Kedudukan indonesia dalam highliteracy memang masih sangan jauh, karena dari kemampuan anak-anak indonesia saja dalam menguasai cara membaca masih rendah. Seperti kurang konsentrasi ketika membaca, mengalami kesusahan untuk memahami dan dalam penalaran. Hanya sedikit saja pelajar yang mampu membaca yang canggih. Mengavaluasi dengan kritis dan menulis.
Jika dikatakan indonesia mampu menduduki
65,5% maka malaysia sudah mencapai 86,4%. Terlebih negara-negara maju, seperti:
Amerika, Jepang, Inggris. Mereka sudah mencapai 99,0%.
Apabila Dirjen Pendidikan Tinggi
menyatakan sarjana lulusan perguruan tinggi kita tidak bisa menulis. Saya yakin
tidak demikian, karena pada dasarnya mereka semua pasti dapat menulis. Hanya
saya yang membedakan kualitas bahasa mereka dalam menyusun kata demi kata, ada
sebagian yang kurang tepat ada pula yang keratif. Tentunya yang membedakan
pengetahuan mereka saja dalam memahami suatu hal yang ingin mereka sampaikan
melalui tulisan. Apalagi sampai menyatakan dosennyapun mayoritas tidak bisa
menulis. Apabila kejadiannya demikian, bukannya seorang dosen itu setidaknya S2?
yang berarti ketika siapa saja mereka yang sudah menyusun skripsi? lalu bagaimana
dengan artikel jurnal mereka? bukankah mereka sudah membuktikan keorisinilan
(keasilan) skripsi mereka pada artikel jurnalnya? sudah sangat jelas dan nyata
sekali mereka dapat menulis. Entah ada dari mereka yang meneruskan dengan
tulisan lainnya setelah jurnal artikel atau tidak meneruskan itu terserah
mereka. Yang jelas dapat menulis dan sudah membuktikan melalui artikel jurnal
mereka.
Dalam menulis skripsi, secara tidak
langsug mereka sedang menulis akademik, dan dengan thesis mereka sedang belajar
observasi atau meneliti sesuatu, dan disertai dengan kekreatifan dalam
membangun teori atau rumusan baru. Inilah yang harus terus dikembangkan lagi
agar karya ilmiah dari perguruan tinggi indonesia mampu total dibandingkan
dengan tetangga negara, yaitu malaysia.
Semua perkuliahan di perguruan tinggi di
Amerika Serikat memang sangat beda dibandingkan perguruan tinggi di Indonesia.
Mahasiswa selalu dipaksa untuk banyak menulis essai, laporan-laporan observasi,
meringkas buku review buku yag kemudian tugas itu dikembalikan dengan
komentar-komentar kritis dari dosennya. Dan itu sangat beda sekali di Indonesia
hanya sedikit saja dosen yang mampu bertindak demikian. Bahkan sangat jarang.
Jadi, sangat jarang pula mahasiswa yang
mampu menalar dan berargument yang betul-betul secara terasan. Sekalipun
demikian mahasiswa Indonesia harus menyelesaikan skripsi mereka sebagai syarat
wajib lulus S1. Karena ini merupakan hasil akhir dari tugas perkuliahan.
Kualitas skipsi inilah yang merupakan kualitas kemampuan mereka pula, beda
hasilnya dengan Perguruan Tinggi Amerika Serikat yang tidak mengharuskan
menulis thesis .
Di Indonesia, sekitar 60 ribu orang
mahasiswa prodi sastra dan budaya atau sekitar 2,22% dari total mahasiswa. Akan
lebih realistis bila merekan untuk kelulusannya diwajibkan menulis cerita
pendek atau bahkan novel dari menulis artikel. Pernyataan ini benar-benar
mengundang perhatian saya. Bagaimanapun artikel itu perlu untuk mereka buat dan
kembangkan. Dengan argument-argument menurut penelitian mereka sendiri, hasil
dari observasi wawancara angket . sehingga bisa diketahui garis besar skripsi
mereka melalui artikel jurnal tersebut. Berbeda halnya ketika menulis cerita
pendek atau novel, seorang sastrawan ketika moodnya mendukung, tanpa adanya
aturan diwajibkan menulis novel, dengan sendirinya mereka pasti menulis
sendiri. Para siswa juga tidak dipaksakan jatuh cinta pada karya satra yang
kemudian harus selalu dituntut merangkai kata menjadi sebuah sastra sampai
akhirnya menjadi sebuah novel. Untuk mengerjakan demikian diperlukan adanya
feel. Apabila kita tidak suka kemudian tetap dituntut untuk cinta pada karya
sastra. Maka sekalipun dipaksa menulis sebuah novel hasinyapun tidak maksimal
dan jauh dari sempurna.
Ketika pembaca mengatakan, bahwa
keahlian penulis sangat tinggi atau pembaca mengeluh karena kapasitas mereka
tidak mampu yang hanya merupakan pelajar pemula. Dengan seperti itu pembaca
menjauhkan diri dari penulis dengan memposisikan dirinya menjadi keputusasaan.
Menurut saya, sebelum membaca pembaca harus mengetahui terlebih dahulu buku
tersebut ditunjukan kepada siapa dan dalam konteks apa. Apabila ia tidak dapat
memilih buku bacaannya sendiri dengan cermat, yang ada malah salah sasaran dan
jelas kapasitas mereka tidak akan/merasa susah menyerap dan memahami isi
bacaan. Sedangkan disisi lain penulis juga mengidentifikasikan terlebih dahulu,
merekan menulis ditunjukan untuk siapa dan dalam konteks apa. Sehingga,
seharusnya pembaca mencermati bagian covernya terlebih dahulu. Apakah buku
tersebut tepat atau tidak. sesuai kapasitas kita atau tidak.
Disisi lain CW Watson mensepakati Pak
Chaedar bahwa anak-anak indonesia tidak perlu untuk tujuan ujian nasional.
Apabila demikian, lantas bagaimana pengajar mengetahui kemampuan siswanya?
bukannya ijazah sangatlah diperlukan untuk masa depan mereka sendiri selain
skill yang mereka punya juga.
0 comments:
Post a Comment