Secara
sederhana literasi dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Kita
mengenal dengan kewicaksaraan yaitu kemampuan membaca, ini sudah merupakan
bahasa yang halus dalam arti lain melek huruf atau melek aksara dalam arti
kasarnya. Namun, seiring perkembangan zaman bahasa akan terus dinamis. Sekarang
literasi memiliki arti yang begitu luas sehingga kewicaksaraan bukan lagi
dianggap makna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies).
Disini ada beraneka ragam kewicaksaraan atau literasi,
misalnya literasi computer (computer literacy), literasi media (media
literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi ekonomi (economy
literacy), literasi informasi (information literacy). Seorang yang bisa
dikatakan literat itu jika ia sudah bisa
memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu
berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.
Disini banyak pendekatan dalam pendidikan, ada pendekatan
audiobilingual atau dengar ucap (1940-1960) yang meletakkan fokusnya pada
latihan dialog pendek untuk dikuasai oleh siswa, dikemudian hari siswa akan
beranalogi pada dialog-dialog itu saat berkomunikasi secara spontan. Pemdekatan
ini kurang member ruang terhadap variasi ujaran untuk berbagai fungsi. Dalam
kenyataannya sering muncul hal ihwal tak terduga yang menuntut variasi respon ujaran
yang berbeda, selain itu dalam pendekatan ini penguasaan bahasa tulis
terabaikan.
Benar yang diungkap
oleh Pak Chaedar Alwasilah, jadi disini harusnya lebih ditekankan budaya dalam
bahasa tulisnya yang tidak berkomunikasi secara spontan, ini pendekatan yang
kurang efektif karena siswa tidak dituntut untuk menuangkan hasil karyanya,
kemudian ada juga pendekatan kognitif dan transformative sebagai implikasi dari
teori-teori syntactic structure (Chomsky, 1957). Fokus pengajarannya terletak
pada pembangkitan (generating) potensi berbahasa siswa sesuai dengan potensi
dan berbahasa siswa sesuai potensi dan kebutuhan lingkungannya. Materi yang
diajarkan kepada siswa berorientasi ke sintaksis. Memangnya berbahasa itu hanya
bersintaksis ? Bisa jadi, secara sintaksis benar tapi secara sosiolinguitik
tidak fungsional. Jadi bukan hanya sosiolinguistik yang harus dipelajari dalam
berbahasa, karena berbahasa ini sangat kompleks.
Banyak pendekatan
lainnya seperti pendekatan communicative competence dan pendekatan literasi,
karena pengajaran bahasa adalah bisa memberikan pembelajaran mengenai siswa
bisa berkomunikasi, dari komunitas spontan dan alami kemudian pendekatan
literasi dilakukan melalui empat tahapan yaitu (1) membangun pengetahuan yang
kedua model-model teks kemudian tahap selanjutnya adalah menyusun model-model
teks dan tahapan akhirnya mengenai teks.
Sungguh menyayat hati bila melihat anak-anak Indonesia
tidak mengenal huruf, mengapa Pemerintah begitu acuh terhadap kondisi yang
menyedihkan ini. Bila dirasakan sangat pedih mendengar dan melihatnya. Memang
ini sudah menjadi pemandangan dalam negara kita, tapi bagaimana kita bisa
menciptakan dan membangun agar semua lapisan manusia bisa mengenal huruf dengan
begitu indahnya, bila dilihat dari posisi dibandingakan negara lain melalui
riset penelitian dunia pada tahun 1999, yang dikenal pada tahun itu adalah
PIRLS dalam singkatannya (Internatinal Reading Literacy Study Progress) bukti
yang ditunjukkan kedua PIRLS ( International Student Assesment ) dan TIMSS yang
meriset barometer membaca literasi, ilmu pengetahuan, matematika, dan ilmu
pengetahuan alam.
Riset
ini menunjukkan PIRLS yang membaca literasi siswa kelas IV tahun 2006 di Negara
Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Dari situlah kita bisa menarik
kesimpulan atas bukti bahwa Indonesia diukur dengan indeks sumber daya rumah
pendidikan (HER) diantara jumlah buku, anak-anak, meja belajar sendiri, buku
milik sendiri dan sumber belajar lain. Indonesia juga mengadakan 1% ( HIGH
HER), sedang 62 %, 37 % rendah maka posisi tertinggi dalam DIA adalah inggris,
Amerika serikat, Islandia, Norwegia, Skotlandia, Denmark, Swedia, Selandia
baru, Israel, dan Kanada. Indonesia memiliki IPM ( Indeks Pembangunan Manusia )
dan terendah dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia merupakan negara
dengan indicator tinggi dalam mengambil dan prosess inferencing langsung. Oleh
karena itu, kesimpulan dari tujuh temuan bukti antusias tehadap sebuah tulisan
(huruf) itu sangat rendah, masih sangat tertinggal bila dilihat dan
dibandingkan negara lain, Indonesia belum bisa berhasil menaklukan untuk
menciptakan pencinta huruf. Sudah barang tentu tanpa membaca referensi buku
yang banyak, maka orang tersebut rumit untuk menyandang peringkat dan gelar
menjadi seorang penulis.
Ungkapan membaca sebagai jendela dunia begitu sangat
signifikan dengan gerakan membaca yang dikobar-kobarkan dalam kalangan
masyarakat di negara ini. Meskipun ungkapan ini dianggap sebagai suatu klise
apabila mempermasalahkan sebuah perihal pemupukan dalam budaya membaca, namun
tidak dapat dipungkiri, membaca merupakan wahana dan penghubung kearah
kelangsungan budaya ilmu dan peradaban bangsa dalam menjembatani kedepannya.
Ironinya masyarakat di negara kita belum boleh dianggap sebagai masyarakat
pembaca. Tatkala penguasaan informasi menjadi indicator dalam penentuan
keterampilan intelektual, masyarakat yang kurang membaca akan
selamanya-selamanya menjadi seperti sebuah ledakan informasi yang apabila
bersaing dengan masyarakat di negara-negara maju contohnya di negara-negara
Eropa tidak akan bisa mengimbangi bila keadaan dan budaya membacanya tidak
dibudayakan.
Mungkin
rendahnya membaca bisa terjadi lemahnya sarana dan prasarana pendidikan,
mungkin kurikulum yang tidak tegas untuk menampilkan kegiatan membaca dalam
suatu bahan kajian, serta para tenaga kependidikan kurangnya kemajuan
teknologi, kurangnya dukungan keluarga dan lingkungan.
Penguasaan literasi
pada ihwalnya harus dikuasai oleh guru. Berdasarkan penelitian Setiadi (2010)
terhadap beberapa kenyataan yaitu guru tidak mendapatkan pelatihan yang memadai
dalam kegiatan mengelola kelas, guru, mengandalkan kurikulum nasional dan buku pokok, pemodalan
dalam kegiatan membaca dan menulis tidak lazim dilakukan oleh para guru.
Terdapat 6 profesionalisme guru terhadap pendidikan literasi yaitu komitmen
professional, komitmen, etis, strategi analisis dan efektif, etikasi diri,
pengetahuan bidang studi, keterampilan literasi dan numerasi yang diungkapkan
cole dan chan, 1994 dikutip oleh Setiadi :2010). Perlu diingat kembali bahwa orang yang berliterasi ialah
orang terdidik dan berbudaya. Adapun berdasarkan buku “Rekayasa Literasi”
disini ialah supaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia
terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju
kependidikan dan pembudayan
Rekayasa literasi sangatlah berpengaruh untuk
perkembangan jaman, terdapat 4 dimensi terhadap perbaikan rekayasa literasi,
diantaranya linguistic, kogntif, sosiokultural dan perkembangan. Dari dimensi
pengetahuan kita menghasilkan, sebuah ragam tulis, persamaan dan perbedaan
bahasa lisan dan teks, sistem bahasa untuk membangun makna. Dimensi pengetahuan
perkembangan menghasilkan pengamatan data, memakai berbagai strategi dan proses
mengkonstruksi berbagai dimensi literal, bagaimana menggunakan dukungan dan
mediasi dari pelaku literasi. Pemanfaatan pengetahuan yang diperoleh
menghasilkan bagaimana menegoisasi makna tekstual.
Kemudian
dimensi pengetahuan sosiokultural, menghasilkan fitur linguitik, bagaimana
menghasilkan literasi tertentu, kemampuan melakukan kritik teks dari berbagai
kelompok social dan lembaga. Kenyataan yang memang harus kita hadapi dan memang
harus kita perangi dan berupaya membuang sejauh mungkin sifat malas yang masih
tertancap di sanubari. Lebih baik kita menjadi siswa yang mau dibiarkan bodoh.
Banyaknya
lulusan sarjana di Indonesia akan tetapi dimana letak literasi yang ada pada
sarjana itu. Literasi sudah jelas dikatakan suatu kemampuan berbaca tulis dan untuk sebagian orang literasi
merupakan orang yang kaya akan budaya baca tulis. Dalam peraturan Bahasa Asing
Program S-1 terdapat 3 komponen yaitu
muatan cultural, mutan kognitif dan muatan reproduksi. Menurut pandangan (kucer :2000) terhadap literasi yang
mengandung 3 paradigma yang beragam dalam pembelajaran tentang literasi. Adanya
keterampilan siswa bisa membangun siswa bisa membangun literasi dengan ajarkan
terlebih dahulu dalam pengetahuan literasi yaitu bagaimana memaknai kode suatu
bahasa. Decoding yaitu siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu
tentang pengetahuab literasi seperti morfem dab sebuah kosa kata.
Literasi
itu penting karena menurut Martha ( Penington (1996 :186) mengatakan bahwa secara
fakta dokumen tertulis dapat survive lebih lama dibandingkan manusia itu
sendiri, karena bahasa tulisan mudah dipelihara dari generasi sesuatu ke
generasi berikutnya. Menggunakan bahasa tertulis dirasa lebih leluasa dari pada
bahasa lisan karena si penulis bebas dari suatu hambatan waktu dan kehadiran
lawan komunikasinya, sehingga karya tulis merupakan cerminan dari taraf
pengetahuan dan kemapuan bahasa penulisnya, karena karya tulis dihasilkan
melewati proses pemikiran, perencanaan dan pemantauan yang memadai ( Tri wahyu,
R.N :2008).
Guru
menemukan generasi yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam literasi
diperlukan cara yang strategi alternative yang bisa dilakukan untuk menopang
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Indonesia tengah menghadapi sindrom
buta huruf yang kerap kali menjadi penghambat kemajuan pendidikan nasional
untuk bersaing di dunia internasional. Karena itu penguasaan literasi dalam
segala aspek kehidupan memang menjadi tulang punggung kemajuan pendekatan suatu
bangsa. Tidak mungkin menjadi bangsa yang besar apabila hanya mengandalkan
budaya oral yang mewarnai pembelajaran di lembaga sekolah maupun perguruan
tinggi semakin tidak diminati, hal ini jangan sampai menunjukkan ketidakmampuan
dalam mengelola sistem pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena
itulah sudah saatnya, budaya literasi harus lebih ditanamkan sejak usia dini
agar anak bisa mengenal bahan bacaan dan menguasai dunia tulis-menulis.
Latihan
membaca berkaitab erat dengan latihan menulis dengan konsentrasi penuh
melakukan komunikasi satu arah dan membatasi diri pada komunikasi dua arah.
Pelimpahan pemahaman secara intensif pada mas awal-awal pembelajaran akan
menunjukkan kemampuan berbahasa yang lebih baik dari pembelajar yang pada masa
itu diberi latihan oral secara bertubi-tubi. Memahami apa yang dikatakan akan
lebih mudah dari pada mengatakan semua apa yang dipahami.
Menurut
Salinger, dengan memberikan pengalaman kepada siswa melalui pembelajaran yang
terpadu lingkungan literasi diasumsikan dapat meningkatkan kemampuan bahasa,
karena siswa menggunakan proses menerus yang saling berkaitan antara membaca,
menulis dan berbicara dan mendengarkan untuk komunikasi alamiah senyatanya.
Rendahnya
literasi memerlukan upaya untuk meninjau pelaksanaan pembelajaran yang
berlangsung di kelas. Hal ini dikarenakan bahwa keterampilan literasi menjadi
alat pembeda bagi kemajuan peradaban dari bangsa tertentu. Penumbuhan budaya
literasi di Indonesia perlu ditanamkan sejak dini yaitu melalui pembelajaran
dimana siswa menulis apa yang ia dengar, lihat dan apa yang anda pikirkan
sehingga akan muncul ide-ide yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi bentuk
literasi yang lebih tinggi lagi. Jadi kita harus semangat untuk beliterasi agar
bisa menjadi manusia yang bermanfaat
0 comments:
Post a Comment