Tuesday, February 11, 2014

12:15 AM

Penulis adalah SDM yang sangat langka, yang sedikit diminati oleh mahasiswa, sarjana bahkan master sekalipun. Seharusnya seorang yang berpendidikan harus mempunyai keterampilan menulis, bisa menghasilkan karya-karya yang bisa bermanfaat bagi masyarakat. Penulis adalah seorang yang membaca dan menulis, bukan hanya membaca atau menulisnya saja, tetapi harus bisa menyeimbangkan antara keduanya.
Menanggapi essay prof. Chaedar Al wasilah yang berjudul (Bukan) Bangsa Penulis. Dari semua penelitian dan observasi beliau terhadap pendidikan di Indonesia mengenai sarjana lulusan Perguruan Tinggi yang tidak bisa menulis itu sangat relevan. Tapi saya kurang sependapat dengan beliau karena tidak ada kejelasan terhadap subjek yang menjadi titik pokok penulis itu, tetapi dalam artikel memang di jelaskan yang menjadi subjek adalah sarjana lulusan PT, jika hanya sarjana atau orang yang berpendidikan, saya rasa judulnya itu tidak tepat, karena bangsa mencakup semua yang hidup dalam suatu negara. Di Indonesia, tingkat pendidikan masih sangat rendah, mereka yang tidak mendapatkan pendidikan tidak mengerti tentang menulis, bagaimana mereka akan menghasilkan karya tulisan tanpa pemahaman tentang menulis.
Sarjana, untuk menjadi sarjana harus menghasilkan karya tulis, jika di tingkat D1-D2-D3 dinamakan Karya Tulis Ilmiah, di tingkat S1 skripsi, ditingkat S2 tesis, dan di tingkat S3 disertasi. Semua jenis itu adalah hasil penelitian, observasi dan membaca, itu merupakan karya tulis. Jadi sarjana adalah seorang penulis, hanya saja setelah mereka mendapatkan lebel sarjana mereka tidak lagi melatih keterampilannya untuk menghasilkan karya lagi. Ini yang menjadi kesalahan dari sarjana-sarjana, mereka tidak lagi menulis, bahkan menghilangkan budaya menulis yang selalu menjadi makanan sehari-hari pada saat duduk di bangku kuliah.
Masih dari artikel (Bukan) Bangsa Penulis, tertulis pada paragraf penutup bahwa menulis artikel jurnal untuk lulusan S1 dan S2 sangat tidak tepat karena akan menyebabkan penumpukan di akhir program yang menuntut biaya hidup dan lain-lain. Saya setuju dengan pernyataan ini karena proses pembuatan artikel-jurnal yang lama akan menyebabkan mahasiswa terhambat kelulusannya, karena harus membuat skripsi dan disertasi, kemudian harus mengubah skripsi itu menjadi jurnal dengan seleksi yang ketat, itu akan memakan waktu yang lama. Jika membuatnya asal-asalan akan menghasilkan jurnal asal-asalan juga.
Bukan hanya menulis artikel-jurnal saja untuk mengembangkan intelektual, dengan menulis artikel opini lebih memajukan karena akan menghasilkan opini kritis terhadap keadaan yang sedang terjadi.
Artikel yang berjudul Powerful Writers versus the Helpless Readers, masih berhubungan dengan artikel (Bukan) Bangsa Penulis, menurut pa chaedar 95% mahasiswa ketika di tanya tentang pemahamannya dalam membaca, mereka buta terhadap pemahaman, mereka hanya membaca tanpa memahami apa yang di maksud dari teks yang dibacanya, karena teks bacaannya yang tidak sesuai dengan kapasitasnya sehingga mereka tidak mengerti dengan yang dibacanya.
Mahasiswa tersebut adalah penulis pemula yang sedang belajar menulis, sedangkan dosen yang mengampunya adalah penulis besar, yang selalu memberi mahasiswanya buku-buku asing dengan bahasa yang terlalu tinggi, yang membuat mereka menjadi lebih memahami membaca tanpa adanya karya tulis dari hasil bacaannya. Ini juga menjadi PR buat dosen bahwa kapasitas atau kemampuannya berbeda dengan mahasiswa yang baru merajut sejarah pengalaman, sehingga harus diberikan tuntunan dan pengajaran yang sesuai dengan kemampuan mahasiswa.
Mahasiswa bukan berarti harus memahami terus teks yang di dapat dari dosen, mahasiswa bisa mencaritahu data lain yang bisa sesuai dengan bahasanya, dan juga harus menuliskannya kembali dengan sudut pandangnya masing-masing, sehingga akan tercipta banyak keragaman dan pengetahuan yang lebih luas.
Lerning and Teaching Process: More about Readers and Writers merupakan artikel prof. Chaedar yang ketiga, berbicara tentang proses pembelajaran pendidikan di Indonesia seperti contohnya dalam Ujian Akhir Nasional yang menjadi ukuran lulus atau tidaknya siswa belajar selama tiga tahun, soal yang menjadi ukuran adalah pilihan ganda yang tidak bagus untuk mengembangkan intelektual. Saya setuju jika konsep kelulusan pada tingkat SMA diubah dengan membuat karya tulis, baik itu hanya membuat makalah atau cerita pendek.
Ketiga artikel prof. Chaedar menyerukan untuk membudayakan menulis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sangat bagus, tetapi menurut saya membaca yang harus dibenahi terlebih dahulu, karena dari membaca akan menghasilkan sebuah tulisan, jika tanpa membaca akan menghasilkan tulisan yang asal-asalan. Validitas tulisan akan sangat rendah karena tanpa adanya data-data yang otentik, terkecuali menulis dengan imajinasi atau membuat karya sastra novel atau cerpen. Dari membaca diharapkan bisa menghasilkan tulisan dengan sudut pandang yang berbeda dan penjelasan yang berbeda tetapi satu objek, ini yang akan menjadikan keberagaman pendapat dan pemahaman yang akan mengembangkan intelektual.
Sekarang budaya membaca saja sudah tidak lagi terlihat pada mahasiswa, bagaimana dengan budaya menulis. membaca yang hanya butuh pemahaman saja sudah kehilangan daya tariknya bagi mahasiswa, apalagi dengan menulis yang harus berpikir dan perlu observasi atau penelitian. Untuk itu menghidupkan kembali budaya membaca dan menulis harus diterapkan sekarang dalam diri sendiri.

Kesimpulannya, dari tiga artikel prof. Chaedar saya sangat apresiatif dan banyak memberikan pengetahuan buat saya mengenai pentingnya menulis. tetapi menurut saya membaca yang lebih penting, karena dari membaca akan menghasilkan tulisan yang baru, yang lebih bergaya dan tidak asal-asalan menulis. Untuk itu seorang penulis adalah seorang yang membaca dan menulis. 

0 comments:

Post a Comment