Monday, February 17, 2014



Secara sederhana literasi dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenal dengan kewicaksaraan yaitu kemampuan membaca, ini sudah merupakan bahasa yang halus dalam arti lain melek huruf atau melek aksara dalam arti kasarnya. Namun, seiring perkembangan zaman bahasa akan terus dinamis. Sekarang literasi memiliki arti yang begitu luas sehingga kewicaksaraan bukan lagi dianggap makna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies).
            Disini ada beraneka ragam kewicaksaraan atau literasi, misalnya literasi computer (computer literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi (information literacy). Seorang yang bisa dikatakan literat itu  jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.
            Disini banyak pendekatan dalam pendidikan, ada pendekatan audiobilingual atau dengar ucap (1940-1960) yang meletakkan fokusnya pada latihan dialog pendek untuk dikuasai oleh siswa, dikemudian hari siswa akan beranalogi pada dialog-dialog itu saat berkomunikasi secara spontan. Pemdekatan ini kurang member ruang terhadap variasi ujaran untuk berbagai fungsi. Dalam kenyataannya sering muncul hal ihwal tak terduga yang menuntut variasi respon ujaran yang berbeda, selain itu dalam pendekatan ini penguasaan bahasa tulis terabaikan.
Benar yang diungkap oleh Pak Chaedar Alwasilah, jadi disini harusnya lebih ditekankan budaya dalam bahasa tulisnya yang tidak berkomunikasi secara spontan, ini pendekatan yang kurang efektif karena siswa tidak dituntut untuk menuangkan hasil karyanya, kemudian ada juga pendekatan kognitif dan transformative sebagai implikasi dari teori-teori syntactic structure (Chomsky, 1957). Fokus pengajarannya terletak pada pembangkitan (generating) potensi berbahasa siswa sesuai dengan potensi dan berbahasa siswa sesuai potensi dan kebutuhan lingkungannya. Materi yang diajarkan kepada siswa berorientasi ke sintaksis. Memangnya berbahasa itu hanya bersintaksis ? Bisa jadi, secara sintaksis benar tapi secara sosiolinguitik tidak fungsional. Jadi bukan hanya sosiolinguistik yang harus dipelajari dalam berbahasa, karena berbahasa ini sangat kompleks.
Banyak pendekatan lainnya seperti pendekatan communicative competence dan pendekatan literasi, karena pengajaran bahasa adalah bisa memberikan pembelajaran mengenai siswa bisa berkomunikasi, dari komunitas spontan dan alami kemudian pendekatan literasi dilakukan melalui empat tahapan yaitu (1) membangun pengetahuan yang kedua model-model teks kemudian tahap selanjutnya adalah menyusun model-model teks dan tahapan akhirnya mengenai teks.
            Sungguh menyayat hati bila melihat anak-anak Indonesia tidak mengenal huruf, mengapa Pemerintah begitu acuh terhadap kondisi yang menyedihkan ini. Bila dirasakan sangat pedih mendengar dan melihatnya. Memang ini sudah menjadi pemandangan dalam negara kita, tapi bagaimana kita bisa menciptakan dan membangun agar semua lapisan manusia bisa mengenal huruf dengan begitu indahnya, bila dilihat dari posisi dibandingakan negara lain melalui riset penelitian dunia pada tahun 1999, yang dikenal pada tahun itu adalah PIRLS dalam singkatannya (Internatinal Reading Literacy Study Progress) bukti yang ditunjukkan kedua PIRLS ( International Student Assesment ) dan TIMSS yang meriset barometer membaca literasi, ilmu pengetahuan, matematika, dan ilmu pengetahuan alam.
Riset ini menunjukkan PIRLS yang membaca literasi siswa kelas IV tahun 2006 di Negara Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Dari situlah kita bisa menarik kesimpulan atas bukti bahwa Indonesia diukur dengan indeks sumber daya rumah pendidikan (HER) diantara jumlah buku, anak-anak, meja belajar sendiri, buku milik sendiri dan sumber belajar lain. Indonesia juga mengadakan 1% ( HIGH HER), sedang 62 %, 37 % rendah maka posisi tertinggi dalam DIA adalah inggris, Amerika serikat, Islandia, Norwegia, Skotlandia, Denmark, Swedia, Selandia baru, Israel, dan Kanada. Indonesia memiliki IPM ( Indeks Pembangunan Manusia ) dan terendah dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia merupakan negara dengan indicator tinggi dalam mengambil dan prosess inferencing langsung. Oleh karena itu, kesimpulan dari tujuh temuan bukti antusias tehadap sebuah tulisan (huruf) itu sangat rendah, masih sangat tertinggal bila dilihat dan dibandingkan negara lain, Indonesia belum bisa berhasil menaklukan untuk menciptakan pencinta huruf. Sudah barang tentu tanpa membaca referensi buku yang banyak, maka orang tersebut rumit untuk menyandang peringkat dan gelar menjadi seorang penulis.
            Ungkapan membaca sebagai jendela dunia begitu sangat signifikan dengan gerakan membaca yang dikobar-kobarkan dalam kalangan masyarakat di negara ini. Meskipun ungkapan ini dianggap sebagai suatu klise apabila mempermasalahkan sebuah perihal pemupukan dalam budaya membaca, namun tidak dapat dipungkiri, membaca merupakan wahana dan penghubung kearah kelangsungan budaya ilmu dan peradaban bangsa dalam menjembatani kedepannya. Ironinya masyarakat di negara kita belum boleh dianggap sebagai masyarakat pembaca. Tatkala penguasaan informasi menjadi indicator dalam penentuan keterampilan intelektual, masyarakat yang kurang membaca akan selamanya-selamanya menjadi seperti sebuah ledakan informasi yang apabila bersaing dengan masyarakat di negara-negara maju contohnya di negara-negara Eropa tidak akan bisa mengimbangi bila keadaan dan budaya membacanya tidak dibudayakan.
Mungkin rendahnya membaca bisa terjadi lemahnya sarana dan prasarana pendidikan, mungkin kurikulum yang tidak tegas untuk menampilkan kegiatan membaca dalam suatu bahan kajian, serta para tenaga kependidikan kurangnya kemajuan teknologi, kurangnya dukungan keluarga dan lingkungan.
Penguasaan literasi pada ihwalnya harus dikuasai oleh guru. Berdasarkan penelitian Setiadi (2010) terhadap beberapa kenyataan yaitu guru tidak mendapatkan pelatihan yang memadai dalam kegiatan mengelola kelas, guru, mengandalkan  kurikulum nasional dan buku pokok, pemodalan dalam kegiatan membaca dan menulis tidak lazim dilakukan oleh para guru. Terdapat 6 profesionalisme guru terhadap pendidikan literasi yaitu komitmen professional, komitmen, etis, strategi analisis dan efektif, etikasi diri, pengetahuan bidang studi, keterampilan literasi dan numerasi yang diungkapkan cole dan chan, 1994 dikutip oleh Setiadi :2010). Perlu diingat  kembali bahwa orang yang berliterasi ialah orang terdidik dan berbudaya. Adapun berdasarkan buku “Rekayasa Literasi” disini ialah supaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju kependidikan dan pembudayan
            Rekayasa literasi sangatlah berpengaruh untuk perkembangan jaman, terdapat 4 dimensi terhadap perbaikan rekayasa literasi, diantaranya linguistic, kogntif, sosiokultural dan perkembangan. Dari dimensi pengetahuan kita menghasilkan, sebuah ragam tulis, persamaan dan perbedaan bahasa lisan dan teks, sistem bahasa untuk membangun makna. Dimensi pengetahuan perkembangan menghasilkan pengamatan data, memakai berbagai strategi dan proses mengkonstruksi berbagai dimensi literal, bagaimana menggunakan dukungan dan mediasi dari pelaku literasi. Pemanfaatan pengetahuan yang diperoleh menghasilkan bagaimana menegoisasi makna tekstual.
Kemudian dimensi pengetahuan sosiokultural, menghasilkan fitur linguitik, bagaimana menghasilkan literasi tertentu, kemampuan melakukan kritik teks dari berbagai kelompok social dan lembaga. Kenyataan yang memang harus kita hadapi dan memang harus kita perangi dan berupaya membuang sejauh mungkin sifat malas yang masih tertancap di sanubari. Lebih baik kita menjadi siswa yang mau dibiarkan bodoh.
Banyaknya lulusan sarjana di Indonesia akan tetapi dimana letak literasi yang ada pada sarjana itu. Literasi sudah jelas dikatakan suatu kemampuan berbaca  tulis dan untuk sebagian orang literasi merupakan orang yang kaya akan budaya baca tulis. Dalam peraturan Bahasa Asing Program  S-1 terdapat 3 komponen yaitu muatan cultural, mutan kognitif dan muatan reproduksi. Menurut pandangan  (kucer :2000) terhadap literasi yang mengandung 3 paradigma yang beragam dalam pembelajaran tentang literasi. Adanya keterampilan siswa bisa membangun siswa bisa membangun literasi dengan ajarkan terlebih dahulu dalam pengetahuan literasi yaitu bagaimana memaknai kode suatu bahasa. Decoding yaitu siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu tentang pengetahuab literasi seperti morfem dab sebuah kosa kata.
Literasi itu penting karena menurut Martha ( Penington (1996 :186) mengatakan bahwa secara fakta dokumen tertulis dapat survive lebih lama dibandingkan manusia itu sendiri, karena bahasa tulisan mudah dipelihara dari generasi sesuatu ke generasi berikutnya. Menggunakan bahasa tertulis dirasa lebih leluasa dari pada bahasa lisan karena si penulis bebas dari suatu hambatan waktu dan kehadiran lawan komunikasinya, sehingga karya tulis merupakan cerminan dari taraf pengetahuan dan kemapuan bahasa penulisnya, karena karya tulis dihasilkan melewati proses pemikiran, perencanaan dan pemantauan yang memadai ( Tri wahyu, R.N :2008).
Guru menemukan generasi yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam literasi diperlukan cara yang strategi alternative yang bisa dilakukan untuk menopang peningkatan kualitas sumber daya manusia. Indonesia tengah menghadapi sindrom buta huruf yang kerap kali menjadi penghambat kemajuan pendidikan nasional untuk bersaing di dunia internasional. Karena itu penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan memang menjadi tulang punggung kemajuan pendekatan suatu bangsa. Tidak mungkin menjadi bangsa yang besar apabila hanya mengandalkan budaya oral yang mewarnai pembelajaran di lembaga sekolah maupun perguruan tinggi semakin tidak diminati, hal ini jangan sampai menunjukkan ketidakmampuan dalam mengelola sistem pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itulah sudah saatnya, budaya literasi harus lebih ditanamkan sejak usia dini agar anak bisa mengenal bahan bacaan dan menguasai dunia tulis-menulis.
Latihan membaca berkaitab erat dengan latihan menulis dengan konsentrasi penuh melakukan komunikasi satu arah dan membatasi diri pada komunikasi dua arah. Pelimpahan pemahaman secara intensif pada mas awal-awal pembelajaran akan menunjukkan kemampuan berbahasa yang lebih baik dari pembelajar yang pada masa itu diberi latihan oral secara bertubi-tubi. Memahami apa yang dikatakan akan lebih mudah dari pada mengatakan semua apa yang dipahami.
Menurut Salinger, dengan memberikan pengalaman kepada siswa melalui pembelajaran yang terpadu lingkungan literasi diasumsikan dapat meningkatkan kemampuan bahasa, karena siswa menggunakan proses menerus yang saling berkaitan antara membaca, menulis dan berbicara dan mendengarkan untuk komunikasi alamiah senyatanya.
Rendahnya literasi memerlukan upaya untuk meninjau pelaksanaan pembelajaran yang berlangsung di kelas. Hal ini dikarenakan bahwa keterampilan literasi menjadi alat pembeda bagi kemajuan peradaban dari bangsa tertentu. Penumbuhan budaya literasi di Indonesia perlu ditanamkan sejak dini yaitu melalui pembelajaran dimana siswa menulis apa yang ia dengar, lihat dan apa yang anda pikirkan sehingga akan muncul ide-ide yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi bentuk literasi yang lebih tinggi lagi. Jadi kita harus semangat untuk beliterasi agar bisa menjadi manusia yang bermanfaat

0 comments:

Post a Comment