Slogan “Pokoknya harus bisa menulis” membuat saya
benar-benar bisa menulis. Prima facie principle pun bisa tersaji dengan lumayan
baik pada class review serta appetizer essay pertama saya minggu lalu. Itu
terbukti dari pengakuan dosen saya terhadap hasil karya serta jawaban saya dan
teman-teman saya yang dianggapnya sudah jauh lebih baik bila dibandingkan
dengan kelas lainnya. Dan itu pula lah yang membuat kita jauh lebih bersemangat
untuk menulis, Because we write with the purpose..
Terdapat berbagai macam tujuan mengapa kita menulis. Apa hanya
untuk mendapatkan nilai yang besar atau bahkan tanpa tujuan dan menulis hanya
untuk memenuhi learning kontrak. Tapi sebagai seorang mahasiswa penulis
seharusnya kita memiliki tujuan yang pasti dalam menulis. Apalagi di semester
empat yang penuh komplikasi ini, setiap mahasiswa harus memiliki tujuan dan
mengetahui siapa kita sebenarnya.
Semester ini, berbeda dengan semester sebelumnya. Bila
semester dua lalu kita hanya menulis untuk menghibur atau menginformasikan
suatu hal. Maka pada semester ini kita
akan dituntut menulis secara scientific atau biasa dikenal dengan academic
writing. Itu pun sesuai dengan nama mata kuliah writing empat ini, yakni
writing in educatioanl purpose. Selain dituntut untuk menjadi academic writing
kita pun dianjurkan untuk menjadi seorang “critical reader” atau tidak
menelan bulat-bulat suatu bacaan.
Menulis bukanlah sebuah hal yang mudah, melainkan sebuah
hal yang sangat kompleks. Terdapat tiga pengertian tentang apa itu menulis.
Pertama, menulis adalah suatu cara untuk mengetahui sesuatu. Sebelum menulis,
seorang penulis biasanya akan mencari sekumpulan data. Pencarian tersebut
dilakukan melalui membaca, dan lewat itu lah seorang penulis dapat mendapat
informasi sehingga membuat mereka banyak mengetahui sesuatu. Berikutnya adalah menulis merupakan
suatu cara untuk mempresentasikan sesuatu. Sesuatu disini adalah informasi yang
kita dapat dari membaca atau pengalaman yang nantinya akan bertransformasi
menjadi sebuah produk yakni ilmu pengetahuan. Dan yang terakhir, menulis adalah
suatu cara untuk memproduksi sesuatu (ilmu pengetahuan).
Menulis adalah suatu hal yang tidak bisa dilakukan dengan
sembarangan, terdapat beberapa cara untuk menulis. Menulis itu haruslah
disertai dengan feeling. Saat menulis kita harus memusatkan semuanya pada satu
titik, yakni ujung tangan kita. Menulis pun membutuhkan energy yang besar serta
butuh pemikiran yang cemerlang. Sehingga menulis juga bisa dikatakan sebagai
olehraga karena menulis pun membutuhkan banyak sekali tenaga.
Sebagai seorang yang belajar bahasa asing. Kita tidak
hanya dituntut untuk menulis secara efektiv dalam bahasa asing yang kita
pelajari saja. Tapi juga seharusnya dalam bahasa ibu kita juga. Dengan kata
lain kita dituntut untuk menjadi seorang multilingual written. Selain itu
sebagai student of language kita pun harus bisa menjadi student of writing, karena
lewat tulisan kita bisa jauh lebih banyak melakukan suatu hal. Bahkan lewat
tulisan kita bisa mengubah dunia.
Hyland dalam bukunya pun pernah berkata bahwa menulis adalah
sebuah praktek berdasarkan espektasi/keinginan. Seorang penulis harus mengerti apa
yang diharapkan oleh pembaca (Reader) . Penulis harus mengantisipasi pembaca
yang mungkin menginginkan bahan bacaan berdasarkan teks yang telah dibaca sebelumnya,
jadi penulis harus tau apa backround dari pembaca dan buku apa saja yang telah dibaca
untuk memaksimalkan keinginan dari pembaca.
Hubungan antara write-reader adalah sebuah hubungan seni.
Seperti halnya tarian, writer dan reader merupakan sebuah pasangan yang
melengkapi satu sama lain, saling membantu agar seirama. Jadi Penulis dan pembaca
harus membangun koneksi ketika memaknai text yang sama, karena makna
sesungguhnya terjadi bukan di teks tetapi berdasarkan sudut pandang reader yang
dinamis. Dengan kata lain reader bagaikan membangkitkan roh yang ada dalam tulisan.
Oleh karena itu penulis dan pembaca sering diibaratkan bagaikan dua orang penari
yang saling mengikuti langkah dari yang lainnya, dan membuat konektifitas yang
tak terpisahkan diantara mereka.
Dikutip dari lehtonen, bahasa mempunyai sistem sendiri
yang mendefinisikan dan mengartikan dirinya sendiri. Dan meaning itu terjadi
ketika ada writer and reader, jika kehilangan salah satunya maka akan
kehilangan meaning, karena jika tidak ada yang membaca maka tulisan kita tidak berarti apa apa. Dengan
kata lain meaning bisa dibangun karena adanya kolaborasi antara writer dan
readers.
Lalu dimanakah hubungan keduanya? Koneksi keduannya berada antara text dan konteks. Konteks ada pada seorang pembaca
sedangkan teks menempel pada penulis. Sedangkan ditengah antara keduanya adalah
meaning. Meaning ini seharusnya searah, tetapi kadang tidak sama karena sesuai
dengan experiences masing-masing. Kalau kita harus mengkritisi kita harus tahu
background dari keduanya, writer-reader. Namun bila terdapat sebuah perbedaan
dalam meaning maka yang harus menyesuaikan itu adalah pembaca.
Semua negosiasi makna ada pada reader. Jika seseorang sedang
membaca secara otomatis dia sedang bernegosiasi mencari makna yang terkandung
dalam tulisan tersebut. Jadi terserah kita mengambil atau mengamati maknanya
bahkan yang mengartikan suatu buku bagus atau jelek pun itu tergantung dari
pembaca yang membaca buku tersebut.
Namun, pada kenyataannya teks sama sekali tidak seperti
jenis puzzle untuk dipecahkan . Selain itu , pembaca tidak pernah menemukan
teks yang mereka baca sendiri : selalu ada sejumlah teks dan faktor hadir dalam
interaksi teks dan pembaca lainnya . Hal ini dapat diilustrasikan dengan
percobaan analis wacana Michel Pêcheux pada murid-muridnya yang dilakukan pada
awal 1980-an. Pêcheux membuat dua kelompok siswa untuk membaca teks yang sama
yang berurusan dengan ilmu ekonomi , tetapi mengatakan salah satu kelompok
bahwa teks tersebut memiliki kecenderungan kiri di dalamnya , sementara ia
mengatakan kepada kelompok lain bahwa teks ditulis oleh konservatif . Kedua
kelompok menafsirkan teks dengan cara yang benar-benar berlawanan , karena
mereka melakukan pendekatan dengan expectations
dan kerangka kerja konseptual yang berbeda. Dalam pertentangan ini , kita dapat
melihat bahwa kita tidak pernah menemui teks tanpa bantuan kerangka kerja
konseptual dan hipotesis tertentu yang kami produksi dalam mengartikan teks .
Gagasan yang Lehtonen uraikan tentang konteks kategoris
berangkat dari model tradisional mengenai hubungan antara teks dan konteks .
Bahkan , sifat seluruh konsep ' konteks ' harus benar-benar dievaluasi kembali
. Konteks tidak ada sebelum penulis atau teks , juga tidak ada di luar mereka .
Sesuai dengan arti harfiahnya , ' con - teks ' adalah sesama teks yang selalu
ada bersama-sama dengan teks-teks yang mereka konteks . Selain itu, kebersamaan
ini sering berarti berada di dalam teks , yang seperti Balzac katakan pada bab
sebelumnya. Dengan demikian , teks adalah bahan baku makna , yang mengaktifkan
dan juga memproduksi sumber daya pembaca kontekstual : sumber linguistik ,
konsepsi realitas , nilai, kepercayaan dan sebagainya. Selain itu , konteks
yang hadir di kedua menulis dan membaca bukanlah 'latar belakang', melainkan semacam
majelis cita-cita dan nilai-nilai statis tapi juga secara aktif mempengaruhi konvensi
penulis dan bagaimana pembaca bertemu teks .
“Anda , pembaca , tidak melihat saya , penulis , saat
Anda membaca buku ini , atau tahu apa-apa tentang keadaan di mana saya menulis
. Anda tidak tahu perubahan apa yang saya telah membuat dalam kalimat ini ,
ketika saya menambahkan ke naskah , atau apakah saya berhenti untuk memiliki
secangkir kopi antara titik-titik tersebut . . . atau ini . . . Dan oleh konvensi
budaya kita Anda tidak peduli . Anda membaca buku ini untuk informasi atau
ide-ide yang dibawanya , bukan untuk berkomunikasi dengan saya sebagai
kehadiran fisik individu. Menulis membuat bahasa ini tidak lagi tergantung pada
saya dan situasi saya dengan cara apapun . Anda dapat membaca buku ini dalam
urutan apapun , kapan dan bagaimana Anda ingin : dan saya bahkan tidak akan
tahu . Aku bahkan mungkin akan mati .” Gay Cook.
Sedangkan Barthes melihat peran orang-orang yang berlatih
aktivitas linguistik sebagai pusat dalam pembentukan makna. Penulis bukan
seorang penulis sebelumnya untuk tindakan menulis, tetapi mengambil bentuk
sebagai salah satu saat menulis. Barthes memang menyatakan kematian penulis,
sekaligus menandakan kelahiran pembaca. Penulis ibarat chef di restoran mahal,
mereka harus mengukur sejauh mana pembaca telah membaca. Itu disebut chef,
hanya ketika masak. Jadi penulis dikatakan sebagai seorang penulis saat dia
sedang menulis sedangkan ketika tidak aktif menulis maka tidak akan disebut penulis.
Sedikit menanggapi lembaran appetizer yang berjudul
belajar membaca karya hany setiawan, seorang perevisi buku pak Chaedar, disitu beliau
berpendapat bahwa masyarakat indonesia sebenarnya sudah cukup kritis karena
sudah update dalam internet secara langsung. Menurutnya menulis kritis bukan
hanya terjadi saat kita menulis secara formal, dengan adanya media jejaring
sosial sedikit demi sedikit masyarakat sudah bisa menulis kritis. Hal tersebut
sangat bertolak belakang dengan pak Chaedar yang memberitahukan bahwa masayrakat
Indonesia lebih statis dan tidak kritis yang beliau bahas dalam bukunya yang
berjudul pokoknya rekayasa literasi. Menurut beliau menulis itu
berbentuk artikel tapi menurut hawe menulis itu bisa dimana saja, seperti di
jejaring sosial, update status yang penting lama-lama akan bisa mangasah
ketrampilan menulis kita.
Makin tingggi literasi suatu bangsa, maka akan semakin
kaya ilmu pengetahuan yang bagsa itu dapata. Lompatan-lompatan teknologi yang
dapat di capai oleh Negara maju itu sangat berbanding lurus dengan tingkat kemajuan
literasi yang dimiliki Negara tersebut, contohnya Korea, Jepang, China dengan
industry teknologinya yang berkembang pesat. Walaupun untuk mencapainya tidak dengan
waktu sekejap. Bila kita ingin sukses 20 tahun lagi maka kita harus bekerja
keras 20 tahun dari sekarang. Bila bangsa kita ini ingin menjadi bangsa maju
maka kita harus persipkan dari sekarang. Banyak menulis dan membaca adalah
salah satu faktor utamanya oleh karena itu mulailah dari sekarang untuk menjadi
pembaca kritis dan mulailah menulis dengan tujuan yang jelas or write with
the purpose..
0 comments:
Post a Comment