Sunday, February 16, 2014

12:12 AM

Kedudukan indonesia dalam highliteracy memang masih sangan jauh, karena dari kemampuan anak-anak indonesia saja dalam menguasai cara membaca masih rendah. Seperti kurang konsentrasi ketika membaca, mengalami kesusahan untuk memahami dan dalam penalaran. Hanya sedikit saja pelajar yang mampu membaca yang canggih. Mengavaluasi dengan kritis dan menulis.
Jika dikatakan indonesia mampu menduduki 65,5% maka malaysia sudah mencapai 86,4%. Terlebih negara-negara maju, seperti: Amerika, Jepang, Inggris. Mereka sudah mencapai 99,0%.
Apabila Dirjen Pendidikan Tinggi menyatakan sarjana lulusan perguruan tinggi kita tidak bisa menulis. Saya yakin tidak demikian, karena pada dasarnya mereka semua pasti dapat menulis. Hanya saya yang membedakan kualitas bahasa mereka dalam menyusun kata demi kata, ada sebagian yang kurang tepat ada pula yang keratif. Tentunya yang membedakan pengetahuan mereka saja dalam memahami suatu hal yang ingin mereka sampaikan melalui tulisan. Apalagi sampai menyatakan dosennyapun mayoritas tidak bisa menulis. Apabila kejadiannya demikian, bukannya seorang dosen itu setidaknya S2? yang berarti ketika siapa saja mereka yang sudah menyusun skripsi? lalu bagaimana dengan artikel jurnal mereka? bukankah mereka sudah membuktikan keorisinilan (keasilan) skripsi mereka pada artikel jurnalnya? sudah sangat jelas dan nyata sekali mereka dapat menulis. Entah ada dari mereka yang meneruskan dengan tulisan lainnya setelah jurnal artikel atau tidak meneruskan itu terserah mereka. Yang jelas dapat menulis dan sudah membuktikan melalui artikel jurnal mereka.
Dalam menulis skripsi, secara tidak langsug mereka sedang menulis akademik, dan dengan thesis mereka sedang belajar observasi atau meneliti sesuatu, dan disertai dengan kekreatifan dalam membangun teori atau rumusan baru. Inilah yang harus terus dikembangkan lagi agar karya ilmiah dari perguruan tinggi indonesia mampu total dibandingkan dengan tetangga negara, yaitu malaysia.
Semua perkuliahan di perguruan tinggi di Amerika Serikat memang sangat beda dibandingkan perguruan tinggi di Indonesia. Mahasiswa selalu dipaksa untuk banyak menulis essai, laporan-laporan observasi, meringkas buku review buku yag kemudian tugas itu dikembalikan dengan komentar-komentar kritis dari dosennya. Dan itu sangat beda sekali di Indonesia hanya sedikit saja dosen yang mampu bertindak demikian. Bahkan sangat jarang.
Jadi, sangat jarang pula mahasiswa yang mampu menalar dan berargument yang betul-betul secara terasan. Sekalipun demikian mahasiswa Indonesia harus menyelesaikan skripsi mereka sebagai syarat wajib lulus S1. Karena ini merupakan hasil akhir dari tugas perkuliahan. Kualitas skipsi inilah yang merupakan kualitas kemampuan mereka pula, beda hasilnya dengan Perguruan Tinggi Amerika Serikat yang tidak mengharuskan menulis thesis .
Di Indonesia, sekitar 60 ribu orang mahasiswa prodi sastra dan budaya atau sekitar 2,22% dari total mahasiswa. Akan lebih realistis bila merekan untuk kelulusannya diwajibkan menulis cerita pendek atau bahkan novel dari menulis artikel. Pernyataan ini benar-benar mengundang perhatian saya. Bagaimanapun artikel itu perlu untuk mereka buat dan kembangkan. Dengan argument-argument menurut penelitian mereka sendiri, hasil dari observasi wawancara angket . sehingga bisa diketahui garis besar skripsi mereka melalui artikel jurnal tersebut. Berbeda halnya ketika menulis cerita pendek atau novel, seorang sastrawan ketika moodnya mendukung, tanpa adanya aturan diwajibkan menulis novel, dengan sendirinya mereka pasti menulis sendiri. Para siswa juga tidak dipaksakan jatuh cinta pada karya satra yang kemudian harus selalu dituntut merangkai kata menjadi sebuah sastra sampai akhirnya menjadi sebuah novel. Untuk mengerjakan demikian diperlukan adanya feel. Apabila kita tidak suka kemudian tetap dituntut untuk cinta pada karya sastra. Maka sekalipun dipaksa menulis sebuah novel hasinyapun tidak maksimal dan jauh dari sempurna.
Ketika pembaca mengatakan, bahwa keahlian penulis sangat tinggi atau pembaca mengeluh karena kapasitas mereka tidak mampu yang hanya merupakan pelajar pemula. Dengan seperti itu pembaca menjauhkan diri dari penulis dengan memposisikan dirinya menjadi keputusasaan. Menurut saya, sebelum membaca pembaca harus mengetahui terlebih dahulu buku tersebut ditunjukan kepada siapa dan dalam konteks apa. Apabila ia tidak dapat memilih buku bacaannya sendiri dengan cermat, yang ada malah salah sasaran dan jelas kapasitas mereka tidak akan/merasa susah menyerap dan memahami isi bacaan. Sedangkan disisi lain penulis juga mengidentifikasikan terlebih dahulu, merekan menulis ditunjukan untuk siapa dan dalam konteks apa. Sehingga, seharusnya pembaca mencermati bagian covernya terlebih dahulu. Apakah buku tersebut tepat atau tidak. sesuai kapasitas kita atau tidak.
Disisi lain CW Watson mensepakati Pak Chaedar bahwa anak-anak indonesia tidak perlu untuk tujuan ujian nasional. Apabila demikian, lantas bagaimana pengajar mengetahui kemampuan siswanya? bukannya ijazah sangatlah diperlukan untuk masa depan mereka sendiri selain skill yang mereka punya juga.

0 comments:

Post a Comment