mungkin. Memang benar ketika Prof. Chaedar mengatakan
bahwa para pelajar tidak didorong untuk menulis, wong didorong membaca
saja tidak apalagi menulis. Mereka hanya diharuskan membaca ketika akan
menghadapi UN.
Seperti
yang dikatakan sebelumnya, ketika mahasiswa Indonesia diberikan buku terbitan
U.S atau U.K dalam hal ini adalah jurusan Bahasa Inggris, mereka tidak bisa
ngomong bahasa Inggris dengan benar bahkan ketika dibiarkan menulis
sekalipun. Seharusnya pemerintah tidak hanya menangani masalah pendidikan saja.
Akan tetapi, harus juga terjun atau blusukan ke dalam
pendidikan itu sendiri untuk memantau apapun di dalamnya. Dalam hal baca-tulis
tidak hanya perlu didorong oleh guru atau dosen, akan tetapi pemerintah juga
harus mendukung penuh. Agar nantinya Indonesia bisa menjadi bangsa yang
literat, cerdas, dan tidak lagi diremehkan atau dipandang sebelah mata oleh
bangsa lain.
0 comments:
Post a Comment