Monday, February 10, 2014


                Membaca artikel yang ditulis oleh Prof. A. Chaedar Alwashilah yang diterbitkan oleh Pikiran Rakyat 28 Februari 2012 bahwa Indonesia memang bukan bangsa penulis. Terbukti pada data yang diamati pada tahun-tahun sebelumnya bahwa banyak lulusan sarjana yang belum atau bahkan tidak bisa menulis. Mungkin ini juga mengapa lulusan sarjana banyak yang menganggur atau bekerja secara serabutan (asal kerja). Mereka lebih memilih menjadi pengusaha atau sekedar menjadi guru di sekolah-sekolah.
            Dalam artikel dikatakan bahwa lulusan sarjana diharuskan membaca karya sastra. Namun sebenarnya, para lulusan sarjana tidak hanya diharuskan membaca karya sastra saja. Melainkan bidang-bidang lain, seperti Sejarah, Sosiologi, Psikologi dan lain sebagainya.
            Memang realistis ketika lulusan sarjana diwajibkan menulis jurnal atau artikel. Namu, akan lebih realistis lagi sepertinya menulis buku pada bidang studynya masing-masing. Tidak hanya jurnal atau artikel yang hanya ditulis ketika ada issu-issu tertentu yang terjadi. Buku teks dalan bidang study setidaknya bisa membantu atau mendorong generasinya untuk memperbaiki apa yang ditulis oleh generasi sebelumnya dan menulis kembali.
            Untuk menjadi bangsa penulis, Indonesia juga harus punya Critical Readers (pembaca yang kritis) sehingga nantinya pun akan menjadi penulis yang kritis (Critical Writers).Critical Readers harus memliki kemampuan membaca yang jeli dan teliti. Sehingga ketika membaca sebuah buku, akan banyak coretan di dalamnya yang berisi pertanyaan untuk penulis dari buku tersebut.
            Yang terjadi di Indonesia kebanyakan setiap pembaca hanya berpikir bahwa mereka mungkin yang kurang membaca, mereka mungkin yang salah berpendapat, atau kemampuan mereka belum tinggi atau kompeten sebagai pelajar, retoricnya terlalu tinggi dan lain sebagainya.
            Fenomena ini sudah menjadi rahasia umum di negara kita. Dari mulai sekolah dasar tidak terbiasa untuk membaca apalagi menulis. Para guru pun tidak mengharuskan para muridnya untuk membaca. Membaca hanya untuk seperlunya saja, itu pun jika akan menghadapi smester. Jika tidak, maka membaca pun tidak akan dilakukan. Fenomena ini sulit dihilangkan, apalagi ketika dalam bukunya hanya lebih mengembangkan kemampuan membaca (Reading Skill) dari pada kemampuan menulis (Writing Skill).
            Memang membaca menentukan kekuatan menulis kita. Namun, bukan keharusan membaca yang dikembangkan di negara kita. Akan tetapi, hanya kemampuan untuk membaca. Yang diajarkan dari mulai sekolah dasar hanyalah kemampuannya bukan keharusannya. Padahal keharusan membaca harus dilatih sejak dini sehingga nantinya pengetahuan dari membaca tersebut bisa diterapkan dalam menulis sebuah jurnal, artikel, atau bahkan buku.
            Untuk itu, Indonesia tidak hanya harus mengembangkan kemampuan membaca saja. Akan tetapi, kemampuan menulis juga. Selama ini, yang diajarkan adalah pada tingkat SMP diajari cara membaca sebuah teks, pada tingkat SMA diajari menganalisa sebuah teks, kemudian barulah pada tingkat Perguruan Tinggi diajari menulis sebuah teks. Pengajaran ini harus dirubah total. Seharusnya pada tingkat SMA diajari menulis teks sehingga nantinya terbiasa ketika di Perguruan Tinggi. Dengan sendirinya mahasiswa akan menjadi Critical Readers ketika sudah terbias menulis.
            Benar sekali ketika Prof. Chaedar mengatakan bahwa lulusan S3 (PhD) yang mengharuskan mahasiswanya membaca sebuah buku kemudian mahasiswanya mengeluh bahwa buku ini terlalu tinggi, atau tidak cocok, atau buku ini di luar zona materi dan sebagainya. Ini dikerenakan mereka tidak terbiasa membaca apalagi menulis.
            Pada artikel yang lain, ada yang setuju dengan artikel yang ditulis oleh Prof. Chaedar Alwashilah pada Pikiran Rakyat. Intinya adalah, bahwa  para pelajar di Indonesia harus didorong untuk membaca sebanyak mungkin. Memang benar ketika Prof. Chaedar mengatakan bahwa para pelajar tidak didorong untuk menulis, wong didorong membaca saja tidak apalagi menulis. Mereka hanya diharuskan membaca ketika akan menghadapi UN.
            Seperti yang dikatakan sebelumnya, ketika mahasiswa Indonesia diberikan buku terbitan U.S atau U.K dalam hal ini adalah jurusan Bahasa Inggris, mereka tidak bisa ngomong bahasa Inggris dengan benar bahkan ketika dibiarkan menulis sekalipun. Seharusnya pemerintah tidak hanya menangani masalah pendidikan saja. Akan tetapi, harus juga terjun atau blusukan ke dalam pendidikan itu sendiri untuk memantau apapun di dalamnya. Dalam hal baca-tulis tidak hanya perlu didorong oleh guru atau dosen, akan tetapi pemerintah juga harus mendukung penuh. Agar nantinya Indonesia bisa menjadi bangsa yang literat, cerdas, dan tidak lagi diremehkan atau dipandang sebelah mata oleh bangsa lain.

            

0 comments:

Post a Comment